PENDAHULUAN
Asal mula dari suatu unsur universal, seperti agama, telah menjadi objek
perhatian banyak orang. Ini dikarenakan dalam kehidupan manusia selalu saja
menggantungkan kehidupan kepada sesuatu kekuatan yang berada diluar dirinya dan
demi kekuatan misterius ini manusia bersedia manusia bersedia melakukan berbagai
cara untuk mendapatkan hubungan simpatik dari kekuatan tersebut.
Tingkat perkembangan peradaban masyarakat akan sangat berperan dan
sangat berpengaruh besar dalam menentukan pertumbuhan agama manusia. Agamaagama kuno di suatu tempat bersesuaian dengan tingkat kehidupan dan peradaban
masyarakat tersebut. Misalnya, bangsa yang masih primitif dan sederhana tingkat
ilmu pengeahuan dan teknologinya, maka agama dan kepercayaannya kepada Tuhan
pun sangat sederhana sesuai tingkat perkembangan pemikiran mereka. Akan tetapi,
dalam realitas selanjutnya kemajuan yang dialami agama jauh lebih lamban
dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu, usaha manusia untuk mencapai kebenaran yang hakiki tentang alam ini,
sebagai bagian penghayatan agama, akan menjadi sangat sukar diperoleh
dibandingkan dengan kebenaran tentang bagian-bagian alam yang menjadi bidang
penelitian ilmu pengetahuan.
Animisme dan magis merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan
manusia.
Kasultanan
Yogyakarta
merupakan
Kerajaan
Islam
yang
masih
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Animisme Tylor
2.1.1 Asal-usul Animisme
Teori animisme yang dikemukakan, mula-mula oleh Edward Burnett Tylor
(1832-1917) didalam bukunya Primitive Culture (1873), secara singkat adalah
sebagai berikut :
Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan sebagainya yang
dialami oleh orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa
mereka kepada adanya pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu
mereka membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka lalu
berpendapat bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati.
Animisme berasal dari kata anima, dari bahasa latin animus dan bahasa
yunani anepos, dalam bahasa sansekerta disebut prana, dalam bahas ibrani ruah. Arti
semua itu adalah napas atau jiwa. Animisme adalah ajaran/doktrin tentang realitas
jiwa ( Zakiah Drajat, 1996 : 24).
Teori ini menjelaskan bahwa keberadaan agama yang paling awal adalah
bersamaan dengan pertama sekali manusia menyadari bahwa dunia ini tidak hanya
dihuni oleh makhluk fisik semata, melainkan juga oleh makhluk immateri yang
disebut jiwa atau anima (Nurdinah, 2006 : 21).
Pengertian Animisme juga dikemukakan oleh Hamka dalam bukunya,
Perkembangan Kebatinan di Indonesia sebagai berikut:
.Nenek moyang yang telah mati, hanya badannya yang hilang, adapun
roh atau semangatnya masih tetap ada disekeliling kita, dan tempat tinggalnya yang
tertinggi dan mulia adalah kayangan.
Pengertian Animisme seperti disebutkan Hamka, mengilustrasikan bahwa roh
mempunyai rupa, seperti berkaki dan bertangan yang panjang-panjang, mempunyai
umur dan perlu pada makanan, juga roh kadang-kadang dapat dilihat sungguhpun ia
tersusun dari materi yang sangat halus. Olehnya itu ia diberi sesajen dalam bentuk
binatang, makanan dan kembang, roh ini menjadi objek yang ditakuti dan dihormati.
Orang primitif mempunyai kepercayaan bahwa semua hal yang kita lihat ini
seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya mempunyai roh.
Oleh karena itu roh-roh tersebut mempunyi kekuatan yang dahsyat dan mempunyai
kehendak, sehingga kalau marah bisa membahayakan manusia dan kalau gembira
bisa menguntungkan manusia. Roh manusia yang telah mati menurut paham bangsabangsa premitif pindah ke tubuh binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu
besar, fetish dan sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti
batu, kotak, gigi binatang dan sebagainya.
