Anda di halaman 1dari 45

SEVEN THEORIES OF RELIGION

Edward B. Tylor (1832-1917)


 Tylor mendefinisikan agama sebagai suatu keyakinan terhadap sesuatu
yang spiritual. Menurutnya esensi setiap agama adalah animisme, yang
artinya kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan
yang ada di balik segala sesuatu. Seperti adanya roh di dalam tumbuhan,
sungai, pepohonan, binatang dan bintang-bintang. Animisme merupakan
bentuk pemikiran tertua dalam sejarah religi manusia.

 Menurut Tylor, agama berkembang dari animisme menjadi politeistik dan


menuju monoteistik, sebagaimana pada umat Kritiani danYahudi – dan
juga Islam.
Animisme dipandang telah mengalami kemunduran karena kegagalannya
dalam menjelaskan gejala alam yang cenderung irrasional. Animisme
melihat suatu gejala alam dipengaruhi oleh roh (phantom). Sedangkan
ilmuwan alam telah menemukan bukti yang tak terbantahkan bahwa
berbagai benda di alam ini sama sekali tidak didiami oleh phantom,
sebagaimana ahli geologi yang tidak menemukan adanya phantom di
dalam bebatuan, ahli botani pun senada bahwa tidak ada anima yang
menyebabkan hidupnya tumbuh-tumbuhan. Sains memandang gejala alam
terjadi diakibatkan tidak lebih oleh terjadinya reaksi kimia dan hukum
sebab-akibat dari alam itu sendiri. Tylor menyatakan bahwa penjelasan
animisme yang selalu menekankan pada mitos dalam menjelaskan gejala
alam tidak dapat diterima.
Kritik terhadap Tylor

1. Sekarang ini satu-satunya cara menjelaskan peradaban adalah


dengan menyingkirkan teori-teori animistik dan menggantinya
dengan penjelasan sains.
2. Agama dan sains sama-sama lahir untuk memahami dan
merespons misteri dan peristiwa luar biasa yang terjadi di alam,
namun agama lebih primitif dalam menjelaskannya ketimbang
yang diberikan oleh sains.
J.G. Frazer

 Studi terhadap buku Primitive Cultural karya Tylor


 Magis dan Agama  Jalan agama untuk menguasai alam bagi
masyarakat primitif adalah magis. Frazer membagi magis menjadi
dua macam, yaitu : magis imitatif dan magis penularan (kontak).
Magis dibangun atas asumsi bahwa jika satu ritual atau perbuatan
dilakukan secara tepat, maka akibat yang akan dimunculkannya juga
pasti akan terwujud seperti yang diharapkan. Biasanya orang yang
menguasai magis akan memiliki status sosial yang kuat di
masyarakat. Menurut Frazer, magis dapat disebut sebagai
pseudosains (ilmu pengetahuan palsu). Bagi Frazer, ilmu
pengetahuan adalah magis tanpa kesalahan.
 Pertama, magis imitatif, yaitu magis yang menghubungkan dua hal
berdasarkan prinsip kesamaan satu banding satu.
 Kedua, magis penularan/penyebaran (kontak), yaitu magis yang
menghubungkan dua hal yang berdasarkan prinsip keterikatan.
 Magis dan Agama  Bahwa ada prinsip-prinsip magis yang ditolak oleh
agama. Sebagaimana bila seorang ingin mengendalikan atau mengubah
kekuatan alam, yang semestinya dia lakukan bukan merapalkan mantera-
mantera magis, melainkan berdoa dan memohon kepada dewa-dewi yang
mereka yakini (relasi sebab-akibat).
 Magis, Agama dan Penuhanan RajaKetika masyarakat primitif
menganggap raja sebagai dewa, maka mereka akan mengganggap
kekuasaan dan hubungan raja dengan rakyat sebagai hubungan magis.
Dengan demikian, seluruh tindakan dan perubahan-perubahan yang
terjadi pada dirinya juga berakibat kepada seluruh proses alam dan
kehidupan suku (Raja sebagai dewa)
Analisis

