Anda di halaman 1dari 14

Sebuah review dari buku Daniel L. Pals yang berjudul Seven Theories of Religion.

Sebenarnya saya sendiri belum selesai membaca buku ini. Baru 3 dari 7 tokoh yang
selesai saya baca, oleh karenanya disini saya ingin coba memberikan review dan
rangkuman singkat mengenai 3 tokoh yang sudah saya baca. Tokoh-tokoh itu diantaranya
E.G. Tylor & Sir James Frazer, Sigmund Freud, dan Karl Marx. Ketiga tokoh ini
menggunakan pendekatan ilmu tertentu untuk memahami agama. Tylor & Frazer
menggunakan pendekatan evolusionistik dan antropologi, Freud menggunakan
psikoanalisis, dan Marx menggunakan teori ekonomi Marxisme.

Apa yang membuat saya ingin mencoba merangkum mereka bertiga simply adalah karena
saya ingin me-review pemahaman saya atas ketiga teori itu, sekaligus mencoba men-
share teori-teori mengenai agama yang didasari oleh studi empiris. Kedepannya, artikel
ini mungkin akan dimodifikasi dan ditambahkan dengan teori-teori yang belum terjamah
seperti teori agama dari Mircea Eliade, Emile Durkheim, E. Evans-pritchard, dan Clifford
Geertz.

Saya harap tidak ada diskusi masalah SARA disini dikarenakan apa yang saya lakukan
disini tidaklah untuk memberikan penilaian moral, melainkan semata-mata untuk
membahas buku yang saya sebutkan diatas saja.

Sejauh ini, ketiga teori yang akan dibahas disini merupakan teori yang menganggap
agama sebagai sistem kepercayaan yang keliru dan tidak patut dipertahankan.

1. Animisme dan Magis (E.G. Tylor & J.G. Frazer)

Tylor & Frazer menganggap agama sebagai bentuk kepercayaan yang keliru dan
kedudukannya telah digantikan oleh ilmu pengetahuan sebagai dasar pemahaman
fenomena.

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Edward_Burnett_Tylor.jpg
Menurut Tylor, esensi dari agama adalah roh (anima), yaitu kepercayaan terhadap sesuatu
yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik segala sesuatu. Bagaimana hal ini
bermula? Dulu, para filosof-filosof liar (sebutan Tylor untuk dukun-dukun pada masa
lampau dan pemikir-pemikir pada masa lampau) menginterpretasi mimpi dan kematian
sebagai sesuatu yang diwarnai oleh roh yang memiliki kepribadian dan terpisah dari
tubuh. Mereka kemudian melakukan analogi dan ekstensi bahwa roh dapat
mengendalikan banyak hal diluar manusia, seperti alam. Lalu, muncullah pertanyaan.
Tidakkah sebenarnya ada roh-roh yang mengendalikan elemen tertentu? Lalu muncullah
dewa-dewi yang punya tugas-tugas tertentu. Lalu muncullah juga malaikat dan setan.
Lalu, tidakkah mungkin ada kekuasaan tertinggi? Lalu Zeus, Odin, Amon-Ra, Amaterasu,
dan Allah, Tuhan Bapa, dan Jehovah pun muncul.

Jiwa bersifat lebih kekal daripada tubuh. Ini menunjukkan mengapa pada kepercayaan
agama tertentu ada yang disebut reinkarnasi dan agama lainnya menekankan pada hari
pembalasan. Namun, peneliti-peneliti modern telah membuktikan bahwa anima atau roh
tidaklah ada dalam semua elemen-elemen alam. Jika yang menjadi pondasi dasar
pemikiran munculnya agama adalah kekuatan roh, maka sejak awal sudah terjadi
kekeliruan besar. Pemahaman manusia yang terbatas pada masa lampau telah
menyebabkan pemikiran mengenai agama muncul. Sebuah kesalahan yang tidak bisa
diubah akibat belum majunya pemikiran pada masa lampau.

http://en.wikipedia.org/wiki/File:JamesGeorgeFrazer.jpg

Sementara itu, Frazer lebih menekankan pada relasi agama dengan magis. Agama muncul
terlebih dahulu diawali oleh kepercayaan sistem magis. Sejak dahulu, manusia
memahami bahwa alam memiliki sifat-sifatnya yang representatif dengan sifat-sifat yang
dimiliki manusia. Itulah sebabnya kenapa kita bisa merepresentasikan laut sebagai elemen
yang tenang sekaligus penuh amarah, hutan yang misterius dan menyimpan banyak
rahasia, petir yang dapat menghukum, kesuburan tanaman sebagai lambang reproduksi,
dan masih banyak lagi.

Dari sini, manusia mengasumsikan bahwa mereka dapat melakukan imitasi dan
diasumsikan pula bahwa ada keterikatan antara imitasi yang dilakukan manusia dengan
fenomena alam. Dari sinilah magis bermula. Manusia merasa dengan imitasi yang mereka
lakukan, mereka dapat melakukan kontak dengan alam sehingga mengubah alam bagi
manusia bukanlah suatu hal yang mustahil. Dengan magis, mereka merapal mantera-
mantera dan melakukan penumbalan-penumbalan demi satu hal, yakni mengubah alam.
Menurut mereka, jika magis dilakukan dengan tepat, maka akan benar dapat mengubah
alam. Tarian hujan, misalnya, jika dilakukan dengan tepat maka akan benar-benar
mendatangkan hujan.

Namun, seiring waktu, manusia merasa bahwa mereka tidak mampu mengontrol alam.
Yang dapat mereka lakukan adalah memohon pada roh-roh totem atau dewa-dewi agar
mendatangkan kebaikan pada manusia, dan memohon agar totem dan dewa tidak murka
pada manusia. Mereka hanya bisa berdoa. Lalu, disanalah peran Tuhan yang dapat
mendatangkan kebaikan pada manusia yang mengikuti perintahnya dan menjauhi
larangannya lalu memberikan hukuman dan murka pada manusia yang melakukan
sebaliknya.

Kritik teori mereka adalah masalah pengambilan data yang tidak memperhitungkan
konteks tempat dan waktu sehingga diragukan apakah memang bisa dilakukan
perbandingan lintas budaya seperti yang mereka lakukan.

2. Kepribadian dan Agama (Sigmund Freud)

“Tuhan ada, manusia tidak dewasa.” (Sigmund Freud, The Future of Illusion)

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Sigmund_Freud_LIFE.jpg

Freud, bapak psikoanalisis dan orang pertama yang secara teoretis melakukan revelasi
terhadap alam bawah sadar manusia merupakan teoretikus kepribadian yang sangat
kontroversial. Topik-topik seks dan agresi menjadi bahasan utama dalam psikoanalisis.

Freud dalam bukunya yaitu Totem & Taboo menganggap bahwa asal-muasal agama
dapat ditelusuri dengan menelusuri dinamika kepribadian psikoanalisis. Agama ada
meskipun orang-orang tetap melakukan dosa dan agama tetap ada meskipun manusia
merasa bahwa klaim-klaimnya banyak yang bersifat irasional. Dalam teori kepribadian
Freud, hal-hal yang bersifat irasional ditekan dalam bawah sadar dan akan dorongan itu
akan muncul dikemudian hari. Dengan kata lain, agama memberikan peraturan-peraturan,
namun secara irasional manusia tetap saja melakukan pelanggaran-pelanggaran itu,
namun pada akhirnya ditekan karena kecemasan. Seperti dijelaskan olehnya, kecemasan
apapun yang ditekan akan akan menetap di bawah sadar dan akan muncul di kemudian
hari meski tidak diketahui kapan.

Pada masa lampau, jauh sebelum agama terbentuk, manusia membunuh ayah mereka dan
menguasai ibu mereka. Namun, hal itu telah memunculkan kecemasan pada diri mereka.
Lalu mereka menekan perasan itu. Rasa bersalah yang ditekan pada masa lampau atas
pembunuhan terhadap ayah dan pemerkosaan terhadap ibu itu pada akhirnya membuat
anak menyembah sang ayah, dan diberlakukan tabu bahwa sang ibu tidak boleh
disetubuhi oleh anak. Anak harus mencari pasangan dari tempat lain selain keluarga.
Namun, pada dasarnya, meskipun mereka membenci sang ayah dan tabu untuk
menyetubuhi ibu, tetap saja konflik oedipal akan terus terjadi sehingga kebencian dan
keinginan itu tidaklah sempurna hilang meskipun sudah berusaha disembah dan dijadikan
tabu. Pada akhirnya, manusia akan terus melakukan pelanggaran-pelanggaran itu. Hal ini
secara langsung merupakan proses bagaimana agama berkembang. Ayah yang disembah
pada awalnya sebagai totem dikembangkan menjadi Tuhan Bapa dan Tuhan-Tuhan
maskulin lainnya. Toh manusia tetap saja melanggar apa yang diperintahkan.

Dalam bukunya yang berjudul The Future of Illusion, Freud melakukan pendekatan yang
berbeda dari Totem & Taboo. Dalam buku ini, agama dianggap sebagai sebuah ilusi.
Agama memberikan dogma bahwa Tuhan akan melindungi manusia dari marabahaya dan
ancaman-ancaman jahat. Manusia terpukau oleh ilusi ini sehingga mereka merasa bahwa
Tuhan melindungi mereka. Hal ini menyebabkan mereka tidak pernah dewasa. Mengapa?
Bagi Freud, hal tersebut sama dengan sosok ayah yang memberikan perlindungan pada
anak. Ia melindungi anak dari bahaya-bahaya luar. Namun, seiring waktu ia semakin
besar, figur ayah semakin hilang dan puncaknya ada di kematian ayah dan kedewasaan
anak.Anak, yang ingin ada figur ayah yang tetap melindunginya, memunculkan ilusi
bahwa Tuhan adalah sosok yang melindungi dari bahaya.

Kritik pada toeri Freud sebagian besar berasal dari pendapat bahwa psikoanalisis
bukanlah ilmu pengetahuan. Selain itu, bukankah ada agama-agama tertentu yang lebih
memfokuskan pada Tuhan Ibu dan bukan Tuhan Ayah?

3. Agama Sebagai Bentuk Alienasi (Karl Marx)

Apa yang menjadi keutamaan itu? Hegel akan menjawab ide, sementara Marx akan
menjawab materi. Marx telah menemukan fakta bahwa manusia tidak mencari agama
sejak ia lahir. Manusia mencari makanan, minuman, dan pakaian jauh sebelum ia mencari
agama.

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Karl_Marx_001.jpg

Dunia kapitalisme kita diliputi ketidaksetaraan antar kelas. Tuan tanah dan para budak,
pengusaha dan ribuan buruh, bangsawan dan pelayan-pelayannya, raja yang agung dan
rakyatnya yang hina, dan masih banyak lagi contohnya. Bagi Marx, pelan tapi pasti akan
timbul revolusi besar dan perang yang dimulai oleh kelas pekerja dan buruh untuk
menggulingkan kekuasaan tuan tanah. Hal ini perlu terjadi agar manusia dapat kembali
pada sistem masyarakat mereka yang ideal pada zaman lampau. Semua hal adalah milik
masyarakat, tidak ada yang namanya milik pribadi. Dengan ini, manusia menjadi setara.
Tidak perlu lagi ada yang namanya tuan tanah yang menguasai tanah dan kemewahan
sementara budak-budak berjejal-jejalan di kampung-kampung kumuh dan bekerja
sekaligus membayar pajak bagi tuan tanah.

Pada perjalanannya, dalam dunia yang kapitalistik itu, muncullah berbagai sistem-sistem
yang mendukungnya. Hukum ditegakkan untuk mendukung kepemilikan pribadi yang
menjadi esensi dasar kapitalisme. Begitu pula dengan sistem-sistem lainnya seperti ilmu
pengetahuan yang cenderung mengutamakan hak individu peneliti, seni dengan
karakteristik yang sama, sampai pada sistem lainnya, yang salah satunya adalah agama.
Semua sistem-sistem ini tak ubahnya merupakan sistem-sistem yang membuat manusia
teralienasi dari apa yang seharusnya mereka capai, apa yang seharusnya mereka perbuat.
Bagaimana agama sampai membuat manusia teralienasi?

Agama bagi Marx tak ubahnya merupakan candu yang disebabkan sistem kapitalisme dan
hal ini paling banyak mempengaruhi kaum buruh dan pekerja. Bukan Tuhan yang
menciptakan agama, tapi manusia yang menciptakan agama itu sendiri sebagai akibat dari
kekalahan mereka atas kelas yang lebih tinggi. Benar. Pada kenyataannya, klaim-klaim
agama sangatlah tergantung dengan kondisi ekonomi manusia. Tidak pernah klaim-klaim
agama terlepas dari itu. Sebagai contoh, klaim-klaim semacam ini:

Tenanglah wahai hambaku, penderitaan kalian akan digantikan dengan kekekalan di


Surga.

Janganlah iri hati, bekerja keraslah, dan Tuhan akan membalasmu kelak.

Harta tidaklah penting bagimu, karena harta yang akan membutakanmu.

Jangan kuatir, sebab orang yang menindasmu akan dimasukkan ke dalam api neraka.

Bagi Marx, semua doktrin-doktrin semacam diatas hanyalah candu yang membuat kaum
pekerja kehilangan niat mereka untuk melawan kaum tuan tanah. Mereka terbawa oleh
ilusi bahwa mereka akan hidup bahagia di kemudian hari dengan pertolongan Tuhan, oleh
karenanya saat itu juga mereka tidak boleh iri hati dan mengeluh atas kondisi mereka saat
itu. Padahal, agar mereka tidak lagi teralienasi, mereka sepatutnya tidak menciptakan ilusi
semacam itu. Seharusnya, mereka menentang kaum tuan tanah agar terjadi kesetaraan
sosial kelak. Oleh karenanya, agam menjadi aktor penghambat manusia dalam mencapai
esensi mereka sebenarnya.

Marx sendiri sebenarnya tidak pernah secara terang-terangan memusuhi agama. Baginya,
agama hanyalah merupakan suatu superstruktur yang muncul dikarenakan sistem
kapitalisme. Oleh karenanya, yang patut dihancurkan bukanlah agama, tetapi kapitalisme
yang menjadi akar dari munculnya superstruktur-superstruktur. Adapun kritik terhadap
Marx adalah pemikirannya yang luar biasa itu telah terbukti mengalami berbagai
kegagalan dari segi teknis. Kesetaraan sosial tidak terjadi karena pada masa transisi
menuju kesetaraan sosial, diktator-diktator menguasai negara juga dengan mengutamakan
kepentingan pribadi. Selain itu, sulit untuk memikirkan agama sebagai akibat dari sistem
ekonomi. Kenapa bukan sistem ekonomi yang menjadi akibat dari agama?

Dari pembahasan diatas, dapat kita lihat bahwa ketiga tokoh ini menganggap agama
sebagai hal yang negatif. Meski demikian, mereka bertiga juga mendapatkan kritik dari
teori agama selanjutnya yang mungkin akan dituliskan disini, yaitu Mircea Eliade. Bagi
Eliade, agama haruslah dipandang sebagai sesuatu yang independen. Tidak perlu dikait-
kaitkan dengan prinsip antropologi, psikologi, dan ekonomi. Eliade menganggap
teoretikus-teoretikus seperti Tylor, Frazer, Freud, dan Marx terlalu reduksionis dalam
memandang agama. Selain Eliade, masih ada tiga tokoh lainnya, dimana salah satunya
juga menggunakan pendekatan ilmu tertentu dalam memandang agama, yaitu Emile
Durkheim dengan pendekatan sosiologi. Semoga dalam waktu dekat ini bisa dibahas dan
dituliskan di blog ini.

Daftar Pustaka:

Pals, Daniel L. (2011). Seven theories of religion: Tujuh teori agama paling
komprehensif. Jogjakarta: IRCiSoD.

Akhirnya saya selesai membaca dua teori agama lainnya selain dari ketiga teori yang
pernah di-review disini. Kali ini, saya ingin me-review teori agama-agama aliran Perancis
dimana dikotomi Sakral dan Profan dianggap penting dalam tinjauan mengenai agama.
Dua teoretikus agama yang membahas dikotomi itu dalam keseluruhan teori mereka
adalah Emile Durkheim, seorang sosiolog yang identik dengan studi-studi
kemasyarakatan, dan Mircea Eliade, filsuf dan sejarawan agama yang menolak segala
bentuk reduksi keilmuan dalam studi agama.

Apa itu yang disebut dikotomi Sakral dan Profan? Durkheim menyebutkan bahwa the
Sacred merupakan pengalaman kemasyarakatan yang menjadi lambang kebersatuan
transenden yang dimanifestasikan dalam simbol-simbol masyarakat, sementara the
Profane merupakan pengalaman individual yang dianggap lebih rendah dari pengalaman
sakral. Lebih jauh lagi akan dibahas dalam teori masing-masing tokoh.

Meskipun keduanya sama-sama membahas dikotomi Sakral dan Profan dalam agama,
pendekatan yang dilakukan keduanya terhadap dikotomi itu cukup berbeda.

Emile Durkheim : Masyarakat yang Sakral

Bagi Durkheim, adalah sia-sia mencoba memahami individu hanya dengan memahami
insting biologis, psikologi individu atau kepentingan pribadi. Untuk memahami agama, ia
berpaling dari studi mengenai individu, dan menyatakan bahwa: “ide tentang masyarakat
adalah roh agama”.

http://www.appuntidiscienzesociali.it/Immagini/Durkheim.jpg
Jika Freud menggunakan dimensi dorongan bawah sadar kepribadian dan aspek dorongan
biologis dalam menjelaskan perilaku manusia, maka Durkheim menggunakan dimensi
interaksi sosial dan kemasyarakatan. Baginya, individu tidak akan pernah bisa lepas dari
masyarakat. Sejak lahir, ia telah melakukan kontak dengan masyarakat, yaitu orangtua
dan pengasuhnya. Dapat dipastikan bahwa seorang individu tidak akan pernah bisa
bertahan tanpa adanya masyarakat. Bahkan, tanpa masyarakat, maka tak ada satu hal pun
yang akan muncul dalam kehidupan manusia.

Durkheim menyatakan bahwa dasar dari kepercayaan terhadap agama bukanlah terletak
pada kepercayaan terhadap hal-hal yang supernatural seperti Tuhan, karena pada banyak
agama tidak ditemukan kepercayaan terhadap Tuhan. Ini berarti, asumsi Tylor & Frazer
yang menyatakan pemahaman akan fenomena alam yang didasari oleh kekuatan
supernatural adalah hakikat dari agama tidaklah tepat. Dasar dari agama bukanlah
kepercayaan terhadap kekuatan supernatural (pembedaan atas apa yang natural dan
supernatural), melainkan konsep The Sacred (Yang Sakral). Pada masyarakat beragama,
terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu Yang Sakral dan Yang Profan.

Yang sakral adalah: sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa, dihormati, dalam kondisi
profan ia tidak tersentuh dan terjamah. Sementara,

Yang profan adalah: kehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja.

Yang sakral berada dalam masyarakat, sementara yang profan ada dalam konteks
individu. Untuk menjelaskan konsep-konsep ini, Durkheim meneliti mengenai
masyarakat dengan agama totemisme; agama yang dianggap sebagai agama paling tua
yang pernah ada dalam sejarah manusia. Untuk membuktikan asal-usul agama, Durkheim
berpendapat bahwa tidak tepat mengatakan bahwa konsep agama adalah kekuatan
personal yang disebut Tuhan, melainkan sebuah konsep yang tidak personal (impersonal),
yang dihormati dan dipuja sekaligus mengatur masyarakat, tetapi tidak memiliki sosok.
Darimana lagi bisa didapatkan fakta-fakta mengenai asal-usul kepercayaan terhadap
kekuatan impersonal jika bukan dari agama paling tua yang pernah ada di muka bumi ini?
Melalui agama totemisme yang saat ini masih bertahan di daerah Australia, Durkheim
mampu menjelaskan apa fungsi agama.

Pada agama totemisme, simbol-simbol hewan dan tumbuhan dipuja sebagai sesuatu yang
dihormati. Simbol hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan tertentu merupakan lambang
dari klan-klan tertentu pada suku-suku. Hewan-hewan dan tubuhan-tumbuhan itu suci
dan tidak boleh dbunuh, tidak boleh dilukai atau bahkan didekati kecuali dalam perayaan-
perayaan tertentu. Kesucian totem adalah mutlak dalam masyarakat itu. Kesuciannya
dapat dirasakan oleh tiap-tiap individu, terutama dalam perayaan dan ritual-ritual
keagamaan. Pada ritual-ritual dan perayaan-perayaan itu, totem-totem menyusup dan
mengatur kesadaran diri manusia. Saat pemujaan berlangsung dimana tarian-tarian, lagu-
lagu, mantera-mantera dan perasaan tenteram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu,
maka detik itu juga individu kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan
massa Yang Sakral. Sebuah perasaan melayang-layang yang tidak biasa, yang tidak bisa
diungkapkan, tetapi nyata dan bersifat transendental.

Implikasi dari keyakinan terhadap totem itu selanjutnya mampu menjelaskan bagaimana
masyarakat membangun sistem-sistem kepercayaan tertentu melalui metode asosiasi
hubungan-hubungan antar konsep yang berpusat pada Yang Sakral. Termasuk
didalamnya adalah sistem kepercayaan terhadap roh atau jiwa (yang menjadi dasar dari
banyak agama). Roh yang ada dalam diri seseorang merupakan representasi
ketergantungan mereka terhadap masyarakat. Roh bertugas untuk memberitahukan
kepada individu untuk mematuhi kewajiban-kewajiban moral terhadap masyarakat. Roh
yang menjadi representasi masyarakat dalam diri individu merupakan Yang Sakral
sementara badan yang bertugas memenuhi kebutuhan individu saja adalah Yang Profan.
Selanjutnya hubungan asosiatif dikembangkan lebih lanjut mengenai konsep roh yang
bersifat abadi. Dari sinilah penyembahan terhadap Dewa-Dewi dan Tuhan berasal. Roh-
roh yang mampu mengatur alam pada akhirnya dituntut oleh masyarakat sebagai
representasi kepribadian tertentu, yang superior, yang disebut Dewa dan Tuhan.

Kepercayaan terhadap totem-totem yang pada akhirnya menjadi Dewa dan Tuhan itu
bukanlah hal yang paling penting dalam agama menurut Durkheim. Yang paling penting,
adalah perasaan Sakral yang dihasilkan dari ritual-ritual keagamaan. Pemujaan-pemujaan
yang ada dalam ritual-ritual atau perayaan-perayaan dalam setiap agama bertujuan bukan
untuk totem atau Dewa, melainkan untuk mejaga individu-individu agar tidak melupakan
arti penting klan dan memberikan perasan bahwa Yang Sakral adalah sesuatu yang
berbeda dan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Yang Profan.

Dari sini, terjawab sudah arti penting ritual-ritual keagamaan dari agama-agama yang
pada saat ini masih ada. Mereka dapat memberikan arti penting suatu masyarakat dalam
diri kita sekaligus memberikan kepada kita perasaan yang transenden, yang tidak
terjamah, yang tidak tercapai dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat individual. Ini
juga menjelaskan mengapa pemuka-pemuka agama dan kalangan-kalangan beragama
yang taat sangatlah dijunjung tinggi oleh masyarakat. Karena mereka sudah
mengorbankan diri mereka untuk kepentingan masyarakat. Ia menjadi contoh bagi
masyarakat untuk meninggalkan Yang Profan karena Yang Sakral berada di kepentingan
masyarakat. Ini juga menjelaskan mengapa masyarakat membenci pemuka-pemuka
agama yang nampaknya lebih mementingkan kebutuhan Profan dibandingkan Sakral.

Kritik terhadap Durkheim berasal dari kalangan antropolog yang menyatakan bahwa
interpretasi dan analisa bukti-bukti data yang dikumpulkan olehnya dipenuhi oleh fakta-
fakta yang tidak memuaskan. Selain itu, dalam beberapa masyarakat yang ada diluar
tinjauan Durkheim lebih mengkhususkan pada natural dan supernatural, bukan sakral dan
profan.

Mircea Eliade: Hakikat dari yang Sakral

Oleh karena sifatnya yang fungsional dan dependen terhadap psikologi, sosiologi, dan
ekonomi, maka teori-teori agama yang dikemukakan Freud, Durkheim, dan Marx akan
menghasilkan kesimpulan yang bersifat reduksionistik. Penjelasan menganai satu aspek
saja tidak akan mampu memahami agama secara keseluruhan. Untuk itu, Mircea Eliade
melakukan analisis terhadap agama diluar konteks fungsionalis yang menggunakan
pendekatan ilmu tertentu. Agama harus dianggap sebagai sebuah variabel yang
independen, dimana faktor-faktor lainnya menjadi bergantung pada agama dan bukan
sebaliknya.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/8/8c/Mircea.eliade.jpg

Dalam studinya mengenai agama, Eliade mengkhususkan pada studi dengan masyarakat
arkhais, yaitu masyarakat pra-sejarah dengan peradaban paling kuno. Mereka berburu,
bercocok tanam, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan alami lainnya. Dalam masyarakat
ini, akan selalu ditemui apa yang disebut sebagai pemisahan antara Yang Sakral dan
Yang Profan.

Yang sakral adalah: Sesuatu yang supernatural, luar biasa, amat penting, dan tidak mudah
dilupakan. Sementara,

yang profan adalah: Sesuatu yang biasa, bersifat keseharian, hal-hal yang dilakukan
sehari-hari secara teratur dan acak, dan sebenarnya tidak terlalu penting.

Yang sakral bersifat abadi, mengandung substansi, dan nyata. Di dalam yang sakral
mengandung kesempurnaan dan keteraturan, dimana di dalamnya bersemayam roh, nenek
moyang, tempat tinggal Dewa-Dewi dan Tuhan. Sementara yang profan bersifat mudah
hilang, terlupakan, dan tidak nyata. Di dalamnya, manusia selalu berbuat salah, manusia
selalu berubah, dan mengalami kekacauan. Dari sini terlihat sebenarnya perbedaan
konsep Yang Sakral antara Durkheim dan Eliade. Sementara Durkheim selalu
mengunakan pendekatan sosial kemasyarakatan yang non-supernatural dalam
menentukan apa yang sakral itu, Eliade berpendapat sebaliknya. Baginya, kekuatan
supernatural adalah inti dari yang sakral itu. Dengan demikian, pemikiran Eliade ini
bukanlah bersumber sepenuhnya dari pemikiran Durkheim meski menggunakan istilah-
istilah yang sama, melainkan bersumber dari seorang teolog yang pernah menjadi
pembimbingnya, yaitu Rudolf Otto.

Otto mengartikan perjumpaan dengan yang sakral (The Holy) sebagai mysterium (hal
yang misterius). Baik itu mysterium fascinosum (misterius yang mengagumkan) atau
mysterium tremendum (misterius yang menakutkan), keduanya merupakan perjumpaan
dengan yang sakral. Perjumpaan yang sakral ini memberikan perasaan yang nyata, agung,
tinggi, dan menakjubkan. Perasaan ini tidak sama dengan perasaan-perasaan lainnya yang
bersifat duniawi. Perasaan inilah yang menjadi titik kunci apa yang disebut dengan
agama. Eliade sepenuhnya sepakat dengan hal ini. Ia menyatakan bahwa perjumpaan
dengan yang sakral dapat dialami oleh semua orang. Perasaan ini begitu kuatnya sehingga
kekuatan dari yang sakral itu dianggap sebagai sebuah realitas, sesuatu yang nyata.
Kesakralan adalah keseluruhan realitas yang dahsyat dan abadi. Manusia ingin berada
dekat dengan kekuatan itu. Meskipun benar inilah apa yang dianggap Tuhan oleh agama-
agama seperti Yahudi, Nasrani, dan Islam, namun Eliade meminta untuk tidak
menginterpretasikan yang sakral sebagai Tuhan, karena konsepnya mengenai yang sakral
tidak hanya berpusat pada Tuhan. Segala konsep-konsep yang berada dalam ruang
lingkup perjumpaan dengan yang nir-duniawi dapat dikatakan sebagai Yang Sakral, dan
ini tidak berarti harus selalu dengan Tuhan yang bersifat personal.

Dengan kepercayaan terhadap kekuatan yang agung dan nir-duniawi yang nyata itu,
adalah mudah menjelaskan bagaimana kepercayaan yang begtu kuatnya pada akhirnya
membentuk sistem-sistem tertentu. Manusia menyerahkan hal-hal yang profan juga
kepada yang sakral. Dongeng-dongeng dan mitologi-mitologi mengenai masyarakat
arkhais akan selalu mengandung konsep penyerahan diri terhadap yang sakral. Yang
sakral mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia. Tidak jarang kita dengar kisah-
kisah mengenai doa-doa yang perlu dipanjatkan sebelum memulai suatu pekerjaan, atau
aturan-aturan yang diberlakukan dalam membangun rumah, misalnya. Semuanya tidak
terlepas dari yang sakral. Setiap konsep yang sakral memiliki titik pusatnya yang nyata.
Dalam hal ini, merupakan pusat dunia. Dalam Islam dikenal Ka’bah yang agung, yang
menjadi pusat ibadah dari semua umat muslim, sementara dalam agama Kristen dikenal
tangga Yakub, seorang penginjil yang melihat tangga menuju surga tepat dihadapannya,
lalu ia mebentuk batu yang menyerupai tangga itu. Dalam agama kuno seperti
kepercayaan bangsa Norse, terdapat pohon Yggdrasil yang disebut sebagai pohon
kehidupan. Begitu pula dalam kepercayaan-kepercayaan lainnya sehingga pusat dunia
(axis mundi) ini merupakan sesuatu yang universal dan ada di setiap agama, yang
memiliki fungsi sebagai lambang penciptaan dunia. Hal ini jugalah yang dilakukan oleh
simbol-simbol lainnya yang diciptakan manusia. Simbol-simbol itu ada karena
pemaknaan tertentu mengenai yang sakral.

Seluruh pemikiran masyarakat arkhais mengenai yang sakral adalah dorongan akan satu
hal: yaitu dorongan untuk melepaskan diri dari sejarah dan ingin kembali pada waktu
ketika seisi dunia diciptakan. Keinginan ini oleh Eliade dinamakan dengan nostalgia
surga firdaus. Jauh di lubuk hati masyarakat arkhais, mereka ingin meninggalkan
pekerjaan-pekerjaan mereka dan segala sesuatu yang sifatnya profan. Yang profan ini
merupakan sejarah mereka, sejarah hidup dan nenek moyang mereka diluar penciptaan
bumi dan seisinya. Mereka ingin kembali ke Surga. Dengan demikian, kehidupan itu
sama sekali tidak ada artinya bagi mereka. Mereka ingin meraih kekekalan, keindahan,
kesempurnaan, dan sejarah hanya membawa mereka pada yang sulit, yang tidak
sempurna, dan yang pahit. Dengan kata lain, kehidupan sebenarnya tidak akan bisa
dicapai melalui sejarah.

Berbeda dengan masyarakat arkhais, filsuf-filsuf modern dn masyarakat ilmiah


berkeinginan sebaliknya. Dengan perkembangan dan kemajuan pemikiran yang ada,
mereka merasa bahwa sejarah tidak perlu dihapuskan. Manusia tidak perlu kembali pada
yang sakral karena yang sakral itu sebenarnya tidak ada. Kita saat ini sudah bisa hidup
tanpa adanya yang sakral.

Eliade berpihak pada agama, bukan pada filsuf modern.

Banyak kritik-kritik terhadap Eliade ditujukan kepada perbandingan-perbandingan antar


agama yang ia lakukan tidaklah cukup global. Kritik pedas juga mengatakan bahwa teori
ini memiliki bias-nya sendiri karena Eliade dianggap berpihak pada agamanya sendiri,
yaitu Katolik Roma.

Dengan demikian, berakhirlah pembahasan atau review singkat mengenai agama-agama


yang mengkhuuskan pada dikotomi sakral dan profan ini. Jika ditinjau lagi, maka dapat
kita lihat bahwa Durkheim dan Eliade memiliki posisi yang sangat berbeda dalam
memandang agama. Keseluruhan review ini tentu saja tidaklah cukup untuk membahas
keseluruhan isi teori tokoh-tokoh diatas. Jika ingin lebih jauh memahaminya, maka bisa
membaca buku Pals yang akan saya sebutkan di daftar pustaka berikut ini.
Next, saya akan membahas mengenai dua tokoh paling modern yang membahas
mengenai teori agama, yaitu Evans-Pritchard dan Geertz.

Di artikel sebelumnya dengan judul “Tiga (dari Tujuh) Teori Agama” dan “Yang Sakral
dan Yang Profan: Tradisi Perancis dalam Teori Agama“, saya sempat sedikit
menyinggung teori Clifford Geertz. Ya, antropolog yang sangat terkenal ini juga memiliki
teori agamanya sendiri, dimana observasi antropologis yang dilakukannya, ia lakukan di
Indonesia. Selama kurang lebih 12 tahun ia mengobservasi agama masyarakat Bali, yaitu
Hindu Bali dan juga agama Islam Indonesia. Hasilnya adalah sebuah buku yang berjudul
Interpretation of Cultures.Buku ini menjadi buku antropologi klasik yang legendaris
karena hasil pemikirannya yang tertuang dalam buku itu menggunakan pendekatan yang
berbeda tetapi orisinil dalam studi antropologi mengenai agama.

https://www.ias.edu/sites/default/files/images/clifford_geertz.jpg?1243861270

Kebetulan, selain buku Pals yang saya gunakan sebagai referensi di dua artikel
sebelumnya, saya mendapatkan tugas dari mata kuliah Hermeneutika di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya beberapa hari lalu. Tugas ini benar-benar menyita perhatian saya
karena bagi saya yang kemampuan bahasanya terbatas ini, tulisan-tulisan Geertz
menggunakan bahasa yang luar biasa sophisticated. Perlu waktu cukup lama bagi saya
untuk memahami keseluruhan isi dari Chapter 4 yang berjudul Religion As a Cultural
System. Essay itulah yang akan saya coba rangkum kembali (sekaligus sudah pernah saya
gunakan untuk tugas kemarin) untuk saya post disini.

Disini saya juga menggunakan buku Pals sebagai referensi saya seperti dua artikel
sebelumnya. Namun, saya tidak membahas keseluruhan teori Geertz yang dicantumkan
dalam buku Pals. Buku-buku Geertz lainnya seperti Islam Observed dan essay lainnya
dalam buku Interpretation of Cultures tidak saya bahas disini, meskipun juga dibahas
dalam buku Pals.

Ok, gak usah panjang lebar lagi. Ini rangkumannya…

Pada awal essay ini, Geertz memfokuskan pada pendapatnya bahwa ada pendekatan yang
bisa dilakukan terhadap studi mengenai agama selain dari pendekatan-pendekatan yang
diproposikan oleh Freud dengan teori identitas seksual dan status kedewasaannya,
Durkheim dengan teori kesakralan masyarakatnya, dan lain-lain. Geertz mempromosikan
pendekatan dimensi kebudayaan dari analisis agama. Sebuah pendekatan baru dalam
studi-studi antropologi, khususnya mengenai agama.

Apa yang dimaksud atau apa arti dari pendekatan dimensi kebudayaan dalam agama itu?
Geertz mengartikannya dalam bentuk sebuah definisi agama yang cukup kompleks, yaitu:
1. Sistem symbol-simbol yang bertindak untuk…
2. …menciptakan perasaan dan motivasi pada manusia dengan…
3. …memformulasikan konsepsi mengenai aturan umum dari eksistensi dan…
4. …memakaikan konsepsi-konsepsi ini dengan nuansa faktualitas sehingga…
5. …perasaan dan motivasi itu secara unik nampak realistik.

Pertama-tama ia menekankan pada penggunaan kata simbol dalam bagian definisi nomor
1. Simbol bisa berarti banyak hal. Bisa berarti representasi dari asosiasi antar dua hal
terkait, bisa juga berarti sesuatu yang mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat
dijelaskan lewat verbal atau dijelaskan secara langsung. Geertz melihat simbol sebagai
dasar yang digunakan dalam apa yang disebut konsepsi. Konsepsi itu yang menjadi arti
dari simbol. Konsepsi itu merupakan ide, sikap, penilaian, formulasi dan abstraksi dari
pikiran dan pengalaman dituangkan dalam representasi konkrit (simbol).

Pola budaya (sistem-sistem simbol) memiliki sifat yaitu bahwa ia merupakan sumber
informasi yang eksternal. Ia berada di luar organisme dan dapat memberikan konsepsi
yang bisa didefinisikan secara internal. Manusia membutuhkan konsepsi-konsepsi yang
masuk internal ini melalui simbol eksternal. Tanpanya, manusia bagaikan berang-berang
yang tidak mampu membuat dam.

Kadang, bentuk pola budaya dianggap sebagai sebuah model. Model sendiri memiliki dua
arti yaitu “dari” dan “untuk”. Dalam arti “dari”, berarti memanipulasi struktur simbol
sesuai dengan konsepsi internal mengenai simbol. Misalnya pengembangan ide mengenai
ideologi politik tertentu dimanifestasikan dalam bentuk bendera. Sementara dalam arti
“untuk”, konsepsi internal dimanipulasi dalam hubungannya dengan simbol. Misalnya
bentuk bendera yang terletak di seragam prajurit membangun konsepsi kita bahwa
ideologi politik tertentu berkuasa atas militer.

Dalam bagian definisi nomor 2, dikatakan bahwa agama membentuk perasaan dan
motivasi yang kuat dan bertahan dalam manusia. Simbol-simbol agama mampu
mengekspresikan iklim dunia dan membentuknya. Simbol-simbol itu membentuknya
dengan menginternalisasi disposisi-disposisi kepada penyembah yang memberikan
karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya. Disposisi ini
sendiri sebenarnya merupakan pola dari aktivitas atau kejadian, bukan hanya sekedar satu
kejadian atau aktivitas tertentu. Disposisi-disposisi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu
perasaan dan motivasi.

Motivasi merupakan kecenderungan dimana terdapat kemampuan untuk melakukan


tindakan tertentu atau berperasaan (feeling) tertentu. Orang muslim termotivasi untuk
tidak memakan daging babi, sementara orang Hindu termotivasi untuk tidak memakan
daging sapi. Perasaan akan dirasakan oleh penyembah saat misalnya, ketika orang Hindu
memakan daging sapi, terdapat perasaan muak dan perasan tidak menyenangkan. Atau
misalnya ketika umat kristiani pergi ke Bethlehem dan umat Islam pergi ke Mekkah akan
timbul perasaan tenteram. Perasaan ini dapat kemudian berganti-ganti menjadi perasaan
lainnya. Motivasi memiliki arah, sementara perasaan tidak. Motivasi bertahan sementara
perasaan berlangsung begitu saja. Motivasi bermakna karena memberikan tujuan,
sementara perasaan bermakna karena kondisi yang menyebabkannya terjadi.

Pada bagian definisi nomor 3, ditekankan bahwa konsepsi mengenai tatanan eksistensi
yang diformulasikan ini diberikan oleh sistem simbol agama. Kekacauan akan terjadi
apabila manusia tidak mampu memformulasikan konsepsi mengenai struktur atau tatanan
eksistensi itu. Sehingga, simbol-simbol selalu memberikan orientasi atau petunjuk bagi
manusia atas segala fenomena yang terjadi pada diri mereka maupun pada alam.

Ada tiga dimensi dimana kekacauan tersebut bisa terjadi, diantaranya:


 Karena keterbatasan kapasitas analitis manusia
 Karena keterbatasan kapasitas menahan penderitaan manusia
 Karena keterbatasan kapasitas penilaian moral manusia

Manusia akan selalu mencari cari untuk memahami fenomena yang terjadi, dan mereka
tidak akan meninggalkannya tanpa jawaban. Mereka akan menemukan jawabannya itu
tidak peduli seberapa terbatasnya kapasitas analitis mereka. Tanpa jawaban itu, meskipun
jawaban itu sendiri tidak konsisten dan cenderung tidak akurat, maka kekacauan dalam
diri manusia terjadi. Agama memberikan perannya disini sebagai pemberi konsepsi
mengenai fenomena-fenomena yang tidak dapat dipahami oleh manusia seutuhnya.

Manusia juga memiliki keterbatasan kapasitas dalam menahan penderitaan. Masalah-


masalah kehidupan yang dihadapi dapat membuat manusia menderita. Manusia tidak
akan pernah mampu menghindari semua penderitaan yang dialaminya. Dengan
ketidakmampuan untuk menghindar dan terbatasnya kapasitas menahan penderitaan itu,
kekacauan dalam diri manusia bisa terjadi. Agama dalam hal ini memberikan tuntunan,
rasa aman, dan tempat berteduh dan berlindung dari penderitaan yang dialami manusia.

Selain kedua dimensi itu, manusia juga terbatas dalam kemampuannya untuk membuat
penilaian moral. Manusia tidak mengetahui secara sempurna apa yang baik dan apa yang
buruk, selain itu manusia terus bergerak kearah pemenuhan diri dan aktualisasi diri.
Manusia juga dihadapkan pada rasa tidak aman akan segala sesuatu, termasuk yang
menyangkut dirinya seperti kematian dan kemiskinan. Hal ini secara langsung membuat
manusia terpaksa menilai apa yang baik dan apa yang buruk bagi dirinya. Namun dengan
kemampuan yang terbatas itu kekacauan dalam diri bisa terjadi. Oleh karenanya, agama
memberikan patokan-patokan moral yang bisa diikuti manusia agar konsepsi manusia
akan apa yang baik dan buruk tidak mengarah pada kekacauan.

Bagian definisi nomor 4, dikatakan bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa
yang faktual. Hal ini dapat menunjukkan seberapa figure otoritas yang dipercaya dalam
agama mampu membuat manusia patuh karena mereka mengatribusikan konsepsi-
konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang meyakinkan. Disini,
agama berbeda dengan sistem-sistem simbolis lain. Agama meyakinkan bahwa terdapat
sesuatu yang benar-benar nyata dimana hal itu dianggap lebih penting dari apapun.

Melalui ritual keagamaan yang didalamnya selalu terdapat etos dan pandangan dunia,
Geertz menjelaskan dinamika yang terjadi dalam motivasi dan perasaan manusia. Ia
mengambil contoh mengenai kisah Rangda dan Barong di Bali. Ritual yang begitu
melibatkan banyak orang dan melibatkan perasaan yang mendalam. Hal ini menunjukkan
bahwa perasaan yang dihasilkan atas fakta-fakta yang ditampilkan dalam ritual itu begitu
diyakini oleh masyarakat Bali. Mereka termotivasi untuk terus melakukan ritual itu.
Kecenderungan tradisi (etos) terlihat disini sementara pandangan dunia terlihat dari
representasi dari figure-figur dalam ritual itu. Lebih dari itu, nilai-nilai dalam ritual itu
dituangkan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kejadian-kejadian religius berbeda dengan kejadian-kejadian sehari-hari. Telah dikatakan


sebelumnya bahwa motivasi dan perasaan dalam ritual agama akan konsisten dengan
pandangannya mengenai dunia. Makna tariab Barong dan Rangda itu adalah keabadian
pertentangan akan kebaikan dan kejahatan. Pandangan mengenai dunia ini terkombinasi
dengan etos membentuk motivasi yang pada akhirnya mengontrol kehidupan sehari-hari.
Ia kemudian memberikan karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas tertentu.

Sebagai penyimpulan, Geertz menyatakan kembali bahwa pentingnya agama adalah


untuk memberikan konsepsi mengenai dunia, diri, dan hubungan antar keduanya.
Baginya, agama juga harus dipelajari secara antropologis melalui dua babak: 1. Analisa
sistem pengartian yang ada dalam simbol dan 2. mengaitkannya dengan proses struktur
sosial dan psikologis. Geertz merasa bahwa studi-studi yang ada terlalu memfokuskan
pada tahap kedua, namun mengabaikan tahap pertama, padahal sistem simbol baru bisa
dipahami secara struktur sosial atau psikologis hanya dengan terlebih dahulu memahami
apa yang ada dibalik simbol itu (arti dari simbol).

Sumber:

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. New York: Basic
Books.

Pals, D.L. (2011). Seven theories of religion: Tujuh teori agama paling komprehensif.
Yogyakarta: IRCiSoD.

Anda mungkin juga menyukai