Anda di halaman 1dari 9

 Latar Belakang Karl Marx

Karl Marx (1818-1883) lahir di Trier (Treves)1, daerah Rhine di


Jerman, pada tanggal 5 mei 1818. Ayahnya bernama Heinrich Marx, seorang
pengacara borjuis yang berpindah agama dari agama yahudi menjadi agama
protestan untuk dapat menjadi seorang pengacara. Pada usia 18 tahun setelah
mempelajari hukum selama satu tahun di Universitas Bonn, Dengan alasan
sering mabuk-mabukan, berkelahi dan menghindari wajib militer dengan
alasan kondisi kesehatan yang buruk kemudian ia pindah ke Univeristas
Berlin2 dan mempelajari filsafat. Pada masa kuliahnya pemikiran Marx
banyak mendapatkan pengaruh filsafat Hegellianisme, lewat filsafat Hegel ia
banyak mengkritik sistem politik di Jerman kala itu. Tahun 1941, ia di
promosikan menjadi doctor dalam bidang filsafat yang desertasinya berjudul
Natural Philosophis of Democritus and Epicurus (Falsafah alam Demokritus
dan Epikurus).3
Sebagai seorang yang berpandangan non kompromis, permohonanya
menjadi dosen di universitas itu ditolak dengan alasan pemikirannya yang
liberal dan radikal membuat kemustahilannya untuk menjadi professor di
Berlin. Oleh karenanya Ia kemudian beralih menjadi seorang jurnalis yang
kemudian membawanya menjadi pimpinan redaksi harian umum
radikal, Rheinsche Zeitung, suatu profesi yahg mengantarkannya menjadi
pemikir yang orisinil dan begitu bersemangat. Bermula dari menyerang agama
melalui politik di Jerman, pada tahun 1843 jurnal harian yang dipimpinya
dilarang terbit oleh pemerintah Jerman, lantas ia memutuskan pergi ke
Perancis dan mengkaji masalah ekonomi dan sosial yang pada akhirnya
dengan Freidrick Enggels teman yang menemaninya berjuang melawan
1
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat; kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno
hingga sekarang, Terj. Sigit Jatmiko, ((Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 1019
2
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 211
3
 Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 2. Januari 2002: 117
kapitalisme. Pada tahun yang sama sebelum ia pindah ke Peranci, ia menikah
dengan Jeny Van Westphaen putri dari tetangga dan sahabat lama
keluarganya.

 Kritik terhadap Agama

Jika membahas hal-hal yang termasuk ideologi dan superstruktur yang


pada akhirnya akan masuk ke dalam pembicaraan tentang agama. Inti
pandangan Marx dalam konteks ini sangatlah mengejutkan. Bila dilihat dan
diperhatikan dengan seksama, Marx kadangkala membicarakan agama dalam
ungkapan yang baik sekali, namun dalam kesempatan lain berubah menjadi
sangat kasar dan kejam. Menurutnya, agama sama sekali adalah sebuah ilusi.
Rasa takut adalah sebuah ilusi dengan konsekuensi yang sangat menyakitkan.
Agama adalah bentuk ideologi yang paling ekstrem dan paling nyata. Agama
adalah sebuah sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat
memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat
bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa.
Walaupun doktrin satu agama berbeda dengan agama lain, namun
bentuk-bentuk spesifik yang ada dalam masyarakat pada akhirnya tergantung
pada satu hal, yaitu kondisi sosial kehidupan yang pasti juga bergantung pada
kekuatan materi yang bisa mengatur masyarakat dimana pun dan kapan pun.
Marx menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-
dewa adalah lambing kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan.
Perseteruan abadi ini, menurut Marx, mempunyai akar jauh yang
melampaui sekedar perdebatan-perdebatan intelektual. Karena Marx sendiri
telah masa mudanya telah memutuskan untuk menolak agama. Ketika itu dia
menyatakan keyakinannya sebagai penganut ateis.
Marx menegaskan bahwa garis paralel antara agama dan aktivitas
sosio-ekonomi harus ditarik. Keduanya sama-sama menciptakan aliensasi,
agama merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan
mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnatural yang disebut
Tuhan.
Agama adalah bagian dari superstruktur masyarakat dan ekonomi lah
yang menjadi pondasinya. Maka bukti-bukti dari alienasi yang terdapat dalam
agama tersebut harus dilihat sebagai refleksi, sebuah pantulan keterasingan
manusia yang paling nyata, dan keterasingan ini lebih bersifat ekonomi dan
material dari pada spiritual. Atas dasar inilah, tentu tidak sulit dipahami
kenapa agama bagi kebannyakan masyarakat merupakan kekuatan terbesar
dan tempat pelarian terakhir, karena agama memiliki kelebihan tersendiri
dibandingkan superstruktur-superstruktur yang lain dalam masyarakat.
Agama mampu memberikan dan mengarahkan kebutuhan emosional
manusia yang teralienasi.4
Menurut Marx, fungsi yang dimainkan agama dalam kehidupan
masyarakat sama seperti candu pada diri seseorang, dengan agama,
penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh masyarakat yang terekspolitas
dapat diringankan melalui fantasi tentang dunia supernatural tempat dimana
tidak ada lagi penderitaan.
Pandangan problema studi agama menurut Karl Marx menyatakan
bahwa, agama adalah nafas dari mahkluk yang tertindas, hati dari dunia yang
tak berhati, jiwa dari kebekuan yang tak bernyawa, candu masyarakat5
Alienasi dalam agama sebenarnya hanya merupakan ekspresi dari
ketidakbahagiaan yang lebih dasar yang selalu bersifat ekonomi.
Pertanyaannya mengapa eksistensi agama semakin terus “bercokol”?

4
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 200-204
5
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
hlm 17
jawabannya adalah karena agama telah memperhatikan kebutuhan manusia
yang teralienasi. Bahkan Marx mengatakan agama adalah keluh kesah
makhluk  yang tertindas dan merupakan ekspresi penderitaan ekonomi yang
lain sekaligus protes melawan penderitaan yang riil.
Kritik yang dilakukan Marx tehadap agama pada asasnya adalah kritik
terhadap “Lembah air mata” yang mahkotanya adalah agama.6 Agama adalah
ilusi semata, dan sebetulnya agama ditentukan oleh ekonomi sehingga tidak
ada gunanya untuk mempertimbangkan setiap doktrin atau kepercayaannya
demi manfaatnya sendiri. Kepercayaan manusi terhadap agama berawal dari
kritisisme yang irreligious yaitu manusia membuat agama tetapi agama tidak
membuat manusia. Terlebih agama telah mengambil sifat-sidat ideal moral
dari kehidupan manusia yang dasar dan secara tidak wajar memberikannya
kepada suatu wujud asing dan khayalan yang disebut dengan Tuhan. Bahkan
agama dianggapnya terasa merampas kebaikan individu manusia dan
memberikannya kepada Tuhan.
Agama seperti halnya sebuah ideologi, merefleksikan sesuatu
kebenaran namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa
kesukaran dan ketertindasan mereka disiptakan oleh sistem kapitalis, maka
mereka diberikan suatu bentuk agama. Mark menjelaskan dirinya tidak
menolak kehadiran agama, melainkan menolak suatu sistem yang
mengandung ilusi-ilusi agama.

 Agama sebagai Alienasi

Agama merupakan refleksi keterasingan manusia semata yang


mencoba untuk menghindarkan dirinya dari penderitaan sosial, karenanya
agama hanya menjadi candu masyarakat yang hanya memberi penenang

6
Louis Leahy, Aliran-aliran besar Atheisme, Tinjauan kritis, (Yogyakarta, Kanisisus, 1992),
hlm. 99
sementara, semu dan tidak mampu membongkar dan menghilangkan kondisi-
kondisi yang menimbulkan penderitaan.
(Karl Marx, 1818 – 1883)

Berbicara tentang Karl Marx, tidak lepas dari ungkapannya yang


dinilai kontroversi seperti halnya ungkapan di atas. Semenjak awal Marx tidak
mempercayai akan keberadaan agama, bahkan Tuhan dianggapnya tidak ada,
Tuhan ada karena dicipatakan oleh alam pikiran fantasi manusia yang keliru.
Marx sebagai salah satu pemimpin ideologi komunis secara terang-terangan
menyebutkan ketidakpercayaannya terhadap agama secara universal.7 Dengan
paham yang diciptakannya itu dia dapat melahirkan Marxisme sebagai sebuah
aliran ideologi komunis yang menurutnya menjadi resolusi atas konflik yang
terjadi dalam kehidupan manusia sebagai individu yang yang bermasyarakat.8

Alih-alih komunisme mengklaim tidak hanya menghadirkan suatu


teori yang luas tentang politik, masyarakat dan ekonomi melainkan juga suatu
visi kehidupan manusia yang betul-betul memaksa, penuh dengan sikap
filsafat tentang tempat manusia di dunia natural, suatu penjelasan tentang
semua sejarah di masa lalu dan suatu ramalan tentang apa yang masih akan
datang.9 Dengan jelas Marx menyebutkan bukanlah kepercayaan agama dan
kebenaran tentang tuhan, surga dan teks suci untuk melakukan perubahan
mendasar terhadap kondisi masyarakat melainkan dengan peran kepercayaan
dalam wujud perjuangan sosial.
Masyarakat menurut Marx dibagi menjadi empat tahapan:

7
Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religions “Dari Animisme E.B. Taylor, Materialism Karl
Marx, hingga Antropologi Budaya C.Geertz”, Terj. Ali Noerjaman (Yogyakarta; Qalam, 2001), Hlm.
242
8
T.Z. Lavine, Konflik Kelas dan Orang yang Terasing,(Yogyakarta; Jendela, 2003), Hlm. 17
9
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 209
 Pertama, mayarakat tradisional (Komunisme Primitif) sebagai bentuk
masyarakat awal yang sederhana, dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup
dilakukan dengan cara berburu dan nomaden.
 Kedua, masyarakat feodal yaitu suatu konidisi masyarakat yang sudah
mengenal kepemilikan pribadi sebagai modal untuk mendapatkan keuntungan
besar dari kepemilikannya itu sehingga pada bentuk masyarakat ini
mengalami ekploitasi oleh pemilik modal.
Ketiga, masyarakat kapitalisme yang memperkenalkan aktivitas komersial
motif mencari keuntungan dalam skala besar oleh kamum borjuis atas
perolehan usaha dari kaum proletar. 
Keempat, masyarakat sosialisyang mencoba untuk menghapus eksploitasi
oleh kaum borjuis melalui revolusi sosial melalui penggorganisasian dan
gerakan buruh.
 Kelima, masyarakat komunis modern, dalam sistem sosialsi ini hanya
merupakan transisi karena masih menyembunyikan kepentingan antara
penguasa dan rakyat yang digiring untuk menjadi bagian dari masyarakat
yang humanis.
Seperti apa yang telah diungkap sebelumnya, Marx secara terbuka
tidak mendukung total atas keberadaan suatu agama. Seperti apa yang
dikemukakan Daniel L. Pals bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan sejak
awal berkenaan dengan Karl Marx. 
Pertama, bentuk komunisme, Marx hanya memberikan suatu teori tentang
agama, bukan sebuah pemikiran total yang dengan sendirinya menyerupai
sebuah agama. Dan yang lebih penting apa yang dihadirkan Marx dalam
pemikirannya bukanlah suatu catatan tentang agama secara umum melainkan
suatu analisis tentang agama Kristen dan agama lainnya yang serupa dengan
menekankan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa  dan eskatologi.
Sehingga dalam pemikirannya hanya pemikiran Kristen yang semula
memberikan pengaruh atas modal dasar teori yang telah dicetuskannya itu
ketika ia mengemukakan bahwa agama sebagai pelarian orang miskin dari
penderitaan dan penindasan ekonomi.
 Kedua, filsafat Marx begitu jauh jangkauannya, apa yang ia tawarkan sebagai
suatu “teori” tentang agama tradisional merupakan bagian yang agak kecil
dan tidak mesti sentral dari pemikirannya.
Dan hal yang berkenaan dengan pemikiran Karl Marx dalam teori-
teorinya tentang agama maupun ekonomi, membuat seseorang berpesan
untuknya sebagai “nabi tanpa wahyu”, dia berpendapat bahwa Marx boleh
jadi “hatinya beriman tapi otaknya kafir”. Dari pesan ini baiknya, Marx
kembali kepada agama dan nilai-nilai spiritual. Pesan ini tertuangkan dalam
Javid Namah “orang Barat kehilangan visi tentang surga, mereka berburu
mencari spirit murni dari perut”10
dalam ungkapan Marx cenderung mengedepankan sisi materialism
dibandingkan sisi idelaismenya dalam mengungkap teori tentang agama. Hal
ini dapat dilihat dalam ungkapan Marx yang lain “Bahwa umat manusia
pertama-tama harus makan, minum, memiliki tempat berteduah dan
berpakaian sebelum ia dapat mengejar politik, sains, seni dan agama”11. 
Dalam ungkapannya ini dapat diketahui bahwa manusia hidup dalam
duni yang riil, bukan dalam dunia ilusi. Segala yang hakiki adalah bersifat
materil bukan yang immateri sehingga dalam kehidupan di dunia ini yang
nyata dan utama adalah materi (natural dan bukan supranatural). Ungakapan
Marx ini merupakan pandangan atas tesis Hegel tentang materi dan pikiran
yang menyatakan bahwa hal-hal mental-ide, konsep adalah fundamental bagi
dunia, smeentara benda-benda materi selalu sekunder; benda-benda itu adalah
ungkapan fisik dari roh universal yang dasar atau ide yang absolut.12

