NIM : 1730006007
Mata Kuliah : Agama dan Teori-teori Sosial
Dosen : Prof. Noorhadi, S.Ag., MA., M.Phil., Ph.D.
Abstrak
E.B. Tylor mendefinisikan esensi setiap agama adalah animisme,
yang artinya kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya
kekuatan yang ada di balik segala sesuatu. Dalam
perkembangannya animisme dipandang telah mengalami
kemunduran karena kegagalannya dalam menjelaskan gejala alam
yang cenderung irrasional. dalam pandangannya,bagi Frazer magis
adalah usaha paling awal dalam kebudayaan manusia dengan
tujuan untuk menjelaskan dunia yang didorong oleh keinginan untuk
mengontrol kekuatan alam, memanfaatkan alam dan menghindari
keganasannya. Ketika magis mengalami kemunduran, muncullah
keyakinan terhadap tuhan (baca agama) yang dikombinasikan
dengan magis. Namun pada akhirnya, dalam agama pun
diketemukan kekurangan-kekurangan yang di era selanjutnya harus
digantikan oleh era ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
meninggalkan kepercayaan terhadap kekuatan supernatural dan
mencoba menjelaskan alam semesta dengan menampilkan prinsip-
prinsip yang lebih general dan impersonal seperti magis, tetapi tidak
ada lagi prinsip “imitasi” atau “kontak”, yang ada hanyalah
prinsip-prinsip valid berdasarkan sebab-akibat fisikal. Agama dan
sains sama-sama lahir untuk memahami dan merespons misteri dan
peristiwa luar biasa yang terjadi di alam, serta timbul dari adanya
usaha manusia untuk mencari pemahaman tentang dunia. “Namun
agama lebih primitif dalam menjelaskannya ketimbang yang
diberikan oleh sains”, Tylor.
Kata kunci : Animisme, Magis, dan Agama
Pendahuluan
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah
muncul dalam konsep primitif animisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini
diawasi atau dikuasisi oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitrif percaya
bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh karena
pengaruh roh yang tinggal dalam benda benda tersebut. Orang yunani percaya
bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.
Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta
(sesaji) dengan mantra dari korban.
Tokoh yang terkenal berkaitan dengan hal ini adalah Edward Burnett
Tylor (1832-1917), seorang pria otodidak Inggris yang tidak pernah mendapatkan
pendidikan universitas, tetapi dengan petualangan dan studi independennya,
sampai teori animisme. Sebuah teori yang menurutnya adalah kunci untuk
memahami asal-usul agama. Tokoh yang kedua adalah James George Frazer
(1854- 1941), seorang sarjana yang pemalu dari Skotlandia. Frazer sangat berbeda
dengan Tylor. Dia menghabiskan deluruh hidupnya di sebuah apartmen yang
penuh dengan buku di Universitas Cambridge, Frazer lebih sering dihubungkan
dengan apa yang disebut sebagai teori “Magis” tentang agama daripada animisme-
nya Tylor. Walaupun demikian, Frazer adalah seorang murid Tylor yang
kemudian mengambil metode dan ide-ide utama gurunya sembari menambahkan
beberapa sentuhan baru yang murni berasal dari idenya sendiri. Jadi, dari sana
dapat kita tarik suatu simpulan bahwa antara kedua teorinya memiliki kaitan yang
sangat erat dan saling mendukung.
Dalam bab pembahasan tentang animisme dan magis ini Daniel L. Pals
menguraikan teori dari dua orang ilmuwan terkemuka yakni Edward Burnett
Tylor dan James George Frazer. Animisme merupakan magnum opus Tylor dalam
karangan terkenalnya yang berjudul “Primitive Culture” dan magis selalu
dikaitkan dengan Frazer dari hasil karangannya yang cukup populer yang
berjudul “The Golden Bough”. Buku ini pula yang dengan sangat “pede” dikutip
oleh Emile Durkheim dalam bebesapa bab dalam bukunya The Elementary of The
Religious of Live.