Teori Animisme menjelaskan kenapa benda-benda atau pernik-pernik yang
disakralkan atau yang dinamakan fetishes (jimat) begitu penting bagi masyarakat
primitive. Masyarakat ini bukanlah penyembah berhala seperti yang digambarkan
oleh misionaris Kristen yang picik. Mereka tidak menyembah tongkat atau bebatuan,
tetapi menyembah anima yang ada di dalamnya, roh yang memberikan kekuatan
dan kehidupan kayu tongkat atau substansi tersebut, yang memang sama sekali
berbeda dengan Tuhan orang Kristen (Pals, 2006 : 43)
Suatu fetish adalah suatu kepercayaan yang lebih disukai berdasarkan karyakaryanya. Karena fetish itu berkarya, maka barang-barang yang bersangkutan itu
mempunyai jiwa atau roh. Roh itu adalah suatu kekuatan yang tampak, kekuatan yang
dapat membawa pemiliknya terhindar dari bahaya. Pandangan fetish dapat bersifat
pemiliknya dapat berwujud manusia, orang-perorangan, ataupun kelompok, suatu
keluarga ataupun seluruh rakyat. Fetish yang terdapat pada tentera Omaka (Indian)
yang dapat berbuat luar biasa atau ajaib.
Ahli antropologi asal inggris E.B Taylor dalam bukunya primitif kultur
mengajukan sebuah teori (teori serba jiwa), bahwa bentuk kepercayaan asal manusia
adalah animism. Teori ini timbul atas 2 hal:
a.
b.
ada sebahagian praktik kepercayaan masyarakat di daerah ini yang percaya terhadap
roh-roh leluhur (animisme). Ada beberapa kelompok penduduk Bugis-Makassar yang
walaupun mengaku penganut agama Islam, akan tetapi pada inti kepercayaannya
terdapat konsep-konsep kepercayaan leluhur, seperti kepercayaan Tolotang di
Sidenreng Rappang yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Uwa,
dengan konsep dewa tertinggi yang disebut To-Palanroe (Hasse, 2005). Masih
terdapat konsep kepercayaan mereka merupakan sisa-sisa kepercayaan pada masa
Lagaligo, yaitu zaman pemerintahan raja-raja Bugis-Makassar yang tertua.
2.1.4. Bentuk penyembahan (kultus dalam animisme)
Animisme percaya bahwa roh itu bukan hanya menempati makluk hidup
tetapi juga benda-benda mati, sehingga roh itu terdapat dalam batu-batuan, pohonpohon besar, tombak, kepal manusia yang dimumi. Karena adanya kepercayaan pada
roh dan hantu, timbullah pemujaan pada tempat/benda yang dianggap dihuni roh. Dan
yang dipuja agar membalas kebaikan, ada pula yang dipuja agar roh itu tidak
mengganggu. Agar terhindar dari kemarahan roh/hantu biasanya diadakan ritual yang
dipimpin oleh para pendeta/ pemuka agama. Adakalanya mereka membujuk roh-roh
dengan mengadakan penguburan hewan/manusia yang dikubur hidup-hidup atau
diambil kepalanya dan dilempar kedalam gunung manakala sebuah gunung meletus.
Mereka beranggapan bahwa jika ada bencana alam berarti roh-roh alam sedang
marah.
b.
c.
d.
b.
Orang mati terutama mereka yang menjadi tokoh ulama' para pemuka
Kepala suku setelah mati, mereka ini dianggap semakin berkuasa dan
menetukan kehidupan serta hasil manusia yang masih hidup. Roh-roh
mereka diyakini menjadi hilang batas-batas jasmaniahnya dan mampu
menolong tetapi juga mampu menyakiti, karena itu mengambil hati para
roh sangat dipentingkan.
c.
Beberapa orang yang lebih tua yang telah meninggal, tidak boleh dilupakan
begitu saja
e.
Orang yang sudah mati diyakini rohnya dapat kemballi kedunia, kembali
hidup dalam masyarakat manusia dan rohnya tadi dapat dilahirkan kembali
dalam jasad-jasad yang dikehendaki dan dipilih olehnya.
Magis menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu atau cara
tertentu yang dapat diyakini dapat menimbulkan kekuatan ghaib dan dapat menguasai
alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia.
Magis juga dapat diartikan sebagai kepercayaan dan praktik dengan keyakinan
bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam atau antar
mereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka
dalam memanipulasi kekuatan yang lebih tinggi.
