Anda di halaman 1dari 6

Muhammad Fakhri Aziz

11180510000262

Sosiologi Agama KPI 4 B

Soal !

1. Max Weber dalam bukunya protestan ethic menyatakan bahwa terdapat hubungan agama
dapat membentuk etika dan moral dalam interaksi sosial. Uraikan lebih lanjut pernyataan
tersebut!

2. Dalam sistem keyakinan,agama dapat mengubah perilaku dan sikap individu, tetapi dalam
kenyataan sehari-hari hal tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Jelaskan faktor-faktor
penyebabnya!

3. Institusi keagamaan dapat mempengaruhi institusi sosial lainnya seperti institusi


pendidikan dan institusi sosial budaya. Jelaskan bagaimana cara institusi agama dapat
mempengaruhi hal tersebut!

Jawaban !

1. Penelitian adanya pengaruh agama terhadap etika dan etos kerja pemeluknya
telah dilakukan oleh Max Weber. Dalam buku yang berjudul The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism, Max Weber (1987) meyakini bahwa agama Protestan di
Eropa Barat telah membantu melahirkan dan melembagakan nilai-nilai universalitas
akan kebutuhan untuk berprestasi. Peran agama ini merupakan faktor penentu yang
menyebabkan munculnya kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Analisis Weber tersebut menyimpulkan bahwa munculnya kapitalisme di


Eropa Barat disebabkan oleh adanya Etika Protestan yang diajarkan John Calvin.
Ajaran Calvin menegaskan bahwa seseorang dalam hidupnya memiliki
tanggungjawab sangat penting. Ajaran Calvin juga memperkenalkan konsep takdir,
yang menurut Weber dikaitkan dengan masalah ketidakpastian yang hanya menjadi
rahasia Tuhan. Dalam ajaran Calvin dikenal doktrin predestinasi (Anderski, 1989),
yaitu seseorang tidak akan mengetahui apakah dirinya termasuk orang pilihan yang
nantinya akan masuk surga atau sebaliknya orang terkutuk yang akan dibenamkan ke
neraka. Adanya ketidaktahuan manusia itulah maka ajaran Calvin menganjurkan
untuk selalu melakukan aktivitas terbaik dan berusaha sekuat tenaga membuat
prestasi.

Menurut Weber, ajaran ini memiliki implikasi positif untuk berprestasi, karena
senantiasa kerja keras dan menjauhi kemalasan. Kepercayaan untuk melakukan
tindakan terbaik menyebabkan setiap aktivitas penganut Protestan Calvin selalu
dilakukan secara optimal, mereka menjadi pekerja keras. Tujuan mereka bekerja keras
sebenarnya bukan untuk mencari kekayaan, tetapi untuk mengatasi kecemasan agar
nantinya dapat menjadi orang terpilih yang akan masuk surga. Sukses di dunia usaha
dengan tujuan untuk mengagungkan Tuhan diyakini sebagai “indikasi” mereka
termasuk orang terpilih yang mendapat keberkahan Tuhan. Oleh Weber etika kerja
semacam itu disebut dengan Etika Protestan, yaitu cara kerja yang keras dan
bersungguh-sungguh tanpa berorientasi mendapatkan imbalan materiil.