Dalam buku “Seven Theories of Religion” ini, L. Pals menguraikan
pembahasan teori-teori kajian agama berdasarkan sistematika yang berurutan
diawali dari penjelasan biografi para pencetusnya, kemudian mengetengahkan ide-
ide kunci yang terdapat dalam karangan-karangan mereka, lalu deskripsi
perbedaan-perbedaan yang ditemukan Pals sewaktu satu teori dikomparasikan
dengan teori yang lain. Di samping itu, juga dipaparkan pula kelemahan-
kelemahan yang dimiliki teori tersebut yang disampaikan oleh para pengkritiknya
(Pals: 23, 2011).
Biografi E.B. Tylor
Edward Burnett Tylor (1832-1917) lahir di kota
London, Inggris. Ia dianggap sebagai pencetus
antropologi sosial-budaya sebagai sebuah sains,
sebagaimana yang terdapat di Inggris dan Amerika
Utara sekarang ini. Semua itu bermula dari
ketertarikannya akan studi kebudayaan manusia dan
kelompok sosial. Ia tidak pernah mengenyam
bangku pendidikan di universitas, namun berkat
Sir Edward Burnett Taylor kajian studinya secara otodidak dari hasil
petualangan yang dilakukannya, ia sampai pada
perumusan teori animisme. Sebuah teori yang menurutnya adalah kunci untuk
memahami asal-usul agama.
Petualangan Tylor dimulai sejak ia diagnosis mengidap tanda-tanda
penyakit tuberkulosa, yang membuatnya harus berpindah dari tempat tinggalnya
yang dingin menuju ke wilayah Amerika Tengah pada tahun 1955, usianya baru
23 tahun. Dari sinilah kemudian ia menumbuhkan minatnya terhadap kajian
kebudayaan asing dan menghasilkan buku berjudul “Anahuac: Or Mexico and
The Mexican Ancient and Modern”.
Setelah itu ia banyak melakukan kajian tentang masyarakat primitif yang
pada akhirnya menghasilkan karya besarnya yang cukup fenomenal yakni
“Primitive Culture” (tahun 1871), yang terdiri dari dua jilid besar. Karya ini
kemudian menjadi acuan utama dalam studi tentang peradaban manusia. Dan tak
lama setelah itu, Tylor diangkat sebagai tenaga pengajar utama dalam bidang
antropologi di Oxford.
Primitive Culture
Karya Tylor yang terangkum dalam “Primitive Culture” atau PC ini
terinspirasi oleh perkembangan teori evolusi yang saat itu tengah asyik
diperbincangkan di kalangan masyarakat luas. Hal ini dilatarbelakangi oleh
munculnya dua karya besar yang sangat menggegerkan keyakinan masyarakat
ketika itu akan asal-usul manusia. Dua buku tersebut ialah “The Origin of
Species” karya Darwin dan “The Descent of Human”. Dalam buku PC, Tylor
menggagas teori baru mengenai asal-usul seluruh agama. Tylor-lah orang yang
mula-mula menerapkan etnografi dan etnologi dalam kajian sosial keagamaan.
Salah satu tujuan dari buku Primitive Culture adalah ingin
memperlihatkan pendekatan baru dalam mengusut asal-usul agama, bagaimana
proses terbentuknya sistem-sistem kepercayaan dan ritual yang begitu kompleks,
seharusnya tidak sekedar dari pemahaman bahasa sebagaimana yang ditawarkan
oleh Muller. Taylor berpendapat bahwa agama adalah suatu sistem yang sangat
komplek, sehingga tidak cukup mendekatinya hanya dari perbedaan dan kesamaan
bahasa saja seperi yang dicontohkan Muller dengan Dewa Apollo dan Dewi
Daphne, yang malah hanya menjelaskan kisah-kisah mitologi belaka. Pendek kata,
etnologi jauh lebih baik daripada etimologi.
