Anda di halaman 1dari 48

Kitab

Keagamaan, Teisme
dan Ilmu Pengetahuan



Pdt. Yusak B. Setyawan,MATS,Ph.D
yusaksetyawan@yahoo.com
081226059828


Hubungan antara kitab Keagaman dan
Ilmu pengetahuan berkembang mulai dari
dominasi iman (kitab keagamaan)
terhadap ilmu pengetahuan sampai ke
tahap dimana ilmu pengetahuan
menganggap kitab keagaman sebagai
penggalan kecil dalam perkembangaan
sejarah manusia yang bisa diabaikan
Iman (berdasarkan Kitab Keagamaan dan
Ilmu pengetahuan
Iman merupakan sesuatu yang secara
inheren melekat erat dalam sejarah
peradaban manusia yang sebagaimana
telah diketahui berkembang melalui
pengalaman religius suatu komunitas
tertentu secara lisan dan tertulis.
Ilmu adalah perkembangan peradaban
yang lebih kemudian dibandingankan
dengan fenomena keimanan, malah
dianggap sebagai langkah terakhir dalam
perkembangan mental dan sejarah
manusia (Ernst Cassier)
Iman yang didasarkan pada kitab
keagaman adalah kepercayaan akan
misteri, yang agung, yang kudus, tetapi
yang mempesona, mysterium tremendum
et fascinocum, sebagaimana disarankan
oleh fenomenologi agama.
Kepercayaan akan misteri itu paling
nampak diungkapkan dalam narasi
kosmologi sebagai dinarasikan kitab
keagamaan. Dan selalu dapat dipastikan
bahwa sang misteri itu punya kaitan
dengan alam semesta yang di dalam
pelbagai versi diungkapkan peranannya.
Dalam satu kepercayaan, sang misteri itu
menciptakan alam semesta, sedangkan
yang lain mempercayai bahwa alam
semesta ini adalah bagian dari sang misteri
Tetapi semuanya akan mengatakan bahwa
alam semesta ini merupakan refleksi yang
paling awal dan utama dari hal beriman.
Dalam satu kepercayaan, sang misteri itu
menciptakan alam semesta, sedangkan yang
lain mempercayai bahwa alam semesta ini
adalah bagian dari sang misteri Tetapi
semuanya akan mengatakan bahwa alam
semesta ini merupakan refleksi yang paling
awal dan utama dari hal beriman.
Sebenarnya iman adalah kepercayaan akan
misteri yang mula-mula tak lain dan tak
bukan merupakan refleksi kosmologis.
Berkat akal budi (logos), agama dan
teologi, hal beriman akan sang misteri itu
menjadi suatu sistim ajaran yang kompleks
beserta dengan sistim perilaku baku. Jadi
iman akan sang misteri itu diaktualisasikan
dalam bentuk ortodoksi dan ortopraksi.
Ortodoksi menyangkut ajaran, tata ibadah
dan keimaman, sedangkan ortopraksi
menyangkut dimensi etis.
Ilmu pengetahuan mendapat bobot
keilmiahannya manakala prosedur ilmiah
dijadikan patokan untuk coba menjelaskan,
to explain tentang apa, mengapa dan
bagaimana realitas itu.
Tiga unsur penting yang menandai bobot
keilmiahan ilmu pengetahuan adalah
pengamatan, otonomi dunia nirnyawa dan
diabaikannya konsep tujuan.
Ilmu pengetahuan menjadi semakin intens
diusahakan pada masa pasca-renaissance.
Penghargaan kembali pada keunggulan
manusia mendorong orang untuk
mengetahui berbagai hal. Setelah berbagai
hal diketahui, orang bertindak atas dasar
pengetahuan itu. Dengan begitu misteri
semakin lama semakin terkuak, dan
pengetahuan manusia akan misteri itu kian
tersibak.
Dengan ilmu, manusia menjadi berkuasa
karena pada hakekatnya, demikian Francis
Bacon berpendapat, pengetahuan adalah
kuasa, knowledge is power.
Ilmu pengetahuan telah mempengaruhi
wajah dunia dalam pelbagai segi.
Pengaruh ini akan semakin besar dan
bahkan sampai pada taraf menentukan
masa depan, jika dilihat dari
perkembangan yang sedemikian pesat
yang diusahakan oleh ahli-ahli. Jika pada
taraf awal saja ilmu pnengetahuan telah
menampakkan daya revolusionernya,
maka tidaklah mengherankan kalau pada
masa yang akan datanag ia mampu
menyibak berbagai persoalan yang
membutuhkan penjelasan.
Yang pasti ilmu pengetahuan meyebabkan
perubahan-perubahan yang mendasar yang
menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia,
termasuk pemahaman akan iman itu
sendiri. Namun secara simplistis, ilmu
pengetahuan menyebabkan lima perubahan
fundamental
Pertama, ilmu pengetahuan mengakibatkan
ditanggalkannya banyak kepercayaan-
kepercayaan (tradisional) termasuk
kepercayanaan yang diterus-alihkan oleh
dan dalam agama dan yang dikritalisasikan
dalam kitab keagamaan.
Kedua, ilmu pengetahuan mengakibatkan
perkembnagan pesat dalam bidang industri
dengan memakai tehnologi, sebagai applied
science, sebagai tangan kanannya.
Ketiga, Ilmu pengetahuan mempengaruhi
organisasi kemasyarakatan termasuk di
dalamnya politik dan organisasi keagamaan
tempat iman dikristalisasikan, diterus-
alihkan dan dilestarikan.
Keempat, muncul kepedulian terhadap
lingkungan hidup berkat berkembangnya
ilmu pengetahuan.
Kelima, ilmu pengetahuan memaksa
manusia untuk merenungkan ulang tempat
manusuia dalam alam semesta yang akan
mengakibatkan pemahaman ulang tentang
kosmologi. Jika pemahaman kosmologis
berubah religiusitas akan berubah juga.
Hubungan antara Kitab
Keagamaan, Teisme dan Ilmu
Pengetahuan dapat dilihat dari
sudut pandangan pemikiran
yang dikemukakan oleh John
Shelby Spong
John Shelby Spong adalah seorang
bishop Gereja Episkopal (Anglikan)
Newark, Amerika Serikat, selama 24
tahun sebelum pensiun pada tahun
2000.
Tulisan-tulisan Spong berkisar pada
persoalan bagaimana iman Kristen
perlu mengalami perubahan
berhadapan dengan situasi baru
dunia yang diwarnai dengan
perubahan dalam kaitannya dengan
kehidupan religiusitas.
Sebenarnya persoalan ini telah
diangkat oleh teolog-teolog
sebelumnya yakni John A.T. Robinson,
Paul Tillich, dan sebagainya. Namun
Spong memperoleh kredit dan juga
deskredit karena tulisan-tulisannya
terkesan langsung menusuk pada
jantung iman Kristen (tradisional).
Perubahan teologi berkaitan dengan
paradigma baru tentang memahami
Tuhan yang tentu saja menantang
pengalaman-pengalaman tentang
Tuhan yang terkristalisasi dalam kitab
keagamaan:

