Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Asal mula dari suatu unsur universal, seperti agama, telah menjadi objek
perhatian banyak orang. Ini dikarenakan dalam kehidupan manusia selalu saja
menggantungkan kehidupan kepada sesuatu kekuatan yang berada diluar dirinya dan
demi kekuatan misterius ini manusia bersedia manusia bersedia melakukan berbagai
cara untuk mendapatkan hubungan simpatik dari kekuatan tersebut.
Tingkat perkembangan peradaban masyarakat akan sangat berperan dan
sangat berpengaruh besar dalam menentukan pertumbuhan agama manusia. Agamaagama kuno di suatu tempat bersesuaian dengan tingkat kehidupan dan peradaban
masyarakat tersebut. Misalnya, bangsa yang masih primitif dan sederhana tingkat
ilmu pengeahuan dan teknologinya, maka agama dan kepercayaannya kepada Tuhan
pun sangat sederhana sesuai tingkat perkembangan pemikiran mereka. Akan tetapi,
dalam realitas selanjutnya kemajuan yang dialami agama jauh lebih lamban
dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karena itu, usaha manusia untuk mencapai kebenaran yang hakiki tentang alam ini,
sebagai bagian penghayatan agama, akan menjadi sangat sukar diperoleh
dibandingkan dengan kebenaran tentang bagian-bagian alam yang menjadi bidang
penelitian ilmu pengetahuan.
Animisme dan magis merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan
manusia.

Kasultanan

Yogyakarta

merupakan

Kerajaan

Islam

yang

masih

mempertahankan riual-ritual keagamaan. Ritual-ritual keagamaan yang dilakukan


oleh Kasultanan Yogyakarta merupakan ritual keagamaan yang masih menunjukkan
ciri khas kekeratonan dan nilai-nilai budaya Jawa. Ritual-ritual yang dilaksanakan
oleh Kasultanan Yogyakarta tersebut apabila dilihat dari sudut ilmu pengetahuan
masih mengandung budaya animisme dan magis. Teori animisme karya Tylor dan
teori magis karya Frazer akan menjelaskan fenomena-fenomena dalam ritual-ritual
keagamaan dala Keraton Yogyakarta.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Animisme Tylor
2.1.1 Asal-usul Animisme
Teori animisme yang dikemukakan, mula-mula oleh Edward Burnett Tylor
(1832-1917) didalam bukunya Primitive Culture (1873), secara singkat adalah
sebagai berikut :
Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan sebagainya yang
dialami oleh orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa
mereka kepada adanya pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu
mereka membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka lalu
berpendapat bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati.
Animisme berasal dari kata anima, dari bahasa latin animus dan bahasa
yunani anepos, dalam bahasa sansekerta disebut prana, dalam bahas ibrani ruah. Arti
semua itu adalah napas atau jiwa. Animisme adalah ajaran/doktrin tentang realitas
jiwa ( Zakiah Drajat, 1996 : 24).
Teori ini menjelaskan bahwa keberadaan agama yang paling awal adalah
bersamaan dengan pertama sekali manusia menyadari bahwa dunia ini tidak hanya
dihuni oleh makhluk fisik semata, melainkan juga oleh makhluk immateri yang
disebut jiwa atau anima (Nurdinah, 2006 : 21).
Pengertian Animisme juga dikemukakan oleh Hamka dalam bukunya,
Perkembangan Kebatinan di Indonesia sebagai berikut:

.Nenek moyang yang telah mati, hanya badannya yang hilang, adapun
roh atau semangatnya masih tetap ada disekeliling kita, dan tempat tinggalnya yang
tertinggi dan mulia adalah kayangan.
Pengertian Animisme seperti disebutkan Hamka, mengilustrasikan bahwa roh
mempunyai rupa, seperti berkaki dan bertangan yang panjang-panjang, mempunyai
umur dan perlu pada makanan, juga roh kadang-kadang dapat dilihat sungguhpun ia
tersusun dari materi yang sangat halus. Olehnya itu ia diberi sesajen dalam bentuk
binatang, makanan dan kembang, roh ini menjadi objek yang ditakuti dan dihormati.
Orang primitif mempunyai kepercayaan bahwa semua hal yang kita lihat ini
seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya mempunyai roh.
Oleh karena itu roh-roh tersebut mempunyi kekuatan yang dahsyat dan mempunyai
kehendak, sehingga kalau marah bisa membahayakan manusia dan kalau gembira
bisa menguntungkan manusia. Roh manusia yang telah mati menurut paham bangsabangsa premitif pindah ke tubuh binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu
besar, fetish dan sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti
batu, kotak, gigi binatang dan sebagainya.
Teori Animisme menjelaskan kenapa benda-benda atau pernik-pernik yang
disakralkan atau yang dinamakan fetishes (jimat) begitu penting bagi masyarakat
primitive. Masyarakat ini bukanlah penyembah berhala seperti yang digambarkan
oleh misionaris Kristen yang picik. Mereka tidak menyembah tongkat atau bebatuan,
tetapi menyembah anima yang ada di dalamnya, roh yang memberikan kekuatan
dan kehidupan kayu tongkat atau substansi tersebut, yang memang sama sekali
berbeda dengan Tuhan orang Kristen (Pals, 2006 : 43)

Suatu fetish adalah suatu kepercayaan yang lebih disukai berdasarkan karyakaryanya. Karena fetish itu berkarya, maka barang-barang yang bersangkutan itu
mempunyai jiwa atau roh. Roh itu adalah suatu kekuatan yang tampak, kekuatan yang
dapat membawa pemiliknya terhindar dari bahaya. Pandangan fetish dapat bersifat
pemiliknya dapat berwujud manusia, orang-perorangan, ataupun kelompok, suatu
keluarga ataupun seluruh rakyat. Fetish yang terdapat pada tentera Omaka (Indian)
yang dapat berbuat luar biasa atau ajaib.
Ahli antropologi asal inggris E.B Taylor dalam bukunya primitif kultur
mengajukan sebuah teori (teori serba jiwa), bahwa bentuk kepercayaan asal manusia
adalah animism. Teori ini timbul atas 2 hal:
a.
b.

Adanya dua hal yang tampak, yakni hidup dan mati.


Adanya peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada ditempat lain pada
waktu tidur, yakni jiwanya sendiri. Jiwa bersifat bebas berbuat
sekehendaknya.

2.1.2 Animisme sebagai agama


Istilah agama atau dalam bahasa inggris religion. Apapun pengertiannya yang
jelas akan merujuk pada type karakteristik tertentu terhadap data-data yang ada
seperti, kepercayaan, praktek-praktek, perasaan keadaan jiwa, sikap pengalaman.
Animisme merupakan agama primitif. Agama primitif merupakan suatu cara
tertentu yang dilakukan oleh manusia di dalam mengalami dunia dan tuhan, suatu
pandangan tertentu terhadap segala kehidupan disekeliling manusia atau mentalitet
atau sikap rohani tertentu.

E.B Tylor mendefinisikan agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang


spiritual. Definisi ini dapat diterima dan memiliki kelebihan tersendiri, karena
sederhana, gamblang dan memiliki cakupan luas. Lebih jauh Tylor mengemukakan
bahwa kita dapat menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun
satu-satunya karakteristik yang dimiliki setiap agama, besar maupun kecil, agama
purba maupun modern, adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku
seperti manusia (Pals, 2006: 41). Inilah asal-usul agama dalam pengertian Tylor
dalam teorinya tentang primitive culture dan primitive religion.
2.1.3. Akibat animisme terhadap keyakinan masyarakat
Animisme dapat diartikan sebagai kepercayaan manusia pada roh leluhur.
Dalam keyakinan masyarakat yang menganut paham animisme mereka meyakini
bahwa orang yang telah meninggal dianggap sebagai yang maha tinggi, menentukan
nasib dan mengontrol perbauatan manusia. Kemudian pemujaan semacam ini lalu
berkembang menjadi penyembahan roh-roh. Roh oarng yang meninggal dianggap dan
dipercayai mereka sebagai makluk kuat yang menentukan, segala kehendak serta
kemauan yang harus dilayani. Dan mereka juga beranggapan roh tersebut juga dapat
merasuk kedalam benda-benda tertentu. Roh yang masuk kesebuah benda akan
menyebabkan kesaktian atau kesakralan benda tersebut. Maka dari itu masyarakat
tadi menyembah pada roh-roh tersebut supaya selamat dari bahaya.
Berangkat dari asumsi tersebut, agama primitif masih nampak mempengaruhi
kepercayaan masyarakat modern pada saat ini. Termasuk masyarakat di Sulawesi
Selatan, walaupun Islam telah masuk di wilayah ini sekitar abad ke-17, tetapi masih