a) Ilmu Pengetahuan dan Antropologi  Bahwa dalam menjelaskan fenomena keberagamaan harus
terlepas dari peristiwa-peristiwa alam gaib. Sebaliknya dalam mengkaji fenomena tersebut
sebaiknya berdasarkan penjelasan yang bersifat kealaman dan didukung oleh fakta empiris
sebanyak mungkin, kemudian diteruskan dengan pengkomparasian dan pengklarifikasian,
sehingga didapatkan suatu teori umum yang mencakup segala aspek. Salah satunya dengan
bantuan ilmu etnologi dan antropologi.
b) Proses Evolusi dan Masalah Asal Usul  Keduanya komitmen untuk menjelaskan agama dari segi
asal-usulnya di masa prasejarah. Mereka yakin dapat mengkaji asal usul agama dengan
menemukan proses kemunculan agama pertama kali. Agama merupakan buah dari evolusi
intelektual manusia sejak jaman primitif.
c) Intelektualisme dan Individualisme  Para teoritikus sekarang sering mangatakan bahwa Tylor
dan Frazer adalah pendukung utama pendekatan “individualisme” terhadap agama. Sebab
pandangan keduanya tentang asal usul agama yang berasal dari pemikiran seorang filosof liar
jaman primitif. Agama tidak dipandang sebagai sebuah kebutuhan, struktur dan aktivitas sebuah
kelompok.
Kritik terhadap Tylor dan Frazer

1) Metode Antropologi
Meskipun Tylor dan Frazer adalah pelopor penggunaan data antropologi,
tapi mereka tidak berhati-hati dalam menggunakan metode yang memang
belum pernah diterapkan sebelumnya. Para antropolog professional, dalam
hal-hal tertentu, kelihatan “ngeri” dengan cara dua antropolog Victorian ini
dalam menyamakan kebudayaan-kebudayaan yang mereka anggap sama,
padahal kebudayaan-kebudayaan tersebut berasal dari waktu dan tempat
yang berbeda. Ini kian diperparah dengan kealpaan mereka terhadap
masing-masing konteks sosial yang melatarbelakangi kebudayaan-
kebudayaan tersebut. Seperti menyamakan begitu saja festival api
masyarakat Celtic dengan festival yang sama di Skandinavia.
2) Evolusionisme
Tentang teori evolusi agama kedua ilmuwan ini dinilai kurang
menunjukkan bukti-bukti yang kronologis untuk mendukung pendapat
mereka, sebagian besar bukti tersebut bersifat “nirwaktu”.

3. Individu dan Sosial


Memang benar kesadaran beragama itu pada dasarnya muncul dari motif
intelektual sebagai karya para pemikir dalam usaha mereka memecahkan
teka-teki dan misteri kehidupan. Tetapi benarkah kehidupan sosial dan
ritual keagamaan itu hanyalah persoalan sekunder yang selalu tergantung
pada faktor-faktor intelektual yang dianggap paling fundamental?
Lahir di Freiberg, Moravia - Orang Austria, SIGMUND FREUD
keturunanYahudi Ahli saraf Austria yang
menemukan psikoanalisis (bidang psikologi) yang
merupakan pendekatan baru untuk memahami
kepribadian manusia.