Tuhan adalah Sumber dari Segala
Sumber, yakni sumber kehidupan,
kasih dan keberadaan.
Sekaratnya Theisme
Agama-agama Abrahamik memperkenalkan
keyakinan akan Tuhan dalam konsep
Theisme dengan berbagai versi sebagaimana
tertulis dalam kitab-kitab keagamaan:
Yahudi, Kristen dan Islam.
Theisme sebenarnya merupakan ciptaan
manusia sejalan dengan evolusi manusia
dalam penemuan diri sebagai makhluk
yang dapat merefleksikan dirinya sendiri.
Penemuan Tuhan adalah penemuan
kesadaran diri.
Sementara makhluk-makhluk hidup lain
yang juga berkembang melalui proses
evolusi dimulai dari sel tunggal, manusia
pada titik tertentu menemukan dirinya
sebagai makhluk yang sadar diri. Dari
penjelasan ini telah mulai terlihat bahwa
Spong menerima penjelasan/penemuan
teori evolusi.
Namun hal ini menyebabkan manusia
mengalami trauma psikologis, yakni
ketakutan atau anksietas menghadapi
realita kehidupan yang keras.
Trauma psikologis ini membuat
manusia berrefleksi juga bahwa pasti
ada keberadaan lain selain dirinya
yang lebih kuat, lebih besar dan dapat
menjadi sosok yang dapat menolong
manusia dalam menghadapi trauma
psikologis tersebut.