ada sebahagian praktik kepercayaan masyarakat di daerah ini yang percaya terhadap
roh-roh leluhur (animisme). Ada beberapa kelompok penduduk Bugis-Makassar yang
walaupun mengaku penganut agama Islam, akan tetapi pada inti kepercayaannya
terdapat konsep-konsep kepercayaan leluhur, seperti kepercayaan Tolotang di
Sidenreng Rappang yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Uwa,
dengan konsep dewa tertinggi yang disebut To-Palanroe (Hasse, 2005). Masih
terdapat konsep kepercayaan mereka merupakan sisa-sisa kepercayaan pada masa
Lagaligo, yaitu zaman pemerintahan raja-raja Bugis-Makassar yang tertua.
2.1.4. Bentuk penyembahan (kultus dalam animisme)
Animisme percaya bahwa roh itu bukan hanya menempati makluk hidup
tetapi juga benda-benda mati, sehingga roh itu terdapat dalam batu-batuan, pohonpohon besar, tombak, kepal manusia yang dimumi. Karena adanya kepercayaan pada
roh dan hantu, timbullah pemujaan pada tempat/benda yang dianggap dihuni roh. Dan
yang dipuja agar membalas kebaikan, ada pula yang dipuja agar roh itu tidak
mengganggu. Agar terhindar dari kemarahan roh/hantu biasanya diadakan ritual yang
dipimpin oleh para pendeta/ pemuka agama. Adakalanya mereka membujuk roh-roh
dengan mengadakan penguburan hewan/manusia yang dikubur hidup-hidup atau
diambil kepalanya dan dilempar kedalam gunung manakala sebuah gunung meletus.
Mereka beranggapan bahwa jika ada bencana alam berarti roh-roh alam sedang
marah.

Dari bermacam-macam sikap terhadap orang yang meninggal kita dapatkan


beberapa macam bentuk-bentuk kultus pemujaan. Adapun bentuk-bentuk tersebut
adalah:
a.

Tingkatan pemujaan terhadap kelas-kelas


Tidak semua leluhur mempunyai tingkatan yang sama sebab diantara
mereka terdapat yang paling berkuasa. Dan sering terjadi anggota
kelompok atau anggota suku dalam tingkatan biasa dipuji untuk sementara
waktu saja. Bentuk sesembahan yang merata diantara suku-suku primitif
adalah terhadap roh pada pribadi agung yang merupakan pusat kultus
sesembahan leluhur.

b.

Kultus sesembahan merupakan tumpuan harapan


Roh-roh para leluhur dapat dipanggil untuk membantu kesulitan
masyarakat terutama untuk menjamin kelestarian garis jalur keturunan
karena biasanya ada keyakinan bahwa roh para leluhur mendambakan
kelestarian garis yang memuji dia. Selain itu roh para leluhur diharapkan
untuk menghindarkan penyakit atau wabah, membantu memberikan hasil
panen yang berlimpah.

c.

Roh leluhur sebagai dewa


Dalam fenomena pemujaan terhadap roh para leluhur terdapat bentuk
kultus sesembahan yang dimuliakan roh leluhur dan leluhur ini diyakini
kedudukannya sama dengan dewa.

d.

Bentuk kultus sesembahan berbentuk komunal

Orang yang telah meninggal disembah untuk suatu kelompok keluarga,


suku ataupun bangsa karena para roh ini adalah anggota keluarga, suku
pada waktu hidupnya.
2.1.5 Sikap animisme terhadap roh orang mati
Pada orang-orang primitif kita dapatkan beberapa sikap terhadap orang-orang
sudah meninggal.
a.

Orang mati diyakini sangat membahayakan karena mati dapat menular


Apabila manusia yang masih hidup dapat memperdulikan, tidak
memperhatikan, tidak merawat, dan tidak melayani dengan baik orang
sudah meninggal, maka roh-roh akan membawa manusia yang masih hidup
di dunia ini kepada penderitaan sakit yang dapat menyebabkan kematian.
Dan hal ini sangat menular, terlebih lagi bilaman mereka meninggal
dikarenakan oleh sebab kekerasan, kekejaman. Ini diyakini akan membawa
kematian pada orang lain.

b.

