a) Ilmu Pengetahuan dan Antropologi Bahwa dalam menjelaskan fenomena keberagamaan harus
terlepas dari peristiwa-peristiwa alam gaib. Sebaliknya dalam mengkaji fenomena tersebut
sebaiknya berdasarkan penjelasan yang bersifat kealaman dan didukung oleh fakta empiris
sebanyak mungkin, kemudian diteruskan dengan pengkomparasian dan pengklarifikasian,
sehingga didapatkan suatu teori umum yang mencakup segala aspek. Salah satunya dengan
bantuan ilmu etnologi dan antropologi.
b) Proses Evolusi dan Masalah Asal Usul Keduanya komitmen untuk menjelaskan agama dari segi
asal-usulnya di masa prasejarah. Mereka yakin dapat mengkaji asal usul agama dengan
menemukan proses kemunculan agama pertama kali. Agama merupakan buah dari evolusi
intelektual manusia sejak jaman primitif.
c) Intelektualisme dan Individualisme Para teoritikus sekarang sering mangatakan bahwa Tylor
dan Frazer adalah pendukung utama pendekatan “individualisme” terhadap agama. Sebab
pandangan keduanya tentang asal usul agama yang berasal dari pemikiran seorang filosof liar
jaman primitif. Agama tidak dipandang sebagai sebuah kebutuhan, struktur dan aktivitas sebuah
kelompok.
Kritik terhadap Tylor dan Frazer
1) Metode Antropologi
Meskipun Tylor dan Frazer adalah pelopor penggunaan data antropologi,
tapi mereka tidak berhati-hati dalam menggunakan metode yang memang
belum pernah diterapkan sebelumnya. Para antropolog professional, dalam
hal-hal tertentu, kelihatan “ngeri” dengan cara dua antropolog Victorian ini
dalam menyamakan kebudayaan-kebudayaan yang mereka anggap sama,
padahal kebudayaan-kebudayaan tersebut berasal dari waktu dan tempat
yang berbeda. Ini kian diperparah dengan kealpaan mereka terhadap
masing-masing konteks sosial yang melatarbelakangi kebudayaan-
kebudayaan tersebut. Seperti menyamakan begitu saja festival api
masyarakat Celtic dengan festival yang sama di Skandinavia.
2) Evolusionisme
Tentang teori evolusi agama kedua ilmuwan ini dinilai kurang
menunjukkan bukti-bukti yang kronologis untuk mendukung pendapat
mereka, sebagian besar bukti tersebut bersifat “nirwaktu”.
Kepercayaan terhadap agama itu hanya didasarkan kapada kesenangan dan kelezatan semata ,
dan pada dasarnya merupakan tuntutan pikiran kekanak-kanakan. Sebagai pengalihan dari anak
terhadap bapak merupakan ketakutan dan butuh akan kasih sayang. sebagai anak yang dalam
pikiranya sangat terbatas, sehingga merasakan sekali rasa takut dan akhirnya butuh
perlindungan, sedangkan doa-doa dalam agama itu hanya sebagai cara untuk menghilangkan
rasa cemas yang selalu menghantui dirinya.Dengan jalan berdoa itulah seakan-akan rasa dosa itu
akan berkurang dan akhirnya dapat menemui suatu kesenangan dan kelezatan. Pemeluk agama
berkelakuan mirip dengan tingkah laku pasien neurosis. Inilah Freud menghadapi agama selalu
melihat di dalamnya suatu sikap yang mirip dengan NEUROSIS.
1. Pemeluk agama berkelakuan mirip dengan tingkah laku pasien neurosis.
Inilah Freud menghadapi agama selalu melihat di dalamnya suatu sikap
yang mirip dengan NEUROSIS.
2. Hal di atas tersebut terjadi atas dorongan yang paling dasar, dalam
psikologi ditandakan dari ketertekanan dorongan seksual dan dalam
agama ditunjukan dari ketertekanan “ke-aku-an”, kontrol ego.
3. Agama adalah repetisi (pengulangan) pengalaman masa kanak-kanak.
Freud berusaha untuk membuktikan bahwa agama adalah suatu illusi.
Agama adalah bersumber dari ketidakmampuan manusia melawan
kekuatan alam luar dan tekanan instinktif dari dalam dirinya sendiri.
4. Hubungan seksual kanak-kanak dengan agama yang disebut oleh Freud
dengan Oedipus Kompleks, istilah ini muncul dari kisah laki-laki karya
Sophocles, kisah mengenai seorang raja yang tanpa sadar membunuh
ayahnya karena memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahi ibunya.
5. Pandangan tentang Totem dan Taboo: Freud membanding-bandingkan
antara tingkah laku orang-orang primitif, maka ditemukanlah hubungan
antara kelompok primitif dengan upacara agama. Totem sebagai simbol
sosial , mula-mula terdapat dalam kehidupan primitif. Larangan keras
(toboo). Totem adalah sesuatu yang sakral, yang berbentuk binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Taboo adalah hal yang terlarang. Bagi Freud Taboo
ternyata tidak mengasih jalan keluar serta tujuan yang jelas, karena pada
dasarnya yang dilarang seperti sex, berburu binatang. Totem adalah hal
yang diiginkan oleh manusia, dan manusia merasa menderita untuk
mematuhi larangan tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar menurut
Freud adalah mengapa masih ada orang yang mematuhinya?
The Future of an Illusion
MENGALAMI KELUMPUHAN
1917 Terpukul akibat anak laki-lakinya tewas dan juga terlalu lelah bekerja
MENINGGAL
1917
FENOMENOLOGI AGAMA
KELOMPOK 3
KONSEP - KONSEP
3. TOTEMISME
Kepercayaan terhadap hewan dan tumbuhan adalah
bentuk agama paling primitif bagi manusia
FENOMENOLOGI AGAMA
Durkheim menganjurkan prinsip ilmiah sosiologi
dalam mengkaji masyarakat. Menurutnya prinsip
tersebut terdiri dari dua hal:
1. Sifat alami masyarakat. Sifat ini meliputi adanya kontrak sosial yaitu
masyarakat tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang
untuk saling bekerjasama. Dalam kehidupan masyarakat primitif,
kontrak sosial selalu terikat dengan sumpah sakral keagamaan.
2. Studi ilmiah tentang masyarakat. Masyarakat harus dianggap sebagai
budaya yang di dalamnya terdiri atas fakta-fakta sosial (meliputi:
bahasa, hokum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik dan budaya fisik)
yang kesemuanya itu bersifat riil. Metode yang dapat digunakan
adalah pengumpulan bukti, diikuti perbandingan, kategorisasi dan
kesimpulan generalisasi.
Pandangan Durkheim tentang Agama
1. Totem adalah agama tertua, simple, dasar dan asli. Totemlah yang
menjadi dasar lahirnya kepercayaan keagamaan. Di balik totem-totem
ada kekuatan Impersonal (yang ia sebut sebagai prinsip-prinsip totem).
Kekuatan ini sama dengan mana, waken, Manitou, maupun orenda.
2. Totem adalah simbol keagamaan dan kekerabatan (masyarakat). Totem
adalah simbol klan dan Tuhan. Tuhan dan klan sama-sama sakral.
3. Jiwa merupakan pencangkokan dari totemisme kepada pribadi individu.
Jiwa bersifat abadi. Bila ada leluhur yang meninggal roh-rohnya masih
eksis sampai sekarang. Roh ini menjadi pengontrol dan pembimbing jiwa
pribadi individu yang masih hidup. Maka dari sistem kepercayaan totem
lahirlah penyembahan kepada dewa-dewa yang berasal dari roh leluhur.
Tiga Macam Bentuk Pemujaan Totem :
29
‘Man is the world of man – state, society. This state and this society
produce religion, which is an inverted consciousness of the world,
because they are an inverted world’. Agama dan tuhan merupakan
proyeksi dari manusia merupakan sebuah terobosan yang luar biasa
karena berhasil mendobrak kepercayaan umum masyarakat tentang
sosok ketuhanan. Agama merupakan sebuah produk dari realitas
material.
Tuhan bukanlah makhluk yang eksis sebelum kita dan menentukan
eksistensi manusia (pre-existing being) namun keberadaan manusialah
yang menentukan eksistensi Tuhan (Marx merefers pada Feuerbach).
Kekuatan agama bisa membentuk ilusi akan kebahagiaan di dalam
pikiran manusia dan menjadi semacam ‘opium’ bagi orang-orang
yang sakit sebab bisa meredakan penyakit dan kesengsaraan.
Ilusi kebahagiaan yang bisa melemahkan semangat perlawanan
kaum tertindas terhadap kelas di atasnya yang bersifat opresif dan
menjadikan masyarakat sebagai orang yang tidak berjiwa dan tidak
berperasaan bdk dengan janji surga dalam agama
Tuhan dan agama terbentuk karena adanya suatu masyarakat kelas
dan mereka membantu individu bertahan hidup di bawah tekanan.
Agama terkadang digunakan sebagai alat penggerak dan
pendompleng kekuasaan oleh kaum kapitalis dan pada saat yang
sama dijadikan sebagai sebuah ilusi untuk membuat mereka yang
tertindas terus patuh dan tidak berdaya terinjak oleh kekuasaan.
MIRCEA ELIADE
1. Agama dapat dipahami hanya jika kita mencoba untuk melihatnya dari
sudut pandang orang beriman. Sangatlah jelas dalam kasus orang-orang
purba bahwa bukan kehidupan profan—sosial, ekonomi, atau sebaliknya—
yang mengontrol yang sakral; namun yang sakrallah yang mengontrol dan
membentuk setiap aspek dari yang profan.
2. Agama harus selalu dijelaskan ’menurut istilah-istilahnya sendiri.” Baginya,
fenomena agama harus dipegang menurut tingkatannya sendiri, yakni jika
dipelajari sebagai sesuatu yang religius.
3. Agama merupakan sebab, bukanlah akibat, sehingga agama merupakan
penentu, dan variabel yang lain merupakan sesuatu yang bergantung
kepadanya.
4. Memahami agama tidak bisa hanya dari sejarah agama-agama, melainkan
juga harus menerapkan apa yang disebut Eliade sebagai “fenomenologi”.
Waktu dan tempat mungkin berbeda, tetapi konsep sering sama.
Dalam karya The Sacred and The Profane (1957), Eliade menganggap agama
dalam peradaban modern pada intinya adalah transformasi bentuk dari
prototipe keyakinan masyarakat kuno (archaic people). Menurutnya,
berbagai tingkat kebudayaan menunjukkan perihal keseriusan masyarakat
tradisional melaksanakan urusan dengan mengikuti pola yang ditetapkan
oleh para dewa. Otoritas dari yang sakral mengontrol semuanya. Misalnya,
sebuah desa harus dibangun dari di atas sebuah tempat dimana telah ada
suatu “hierofani” (hieros dan phainen = penampakan yang sakral). Dengan
demikian, desa yang dibangun sesuai cetak biru yang diberikan para dewa
adalah sebuah kosmos (keteraturan), di tengah-tengah dunia bahaya dan
kesemrawutan, ia adalah sebuah tempat tujuan yang penuh rasa aman.
Agama dimulai dari pemisahan yang fundamental berikut ini:
PROFAN SAKRAL
Wilayah urusan sehari-hari—hal-hal Wilayah supernatural, hal-hal yang
yang biasa, tak disengaja, dan pada luar biasa, mengesankan, dan
umumnya tidak penting. penting.
Sesuatu yang mudah menghilang, Sesuatu yang abadi, penuh
mudah pecah, penuh bayang-bayang dengan substansi dan realitas.
Arena urusan manusia yang dapat Wilayah keteraturan dan
berubah-ubah dan sering kacau kesempurnaan, rumah para
leluhur, pahlawan, dan dewa.
Konsep yang sakral dari Eliade sangat dipengaruhi oleh konsep yang
sakral dari Rudolf Otto (sejarawan dan teolog Jerman) yang
menyebutnya sebagai sesuatu yang sangat besar, substansial, agung,
dan betul-betul riil (menyilaukan, mempesona, sekaligus
menggetarkan).
Eliade lebih jauh menegaskan bahwa dalam perjumpaan dengan
yang sakral orang-orang merasa bersentuhan dengan sesuatu yang
bersifat di luar duniawi (a beautiful space of otherworldly
perfection); mereka merasa bahwa telah bersentuhan dengan
sebuah realitas yang tidak seperti realitas lain yang pernah mereka
kenal, sebuah dimensi eksistensi yang dahsyat-menggetarkan, sangat
berbeda, betul-betul riil dan langgeng.
Eliade memilah dan mencirikannya dalam dua kategori berikut: pertama,
sebagian besar simbolisme dan mitologi bersifat struktural atau seperti
sistem; dan kedua, masalah pengolahan simbol – meninggikan suatu
simbol di atas simbol yang lain.
Dalam pengalaman keagamaan, berkat simbol dan mitos tersebut, hal-hal
yang berlawanan seperti yang sakral dan yang profan dapat bertemu. Di
dalam hasrat pencarian yang intuitif, imajinasi keagamaan melihat hal-hal
yang biasa dan profan sebagai lebih dari keadaannya dan mengubahnya
menjadi yang sakral. Yang natural menjadi supernatural.
Diistilahkan Eliade sebagai “NOSTALGIA ATAS SURGA” sebagai sebentuk
kerinduan yang terdalam, keinginan yang paling mendesak dan sepenuh
hati di dalam jiwa semua orang purba. Semua tema yang konstan dari
ritual dan mitos purba adalah keinginan “untuk hidup di dunia seperti
saat dunia itu datang dari tangan pencipta, bersih, murni, dan kuat.
Kritik Terhadap Mircea Eliade