Berdasarkan informasi yang diberikan
Freud, Spong menegaskan bahwa
kelahiran theisme merupakan saudara
kembar dari kesadaran manusia yang
melahirkan trauma psikologis.
Agama-agama yang sekarang ini
berkembang, termasuk agama Kristen
mewarisi dan mengasah tuhan ciptaan
manusia dalam trauma psikologisnya
tersebut dalam tradisinya masing-
masing.
Kitab-kitab keagamaan (theisme)
memuat gabungan antara tuhan ciptaan
manusia dan trauma psikologis berkat
kesadaran diri manusia akan dirinya
sendiri.
Narasi-narasi penciptaan, taman Eden,
terusirnya manusia dari taman Eden,
kisah Menara Babel, banjir besar
dalam kisah Nuh, sampai pada kisah
penyaliban Yesus sebenarnya adalah
gabungan antara tuhan ciptaan
manusia dan trauma psikologis.
Agama Kristen mengembangkan
theisme dengan keyakinan iman
bahwa Tuhan Allah adalah
keberadaan, pribadi, dan dia yang
digambarkan secara
anthropomorphisme, yakni
penggambaran Tuhan Allah dengan
memakai analogi tindakan-tindakan
manusia.
Selain, itu penggambaran tentang
theisme dilakukan dengan
anthropopatisme: menggambarkan
Allah yang mempunyai perasaan sama
seperti perasaan manusia.
Ketika mitos dan logos bercampur dalam
kitab keagaaman (Kristen) Allah kemudian
digambarkan sebagai bapa, yang menjadi
daging manusia dalam diri anak, dan tetap
menyertai dalam bentuk roh. Kitab
keagamaan yang semula merupakan catatan
tentang theisme dijadikan kebenaran.
Keyakinan Allah sebagai Trinitas adalah
ciptaan agama Kristen menghadapi
trauma psikologis yang terjadi pada
perkembangan awal Kekristenan dan
yang disempurnakan pada masa-masa
berikutnya.
Kitab keagamaan seolah-olah
membekukan kombinasi antara
penemuan tentang Tuhan dan trauma
psikologis yang setiap saat dapat
dicairkan tergantung dari konteks dan
kepentingan.
Tantangan
Keyakinan theistik semacam itu tidak
lagi dapat lagi sesuai dengan
perkembangan-perkembangan yang
terjadi dalam kehidupan manusia
dewasa ini. Ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin menguak begitu
banyak misteri yang dahulu dianggap
sebagai ranah kemahakuasaan Tuhan.
Bidang kemanusiaan dan kesehatan,
ilmu pengetahuan alam termasuk
kosmologi dan bidang-bidang
pengetahuan lain memaksa Tuhan
theistik menjadi Tuhan yang tak berdaya
dan sekarat.
Persoalan-persoalan kemanusiaan dalam
kaitannya dengan hukum, seksualitas,
dan bahkan dengan proses terjadinya
individu baru tidak dapat dicakup lagi
dengan keyakinan Tuhan sebagai
keberadaan atau pribadi.
Trauma-trauma psikologis tidak lagi
membutuhkan sosok Tuhan
personal sebagai bapa yang baik
hati dan yang selalu memberi
solusi, melainkan yang paling
dibutuhkan adalah temuan-temuan
manusia semacam kafein, zat-zat
psikotropika, alkohol dan
sebagainya.
Demikian juga, Tuhan yang memberi
hukum tidak relevan lagi, karena dalam
kenyataannya, ketika diyakini Tuhan
adalah pemberi hukum, justru
manusialah yang menggantikan posisi
Tuhan untuk memberlakukan hukum.
Tuhan theistik pada dasarnya adalah
produk trauma psikologis manusia
sehingga menciptakan sosok yang dapat
mengatasi trauma tersebut. Tetapi,
sosok tersebut sebenarnya adalah
idealisme dari diri manusia sendiri.
Spong tetap meyakini adanya Tuhan
tetapi bukan Tuhan theistik. Tuhan
yang diyakini Spong bukanlan Tuhan
yang dapat digambarkan oleh
ungkapan-ungkapan bahasa manusiawi,
melainkan Tuhan yang mengatasi
segala-galanya yang berada dimana-
mana termasuk dalam diri manusia.
Dengan demikian, sekaratnya Tuhan
dalam theisme tidak serta merta
dikokohkannya athesime (keyakinan
bahwa Tuhan itu tidak ada), atau
deisme (keyakinan bahwa Tuhan itu
tidak bermakna lagi, Tuhan itu ada
tetapi terlalu jauh sehingga tidak
mempunyai kaitan apa-apa dengan
kehidupan manusia).
Spong mengusulkan istilah bahwa
Tuhan mestilah melampaui theisme
tetapi tidak melampaui Tuhan, “beyond
theisme but not God.” Namun, Tuhan
yang melampaui theisme, atau Tuhan
non-theistik ini, tetap perlu
diekspresikan dalam bahasa manusia.
Menurut Spong, Tuhan adalah Sumber
dari Segala Sumber, Sumber
Kehidupan, Sumber Cinta Kasih dan
Sumber Keberadaan.