Orang mati terutama mereka yang menjadi tokoh ulama' para pemuka
Kepala suku setelah mati, mereka ini dianggap semakin berkuasa dan
menetukan kehidupan serta hasil manusia yang masih hidup. Roh-roh
mereka diyakini menjadi hilang batas-batas jasmaniahnya dan mampu
menolong tetapi juga mampu menyakiti, karena itu mengambil hati para
roh sangat dipentingkan.

c.

Beberapa orang yang lebih tua yang telah meninggal, tidak boleh dilupakan
begitu saja

Mereka inilah yang nantinya merupakan tokoh-tokoh yang kedudukannya


akan menjadi tokoh pemujaan dan tokoh sesembahan. Dan dalam
perkembangn kemudian menjadi dewa.
d.

Orang yang sudah mati tidak dapat mencukupi kebutuhan sendiri


Karena itu oleh orang yang masih hidup. Baik mereka ebagai tokoh yang
dihormati dan dicintai maupun sebagai tokoh yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, karena dianggap membahayakan orang lain.

e.

Orang yang sudah mati diyakini rohnya dapat kemballi kedunia, kembali
hidup dalam masyarakat manusia dan rohnya tadi dapat dilahirkan kembali
dalam jasad-jasad yang dikehendaki dan dipilih olehnya.

2.2 Teori Magis


2.2.1 J.G Frazer
Berasal dari keluarga Kristen Protestan yang dilahirkan pada 1 Januari 1854 di
Glasgow, Skotlandia dan dibesarkan oleh keluarga Presbyterian Skotlandia yang taat
dan keras. Semenjak dini, ia telah menolak kebenaran injil dan agama lainnya, dan
lebih memilih untuk mengambil sikap ateistik. Ia seorang ahli foklor dengan ilmu
barunya etnologi dan antropologi yang diterapkan pada karya utamanya The Golden
Bough. Suatu studi monumental tentang adat dan kepercayaan primitive, yang
mempengaruhi teori-teori agama setelahnya dan hampir mempengaruhi seluruh
pemikiran modern. Karya ini, dimaksudkan untuk mendukung generalisasi dari
pokok teori yang dia ajukan (Pals, 1996 49).
2.2.2 Definisi Magis

Magis menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu atau cara
tertentu yang dapat diyakini dapat menimbulkan kekuatan ghaib dan dapat menguasai
alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia.
Magis juga dapat diartikan sebagai kepercayaan dan praktik dengan keyakinan
bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam atau antar
mereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka
dalam memanipulasi kekuatan yang lebih tinggi.
2.2.3 Deskriptif Teori Magis Menurut J.G. Frazer
J.G.Frazer mendefinisikan magis sebagai bentuk ketidakmampuan manusia
menghadapi alam semesta, yang dilampiaskan melalui berbagai cara untuk
memahami dan mengubah kondisi alam agar berjalan sesuai keinginannya (Frazer,
2009: 124). Melampaui pandangan Tylor tentang magis, Frazer mengatakan bahwa
segala sesuatu yang bisa disatukan secara mental, maka harus digabungkan dengan
dunia luar yang nyata (non-mental). Hubungan ini, didasarkan pada dua tipe, pertama,
imitatif, menghubungkan dua magis yang prinsipnya sama, dan kedua, penularan,
yaitu menghubungkan dua magis dengan alasan keterikatan.
Contoh magis penularan, seorang tukang sihir yang menusukkan jarum ke
dalam jantung sebuah boneka yang diikat dengan jerami dan rambut musuhnya. Pada
saat itu, ia berimajinasi melalui tranmisi perasaan bahwa ini akan bisa membunuh
musuhnya. Contoh tersebut menunjukkan bahwa orang-orang primitif selalu
beranggapan bahwa prinsip kerja alam selalu tetap, universal, dan tidak bisa diubah.
Jadi, menurut Frazer, magis itu dibangun berdasarkan asumsi bahwa ketika satu ritual
dilakukan secara tepat, maka akibat yang ditimbulkan juga akan terwujud seperti
yang diharapkan. Hal ini menandakan bahwa masyarakat primitif telah memiliki
pengetahuan dan menerapkan hukum-hukum tentang cara kerja alam dan berusaha
mengontrolnya. Dan pada masyarakat primitif, orang yang berkuasa adalah orang
yang memiliki kemampuan magis yang lebih kuat.