2.2.3 Deskriptif Teori Magis Menurut J.G. Frazer
J.G.Frazer mendefinisikan magis sebagai bentuk ketidakmampuan manusia
menghadapi alam semesta, yang dilampiaskan melalui berbagai cara untuk
memahami dan mengubah kondisi alam agar berjalan sesuai keinginannya (Frazer,
2009: 124). Melampaui pandangan Tylor tentang magis, Frazer mengatakan bahwa
segala sesuatu yang bisa disatukan secara mental, maka harus digabungkan dengan
dunia luar yang nyata (non-mental). Hubungan ini, didasarkan pada dua tipe, pertama,
imitatif, menghubungkan dua magis yang prinsipnya sama, dan kedua, penularan,
yaitu menghubungkan dua magis dengan alasan keterikatan.
Contoh magis penularan, seorang tukang sihir yang menusukkan jarum ke
dalam jantung sebuah boneka yang diikat dengan jerami dan rambut musuhnya. Pada
saat itu, ia berimajinasi melalui tranmisi perasaan bahwa ini akan bisa membunuh
musuhnya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa orang-orang primitif selalu
beranggapan bahwa prinsip kerja alam selalu tetap, universal, dan tidak bisa diubah.
Jadi, menurut Frazer, magis itu dibangun berdasarkan asumsi bahwa ketika satu ritual
dilakukan secara tepat, maka akibat yang ditimbulkan juga akan terwujud seperti
yang diharapkan. Hal ini menandakan bahwa masyarakat primitif telah memiliki
pengetahuan dan menerapkan hukum-hukum tentang cara kerja alam dan berusaha
mengontrolnya. Dan pada masyarakat primitif, orang yang berkuasa adalah orang
yang memiliki kemampuan magis yang lebih kuat.
Mengenai agama, Frazer lebih menyukai perbedaan antara agama dan magis,
daripada persamaan keduanya, sebagaimana definisi Tylor. Bahwa kekuatan magis
bukan suatu hal yang prinsip, melainkan kekuatan itu berbentuk sesuatu yang
supranatural, yaitu Tuhan. Bagi Frazer, kepercayaan terhadap kekuatan supernatural
dan upaya untuk memperoleh pertolongan Tuhan dengan cara berdoa telah
membebaskan manusia dari belenggu magis, dan membawanya kepada keyakinan
beragama. Selain itu, agama tidak pernah memaksakan untuk dikabulkan atau tidak
dikabulkan, berbeda dengan magis yang memaksakan kehendaknya untuk bisa terjadi
dalam sekejap.
Namun, Frazer menemukan kekurangan dalam agama, yaitu klaim agama
yang telah menemukan Tuhan yang sebenarnya. Hal ini menujukkan tidak ada
bedanya dengan klaim yang dikemukakan oleh magis. Oleh karena itu, walaupun
agama sangat identik dengan pemikiran masyarakat, posisi agama telah digantikan
oleh ilmu pengetahuan, yang bisa memberikan penjelasan rasional dan terpercaya
tentang alam semesta. Jadi, bagi Frazer, ilmu pengetahuan adalah magis yang
sempurna, tanpa kesalahan dan kekurangan.
2.2.4 Analisa Teori Magis
Frazer berpendapat bahwa ahli magis mempunyai kaitan lebih erat dengan
ilmuwan daripada agamawan. Magi adalah suatu jenis supernaturalisme, sedangkan
ilmu membatasi diri pada hukum-hukum alam dalam lingkup ilmiahnya. Namun
Malinowski tidak setuju dengan hakikat sebenarnya dari magi, usia dan strukturnya
yang primitif dalam hubungannya dengan agama. Meskipun Malinowski juga
memisahkan magi dari agama, ia tidak melihat magi sebagai pendahulu dari agama
seperti yang dikatakan Frazer (Mariasusai, 1995: 52).
Begitu juga menurut penulis, pandangan Frazer tentang asal-usul agama yang
berasal dari suatu magis yang diterapkan dalam adat istiadat masyarakat primitif
kurang tepat. Karena pemikiran Frazer sangat dipengaruhi oleh kegemarannya dalam
sastra klasik karya Pausanians yang kaya dengan legenda-legenda, cerita rakyat dan
adat-istiadat Yunani Kuno. Sejak dini, Frazer juga menolak kebenaran seluruh agama,
dan lebih memilih ateis. Baginya, agama itu sesuatu yang menarik, tapi tidak untuk
diyakini. Hal inilah yang membuat Frazer meniadakan keberadaan nabi Adam,
sebagai seseorang pertama di bumi yang telah beragama tauhid. (Muhyidin, 2006: 8).