Agama/Kekristenan Masa Depan

Karena keyakinan iman yang paling
dasariah runtuh, maka agama-agama
yang berporos pada theisme termasuk
Kekristenan mestilah mengalami
perubahan. Kekristenan harus
mengalami perubahan dalam hal
keyakinan-keyakinan tentang Tuhan,
tentang Yesus dan tentang gereja itu
sendiri.
Agama-agama harus mengalami
perubahan dalam keyakinan tentang
Tuhan sebagaimana dikemukakan di
atas. Yesus tidak perlu lagi diyakini
sebagai inkarnasi Tuhan, yang lahir dari
anak dara Maria. Yesus adalah
perwujudan dari Sumber segala Sumber
sebagaimana yang dipahami dalam
Kekristenan.
Kekristenan perlu melihat dirinya sendiri
sebagai persekutuan yang merayakan
Tuhan Sumber dari segala Sumber dan
mengokohkan kemanusiaan dari segi
kehidupan, cinta kasih dan keberadaan.

Perubahan-perubahan keyakinan
mendasar ini, menurut Spong,
sebenarnya berdasarkan pada teks-
teks Alkitab, yang untuk sekian abad
tertutup oleh dominasi keyakinan
Tuhan theistik.

Praktek-praktek kehidupan
Kekristenan dengan demikian mesti
mengalami perubahan berkat
perubahan keyakinan pada Tuhan
non-theistik tersebut. Liturgi yang
mencakup doa bukan lagi merupakan
perayaan terhadap Tuhan theistik.

Liturgi mestinya bersifat universal
yang mencakup tidak hanya Kitab
Keagamaan (Alkitab) melainkan
secara inklusif memakai sumber-
sumber lain semisal tulisan-tulisan
dari Ibu Theresa. Liturgi dan
peribadahan menjadi pengingatan
dan penghidupan kembali dari kisah-
kisah suci pada masa lampau yang
menekankan pada kehidupanh
sebagai perjalanan dan merayakan
perjalanan hidup pada masa kini.
Bahasa dalam nyanyian, doa dan
bagian-bagian lain dalam liturgi bersifat
mencakup persoalan-persoalan
manusia secara universal dan
memberanikan manusia untuk hidup
melampaui kelemahan-kelemahan dan
berjuang mencapai kemanusiaan baru.
Doa tidak lagi menjadi wahana
pengungkapan iman yang bertolak
belakang dengan realita kemanusiaan,
yang dengannya doa menjadi wujud
schizophrenia, melainkan merupakan
ekspresi dari intergritas diri.
Ritus-ritus atau sakramen tetap
dilakukan dengan pemaknaan yang
sama sekali berbeda. Ritus-ritus
tersebut akan berkaitan dengan proses
perjalanan dalam kehidupan manusia,
yakni kelahiran, masa pubertas,
perkawinan, kesakitan, masa lanjut
usia, dan kematian. Maka sakramen-
sakramen yang berlaku dalam gereja
tetap digunakan dalam kaitannya
dengan transisi kehidupan manusia.
Komunitas gereja tidak lagi menjadi
institusi pemegang kekuasaan atas
keyakinan-keyakinan theistik yang
sekarat, melainkan sebagai eklesia yang
terdiri dari mereka yang dipanggil untuk
melepaskan prasangka-prasangka
sempit dan berpusat pada diri sendiri.
Eklesia adalah komunitas yang dipanggil
untuk masuk pada kehidupan, untuk
mengasihi dan untuk mengokohkan
keberadaan, masuk ke dalam
kepenuhan, dan masuk ke dalam Tuhan
Allah
Komunitas agama tidak menggunakan
kekuasaan untuk mengontrol
kemanusiaan melainkan sebagai
komunitas yang menerapkan pelayanan
bagi kemanusiaan universal.
Gereja menjadi pusat untuk peduli pada
kebutuhan-kebutuhan manusia yang
menolong manusia untuki berjalan
menghadapi situasi sukar dalam
kehidupan ini. Jadi dalam gereja tidak
berlaku lagi hirarki kekuasaan,
melainkan hirarki pelayanan.
Kitab keagamaan yang merupakan
bentuk membeku dari gabungan antara
temuan theisme dan trauma psikologis
mengalami persoalan besar pda masa di
trauma-taruma psikologis tidak
membutuhkan solusi theistik.
Namun demikian kitab keagamaan tetap
memainkan peranan penting dalam
kehidupan manusia modern dalam
ketergantungan pada “keyakinan” dan
yang ideologi yang mendukung
“keyakinan” tentang theisme.
Tantangannya adalah bagaimana pada
saat ini orang beragama harus
memperlakukan kitab keagamaan
yang adalah produk keyakinan
theisme pada masa lampau?

Anda mungkin juga menyukai