Mengenai agama, Frazer lebih menyukai perbedaan antara agama dan magis,
daripada persamaan keduanya, sebagaimana definisi Tylor. Bahwa kekuatan magis
bukan suatu hal yang prinsip, melainkan kekuatan itu berbentuk sesuatu yang
supranatural, yaitu Tuhan. Bagi Frazer, kepercayaan terhadap kekuatan supernatural
dan upaya untuk memperoleh pertolongan Tuhan dengan cara berdoa telah
membebaskan manusia dari belenggu magis, dan membawanya kepada keyakinan
beragama. Selain itu, agama tidak pernah memaksakan untuk dikabulkan atau tidak
dikabulkan, berbeda dengan magis yang memaksakan kehendaknya untuk bisa terjadi
dalam sekejap.
Namun, Frazer menemukan kekurangan dalam agama, yaitu klaim agama
yang telah menemukan Tuhan yang sebenarnya. Hal ini menujukkan tidak ada
bedanya dengan klaim yang dikemukakan oleh magis. Oleh karena itu, walaupun
agama sangat identik dengan pemikiran masyarakat, posisi agama telah digantikan
oleh ilmu pengetahuan, yang bisa memberikan penjelasan rasional dan terpercaya
tentang alam semesta. Jadi, bagi Frazer, ilmu pengetahuan adalah magis yang
sempurna, tanpa kesalahan dan kekurangan.
2.2.4 Analisa Teori Magis
Frazer berpendapat bahwa ahli magis mempunyai kaitan lebih erat dengan
ilmuwan daripada agamawan. Magi adalah suatu jenis supernaturalisme, sedangkan
ilmu membatasi diri pada hukum-hukum alam dalam lingkup ilmiahnya. Namun
Malinowski tidak setuju dengan hakikat sebenarnya dari magi, usia dan strukturnya
yang primitif dalam hubungannya dengan agama. Meskipun Malinowski juga
memisahkan magi dari agama, ia tidak melihat magi sebagai pendahulu dari agama
seperti yang dikatakan Frazer (Mariasusai, 1995: 52).
Begitu juga menurut penulis, pandangan Frazer tentang asal-usul agama yang
berasal dari suatu magis yang diterapkan dalam adat istiadat masyarakat primitif
kurang tepat. Karena pemikiran Frazer sangat dipengaruhi oleh kegemarannya dalam
sastra klasik karya Pausanians yang kaya dengan legenda-legenda, cerita rakyat dan

adat-istiadat Yunani Kuno. Sejak dini, Frazer juga menolak kebenaran seluruh agama,
dan lebih memilih ateis. Baginya, agama itu sesuatu yang menarik, tapi tidak untuk
diyakini. Hal inilah yang membuat Frazer meniadakan keberadaan nabi Adam,
sebagai seseorang pertama di bumi yang telah beragama tauhid. (Muhyidin, 2006: 8).

BAB III
RITUAL KEAGAMAAN KASULTANAN YOGYAKARTA
Kasultanan Yogyakarta berdiri pada tahun pada tahun 1755 bersamaan dengan
disahkannya perjanjian Giyanti yang isinya memecah Kasultanan Mataram menjadi
dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta (Sardiman, 2002:100). Kasultanan Yogyakarta secara geografis terletak di
pedalaman Jawa dan dekat dengan laut selatan. Woodward (2006: 2) menjelaskan
bahwa Clifford Geertz di dalam penelitiannya terhadap Islam di Jawa menyimpulkan
bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga golongan dalam kehidupan beragama.
Golongan pertama dinamakan golongan santri karena Islamnya sangat kental dan
kuat. Golongan santri mayoritas terdapat di pesisir utara Jawa. Kedua adalah
golongan priyayi, yakni orang-orang Islam dari kalangan bangsawan. Ketiga adalah
golongan abangan, yaitu masyarakat desa yang masih awam beragama Islam namun
juga mempercayai benda-benda yang bertuah serta kekuatan magis. Muslim abangan
mayoritas berada di daerah Jawa pedalaman termasuk dalam wilayah kasultanan
Yogyakarta.
Kasultanan