Tujuan dan Asumsi-asumsi
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa agama harus
diasumsikan sebagai masyarakat yang harus dilihat secara keseluruhan, seperti
pengetahuan, kepercayaan, moral, bahasa, seni, legenda, mitos, dan adat istiadat,
yang dengan istilah Taylor sendiri sebagai bentuk etnologi. Melalui etnologi akan
menemukan asal-usul kebudayaan manusia dengan pasti dan meyakinkan. Maka
jika dilihat secara seksama, unsur kebudayaan akan memunculkan dua hukum
besar budaya. Yang pertama kesatuan dan keseragaman fisik segala bentuk ras
manusia, kedua evolusi pemikiran manusia. Perbedaan dan persamaan antara
beberapa budaya bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan, akan tetapi adalah
bentuk kesamaan fundamental ras manusia. Perubahan yang terjadi merupakan
tahapan perkembangan manusia.
Perbedaan budaya masyaraat adalah faktor mental manusia antara tinggi
dan rendah. Dan menurtnya sejarah peradaban manusia dapat menceritakan
sejarah kemajuan manusia.Tylor ingin mengilmiahkan kajian tentang kebudayaan
manusia melalui kajian etnologi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengumpulkan fakta, mengklasifikasikan dan mengkomparasikan serta meneliti
prinsip-prinsip pokok yang mendasarinya untuk menjelaskan apa yang telah
ditemukan dari kebudayaan manusia.
Etnologi mengasumsikan bahwa semua bentuk masyarakat dan
kebudayaan yang terorganisir harus dilihat sebagai satu kesatuan. Dan pada
akhirnya akan didapatkan dua asumsi pokok yakni keseragaman fisik ras manusia
dan pola evolusi bisa ditemukan dimana saja.
Doktrin “Keberlangsungan Hidup” (Survivals)
Dalam penjelasan doktrin keberlangusungan hidup Tayor ingin
menjelaskan bukti-bukti atas asumsi-asumsinya tadi. Baginya tidak semua
kebudayaan dan tidak semua aspek-aspek kebudayaaan berkembang dalam fase
yang sama, beberapa kebudayaan tertentu masih tertinggal (ada) dibeberapa
kebudayaan yang telah maju, misalanya pengobatan kuno, kuburan, dan adat
istiadat yang memiliki pengaruh hampir di semua kehidupa manusia.
Kebudayaan masa lampau tetap ada hingga sekarang, namun fungsinya
berbeda sama sekali. Contoh lainnya, seperti kebiasaan memanah pada
masyarakat primitif dahulu berfungsi sebagai sarana untuk memburu binatang,
tetapi sekarang kebiasaan memanah berguna sebagai bentuk olah raga dan hobi.
Begitu pula dengan mengucapkan doa di saat ada orang lain yang sedang bersin
merupakan sisa-sisa tradisi primitif. Sebab diyakini bahwa terdapat roh atau setan
yang keluar dari tubuh orang yang bersin, tetapi sekarang berfungsi sebagai
tatakrama pergaulan dan asal-mula kebiasaan tersebut sudah dilupakan.
Aspek Kebudayaan Masyarakat
Menurut Taylor Contoh yang paling tepat utuk menghubungkan rasio
dengan evolusi social manusia adalah magis. Magis bisa ditemukan dihampir
semua masyarakat primitive, magis adalah simbol dari kecenderungan ide-ide
yang dipahami sebagai sebuah betuk kongkrit. Jika seseorang dalam pemikirannya
mengaitkan ide satu dengan ide lain, maka logika akan menuntut mereka untuk
menyimpulkan bahwa hubungan yang sama juga terdapat dalam realitas di luar
pikiran. Seperti tradisi mengganti nama seseorang setelah lama menginap banyak
penyakit sewaktu kecil, mereka berkeyakinan bahwna nama tersebut terlalu berat
untuk si anak karenanya sering mendapat penyakit, maka jika ingin terhidar dari
peyakit si anak harus ganti nama.
Bagi Tylor, hubungan antara basis-rasional pemikiran dengan evolusi
sosial dapat dilihat dalam setiap aspek kebudayaan manusia. Contoh lainnya
penggunanaan magis adalah masyarakat primitif yakin bisa mengobati atau
menyakiti orang dari jarak jauh hanya dengan menjentikkan jari atau
menggunakan sehelai rambut, sepotong kain atau benda-benda lain yang
berhubungan dengan lawan mereka. Mereka juga berpikir bahwa simbol-simbol
itu sudah mencakup benda yang disimbolkan.