Kepercayaan terhadap agama itu hanya didasarkan kapada kesenangan dan kelezatan semata ,
dan pada dasarnya merupakan tuntutan pikiran kekanak-kanakan. Sebagai pengalihan dari anak
terhadap bapak merupakan ketakutan dan butuh akan kasih sayang. sebagai anak yang dalam
pikiranya sangat terbatas, sehingga merasakan sekali rasa takut dan akhirnya butuh
perlindungan, sedangkan doa-doa dalam agama itu hanya sebagai cara untuk menghilangkan
rasa cemas yang selalu menghantui dirinya.Dengan jalan berdoa itulah seakan-akan rasa dosa itu
akan berkurang dan akhirnya dapat menemui suatu kesenangan dan kelezatan. Pemeluk agama
berkelakuan mirip dengan tingkah laku pasien neurosis. Inilah Freud menghadapi agama selalu
melihat di dalamnya suatu sikap yang mirip dengan NEUROSIS.
1. Pemeluk agama berkelakuan mirip dengan tingkah laku pasien neurosis.
Inilah Freud menghadapi agama selalu melihat di dalamnya suatu sikap
yang mirip dengan NEUROSIS.
2. Hal di atas tersebut terjadi atas dorongan yang paling dasar, dalam
psikologi ditandakan dari ketertekanan dorongan seksual dan dalam
agama ditunjukan dari ketertekanan “ke-aku-an”, kontrol ego.
3. Agama adalah repetisi (pengulangan) pengalaman masa kanak-kanak.
Freud berusaha untuk membuktikan bahwa agama adalah suatu illusi.
Agama adalah bersumber dari ketidakmampuan manusia melawan
kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam dirinya sendiri.
4. Hubungan seksual kanak-kanak dengan agama yang disebut oleh Freud
dengan Oedipus Kompleks, istilah ini muncul dari kisah laki-laki karya
Sophocles, kisah mengenai seorang raja yang tanpa sadar membunuh
ayahnya karena memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahi ibunya.
5. Pandangan tentang Totem dan Taboo: Freud membanding-bandingkan
antara tingkah laku orang-orang primitif, maka ditemukanlah hubungan
antara kelompok primitif dengan upacara agama. Totem sebagai simbol
sosial , mula-mula terdapat dalam kehidupan primitif. Larangan keras
(toboo). Totem adalah sesuatu yang sakral, yang berbentuk binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Taboo adalah hal yang terlarang. Bagi Freud Taboo
ternyata tidak mengasih jalan keluar serta tujuan yang jelas, karena pada
dasarnya yang dilarang seperti sex, berburu binatang. Totem adalah hal
yang diiginkan oleh manusia, dan manusia merasa menderita untuk
mematuhi larangan tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar menurut
Freud adalah mengapa masih ada orang yang mematuhinya?
The Future of an Illusion

Dalam bukunya, Totem and Taboo menceritakan kepada kita bagaimana


manusia berusaha menundukan hasrat-hasrat mereka kepada hukum-
hukum yang berlaku. Yang diinginkan manusia adalah semua berakhir
dengan baik, sebagaimana yang dialami selama masa kanak-kanak, dan
masa kanak-kanak bisa dialami lagi karena adanya bisikan agama.
Dengan mengikuti masa anak-kanak, agama memproyeksi dunia eksteral
tentang Tuhan, dan Tuhan dengan kekuatannya bisa menghilangkan
kekuatan alam. Dengan syarat mematuhi perintahnya dan menjauhi
larangannya. Hanya jika dewasa dan berakhir menjadi anak-anak dari
rasa ketergantungan dan takut akan otoritas, mampu untuk memahami
dan memberanikan diri dalam berfikir tentang diri kita sendiri.
Illusi adalah keyakinan yang belum tentu benar. Maka dengan
demikian, agama bukanlah wahyu Tuhan dan bukan berdasarkan
konklusi dari pembuktian ilmiah. Sebaliknya, agama merupakan
pikiran-pikiran dengan ciri utama yang khas “Kita menginginkan
ajaran-ajaran agama itu bisa menjadi kenyataan.” Agama yang
berasal dari awal sejarah manusia adalah pertanda dari sebuah
penyakit, dan keinginan untuk meninggalkan agama adalah
indikasi kesehatan peradaban manusia.
Pada hemat Freud, agama memang bersifat fungsional belaka. Agama itu
jawaban manusia atas frustasi yang dialaminya di berbagai kehidupan.
Manusia bertindak religius karena ia mengalami frustasi itu. Bentuk frustasi
itu macam-macam antara lain :
a) Frustasi karena alam. Bila timbul kesukaran jasmani yang membahayakan
hidupnya, manusia mengalami frustasi.
b) Frustasi sosial. Adanya konflik antara individu dan masyarakat
mengakibatkan manusia tidak merasa bahagia.
c) Frustasi moral, karena rasa bersalah. Menurut Freud banyak praktek
religius berfungsi sebagai obat untuk menyembuhkan orang dari rasa
bersalah.
d) Frustasi karena maut. Manusia harus mati. Agama diabdikan olehnya
kepada tujuan ini; mengatasi frustasi yang disebabkan oleh maut.
Teori psikoanalisa tentang agama dalam unsur-unsurnya itu adalah sebagai
berikut:
1. Sesungguhnya Kepercayaan agama itu seperti keyakinan tentang agama,
keadilan, surga, dan neraka tak lain adalah dari hasil pemikiran kekanak-
kanakan yang berdasarkan kelezatan, yang mempercayai adanya kekuatan
mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2. Sikap seseorang terhadap AllAh adalah pengalihan dari sikapnya terhadap
bapaknya, yaitu sikap idiot yang bercampur antara takut dan butuh akan
kesayangannya.
3. Doa-doa dan lainya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang tidak
disadari obsession untuk mengurangi rasa dosa ,yaitu perasaan yang
ditekan akibat pengalaman-pengalaman yang kembali kepada rasa
pertumbuhannya.
1858 LAHIR DI EPINAL,PERANCIS
DAVID ÉMILE DURKHEIM