Yogyakarta

dipimpin

oleh

seorang

sultan

bernama

Hamengkubuwono hampir mirip dengan saudara tuanya Kasunanan Surakarta yang


mempunyai sultan bernama Paku Buwono. Sekarang Kasultanan Yogyakarta

dipimpin oleh Hamengkubuwono X. Sultan Yogyakarta mempunyai gelar yaitu


Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah. Dalam gelar tersebut terdapat
kata panatagama yang mempunyai arti penata agama. Dari gelar tersebut dapat
diketahui bahwa betapa tinggi kedudukan sultan sehingga mempunyai hak dalam
menata kehidupan agama seperti seorang ulama. Faktanya Hamengkubuwono I
sampai IX tidak ada catatan sejarah bahwasannya sultan berhaji ke Mekkah. Arwan
Artha (2009: 39) menerangkan bahwa hanya Hamengkubuwono X yang sudah
melaksanakan haji sehingga mendapat gelar sultan haji.
Permasalahan kenapa Hamengkubuwono I hingga IX tidak berhaji masih
menjadi polemik. Masyarakat Jawa pada umumnya mempercayai bahwa seorang
sultan adalah manusia pilihan titisan para dewa sehingga ditakdirkan untuk menjadi
raja. Sultan Agung bahkan dipercayai setiap hari Jumat melaksanakan shalat Jumat di
Mekkah oleh karena itu masyarakat percaya bahwa Sultan Agung sudah berhaji.
Dalam cerita rakyat juga dipaparkan bahwa Sultan Agung memiliki istri dari maklhuk
gaib bernama Ratu Kidul penguasa pantai selatan. Hal tersebut mungkin sebagai
legitimasi bahwa Sultan Agung mempunyai kekuatan dan kekuasaan di dunia nyata
maupun gaib, sehingga dapat dengan mudah menaklukan daerah-daerah yang masih
mempercayai kekuatan-kekuatan gaib di Jawa. Mitos-mitos tersebut juga diteruskan
oleh penerus Kesultanan Mataram baik Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan
Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta memiliki banyak tradisi-tradisi yang terpengaruh
animisme dan magis. Namun karena Kasultanan Yogyakarta merupakan kerajaan
Islam maka tradisi-tradisi tersebut tidak terlalu terlihat sebagai ritual yang menjurus
pada animisme dan magis. Berikut ini adalah tradisi dan ritual keagamaan yang masih
terdapat pengaruh animisme dan magis:
Sekaten, berasal dari bahasa Arab syahadatain yang artinya dua kalimat
syahadat. Ritual sekaten diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad dan juga sebagai sarana dakwah Islam kepada masyarakat. Di dalam

ritual sekaten terdapat penghormatan terhadap benda yakni mengagungkan gamelan


pusaka yang hanya digunakan untuk ritual sekaten. Gamelan tersebut dinamai
layaknya seorang ulama yaitu Kyai Sekati. Selain mengagungkan benda,masyarakat
juga mempercayai akan mendapatkan awet muda jika mengunyah sirih bertepatan
dengan dibunyikannya gamelan Kyai Sekati (Jandra, 1991:205).
Grebeg, Kasultanan Yogyakarta juga mempunyai ritual grebeg. Ritual grebeg
dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Grebeg pertama disebut grebeg syawal yang
dilaksanakan untuk memperingati hari raya Idul Fitri. Kedua adalah grebeg besar
yang dilaksanakan untuk memperingati hari raya Idul Adha. Ketiga adalah grebeg
maulud untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Grebeg maulud adalah acara
puncak dari sekaten. Keunikan dalam ritual grebeg adalah terdapatnya gunungan
yaitu berbagai macam makanan seperti ketan, buah-buahan, sayur-sayuran, dan
sebagainya yang ditumpuk menyerupai gunung. Setelah gunungan tersebut didoakan
kemudian masyarakat beramai-ramai untuk merebut makanan dalam gunungan.
Setelah makanan tersebut didapatkan bukan untuk dimakan namun masyarakat
menyimpan agar dalam mencari rizki diberi kemudahan dan mendapatkan berkah dari
makanan yang terdapat dalam gunungan tersebut (Heryanto, 2009:29).
Peksi Buroq, Suyami (2008:207) menjelaskan bahwa peksi buroq adalah ritual
yang dilaksanakan Kasultanan Yogyakarta untuk memperingati Isra Miraj Nabi
Muhammad. Dalam ritual tersebut dibuatlah miniature burung buroq yang disusun
dari dari buah jeruk bali dan kulitnya. Ritual ini dilaksanakan di halaman Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta. Seperti halnya upacara grebeg, miniature peksi buroq
dan perlengkapannya akan diperebutkan warga yang mengikuti proses upacara ritual
peksi buroq.
Siraman Pusaka, siraman berasala dari bahasa Jawa yang artinya mandi.
Siraman pusaka merupakan ritual untuk memandikan pusaka yang dipunyai
Kasultanan Yogyakarta. Ritual ini dilaksanakan di bulan Suro atau bulan Muharam
pada hari Selasa Kliwon. Pemilihan hari Selasa Kliwon karena dianggap hari

