Anda di halaman 1dari 4

UJIAN AKHIR SEMESTER

SOSIOLOGI AGAMA
NAMA : YULIA ASGUSTINA
NIM : 19058084
1. Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang pria otodidak Inggris yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan universitas, tetapi dengan petualangan dan studi independennya,
sampai teori animisme. Sebuah teori yang menurutnya adalah kunci untuk memahami asal-usul
agama. Tylor kemudian mengusulkan definisinya sendiri, yaitu mengemukakan bahwa agama
sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Definisi ini menurutnya memiliki kelebihan
tersendiri, karena sederhana, gamblang dan memiliki cakupan luas. Walaupun kita dapat
menemukan kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun satu-satunya karakteristik
yang dimiliki setiap agama, besar maupun kecil, agama purba atau modern, adalah keyakinan
terhadap roh-roh yang berfikir, berprilaku, dan berperasaan seperti manusia. Esensi setiap
agama, seperti juga mitologi, adalah animisme (berasal dari bahasa Latin “anima” yang berarti
roh), yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik
segala sesuatu. Animisme adalah bentuk pemikiran paling tua, yang dapat ditemukan dalam
setiap sejarah umat manusia.

Tokoh yang kedua adalah James George Frazer (1854-1941), seorang sarjana dari
Skotlandia. Frazer sangat berbeda dengan Tylor. Dia menghabiskan deluruh hidupnya di sebuah
apartmen yang penuh dengan buku di Universitas Cambridge, Frazer lebih sering dihubungkan
dengan apa yang disebut sebagai teori “Magis” tentang agama daripada animism nya Tylor.
Walaupun demikian, Frazer adalah seorang murid Tylor yang kemudian mengambil metode dan
ide-ide utama gurunya sembari menambahkan beberapa sentuhan baru yang murni berasal dari
idenya sendiri. Jadi, dari sana dapat kita tarik suatu simpulan bahwa antara kedua teorinya
memiliki kaitan yang sangat erat dan saling mendukung.Tylor pada awalnya tidak tertarik pada
masalah agama, tetapi lebih tertarik pada masalah kebudayaan manusia dan kelompok sosial.
Oleh sebab itu, ada yang menganggapnya sebagai pencetus antropologi sosial atau antropologi
budaya sebagai sebuah sains, seperti sekarang ini terdapat di Inggris dan Amerika Utara. Jadi,
magis itu dibangun berdasarkan asumsi bahwa ketika satu ritual atau perbuatan dilakukan
secara tepat, maka akibat yang akan dimunculkannya juga pasti akan terwujud seperti yang
diharapkan. Keyakinan yang melandasi setiap ritual menjadi bukti bahwa masyarakat primitif
telah memiliki sejenis pengetahuan yang berlaku di kalangan mereka.

2. Durkheim menyatakan bahwa dasar dari kepercayaan terhadap agama bukanlah terletak
pada kepercayaan terhadap hal-hal yang supernatural seperti Tuhan, karena pada banyak agama
tidak ditemukan kepercayaan terhadap Tuhan. Ini berarti, asumsi Tylor & Frazer yang
menyatakan pemahaman akan fenomena alam yang didasari oleh kekuatan supernatural adalah
hakikat dari agama tidaklah tepat. Dasar dari agama bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan
supernatural (pembedaan atas apa yang natural dan supernatural), melainkan konsep The Sacred
(Yang Sakral). Pada masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu Yang Sakral
dan Yang Profan. Yang sakral adala sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa, dihormati, dalam
kondisi profan ia tidak tersentuh dan terjamah. Sementara Yang sakral berada dalam masyarakat,
sementara yang profan ada dalam konteks individu. Untuk menjelaskan konsep-konsep ini,
Durkheim meneliti mengenai masyarakat dengan agama totemisme; agama yang dianggap
sebagai agama paling tua yang pernah ada dalam sejarah manusia. Untuk membuktikan asal-usul
agama, Durkheim berpendapat bahwa tidak tepat mengatakan bahwa konsep agama adalah
kekuatan personal yang disebut Tuhan, melainkan sebuah konsep yang tidak personal
(impersonal), yang dihormati dan dipuja sekaligus mengatur masyarakat, tetapi tidak memiliki
sosok.
Misalnya Pada agama totemisme, simbol-simbol hewan dan tumbuhan dipuja sebagai
sesuatu yang dihormati. Simbol hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan tertentu merupakan
lambang dari klan-klan tertentu pada suku-suku. Hewan-hewan dan tubuhan-tumbuhan itu  suci
dan tidak boleh dbunuh, tidak boleh dilukai atau bahkan didekati kecuali dalam perayaan-
perayaan tertentu. Kesucian totem adalah mutlak dalam masyarakat itu. Kesuciannya dapat
dirasakan oleh tiap-tiap individu, terutama dalam perayaan dan ritual-ritual keagamaan. Pada
ritual-ritual dan perayaan-perayaan itu, totem-totem menyusup dan mengatur kesadaran diri
manusia. Saat pemujaan berlangsung dimana tarian-tarian, lagu-lagu, mantera-mantera dan
perasaan tenteram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu, maka detik itu juga individu
kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan massa Yang Sakral. Sebuah perasaan
melayang-layang yang tidak biasa, yang tidak bisa diungkapkan

