ISLAM DI NKRI
Dosen
Miftah Safari, S.Pd, M.Ag.
Asep Haerudin
1016002
Teknik Geologi
BAB I PENDAHULUAN
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, salah satu perdebatan yang sangat mengemuka di kalangan umat Islam
adalah persoalan agama dan negara. Setidaknya, ada dua penyebab mengapa hal tersebut
terjadi. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak membahas masalah
kenegaraan. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk mengatakan bahwa konsep negara ditemui
dalam Islam. Kedua, Islam mempunyai perangkat kenegaraan dan karenanya tidak ada alasan
untuk memisahkan antara keduanya. Di tengah atmosfer tersebut, muncul pendapat yang
mengatakan bahwa agama dan negara saling membutuhkan.
Namun demikian, perdebatan di atas terus mencuat. Dalam konteks tersebut, seorang
penulis bermaksud melacak relasi Islam dan negara dalam perspektif modernisme dan
fundamentalisme Islam, dengan dilatarbelakangi oleh adanya aliran – aliran pemikiran tentang
negara dalam Islam. Sejauh ini pemikiran tersebut meliputi tiga kategori aliran yaitu : Pertama,
aliran konservatif, yang tetap mempertahankan integrasi antara Islam dan negara, karena
menurut paradigma ini, Islam telah lengkap mengatur sistem kemasyarakatan. Kelompok ini
terdiri dari (a) tradisionalis, yakni aliran yang tetap mempertahankan tradisi politik dan
pemikiran politik Islam klasik/pertengahan, dan (b) fundamentalis, yakni aliran yang ingin
melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan
menolak yang dibuat manusia. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam
mengatur masalah keduniaan (kemasyarakatan) hanya secara dasar – dasar saja, adapun secara
teknis bisa mengadposi sistem lain, yang dalam hal ini sistem Barat yang sudah menunjukkan
kelebihannya. Ketiga, aliran sekuler, yaitu ingin memisahkan antara Islam dengan negara,
karena menurut aliran ini, Islam sebagaimana agama – agama lainnya, tidak mengatur masalah
keduniaan, sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat.
BAB II
AGAMA ISLAM DAN NEGARA
1. Islam
Orang sering salah paham terhadap Islam. Kadangkala suatu keyakinan dan perbuatan
dianggap sebagai Islam ternyata bukan Islam dan kadangkala suatu keyakinan dan perbuatan
dianggap bukan Islam ternyata itu adalah Islam. Kenapa ini bisa terjadi? Itu karena banyak
orang tidak paham tentang Islam. Ini tidak hanya menimpa orang awam saja tetapi juga para
intelektualnya. Maka dirasa sangat perlu untuk dimengerti oleh setiap orang akan pengertian
Islam agar orang tidak salah paham dan itu mesti diambil dari sumber aslinya yakni Al-Qur’an,
bukan dari pendapat-pendapat orang atau yg lainnya. Dan tidak mungkin Alloh tidak
menjelaskan secara tersurat maupun tersirat di dalam Al-Qur’an dalam perkara ini. Dan saya
telah menemukan penjelasannya. Kata Islam itu berasal dari bahasa Arab al-islam. Kata al-
islam ada di dalam Al-Qur’an dan di dalamnya terkandung pula pengertiannya, diantaranya
dalam surat Ali Imron (3) ayat 19 dan surat Al-Maidah (5) ayat 3. Apa yang dapat kita pahami
dari kedua ayat itu?. Al-Qur’an surat Ali Imron (3) ayat 19, lafalnya, “ innad-dina ‘indallohil-
islam…”, artinya, ” sesungguhnya ad-din (jalan hidup) di sisi Alloh (adalah) al-islam…”. Ayat
ini dengan jelas sekali menyatakan bahwa al-islam adalah nama suatu ad-din (jalan hidup)
yang ada di sisi Alloh (‘indalloh). Ad-din (jalan hidup) itu berupa bentuk-bentuk keyakinan
(al-’aqidatu) dan perbuatan (al-’amalu) yang ada pada seseorang, maka pastilah setiap orang
memiliki suatu ad-din tertentu.
Al-Islam sebagai suatu ad-din yang ada di sisi Alloh tentu berupa bentuk-bentuk keyakinan
dan perbuatan yang ditetapkan Alloh dan berasal dari Alloh, bukan hasil pemikiran manusia,
makanya dinamakan dinulloh (QS 110 ayat 2). Maka itu berarti al-islam merupakan suatu ad-
din yang ditetapkan oleh Alloh untuk manusia, yang merupakan petunjuk dari Alloh (huda
minalloh) (QS 28 ayat 50) yang diberikan kepada manusia yang dikehendaki-Nya. Oleh karena
al-islam dari Alloh dan sementara itu dikatakan dalam surat Al-Baqoroh (2) ayat 147 bahwa
al-haqqu (kebenaran) itu dari Alloh maka pasti al-islam itulah yang dimaksud dengan al-haqqu
yang dari Alloh itu. Dan karena al-islam itu dari Alloh dan sementara itu di dalam Al-Qur’an
surat Al-A’rof (7) ayat 16 dikatakan bahwa ash-shirothol-mustaqim (jalan yang harus
ditegakkan) itu dari Alloh, maka pastilah juga yang dimaksud dengan ash-shirothol-mustaqim
yang berasal dari Alloh itu. Lalu bagaimana al-islam bisa sampai kepada manusia? Ya tentu
hanya melalui wahyu beserta penjelasannya yang diberikan/diturunkan Alloh kepada para nabi
dan utusan-Nya dari Adam as hingga Muhammad saw (sebagai nabi dan utusan Alloh yang
terakhir). Al-islam dalam bentuknya yang final (sempurna) tentu diberikan/diturunkan kepada
nabi dan utusan Alloh yang terakhir, Muhammad saw, melalui Al-Qur’an beserta
penjelasannya (QS 75 ayat 19). Oleh karena berasal dari Alloh tentu diridhoi Alloh.
2. Negara
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer,
ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Negara adalah sebuah organisasi sekelompok orang yang berada didalamnya. Negara adalah
organisasi politik dari kekuasaan politik. Negara merupakan bentuk organisasi dari masyarakat
atau kelompok orang yang mempunyai kekuasaan mengatur hubungan dengan
menyelenggarakan ketertiban dan menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama.
Negara disebut organisasi kekuasaan politik karena dapat memaksakan kekuasaan tersebut
secara sah pada semua orang yang ada dalam wilaahnya. Dengan demikian bangsa itu adalah
bagian dari suatu Negara itu sendiri. Bangsa atau persekutuan hidup manusia adalah salah satu
unsure dari Negara Beberapa pengertian Negara antara lain:
a. Suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama
mendiami wilayah tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata
tertib dan keselamatan sekeiompok atau beberapa kelompok manusia.
b. Suatu perserikatan yang melaksanakan suatu pemerintaan melalui hukum yang mengikat
masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa yang berada dalam suatu wilayah masyarakat
tertentu dan membedakannya dengan kondisi masyarakat dunia luar untuk ketertiban social.
c. Suatu asosiasi yang meyelenggarakan penertiban dalam suatu masyarakat atau wilayah
dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan suatu pemerintah. Untuk maksud
tersebut, pemerintah diberi kekuasaan memaksa.
Sebagai organisasi kekuasaan, Negara memiliki sifat memaksa, monopoli dan mencakup
semua.
a. Memaksa dalam arti memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan ketertiban, dengan
memakai kekerasan fisik secara legal.
b. Monopoli artinya memiliki hak untuk menetapkan tujuan bersama masyarakat. Negara
memiliki hak untuk melarang sesuatu yang bertentangan dan menganjurkan sesuatu yang
dibutuhkan masyarakat.
c. Mencakup semua artinya semua peraturan dan kebijakan Negara berlaku untuk semua orang
tanpa kecuali.