turunnya wahyu keraton dan dianggap keramat, apabila pusaka keraton dimandikan
pada hari keramat tersebut maka kekuatan gaib yang terdapat pada pusaka tersebut
akan bertahan sepanjang masa dan memiliki tuah. Jika pada bulan Suro tersebut tidak
ada hari Selasa Kliwon maka ritual siraman pusaka akan dilaksanakan di hari Jumat
Kliwon, alasannya adalah hari Jumat adalah hari yang mulyakan dalam Islam. adapun
pusaka keraton yang dimandikan adalah tombak sebanyak 21 buah, keris sebanyak 6
buah, bendera 4 buah, perangkat gamelan 8 buah, kitab keraton 3 buah, kereta kuda
10 buah, dan benda-benda pusaka lainnya 22 buah (Suyami, 2008: 149-156).
Labuhan, ritual labuhan terdiri menjadi dua bagian yaitu labuhan alit dan
labuhan ageng. Labuhan alit diselenggarakan setiap tahun di tiga tempat yakni di
Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sedangkan labuhan ageng
dilaksanakan setiap delapan tahun sekali di empat tempat yakni di Pantai
Parangkusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Dlepih Kayangan. Pemilihan
tempat tersebut karena diyakini sebagai tempat Sultan Mataram untuk bertapa dan
berhubungan dengan roh-roh halus. Suyami (2008: 103) menjelaskan bahwa ritual
labuhan bertujuan untuk persembahan kepada makhluk halus yang telah berjasa
membantu para Sultan Mataram dalam berdirinya Kasultanan.
Slametan, ritual keagamaan yang sering terlihat dalam kehidupan masyarakat
dari kelas bawah sampai seorang bangsawan adalah slametan. Tujuan dari ritual
slametan bermacam-macam antaralain menikah, membangun rumah, kehamilan,
kematian, dan lain-lain. Ritual ini bertujuan agar keinginan akan baik dan tidak
mengalami suatu gangguan atau biar selamat. Oleh karena itulah disebut ritual
slametan. Dengan datangnya dan berkembangnya Islam di tanah Jawa ritual slametan
menjadi lebih islamis. Hal tersebut dapat diketahui dari doa-doa yang dibacakan,
namun proses sesajen dan makanan tetap ada.
Ruwatan, ritual ini merupakan ritual yang bertujuan untuk menghilangkan
bahaya terhadap individu maupun komunitas sosial. Ritual ini berupa doa-doa yang
ditujukan oleh Tuhan untuk keselamatan individu maupun komunitas sosial. Ritual

ini adalah bersumber dari ajaran Jawa Kuno yang bersifat sinkretis namun telah
disesuaikan dengan ajaran agama. Dalam ritual ruwatan ini terdapat sesajen yang
bertujuan sebagai rasa syukur kepada Tuhan.
Tirakat, dalam masyarakat Jawa identik dengan puasa seperti puasa pada
bulan Ramadhan namun berbeda dalam hal waktu lama berpuasa dan tata cara
puasanya. Tirakat adalah suatu ritual yang disengaja untuk menjalani kesukaran dan
kesengsaraan agar menjadi orang yang memiliki kelebihan dalam hal kepribadian dan
kebatinan (Koentjaraningrat, 1984: 371). Jenis-jenis tirakat dalam ritual sangat
banyak seperti puasa mutih, ngebleng, patigeni, tapa-brata, dan sebagainya. Sebagai
seorang raja, Sultan juga memiliki tradisi tirakat berupa puasa yang tujuannya
memperoleh kekuatan dalam memimpin serta memiliki kepribadian yang luhur.
Ziarah makam, di wilayah Yogyakarta terdapat makam imogiri yakni makam
Raja-raja Jawa. Raja-raja yang dimakamkan di Imogiri adalah raja dari Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat di
Jawa tidak mengenal ziarah kubur karena masih memeluk agama Hindu dan Budha.
Ziarah kubur berkembang sebagai kebiasaan dan bahkan menjadi ritual setelah Islam
datang. Biasanya yang terdapat ritual ziarah makam adalah makam-makam wali,
ulama, raja, dan orang yang mempunyai pengaruh dan kekuatan yang besar yang
dianggap suci dan sakral. Banyak peziarah percaya dengan melakukan ritual ziarah
kubur akan mendapatkan kesehatan, kemudahan rizki, serta keberkahan dalam hidup.
Kompleks pemakaman Imogiri hanya dibuka untuk hari-hari tertentu seperti tanggal
satu dan delapan bulan Syawal serta tanggal sepuluh bulan Dzulhijjah.

BAB IV
KESIMPULAN
Teori animisme menjelaskan bahwa keberadaan agama yang paling awal
adalah bersamaan dengan pertama sekali manusia menyadari bahwa dunia ini tidak
hanya dihuni oleh makhluk fisik semata, melainkan juga oleh makhluk immateri yang
disebut jiwa atau anima. Pendapat ini pertama kali dipelopori oleh seorang sarjana
Inggris yang bernama Edward B. Taylor melalui bukunya The Primitive Culture yang
menjelaskan, apabila orang meninggal dunia maka rohnya mampu hidup langgeng
walaupun jasadnya telah memburuk. Ini merupakan awal dari kepercayaan bahwa
ornag yang telah meninggal akan kekal abadi yang selanjutnya berkembang menjadi
kepercayaan bahwa roh orang mati tersebut dapat mengunjungi manusia dan
menolongnya.
Teori magis menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama pada manusia
karena manusia kemungkinan mengalami suatu gejala yang tidak dapat dicarikan
solusinya oleh akal sehingga dipecahkan oleh magis atau ilmu gaib. Teori ini awalnya
dikemukakan oleh James Frazer dalam karyanya The Golden Bough.
Kasultanan Yogyakarta walaupun merupakan kerajaan yang berlandaskan
Islam namun pada kenyataannya dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan tetap
melaksanakan praktek animism dan magis. Praktek animism dan magis yang terlihat

di ritual-ritual keagamaan tersebut bukanlah praktek animism dan magis secara


sempit melainkan dilandasi oleh pendekatan budaya yang sudah ada sebelum Islam.
Kesimpulannya ritual-ritual keagamaan dalam Kasultanan Yogyakarta merupakan
ritual keagamaan yang berlandaskan Islam namun masih mempertahankan
harmonisasi dengan budaya lokal.

Daftar Pustaka
Alatas, Naquib. 2011. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pimpin.
Artha, Arwan. 2009. Langkah Spiritual Sultan Langkah Raja Jawa Menuju Istana.
Yogyakarta: Galangpress IKAPI.
Darajat, Zakiyah dkk. 1996. Perbandingan Agama. Jakarta : Bumi Aksara.
Frazer, James. 2009. The Golden Bough. New Zealand: The Floating Press.
Hasse, James. 2008. Agama Tolotang di Tengah Dinamika Sosio-Politik Indonesia:
Konstruksi Negara atas Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dalam Irwan
Abdullah (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM-Pustaka Pelajar.
Ghazali, Adeng. 2000. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung : CV Pustaka Setia.
Hamka, Buya. 1976. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Heryanto, Fredy. 2009. Mengenal Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta:
Warna Grafika.
Jandra, Mifedwil. 1991. Perangkat / Alat-alat dan Pakaian Serta Makna Simbolis
Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.


Muhyidin, Muhammad. 2006. Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD.
Mudjahid, Manaf. 1994. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta : PT Grafindo Persada.
Nurdinah, Muhammad dkk. 2006. Hubungan Antar Agama. Banda Aceh : Ar-Raniry
Press.
Pals, Daniel. 2001. Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Sardiman. 2002. Sejarah Ilmu Pengetahuan Sosial. Surabaya: Yudhistira.
Suyami. 2008. Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mitologi dalam
Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.
Woordward, Mark. 2006. Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan.
Yogyakarta: LKiS.

Anda mungkin juga menyukai