MASUK KE ECOLE NORMALE SPERIEURE


1879 belajar di bawah Fustel de Coulanges,sering membaca karya
ciptaan Auguste Comte dan Herbert Spencer

MEMBUKA PUSAT PEMBELAJARAN GURU


1879 PERTAMA DI PERANCIS
Setelah mempelajari ilmu sosiologi setahun di Jerman

1890 MENERBITKAN BERBAGAI TULISAN

MEMPEROLEH KEDUDUKAN TERHORMAT DI


1902 PARIS
Ketika menjabat sebagai profesor di Sorbonne

MENGALAMI KELUMPUHAN
1917 Terpukul akibat anak laki-lakinya tewas dan juga terlalu lelah bekerja

MENINGGAL
1917

FENOMENOLOGI AGAMA
KELOMPOK 3

KONSEP - KONSEP

1. THE ELEMENTARY FORM OF THE RELIGIOUS LIFE


(1912)
Dimana ia menolak ide tentang agama sebagai
bentuk kepercayaan terhadap sosok misterius,
namun lebih kepada kesatuan sistem kepercayaan
yang berkaitan dengan hal hal sakral yaitu hal yang
terpisah dan terlarang.

2. KONSEP SAKRAL DAN PROFAN


Sakral : Dominan,paling berkuasa bagi manusia biasa
Profan: Kurang menarik,merupakan praktik
kehidupan sehari-hari

3. TOTEMISME
Kepercayaan terhadap hewan dan tumbuhan adalah
bentuk agama paling primitif bagi manusia

FENOMENOLOGI AGAMA
Durkheim menganjurkan prinsip ilmiah sosiologi
dalam mengkaji masyarakat. Menurutnya prinsip
tersebut terdiri dari dua hal:

1. Sifat alami masyarakat. Sifat ini meliputi adanya kontrak sosial yaitu
masyarakat tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang
untuk saling bekerjasama. Dalam kehidupan masyarakat primitif,
kontrak sosial selalu terikat dengan sumpah sakral keagamaan.
2. Studi ilmiah tentang masyarakat. Masyarakat harus dianggap sebagai
budaya yang di dalamnya terdiri atas fakta-fakta sosial (meliputi:
bahasa, hokum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik dan budaya fisik)
yang kesemuanya itu bersifat riil. Metode yang dapat digunakan
adalah pengumpulan bukti, diikuti perbandingan, kategorisasi dan
kesimpulan generalisasi.
Pandangan Durkheim tentang Agama

a) Agama sebagai “suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-


kepercayaan praktek- praktek yang berhubungan dengan benda-benda
suci atau benda-benda khusus (terlarang) kepercayaan-kepercayaan dan
praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat,
semua berhubungan dengan itu.
b) Agama hanyalah entitas yang diperlukan dalam rangka menjaga
keutuhan masyarakat, karena itu bagi Durkheim agama bisa saja
digantikan eleh entitas lain sesuai keinginan masyarakat, bagi
Durkheim hal penting dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya
keharmonisan dan keutuhan masyarakat, dan dalam rangka itu maka
diperlukan entitas-entitas untuk menupangnya yang salah satunya
adalah agama.
Pandangan Durkheim tentang Sakran dan Profan