10
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisme, dan Islam
(Jakarta: INSISTS-MIUMI, 2012), hal 9
11
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 207
12
Ibid, Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), hal 211
Agama merupakan kesadaran dan perasaan diri bagi manusia ketika ia
belum berhasil menemukan dirinya dan ketika ia sudah kehilangan dirinya.
Namun manusia itu bukan suatu makhluk yang abstrak yang bercokol di luar
dunia, melainkan manusia berada dalam dunia manusia, Negara dan
masyarakat Kesengsaraan yang terjadi pada manusia merupakan kesengsaraan
religious yang nyata sekaligus sebagai tindakan prortes terhadap kesengsaraan
nyata itu sendiri. Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia
yang tak berkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang
tidak mengenal roh. Sehingga Marx menyatakan bahwa agama sebagai candu
rakyat. Agama bukan saja sia-sia , tetapi juga merugikan. Ia merampas banyak
kodrat dan martabat manusia dan mengalihkannya kepada suatu makhluk
khayalan. Bahakn lebih-lebih agama merendahkan derajatnya dengan
memberikan perasaan dosa pada manusia itu sendiri, dengan mengajarkan
kerendahan hati pada agama, dengan membuat dirinya hina dihadapan dirinya
sendiri, alih-alih lebih merugikan lagi Mark menjelaskan bahwa agama
memberikan hiburan palsu . maka oleh karena itu, Marx menerangkan
penghapusan agama sebagai suatu kebahagiaan sejati.
DAFTAR PUSTAKA

Husaini, Adian, 2015. Wajah Peradaban Barat. (Jakarta: Gema Insani), Cet III.

Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Ilmu. (Bandung: CV
Pustaka Setia), Cet-I.

Permata, Ahmad Norma, 2000. Metodologi Studi Agama. (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar), Cet-I.

Zarkasyi, Hamid Fahmy, 2012

Anda mungkin juga menyukai