BAB III
RITUAL KEAGAMAAN KASULTANAN YOGYAKARTA
Kasultanan Yogyakarta berdiri pada tahun pada tahun 1755 bersamaan dengan
disahkannya perjanjian Giyanti yang isinya memecah Kasultanan Mataram menjadi
dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta (Sardiman, 2002:100). Kasultanan Yogyakarta secara geografis terletak di
pedalaman Jawa dan dekat dengan laut selatan. Woodward (2006: 2) menjelaskan
bahwa Clifford Geertz di dalam penelitiannya terhadap Islam di Jawa menyimpulkan
bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga golongan dalam kehidupan beragama.
Golongan pertama dinamakan golongan santri karena Islamnya sangat kental dan
kuat. Golongan santri mayoritas terdapat di pesisir utara Jawa. Kedua adalah
golongan priyayi, yakni orang-orang Islam dari kalangan bangsawan. Ketiga adalah
golongan abangan, yaitu masyarakat desa yang masih awam beragama Islam namun
juga mempercayai benda-benda yang bertuah serta kekuatan magis. Muslim abangan
mayoritas berada di daerah Jawa pedalaman termasuk dalam wilayah kasultanan
Yogyakarta.
Kasultanan
Yogyakarta
dipimpin
oleh
seorang
sultan
bernama
turunnya wahyu keraton dan dianggap keramat, apabila pusaka keraton dimandikan
pada hari keramat tersebut maka kekuatan gaib yang terdapat pada pusaka tersebut
akan bertahan sepanjang masa dan memiliki tuah. Jika pada bulan Suro tersebut tidak
ada hari Selasa Kliwon maka ritual siraman pusaka akan dilaksanakan di hari Jumat
Kliwon, alasannya adalah hari Jumat adalah hari yang mulyakan dalam Islam. adapun
pusaka keraton yang dimandikan adalah tombak sebanyak 21 buah, keris sebanyak 6
buah, bendera 4 buah, perangkat gamelan 8 buah, kitab keraton 3 buah, kereta kuda
10 buah, dan benda-benda pusaka lainnya 22 buah (Suyami, 2008: 149-156).
Labuhan, ritual labuhan terdiri menjadi dua bagian yaitu labuhan alit dan
labuhan ageng. Labuhan alit diselenggarakan setiap tahun di tiga tempat yakni di
Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sedangkan labuhan ageng
dilaksanakan setiap delapan tahun sekali di empat tempat yakni di Pantai
Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kayangan. Pemilihan
tempat tersebut karena diyakini sebagai tempat Sultan Mataram untuk bertapa dan
berhubungan dengan roh-roh halus. Suyami (2008: 103) menjelaskan bahwa ritual
labuhan bertujuan untuk persembahan kepada makhluk halus yang telah berjasa
membantu para Sultan Mataram dalam berdirinya Kasultanan.
Slametan, ritual keagamaan yang sering terlihat dalam kehidupan masyarakat
dari kelas bawah sampai seorang bangsawan adalah slametan. Tujuan dari ritual
slametan bermacam-macam antaralain menikah, membangun rumah, kehamilan,
kematian, dan lain-lain. Ritual ini bertujuan agar keinginan akan baik dan tidak
mengalami suatu gangguan atau biar selamat. Oleh karena itulah disebut ritual
slametan. Dengan datangnya dan berkembangnya Islam di tanah Jawa ritual slametan
menjadi lebih islamis. Hal tersebut dapat diketahui dari doa-doa yang dibacakan,
namun proses sesajen dan makanan tetap ada.
Ruwatan, ritual ini merupakan ritual yang bertujuan untuk menghilangkan
bahaya terhadap individu maupun komunitas sosial. Ritual ini berupa doa-doa yang
ditujukan oleh Tuhan untuk keselamatan individu maupun komunitas sosial. Ritual
ini adalah bersumber dari ajaran Jawa Kuno yang bersifat sinkretis namun telah
disesuaikan dengan ajaran agama. Dalam ritual ruwatan ini terdapat sesajen yang
bertujuan sebagai rasa syukur kepada Tuhan.