a. Sakral berasal dari ritual-ritual keagamaan yang merubah nilai-nilai


moral menjadi simbol-simbol religious dimana dimanifestasikan menjadi
sesuatu yang riel. Masyarakat menciptakan agama dengan
mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sekral dan
sementara yang lain dianggap profan (kejadian yang umum atau biasa),
sacral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa
sehari-hari yang membentuk esensi agama.
b. Profan adalah peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat
dikehidupan sehari-harinya yang tidak memiliki nilai-nilai suci yang
disakralkan. Yang profan ini dapat menjadi sakral jikalau masyarakat
mengagungkan dan menyucikannya.
Menurutnya karakter agama yang sesungguhnya adalah konsep
tentang “Yang Sakral”, dan bukan supernatural. Yang Sakral ini
adalah sesuatu yang superior, berkuasa, dihormati, dan tidak
tersentuh. Ia memberikan definisi agama, menurutnya Agama
adalah sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang selalu
dikaitkan dengan Yang Sakral (sesuatu yang terpisah dan terlarang)
dan disatukan dalam satu komunitas yang disebut Gereja/ Jemaat/
Umat. Sesuatu Yang Sakral menjadi perhatian masyarakat,
sedangkan profane menjadi perhatian pribadi. Magis itu profane
sebab berkaitan dengan urusan pribadi.
TOTEEM

1. Totem adalah agama tertua, simple, dasar dan asli. Totemlah yang
menjadi dasar lahirnya kepercayaan keagamaan. Di balik totem-totem
ada kekuatan Impersonal (yang ia sebut sebagai prinsip-prinsip totem).
Kekuatan ini sama dengan mana, waken, Manitou, maupun orenda.
2. Totem adalah simbol keagamaan dan kekerabatan (masyarakat). Totem
adalah simbol klan dan Tuhan. Tuhan dan klan sama-sama sakral.
3. Jiwa merupakan pencangkokan dari totemisme kepada pribadi individu.
Jiwa bersifat abadi. Bila ada leluhur yang meninggal roh-rohnya masih
eksis sampai sekarang. Roh ini menjadi pengontrol dan pembimbing jiwa
pribadi individu yang masih hidup. Maka dari sistem kepercayaan totem
lahirlah penyembahan kepada dewa-dewa yang berasal dari roh leluhur.
Tiga Macam Bentuk Pemujaan Totem :

1) Pemujaan negatif, yaitu memisahkan Yang Sakral dan Yang Profan.


Contohnya adalah tabu, (modern: puasa), dll. Tujuannya adalah untuk
menjaga agar larangan tidak dilanggar.
2) Pemujaan positif, yang paling utama adalah ritual intichiuma, yang mirip
dengan Jamuan Suci Kristen, yaitu upacara kurban untuk mendapatkan
kekuatan ilahiyah dengan memakan daging totem masing-masing klan.
3) Ritual Piacular/Penebusan Dosa. Biasanya dilakukan pasca adanya
kematian ataupun bencana. Tujuannya adalah untuk memelihara Yang
Sakral dari kegelapan.

Keyakinan dan ritual-ritual agama adalah ekspresi simbolis dari kenyataan


sosial. Ritual keagamaan berfungsi untuk menempatkan kembali ide
tentang masyarakat ke dalam pikiran anggotanya.
KARL MARX

 Awalnya kuliah hukum, pindah ke filsafat (Universitas Jenna).


 Menikahi Jenny von Westpholen (6 anak); bersahabat dengan
Engels (industrialis); Hidup dengan menulis artikel; bantuan
biaya hidup dari Engels; Menulis Das Kapital yang menjadi
‘kitab suci’ kaum buruh sedunia…
 Marx melakukan analisis terhadap agama dengan
mengaitkannya pada aspek sosial dan ekonomi. Jalur analisis
yang dipilihnya tersebut melahirkan suatu penekanan pada
hubungan antara alienasi dan agama. Dalam tulisannya di awal
tahun 1840an, ia menjelaskan panjang lebar alienasi manusia
karena kekuasaan kapitalisme; kita teralienasi saat
perkembangan kapasitas manusia digagalkan karena opresi
dari pemilik modal dan permesinan.
 Bagi Marx, agama adalah candu. Kalimat lengkap ‘Religion
is the sigh of the oppressed creature, the heart of a
heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the
opium of the people” (Agama adalah keluh kesah dari
masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati,
dan jiwa dari keadaan tidak berjiwa. Agama adalah opium
masyarakat)
 Agama harus dijelaskan dalam konteks kondisi sosial dan
ekonomi, tidak melulu teologis dan terkotakkan pada
dikotomi pahala-dosa dan surga-neraka.
 Agama dipakai para penguasa (& pemodal) untuk menina-
bobok yang dikuasai (buruh/ proletar).