Walaupun cerita-cerita di atas memang murni imagenasi, tapi
personifikasi-personifikasi ini dengan jelas merupakan contoh pikiran rasional
yang bertujuan menjelaskan kenapa sesuatu bisa terjadi. Mereka menerangkan
fakta-fakta alam dan hidup dengan bantuan analogi dan komparasi, dan ini
menandakan penggabungan ide-ide yang logis dengan evolusi sosial masyarakat
Asal-usul Agama
Penjelasan Taylor mengenai magis sangat lah penting untuk bisa mencari
asal usul agama, Karena menurt Taylor kita tidak akan mengetahui sesuatu
sebelum kita mengetahui hakikat sesuatu tadi. Mendefinisikan agama dan
mengetahui agama tidak cukup lewat pengetahuan pribadi kita mengenai Tuhan.
E.B. Tylor mendefinisikan agama sebagai suatu keyakinan terhadap sesuatu yang
spiritual. Menurutnya esensi setiap agama adalah animisme, yang artinya
kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik
segala sesuatu. Seperti adanya roh di dalam tumbuhan, sungai, pepohonan,
binatang dan bintang-bintang. Animisme merupakan bentuk pemikiran tertua
dalam sejarah religi manusia.
Menurut Tylor, agama berkembang dari animisme menjadi politeistik dan
menuju monoteistik, sebagaimana pada umat Kritiani dan Yahudi – dan tentu juga
Islam. jika ingin menjelaskan agama, pertanyaan pertama yang mesti kita jawab
adalah “bagaiman dan kenapa awal mulanya manusia mempercayai keberadaan
sesuatu sebagai sebuah roh?”. Jawaban ini harus di jauhkan dari hal yang bersifat
pribadi dan subjektif, makanya Taylor mencarinya melaui dalam sebab-sebab
alamiah, seperti yang dia lakukan dengan melihat kebelakang, memandang jauh
ke dalam masa pra sejarah. Rekonstruksi teori Tylor tentang asal-mula agama
dapat dikutip sebagai berikut:
Manusia dalam kebudayaan tingkat rendah yang telah memiliki budaya
berpikir sepertinya sangat dipengaruhi oleh dua persoalan biologis. Yang
pertama adalah apakah yang membedakan antara tubuh yang hidup dan
yang telah mati; apa yang menyebabkan manusia bisa terjaga, tidur,
pingsan, sakit dan mati? Kedua, wujud apakah yang muncul dalam mimpi
dan khayalan-khayalan manusia? Mencermati kedua persoalan ini, para
“filosof liar” (savage philosopher) masyarakat primitif kemudian mencoba
menjawabnya dengan dua tahap; pertama, dengan menyatakan bahwa
setiap manusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagai
bayangan dan diri kedua bagi jiwa. Kedua hal ini juga dianggap sebagai
bagian yang terpisah dari tubuh. Kedua, dengan mengkombinasikan jiwa
dan roh tadi, para “filosof liar” berhasil mendapatkan konsepsi tentang
Jiwa Yang Memiliki Pribadi.
Dengan kata lain penalaran mereka tentang kematian dan mimpi
menyebabkan masyarakat primitive mampu menalar untuk kali yang pertama
suatu teori sederhana tentang kehidupan mereka, bahwa setiap kehidupan
disebabkan oleh prinsip roh atau spiritual. Melalui penalaran awal masyarakat
primitive tentang alam kemudia menemukan bentuk kepercayan religious yang
pertama. Lebih lanjut lagi Taylor berargumen bahwa melalui teori animistik akan
menjelaskan kepada kita varian-varian kepercayaan dan adat istiadat masyarakat
purba. Seperti kepercayaan mengenai hari akhir, surga dan neraka. Melalui
sistematika yang seperti ini Taylor mencoba menelusuri seluruh kehidupan,
pemikiran dan adat-istiadat masyarakat primitive. Dalam segala kesempatan ia
menjelaskan bagaimana doktri animisme menciptakan prilaku-prilaku dan ide-ide,
yang barangkali akan dianggap sebagai sesuat yang irasional belaka.