Tirakat, dalam masyarakat Jawa identik dengan puasa seperti puasa pada
bulan Ramadhan namun berbeda dalam hal waktu lama berpuasa dan tata cara
puasanya. Tirakat adalah suatu ritual yang disengaja untuk menjalani kesukaran dan
kesengsaraan agar menjadi orang yang memiliki kelebihan dalam hal kepribadian dan
kebatinan (Koentjaraningrat, 1984: 371). Jenis-jenis tirakat dalam ritual sangat
banyak seperti puasa mutih, ngebleng, patigeni, tapa-brata, dan sebagainya. Sebagai
seorang raja, Sultan juga memiliki tradisi tirakat berupa puasa yang tujuannya
memperoleh kekuatan dalam memimpin serta memiliki kepribadian yang luhur.
Ziarah makam, di wilayah Yogyakarta terdapat makam imogiri yakni makam
Raja-raja Jawa. Raja-raja yang dimakamkan di Imogiri adalah raja dari Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat di
Jawa tidak mengenal ziarah kubur karena masih memeluk agama Hindu dan Budha.
Ziarah kubur berkembang sebagai kebiasaan dan bahkan menjadi ritual setelah Islam
datang. Biasanya yang terdapat ritual ziarah makam adalah makam-makam wali,
ulama, raja, dan orang yang mempunyai pengaruh dan kekuatan yang besar yang
dianggap suci dan sakral. Banyak peziarah percaya dengan melakukan ritual ziarah
kubur akan mendapatkan kesehatan, kemudahan rizki, serta keberkahan dalam hidup.
Kompleks pemakaman Imogiri hanya dibuka untuk hari-hari tertentu seperti tanggal
satu dan delapan bulan Syawal serta tanggal sepuluh bulan Dzulhijjah.
BAB IV
KESIMPULAN
Teori animisme menjelaskan bahwa keberadaan agama yang paling awal
adalah bersamaan dengan pertama sekali manusia menyadari bahwa dunia ini tidak
hanya dihuni oleh makhluk fisik semata, melainkan juga oleh makhluk immateri yang
disebut jiwa atau anima. Pendapat ini pertama kali dipelopori oleh seorang sarjana
Inggris yang bernama Edward B. Taylor melalui bukunya The Primitive Culture yang
menjelaskan, apabila orang meninggal dunia maka rohnya mampu hidup langgeng
walaupun jasadnya telah memburuk. Ini merupakan awal dari kepercayaan bahwa
ornag yang telah meninggal akan kekal abadi yang selanjutnya berkembang menjadi
kepercayaan bahwa roh orang mati tersebut dapat mengunjungi manusia dan
menolongnya.
Teori magis menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama pada manusia
karena manusia kemungkinan mengalami suatu gejala yang tidak dapat dicarikan
solusinya oleh akal sehingga dipecahkan oleh magis atau ilmu gaib. Teori ini awalnya
dikemukakan oleh James Frazer dalam karyanya The Golden Bough.
Kasultanan Yogyakarta walaupun merupakan kerajaan yang berlandaskan
Islam namun pada kenyataannya dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan tetap
melaksanakan praktek animism dan magis. Praktek animism dan magis yang terlihat
Daftar Pustaka
Alatas, Naquib. 2011. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pimpin.
Artha, Arwan. 2009. Langkah Spiritual Sultan Langkah Raja Jawa Menuju Istana.
Yogyakarta: Galangpress IKAPI.
Darajat, Zakiyah dkk. 1996. Perbandingan Agama. Jakarta : Bumi Aksara.
Frazer, James. 2009. The Golden Bough. New Zealand: The Floating Press.
Hasse, James. 2008. Agama Tolotang di Tengah Dinamika Sosio-Politik Indonesia:
Konstruksi Negara atas Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dalam Irwan
Abdullah (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM-Pustaka Pelajar.
Ghazali, Adeng. 2000. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung : CV Pustaka Setia.
Hamka, Buya. 1976. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Heryanto, Fredy. 2009. Mengenal Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta:
Warna Grafika.
Jandra, Mifedwil. 1991. Perangkat / Alat-alat dan Pakaian Serta Makna Simbolis
Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.