Usai pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti
mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis Konstituante di bawah
kepemimpina Ir Soekarno untuk menentukan dasar negara Islam atau pancasila, tak mencapai
keputusan final. Perdebatan sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung
Pancasila dalam mengokohkan dasar negara menemui jalan buntu. Selama kurang lebih dua
puluh bulan --November 1957 sampai Juni 1959— tidak ada kata sepakat. Konstitusi menemui
jalan buntu serius
Di tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer lalu
melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dengan keluarnya Dekrit
Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945 dan
menyingkirkan usulan dasar Islam. Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang
Majelis Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati.
Studi Komprehensif
Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi
tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil
partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai nasionalis yang
mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup
kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang
Majelis Konstituante.
Dalam Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang dasar negara
yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-
Ekonomi (diajukan Partai Murba dan Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut
seperti kehilangan gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam –yang
menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang mendukung Pancasila
mewarnai sidang.
Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai
dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun
Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak
dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah.
Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam
sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi
mungkin.”
Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar
dari mereka –di mata Syafi`i—masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual
dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil—
perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis
Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam
konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam
sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari
modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti
Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar
negara di bumi Indonesia.
Sayang, konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana digagas
untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di bawah tangan Soekarno.
Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme Turki, membubarkan Sidang Konstituante
yang waktu itu tidak menghasilkan kesepakatan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Dengan Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem politik baru --dikenal dengan
Demokrasi Terpimpin –sehingga tertutup pintu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Menjawab Tantangan Zaman
Meski kajian yang ditulis oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini adalah
terjemahan disertasi dan pernah diterbitkan tahun 1985, tapi tema buku ini masih tetap
memiliki relevansi dengan kondisi Indonesia saat ini. Memang, isu tentang negara Islam tak
mengeras lagi, tapi isu negara Islam seperti tak pernah padam. Sayangnya, tuntutan yang kerap
didegungkan kelompok Islam garis keras lebih memilih jalan undergroun dengan jalan
melakukan teror, bukan lewat jalur partai politik.
Keinginan membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah
untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk akibat penindasan
politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat itu bukan membuat Islam menjadi
cemerlang, melainkan justru mendapat citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam
ditengarai agama yang tidak membawa misi kemanusiaan.
Di sisi lain, kekuatan PKS yang solid dan berjuang lewat jalan partai jika ditelisik lebih
jauh juga bukan karena mengangkat isu negara Islam melainkan lebih pada konsep yang dijual
ingin yang menjadi partai yang bersih. Jadi upaya untuk mengangkat lagi isu negara Islam
sudah tidak lagi menjanjikan.
Apalagi, dalam teks al-Qur`an maupun hadits nabi, penulis tak menemukan pola teori
tentang negara yang harus diikuti umat Islam di berbegai negara, dengan catatan asal prinsip
syura dijalankan dan dihormati. Teori politik Islam yang dikembangkan pemikir muslim,
seperti al-Baqillani dan al-Mawardi tidak lebih usaha intelektual untuk menjawab tantangan
zaman. (Nur Mursidi, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
BAB III
PEMBAHASAN
Apakah Islam mengatur perihal negara? Atau mungkinkah sebenarnya Islam tidak
menganjurkan adanya negara? Pertanyaan ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan
di kalangan internal harakah Islam. Ada yang jelas-jelas menolak adanya konsep negara.
Mereka berdalih bahwa bagaimana pun bentuk pemerintahan yang sah dalam Islam sejatinya
ialah khilafah. Sementara di pihak lain, ada pula yang berkeyakinan akan bolehnya
bentuk negara apa saja asalkan tetap ada upaya menerapkan syariat Islam di dalamnya.
Karenanya, pembahasan ini merupakan wilayah kajian kontemporer yang cukup sensitif.