29
‘Man is the world of man – state, society. This state and this society
produce religion, which is an inverted consciousness of the world,
because they are an inverted world’. Agama dan tuhan merupakan
proyeksi dari manusia merupakan sebuah terobosan yang luar biasa
karena berhasil mendobrak kepercayaan umum masyarakat tentang
sosok ketuhanan. Agama merupakan sebuah produk dari realitas
material.
Tuhan bukanlah makhluk yang eksis sebelum kita dan menentukan
eksistensi manusia (pre-existing being) namun keberadaan manusialah
yang menentukan eksistensi Tuhan (Marx merefers pada Feuerbach).
Kekuatan agama bisa membentuk ilusi akan kebahagiaan di dalam
pikiran manusia dan menjadi semacam ‘opium’ bagi orang-orang
yang sakit sebab bisa meredakan penyakit dan kesengsaraan.
Ilusi kebahagiaan yang bisa melemahkan semangat perlawanan
kaum tertindas terhadap kelas di atasnya yang bersifat opresif dan
menjadikan masyarakat sebagai orang yang tidak berjiwa dan tidak
berperasaan  bdk dengan janji surga dalam agama
Tuhan dan agama terbentuk karena adanya suatu masyarakat kelas
dan mereka membantu individu bertahan hidup di bawah tekanan.
Agama terkadang digunakan sebagai alat penggerak dan
pendompleng kekuasaan oleh kaum kapitalis dan pada saat yang
sama dijadikan sebagai sebuah ilusi untuk membuat mereka yang
tertindas terus patuh dan tidak berdaya terinjak oleh kekuasaan.
MIRCEA ELIADE

Mircea Eliade adalah seorang penulis fiksi berbakat,


sarjana lintas budaya, dan pakar studi perbandingan
agama (ia lebih senang menyebutnya sebagai sejarah
agama-agama) yang lahir di di Bucharest pada 9 Maret
1907
Pertama, konsep agama menurut Eliade yang secara
ringkas terbaca dalam karyanya The Sacred and The
Profane (1957); Kedua, pemahaman Eliade atas
Simbolisme dan Mitos yang terpapar dalam karyanya
Patterns in Comparatives Religion (1949); dan Ketiga,
penjelasan Eliade atas waktu dan sejarah yang diulas
secara mendalam dalam karyanya The Mith of the
Eternal Return (1949).
Pemikiran tentang Agama

1. Agama dapat dipahami hanya jika kita mencoba untuk melihatnya dari
sudut pandang orang beriman. Sangatlah jelas dalam kasus orang-orang
purba bahwa bukan kehidupan profan—sosial, ekonomi, atau sebaliknya—
yang mengontrol yang sakral; namun yang sakrallah yang mengontrol dan
membentuk setiap aspek dari yang profan.
2. Agama harus selalu dijelaskan ’menurut istilah-istilahnya sendiri.” Baginya,
fenomena agama harus dipegang menurut tingkatannya sendiri, yakni jika
dipelajari sebagai sesuatu yang religius.
3. Agama merupakan sebab, bukanlah akibat, sehingga agama merupakan
penentu, dan variabel yang lain merupakan sesuatu yang bergantung
kepadanya.
4. Memahami agama tidak bisa hanya dari sejarah agama-agama, melainkan
juga harus menerapkan apa yang disebut Eliade sebagai “fenomenologi”.
Waktu dan tempat mungkin berbeda, tetapi konsep sering sama.
Dalam karya The Sacred and The Profane (1957), Eliade menganggap agama
dalam peradaban modern pada intinya adalah transformasi bentuk dari
prototipe keyakinan masyarakat kuno (archaic people). Menurutnya,
berbagai tingkat kebudayaan menunjukkan perihal keseriusan masyarakat
tradisional melaksanakan urusan dengan mengikuti pola yang ditetapkan
oleh para dewa. Otoritas dari yang sakral mengontrol semuanya. Misalnya,
sebuah desa harus dibangun dari di atas sebuah tempat dimana telah ada
suatu “hierofani” (hieros dan phainen = penampakan yang sakral). Dengan
demikian, desa yang dibangun sesuai cetak biru yang diberikan para dewa
adalah sebuah kosmos (keteraturan), di tengah-tengah dunia bahaya dan
kesemrawutan, ia adalah sebuah tempat tujuan yang penuh rasa aman.
Agama dimulai dari pemisahan yang fundamental berikut ini:

PROFAN SAKRAL
Wilayah urusan sehari-hari—hal-hal Wilayah supernatural, hal-hal yang
yang biasa, tak disengaja, dan pada luar biasa, mengesankan, dan
umumnya tidak penting. penting.
Sesuatu yang mudah menghilang, Sesuatu yang abadi, penuh
mudah pecah, penuh bayang-bayang dengan substansi dan realitas.
Arena urusan manusia yang dapat Wilayah keteraturan dan
berubah-ubah dan sering kacau kesempurnaan, rumah para
leluhur, pahlawan, dan dewa.
Konsep yang sakral dari Eliade sangat dipengaruhi oleh konsep yang
sakral dari Rudolf Otto (sejarawan dan teolog Jerman) yang
menyebutnya sebagai sesuatu yang sangat besar, substansial, agung,
dan betul-betul riil (menyilaukan, mempesona, sekaligus
menggetarkan).
 Eliade lebih jauh menegaskan bahwa dalam perjumpaan dengan
yang sakral orang-orang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang
bersifat di luar duniawi (a beautiful space of otherworldly
perfection); mereka merasa bahwa telah bersentuhan dengan
sebuah realitas yang tidak seperti realitas lain yang pernah mereka
kenal, sebuah dimensi eksistensi yang dahsyat-menggetarkan, sangat
berbeda, betul-betul riil dan langgeng.
Eliade memilah dan mencirikannya dalam dua kategori berikut: pertama,
sebagian besar simbolisme dan mitologi bersifat struktural atau seperti
sistem; dan kedua, masalah pengolahan simbol – meninggikan suatu
simbol di atas simbol yang lain.
Dalam pengalaman keagamaan, berkat simbol dan mitos tersebut, hal-hal
yang berlawanan seperti yang sakral dan yang profan dapat bertemu. Di
dalam hasrat pencarian yang intuitif, imajinasi keagamaan melihat hal-hal
yang biasa dan profan sebagai lebih dari keadaannya dan mengubahnya
menjadi yang sakral. Yang natural menjadi supernatural.
Diistilahkan Eliade sebagai “NOSTALGIA ATAS SURGA” sebagai sebentuk
kerinduan yang terdalam, keinginan yang paling mendesak dan sepenuh
hati di dalam jiwa semua orang purba. Semua tema yang konstan dari
ritual dan mitos purba adalah keinginan “untuk hidup di dunia seperti
saat dunia itu datang dari tangan pencipta, bersih, murni, dan kuat.
Kritik Terhadap Mircea Eliade

1. Teori Eliade ini kurang memiliki aksentuasi aspek sosial yang


memadai, karenanya teorinya boleh jadi kurang begitu relevan untuk
kajian sosiologi agama.
2. Teori Eliade sangat ambisius dan luas, tidak jarang terpapar
kekacauan konseptual dalam tulisan-tulisannya.
3. Lantaran sifatnya yang luas/global itu pulalah yang menyebabkan
teorinya terasa dangkal, tidak ilmiah sekaligus membingungkan.
4. Pendekatan yang digunakan Eliade sangatlah Frazerian. Dalam
konteks jaman, cara berfikir purba dari Eliade itu adalah sebuah
kemunduran yang serius.
5. Terkesan kuat, teori Eliade lebih bersandar pada kapasitasnya sebagai
teolog kristen ketimbang sebagai sejarawan ataupun fenomenolog.
TEORI EVOLUSI SOSIAL: EVANS-PRITCHARD