3. Bagi Marx, agama adalah sebuah ilusi. Dalam hal ini, ia secara khusus dipengaruhi oleh
pandangan Feuerbach yang memandang agama sebagai sebuah bentuk proyeksi esensi manusia
ke dalam satu entitas yang dianggap suci,yang kemudian diberi sifat-sifat kekuasaan yang
melebihi manusia. Dalam agama, manusia menciptakan Tuhan yang kemudian dianggap sebagai
penciptanya. Bahkan lebih buruk lagi, agama mengandung konsekuensi kejahatan,yaitu sebagai
alat penindas. Hal ini merupakan contoh paling ekstrem dari sebuahideologi, sebuah sistem yang
memiliki legitimasi kebenaran bagi dirinya sendiri. Marx menganggap bahwa ajaran Hegel dan
teologi Kristen mempunyai kesalahan yang sama. Para agamawan telah bersepakat menentukan
kualitas personal, seperti kebaikan, kecantikan, kebenaran, kebijaksanaan, dan cinta,kemudian
menyebutnya sebagai kualitas yang harus ada pada manusia. Lebih dari itu, kualitas personal
tersebut mengindikasikan sesuatu yang sama tidakberhubungan dengan manusia, yaitu Tuhan.
Inilah yang dimaksudkan Marx sebagai kesalahan teologi Kristen. Marx sendiri tidak pernah bisa
melupakan bahwa keluarganya terpaksa meninggalkan agama Yahudi karena tekanan politik
yang didominasi oleh teologi Kristen. Agama mengambil sifat-sifat ideal moral dari kehidupan
manusia yangdasar, dan secara tidak wajar memberikannya pada suatu wujud asing dan khayal
yang disebut tuhan. Agama merampas kebaikan individu manusia dan memberikan kepada
tuhan. Agama telah mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri.

Meskipun demikian, agama tetap saja menarik bagi masyarakat secara umum.
Menurutnya, orang tertarik kepada agama karena didasari oleh ke-butuhan emosionalnya yang
jauh dari kebahagiaan. Penderitaan ekonomimembuat orang tidak memiliki pilihan lain, sehingga
mengekspresikannya kedalam agama. Dengan demikian, agama tidak lebih dari halusinasi
sesaat,sehingga ia merupakan musuh yang harus dimusnahkan. Manusia tidak akan pernah
mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya jika ia masih dalam ilusikeagamaan.Marx juga
menyebut agama sebagai opium (candu). Meskipun agak susahmemahami kata “opium” yang
digunakan Marx pada waktu itu, paling tidak ada pemaknaan umum bahwa opium adalah sejenis
narkotika yang bisa menim-bulkan fantasi. Fantasi agama adalah sebuah bentuk pelarian dari
kehidupan riil.

4. Max Weber, adalah orang yang tergolong paling lengkap dalam menjelaskan masalah etos
kerja, khususnya tentang kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dan perilaku
ekonomi. Pengamatannya bermula dari fakta sosiologis yang ditemukannya di Jerman bahwa
sebagian besar dari pemuka bisnis, pemilik modal, tenaga-tenaga yang terlatih dibidang teknik
dan perdagangan dalam industri-industri modern, manajer pabrik dan buruh lapisan atas di
perusahaan-perusahaan besar adalah orang-orang protestan bukan orang katolik. Weber melihat
adanya perbedaan aspirasi pendidikan keluarga protestan dan katolik. Dalam kaitannya dengan
usaha tersebut, Weber menyusun suatu interprestasi terhadap salah satu ajaran Protestanisme,
yaitu konsep panggilan atau beruf (bahasa Jerman), calling ( bahasa Inggris). Beruf atau
panggilan merupakan konsepsi agama tentang tugas yang ditentukan oleh Tuhan, suatu tugas
hidup, suatu lapangan yang jelas dimana harus bekerja. Menurut konsep yang menjadi doktrin
Calvinisme itu, jalan hidup yang diterima dari Tuhan tidak melewati moralitas duniawi dengan
menjalani hidup yang menjauhi kesenangan jasmaniah di biara, tetapi dengan melaksanakan
kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang sesuai dengan posisinya di dunia.Ditambahkan
lagi bahwa kerja tidak diletakkan sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi sebagai suatu tugas suci.
Sikap hidup keagamaan yang dikehendaki oleh doktrin Calvinisme adalah innerwordly
asceticism, yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja.

Teori yang dikemukakan Max Weber tersebut telah mempengaruhi jalan pikiran sejumlah
pakar dalam melakukan studi tentang keterkaitan antara ajaran agama dan prilaku ekonomi di
Indonesia. Salah seorang yang memakai teori weber dalam usahanya membuat analisis tentang
Islam di Indonesia adalah D.M.G Koch, seorang sosialis Belanda. Ia mencoba menjelaskan
munculnya Sarekat Islam di kalangan pedagang di Surakarta. Usaha serupa juga pernah
dilakukan oleh Schrieke dalam membuat laporan tentang pemberontakan komunis di Sumatra
Barat (1927). Ia melihat kemungkinan afinitas antara bangkitnya gerakan reformasi Islam di
Minangkabau dengan kegairahan kehidupan ekonomi masyarakat yang melibatkan diri dalam
ekonomi ekspor .Pengamatan sekilas terhadap sejarah kehidupan masyarakat kita
memperlihatkan adanya keterkaitan yang signifikan antara kedalaman penghayatan agama dan
kegairahan dalam kehidupan ekonomi. Kelompok-kelompok tertentu yang tergolongmenjalankan
syariat agama dengan lebih sungguh-sungguh dalam kehidupan sosial dan pribadinya, kelihatan
lebih mampu beradaptasi dalam kehidupan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai