Anda di halaman 1dari 8

RESENSI BUKU SOSIOLOGI AGAMA DARI KLASIK HINGGA POSTMODERN

MATERI “HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA”

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Sosiologi Agama
KPI 4/B

Dosen Pengampu : Dr. H. M. Yakub, MA

Disusun oleh :

Muhammad Fakhri Aziz 11180510000262

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H /2020 M
1. Identitas Buku
 Judul Buku : Sosiologi Agama dari Klasik Hingga Postmodern
 Penulis Buku : Dr. Sindung Haryanto, M.Si.
 Penerbit Buku : AR-RUZZ MEDIA
 Cetakan : Pertama
 Tebal Buku : 320 halaman
 Tahun Terbit : 2015

2. Sinopsi Buku
Buku Sosiologi Agama ini membahas peristiwa dan permasalahan dalam agama
secara mendalam. Banyak teori yang berkembang dalam sosiologi agama terangkum
dalam buku ini. Studi yang dijadikan acuan berskala internasional yang dapat
dijadikan referensi bagi para peneliti agar dapat mengembangkan ilmunya di dalam
negeri. Dengan demikian, buku ini dapat dijadikan referensi untuk mengisi
kekurangan dan menjawab berbagai permasalahan yang terjadi selama ini dalam
agama, baik skala lokal, nasional, maupun internasional.

3. Resume
 Pengertian Agama
Agama merupakan aspek penting dalam kehidupan manusa. Agama merupakan
fenomena universal karena ditemukan di setiap masyarakat. Eksistensinya telah ada sejak
zaman prasejarah. Pada saat itu, orang sudah menyadari bahwa ada kekuatan-kekuatan lain di
luar dirinya yang alih-alih bisa dikontrolnya, kekuatan-kekuatan tersebut bahkan
memengaruhi kehdiupannya. Pada zaman tersebut orang-orang Yunani kuno, misalnya sudah
mulai memikirkan berbagai fenomena alam yang melingkupi dirinya dan mempertanyakan
mengenai factor-faktor penyebab terjadinya sesuatu. Para filsuf pada waktu itu sudah
mempertanyakan mengenai penyabab utama (cause prima) alam semesta. Hasil
perenenungan yang dilakukan secara spekulatif ialah mitos-mitos yang diyakini
kebenarannya oleh masyarakat.

Agama merupakan objek studi yang banyak mendapat perhatian dari para ahli ilmu
sosial khususnya sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, sejarah dan politik. Dalam
sosiologi, sejarah perkembangan teori sosiologi agama dapat dikatakan identic dengan
sejarah perkembangan sosiologi itu sendiri. Hal ini karena Comte sebagai bapak sosiologi
dan “trintas” soiologi (Durkhei, Marx dan Weber) banyak mencurahakn perhatiannya pada
1
fenomena agama. Durkheim terlebih mendedikasikan sebagaian karier akademiknya untuk
mempelajari karakteristik agama pada masyarakat primitive, dalam hal ini suku Aborigin di
Australia.

Dalam sosiologi secara garis besar terdapat perbedaan pandangan mengenai agama,
perbedaan pandangan tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga perspektif, yakni perspektif
fungsional, konflik dan interaksionisme simbolis. Perspektif fungsional menekankan pada
fugsi intergratif agama bagi keseluruhan masyarakat. Perspektif fungsionalis yang dipelajari
Durkehim, berkeyakinan bahwa agama berfungsi sebagai perakat sosial (social glue) yang
dapat meningkatkan kesatuan dan solidaritas sosial. Fungsi tersebut dicapai melalui
mekanisme introduksi doktrin-doktrin agama untuk meningkatkan emosional para
pengikutnya dan menyelenggarakan ritual yang ditujukan untuk memantapkan hubungan
sosial. Selain itu, agama berfungsi menetralisasi kekacauan dari perubahan sosial.

Agama merupakan fenomena yang unik dan kompleks karena tidak hanya
menyangkut agama yang bersifat monoteisme, tetapi juga agama politeisme bahkan
mencakup fenomena, seperti aliran kepercayaan, mistik, mitos dan tabu. Klain suatu agama
yang sering kali dikemukakan oleh para ahli pun sebagai suatu agama moneteis seperti
Kristen sebenarnya masih debatable. Defisini tentang agama merupakan persoalan serius
karena tidak sekedar menyangkut isi-isu seperti perubahan sosial, modernitas dan berbagai
variasi agama yang ada.

Agama secara umum dapat didefinisikan sebagai system kepercayaan dan praktik-
praktik keagamaan yang berdasarkan beberapa nilai-nilai sacral dan supernatural yang
mengarahkan perilaku manusia, memberikan makna hidup, dan menyatukan pengikutnya ke
dalam suatu komunitas moral. Setiap objek yang memiliki nilai sakral meskipun demikan
tidak selalu indentik dengan agama. Dalam Indonesia, menurut Ramsted (2005 : 2006),
komponen sacral dari adat tradisi misalnya lebih menunjuk pada aspek “netal” atau
“material” seperti dalam pembuatan keputusan tradisional, gotong-royong, dan bidaua
amterial tradisional. Komponen tersebut lebih cocok dilihat sebagai bagian dari kebudayaan
Indonesia baru. Istilah “budaya” menjadi suplemen dari “agama” yang meliputi semua
orientasi nilai selain “religious” dalam terminology Departemen Agama.

Teori-Teori Klasik

1) Auguste Comte

2
Auguste Comte berpendapat bahwa agama merupakan perekat sosial (social glue)
menjaga perpecahan sekte-sekte dari masyarakat secara keseluruhan. Ide ini sejajar
dengan kepercayaannya bahwa masyarakat berkembang sebagai sebuah organisme
tunggal. Comte kemudian mengalihakan perhatian sosiologi ke persoalan agama. Dia
melihat sistem positivisnya sebagai sumber cinta, yang memisahkan pengikut
intelektualnya yang mendedikasikan ide rasionalisme. Tujuan analisis Comte ialah untuk
menemukan tahapan perkembangan manusia yang mentransformasikan masyarakat
primitive ke masyarakat Eropa modern pada waktu itu. Dengan metode ilmiah, Comte
mengetengahkan hukum kemajuan manusia atau hukum tiga tahap berdasarkan realitas
bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner.

Karyanya yang berjudul Postive Philosophy merupakan usaha Comte untuk


memahami masyarakat secara ilmiah. Comte menyatakan bahwa filsafat positif meliputi
metode observasi, eksperimentasi, korelasi dan komparasi. Sosiologi komparatif
membandingkan masyarakat antara waktu dahulu dan sekarang yang ia sebut sebagai
metode historis dan antarmasyarakat (yang sekarang disebut sebagai sosio-biologi).
Dalam karyanya ini Comte menempatkan filsafat positif dan disiplin sosiologi sebagai
religiusitas sosio-politik. Sebuah agama baru lahir yang bernama positivisme, yang juga
dikenal sebagai humanitas agama universa.

Menurut Comte (dalam Johnson, 2008:28) era positivsme menggantikan agama.


Agama memainkan peran utama dalam meningkatkan solidaritas sosial terutama pada
tahap “teologikal”. Pada tahap perkembangan selanjutnya (positivis), individualisme
meningkat sehingga kode moral yang dihasilkan agama sebelummnya menjadi hilang.
Pada saat yang sama masyarakat menghadapi tantagan dalam mempromosikan altruisme
dan solidaritas sosial.

2) Emile Durkehim

Menurut Durkheim, masyarakat dibangun di atas entitas dan realitas moral. Ritual-
ritual agama meningkatkan kesadaran dan loyalitas kelompok. Agama menentukan
struktur sosial suatu masyarakat. Selain itu agama mengendalikan perilaku menyimpang
pada satu sisi dan pada sisi lain meningkatkan harmoni dan solidaritas sosial. Agama juga
meningkatkan kepatuhan dan loyalitas dalam masyarakat. Durkheim percaya bahwa
agama merupakaan pemujaan masyarakat.

3
Durkheim mendefinisikan agama dalam karyanya Elementary Forms, sebagai suatu
sistem kesatuan kepercayaan dan praktik-praktik relative suci (sacral) yang dapat dikatan
seperangkat pemisahan dan larangan kepercayaan-kepercayaan serta praktik yang
menyatu ke dalam komuntias moral tunggal dinamai sebuah gereja. Definisi itu
merupakan definisi fungsional dari agama, memiliki arti yang menjelaskan peran agama
dalam kehidupan sosial. Secara esensial agama menyatukan masyarakat. Durkehim
mendefinisikan agama sebagai sebuah oposisi biner, yakni antara sacral dan profan,
akibatnya hal itu pararel dengan pembedaan antara Tuhan dan manusia.

Agama bagi Durkehim bukan merupakan “imaginasi”, melainkan oleh beberapa


penganut keeprcayaan dilihat sebagai sesuatu yang esensial. Agama sangat riil (nyata).
Agama merupakan ekspresi masyarakat itu sendiri, tidak ada masyarakat yang tidak
memiliki agama. Orang merasa sebagai individu, ada suatu kekuatan yang lebih besar dari
dirinya, yakni kehidupan sosial dan ia sendiri mempunyai persepsi yang bersifat
superanatural. Manusia kemudian mengekspresikan dirinya secara religious dalam
kelompok dan membangun kekutan simbolis lebih besar. Agama adalah sebuah ekspresi
kesadaran kolektif, yang menggabungkan seluruh kesadaran individu yang kemudian
menciptakan realitas dari apa yang dimilikinya.

3) Max Weber

Analisis Weber tentang agama dimulai dengan masterpiece-nya yang terkenal, yakni
The Pretestant Ethic and the Spirit of Capitaslism. Analisisnya tentang agama kemudian
diperluas dengan mempelajari fenomena-fenomena agama-agama besar lain seperti
Konfusianisme, Taoisme, Hiundu, Buddha, dan Yahudi Kuno.

Inti tulisan Weber mengenai agama ialah bagaimana hubungannya dengan perubahan
sosial atau kelemahan-kelemahan agama.. Dalam pandangan Weber, agama mempunyai
peran membentuk motivasi seseorang untuk melakukan aktivitas keduniaan. Agama,
dalam hal ini Calvinisme, secara actual membantu meingkatkan kapitaslime modern
karena agama tersebut memiliki nilai0nilai yang dipercaya oleh umatnya dan dipraktikkan
dalam kehiduapn sehari-hari.

Etika Protestan merupakan etos sistem ekonomi yang berasal dari etika rasional
aketisme Protestantisme. Protestan, khususnya sekte Calvinis, menunjukkan
kecenderungan khusus dalam mengembangkan rasionalisme ekonomi yang tidak dapat
ditemukan pada ajaran Katolik. Fokus analisis Weber dalam hal ini ialah pada pengaruh

4
ide-ide agama terhadap perkembangan kapitaslime. Weber menyatakan, “… religiusitas
atau perilaku-perilaku yang dimotivasi secara magis adalah perlikau yang relative
rasional, khususnya dalam manifestasi-manifestasi awalnya.

4) Karl Max

Visi teori Marx jelas dalam hal ini, yakni bahwa teori sosial tidak hanya mencandra
masyarakat, tetapi juga yang lebih penting ialah dapat memperbaiki masyarakat. Sebagian
besar teorinya dibangun dari analisisnya terhadap kondisi masyarakat kapitalis. Teorinnya
tentang historis materialisme menyimpulkan bahwa sejarah masyarakat selalu ditandai
dengan perjuangan kelas antara pemilik modal dan pekerja (buruh). Dengan demikian,
realitas ekonomi masyrakat membentuk perilaku manusia. Kebutuhan material menjadi
motivasi dasar manusia yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan lain terpenuhi.

Pada masyarakat kapitalis, agama dijadikan sebagai alat untuk mengeksploitasi buruh.
Pemiliki modal dalam hal ini menggunakan fatwa-fatwa dari gereja unutk misalnya
melegitimasi kerja lembur malam hari termasuk bagi buruh perempuan. Kaum buruh juga
dibuai dengan ideologi-ideologi yang membius, misalnya kerja keras merupakan bentuk
pengabdian kepada Tuhan dan bahwa kekayaan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang
sudah diatur tuhan.

Secara keseluruhan, teori Marx cenderung melupakan beberapa aspek agama dan
terlalu menyederhanakan kompleksitas fenomena agama itu sendiri. Teori Marx hanya
menjelaskan kondisi manusia dan terminology “masalah” tetapi tidak memberikan
jawaban terhadap penderitaan manusia, hidup, mati dan sebagainya. Pengandaian Marx
bahwa pertumbuhan kesadaran kelas akan terpisah dari agama, dalam kenyataan hal itu
tidak benar. Teori Marx tidak memberikan gambaran yang jelas hubungan antara agama
dan kesadaran kelas dan tingkat pembagian kelas dalam masyarakat modern. Dengan
demikian, Marx gagal menghasilkan suatu analisis komphrehensif mengenai agama.

Teori-Teori Modern

1) Teori Pilihan Rasional

5
Teori pilihan rasional dalam sosiologi agama merupakan teori yang mempunyai peran
penting dan mewarnai perkembangan kajian agama secara sosiologis. Kebanyakan
sosiolog pilihan rasional menaruh perhatian pada unit analisis makro terutama dampak
yang ditimbulkan, seperti munculnya normanorma dan nilai-nilai baru akibat tindakan-
tindakan kolektif. Teori pilihan rasional sebagaimana dikatakan Iannaccone (1997: 28),
mempunyai tiga asumsi: 1) individu bertindak secara rasional, menimbang biaya dan
keuntungan dari tindakan yang akan dilakukannya, kemudian memilih tindakan yang
dapat memberikan keuntungan maksimum; 2) preferensi utama (atau kebutuhan) yang
digunakan individu untuk mengakses biaya dan keuntungan cenderung tidak bervariasi
antarorang atau antarwaktu; 3) dampak sosial membentuk ekuilibria (keseimbangan) yang
muncul dari agregasi dan interaksi tindakan individu

Teori Postmodern

Teori postmodern tidak dapat dilepaskan dari teori-teori yang berkembang pada era
yang disebut “modern”. Sementara teori-teori yang berkembang pada era modern tersebut
sangat kuat dipengaruhi filsafat positivisme.

1) Pierre Boudieu

Konsep modal agama berasal dari modal kultural yang diterapkan dalam dimensi
religiusitas. Modal agama meliputi pengetahuan dan praktik agama, seperti pengetahuan
mengenai kitab suci, kunjungan ke gereja, pembacaan kitab suci, pengetahuan mengenai
sejarah, dan simbol agama. Secara empiris, modal agama ini mempunyai pengaruh
terhadap berbagai aspek kehidupan agama seperti keberhasilan pendidikan. Studi yang
dilakukan Byfi eld (2008) di Inggris dan AS menunjukkan bahwa kebanyakan mahasiswa
negro yang mempunyai prestasi menonjol ialah mahasiswa yang religius, komunitas
gerejanya ditentukan oleh modal sosial dan kultural dan kepercayaan terhadap Tuhan
ditentukan modal agama.

4. Kelebihan Buku

Buku yang ditulis oleh Dr. Sindung Haryanto, M.Si. ini sangat lah lengkap sehingga
saya sebagai pembaca awam puas dengan materi yang dijelaskan di dalam buku ini.
Teori-teori dijelaskan secara detail dan materi lainnya pun dijelaskan secara sistematis
yang mempermudah pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai Sosiologi

6
Agama dari klasik hingga postmodern. Buku ini bisa menjadi salah satu referensi
mahasiswa dalam kegiatan belajar.

5. Kekurangan Buku

Dibalik kelebihan diatas, ada beberapa kekurangan yang saya rasakan sebagai
pembaca awam. Pembahasan dalam buku ini terlalu berbelit-belit bagi pembaca awam
akan sedikit kesulitan dalam memahami materi di setiap babnya dan penggunaan bahasa
yang sulit untuk dipahami, istilahnya bahasanya terlalu tinggi.

Anda mungkin juga menyukai