Terlepas dari perbedaan tersebut, Ust. Yusuf Mustofa, Lc. mengaku lebih meyakini
pendapat kedua. Ia menilai meski bentuk pemerintahan paling ideal ialah khilafah islamiyah,
namun ketika kita belum cukup syarat, maka apapun bentuk negaranya tak jadi masalah. Hal
ini karena esensi adanya sebuah pemerintahan (dalam hal ini negara) lebih penting
dibandingkan bentuk pemerintahan itu sendiri. Dengan adanya negara, maqashidusy
syari’ah (tujuan adanya syariat) seperti hifzul maal, hifzhun nafs, hifzhun nasl, hifzhud diin,
dan hifzhul ‘aql (menjaga harta, jiwa, keturunan, agama, dan akal) akan lebih terjamin
keberadaannya. Pemerintah yang beriman dan adil dalam sebuah negara tentu akan
memperhatikan hal-hal terkait hak-hak warganya tersebut. Sebaliknya, jika kita memilih tidak
bernegara lantaran tidak cocok dengan prinsip khilafah, maka dikhawatirkan
maqashidusy syari’ah itu pun terbengkalai.
Selain itu, tuntunan bernegara sebenarnya telah Allah SWT dan Rasul-Nya nyatakan secara
implisit maupun eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Perintah bermusyawarah (Q.S.
Asy-Syura: 38), berlaku adil (Q.S. Al-Maidah: 8), taat kepada pemimpin (Q.S. An-Nisa’: 59),
dsb, menyiratkan kemestian adanya kepemimpinan di tengah umat (negara). Pun begitu dengan
isyarat hadits Nabi Muhammad SAW dalam hadits berikut sebagai contoh:
“Jika ada 3 orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan
salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud no. 2609)
Kalau untuk sebuah perjalanan (safar) saja Rasulullah memerintahkan kita mengangkat
pimpinan, bagaimana dengan perjalanan hidup kumpulan orang banyak yang tentu lebih
kompleks persoalannya? Tentu mutlak diperlukan adanya negara dengan perangkatnya demi
mengatur hak dan kewajiban di antara mereka.
Demi lebih menegaskan perlunya ada negara (meskipun belum 100% khilafah), maka ada
baiknya kita cermati pula kaidah ushul fiqih berikut:
Mengingat perintah Allah dan Rasul-Nya pada dasarnya bersifat wajib hukumnya (kecuali
ada dalil lain yang memalingkan hukumnya), maka adanya sebuah negara untuk menerapkan
apa yang menjadi perintah juga wajib hukumnya.
Lalu, apa saja yang menjadi syarat terbentuknya sebuah negara? Sebagaimana banyak
diketahui, setidaknya ada empat syarat kita bisa mendirikan sebuah negara, yaitu adanya tanah/
wilayah, rakyat, pemerintah, dan pengakuan dari negara lain. Maka, ketika sudah terpenuhi
syarat-syarat ini, alangkah lebih baik jika pembentukan negara tidak lagi ditunda demi
terjaminnya hak dan kewajiban masyarakat yang hidup di dalamnya.
“Adapun mengenai sistem yang mengatur sebuah negara memang akan tetap menimbulkan
pro dan kontra” masih kata Ust. Yusuf.
Namun, hal yang lebih baik menurutnya ialah tetap tak berhenti di satu masalah itu.
Kalaulah karena beberapa sebab janji Rasulullah SAW bahwa kita akan kembali kepada
fase khilafah ala minhajin nubuwah (kekhalifahan berdasarkan manhaj kenabian) belum bisa
terealisasi, penerapan sistem apapun selama tak bertentangan dengan prinsip Islam tak jadi
soal.
Hal yang lebih penting daripada sistem formal tersebut sebenarnya ialah orang yang
diserahi amanah. Begitu kata Anis Matta dalam bukunya “Dari Gerakan ke Negara”. Prinsip
ini pula yang dianut Imam Syahid Hasan Al-Banna, pendiri harakah Ikhwanul Muslimin.
Walhasil, kaidah maratibul ‘amal (urutan amal) pun ia rumuskan demi mencapai ustadziyatul
‘alam (Islam sebagai soko guru/ pemimpin peradaban dunia).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan negara dan agama dilihat secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya
sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran
mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan
kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia,
dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya.
Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku
secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara institusional
dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud dalam etika dan moral individu-
individu pelaku politik.
Drs. Akh. Minhaji, M.A, Ph.D. Relasi Islam dan Negara, prespektif modernis & fundamentalis
http://www.dakwatuna.com/2012/09/19/22966/negara-dalam-islam/#ixzz4jCafK3Ja