Antropolog Edward Evan Evans-Pritchard (1902-1973) melakukan studi


etnografi yang luas antara Azande dan orang Nuer yang dianggap
"primitif" oleh masyarakat dan sarjana sebelumnya. Evans Pritchard-
melihat orang-orang ini sebagai bagian yang berbeda, tapi tidak primitif.
Dia berargumen bahwa agama Azande (sihir dan nubuat) tidak dapat
dipahami tanpa konteks sosial dan fungsi sosialnya. Sihir dan nubuat
memainkan peran besar dalam memecahkan perselisihan antara Azande.
Iman Azande dalam ilmu sihir dan nubuat cukup logis dan konsisten
setelah beberapa prinsip-prinsip dasar yang diterima. Hilangnya iman
dalam prinsip-prinsip dasar tidak dapat bertahan karena pentingnya sosial
dan karenanya mereka memiliki sistem penjelasan rumit (atau alasan)
terhadap penyanggahan bukti.
Pemikiran tentang Agama

a) Agama adalah salah satu faktor pendukung perubahan sosial dalam


masyarakat
b) Kehidupan sosial manusia –termasuk kehidupan beragama- tidak bisa
dipahami sebatas apa yang terpikir & diciptakan seorang individu saja,
kendati dlm bentuk kelompok & dengan jumlah yang banyak
c) Sebagaimana Durkheim, Pritchard percaya bahwa pola pikir seseorang
dibentuk oleh masyarakat.
d) Pikiran magis adalah kepercayaan bahwa beberapa aspek kehidupan
bisa dikontrol oleh daya mistik/ kekuatan supranatural
CLIFFORD GEERTZ

 Clifford Geertz dilahirkan di San Fransisco, California pada


tahun 1929. Seorang Antropolog.
 Karya: The Religion of Java, Tahun 1963 Agricultural
Revolution dan Peddlers and Princes, Tahun 1965 The Social
History of an Indonesian Town, Tahun 1968 Islam Observed,
Tahun 1980 Meaning and Order in Morocean, Tahun 1973
The Interpretation of Cultures, Tahun 1983 Local Knowledge.
 Dasar antropologi adalah etnografi yang memusatkan pada
satu masyarakat. Untuk masuk dalam kehidupan suatu
masyarakat harus melalui struktur-struktur sosial di
dalamnya, seperti keluarga, pola kekeluargaan dan klan.
 Geertz secara terang-terangan meyakini ide tentang
kebudayaan sebagai sistem simbol-simbol yang objektif.
Agama dan Budaya

1. Geertz melihat agama sebagai fakta kultural sebagaimana adanya dalam


kebudayaan Jawa, bukan hanya sekedar ekspresi kebutuhan sosial atau
ekonomis (walaupun kedua hal ini juga sering diungkap oleh Geertz).
2. Kebudayaan digambarkannya sebagai “sebuah pola makna-makna atau
ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat
menjalani pengetahuan mereka melalui simbol-simbol itu”.
3. Geertz memandang agama sebagai satu sistem kebudayaan merupakan
yakni agama merupakan satu sistem simbol yang bertujuan untuk
menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan
tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk
konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan melekatkan
konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya
perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.
 Pertama, yang dimaksud Geertz dengan “sebuah sistem simbol”
adalah segala sesuatu yang memberi seseorang ide-ide.
 Kedua, saat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut
“menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah
menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang”.
 Geertz ingin menyatakan bahwa agama mencoba memberikan
“penjelasan hidup-mati” tentang dunia.
 Geertz menjelaskan bahwa studi apa pun tentang agama akan
berhasil bila telah menjalani dua langkah yaitu seseorang harus
mulai dengan menganalisa seperangkat makna yang terdapat
dalam simbol-simbol keagamaan itu sendiri dan hal ini adalah
tugas yang paling sulit.

Anda mungkin juga menyukai