2. Diantara ahli psikologi berpendapat bahwa faktor pendorong terjadinya


konversi agama adalah faktor kejiwaan. Dimana orang menghadapi situasi yang
menakutkan dan tekanan batin yang tidak bisa diatasi, mereka bisa mengalahkan
motifmotif atau pandangan hidup terdahulu yang selama ini ditaati. Secara psikologis
yang mendorong terjadinya konversi agama dapat dikelompokkan kepada dua faktor
utama, yaitu sebagai berikut :
a. Faktor Internal, Faktor intern merupakan faktor-faktor yang berasal
dari dalam diri individu yang turut mempengaruhi dan mendorong
terjadinya konversi agama, yang terdiri dari beberapa faktor, sebagai
berikut :
1) Faktor Kepribadian, Struktur kepribadian yang dimiliki oleh
seseorang sangat mempengaruhi perkembangan jiwa serta
mendorong seseorang untuk melakukan konversi agama.
Sebagaimana ditulis Ahyadi bahwa : tipe kepribadian penyedih
sering dilanda konflik dan frustrasi yang dapat menimbulkan
keragu-raguan, kebingungan, was-was dan kebimbangan jiwa
yang mendalam seperti : mengasingkan diri atau uzlah, bertapa,
bahkan konflik jiwa ini bisa menyebabkan terjadinya konversi
beragama bagi pelakunya
2) Faktor Pembawaan, Secara psikologis urutan kelahiran individu
turut mempengaruhi dirinya untuk melakukan konversi, hal ini
dibuktikan Guy E. Surowsono dalam penelitiannya bahwa ada
semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi
konversi agama, anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak
mengalami tekanan batin, anak-anak yang kelahirannya pada
urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, kondisi
yang berdasarkan urutan itu banyak mempengaruhi terjadinya
konversi agama. Hasil penelitian ini senada dengan konsep
aliran nativitstik yang berpendapat bahwa perkembangan
indivddu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang
dibawa sejak lahir.
3) Faktor Kejiwaan, Konflik kejiwaan yang terjadi pada seseorang
merupakan salah satu faktor penentu terjadinya koversi agama.
Terjadinya suatu tension (peristiwa ) atau ketegangan pada
seseorang menjadi penyebab terjadinya konflik. Konflik jiwa
itu bermacammacam manifestasinya pada individu; ada
diantara mereka mengalami ketegangan jiwa, stress
dikarenakan berbagai fakor kesulitan hidup, misalnya; mereka
tidak mampu membiayai keluarga, diberhentikan dari pekerjaan
(PHK) dan ada pula karena fakor keretakan keluarga, diusir
oleh keluarganya. Dan orang-orang yang senantiasa melakukan
perbuatan yang melanggar moral yang berlaku dalam
masyarakat, walaupun sesungguhnya ia tahu membedakan
antara halal dan haram, baik dan buruk dalam setiap
perbuatannya.
b. Faktor Eksternal, Faktor extern merupakan faktor-faktor yang berasal
dari luar diri individu, faktor-faktor ini turut pula mempengaruhi atau
mendorong seseorang untuk melakukan konversi agama, baik terhadap
agama lain maupun terhadap faham-faham keagamaan dalam agama
yang anutnya, adapun faktor ini terdiri dari beberapa aspek :
1) Faktor Keluarga, Masalah keluarga merupakan sesuatu
problema yang dapat menimbulkan ketidak harmonisan
hubungan antara individu dalam sebuah keluarga. Jalaluddin
menulis bahwa Faktor keluarga, keretakan keluarga,
ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual,
kurang mendapat pengakuan kerabat dan lainnya. Kondisi jiwa
manusia seperti yang dipaparkan diatas akan mudah sekali
membawa seseorang kearah tekanan batin. Mereka berusaha
mencari penyalurannya dengan cara ; minuman keras,
berandalan, berjudi, berkelahi bahkan perbuatan-perbuatan
yang membawa mereka kepada konversi agama, sebagai usaha
untuk meredam tekanan batin yang menimpa dirinya mereka
memilih konversi agama dengan kaonversi agama mereka bisa
memdapatkan ketenangan batin.
2) Lingkungan Tempat Tinggal, Tempat tinggal seseorang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan jiwanya. Seseorang yang
tinggal di lingkungan yang baru atau belum dikenalnya, ia
merasakan hidup sendiri tidak ada teman/ kenalan sehingga ia
merasa kesepian, Selain itu lingkungan tempat bekerja individu
berpengaruh terhadap jiwa dan kinerjanya, apalagi karyawan
yang bekerja pada pimpinan yang berbeda agama,
menyebabkan karyawan bersangkutan tidak tenang, gelisah dan
resah. Kondisi seperti itu sering dimanfaatkan pemuka/
penganut agama untuk melakukan konversi agama agar
karyawannya pindah atau masuk ke dalam agama yang dianut
pimpinannya
3) Perubahan Status dan Peran, Perobahan status adalah terjadinya
pergeseran pola-pola tingkah laku yang bersifat timbal balik
pada seseorang sedangkan terjadinya perubahan peranan pada
seseorang menimbulkan pula pola tinkah laku yang berkaitan
dengan status seseorang. Takkala terjadinya pergeseran atau
perubahan status seseorang maka terjadi pula pergeseran
peranannya. Misalnya; terjadi perceraian dalam sebuah
keluarga, dikeluarkan dari sekolah atau perkumpulan dan
sebagainya. Perubahan status dan peranan itu dapat memicu
timbulnya konflik kejiwaan pada individu bersangkutan
4) Percampuran Agama dan Tradisi Masyarakat, Percampuran
antara agama dan tradisi masyarakat akan menimbulkan
keragu-raguan atau kebingungan seseorang terhadap kebenaran
agama yang dianutnya selama ini dan untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya, akhirnya mereka melakukan
konversi agama.
5) Faktor Kemiskinan, Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana
seseorang tidak bisa menjamin kehidupannya sendiri seperti
orang lain pada umumnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang lemah akan menimbulkan dampak negatif dalam hidup
dan kehidupannya dan bila perasaan kemiskinan itu merasuk ke
dalam jiwa dan kehidupannya, niscaya akan muncul konflik
jiwa dalam dirinya.
3. Dalam Islam, agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul selalu ditujukan
pada umat tertentu, kecuali Nabi Muhammad saw., yang diperuntukkan bagi seluruh
umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena hanya manusia yang mampu
memahami dan membutuhkan agama. Agama merupakan fakta yang selalu muncul
dalam masyarakat, pada semua tingkatan kebudayannya.
Quraish Shihab (1992) mengatakan bahwa manusia membutuhkan agama
dalam mengatur lalulintas kehidupannya. Keterbatasan pengetahuan yang dimiliki
oleh manusia dan sikap egoismenya menyebabkan manusia tidak dapat mengatur lalu
lintas kehidupannya. Dengan demikian, manusia membutuhkan aturan-aturan berupa
nilainilai yang tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan
itulah yang kemudian disebut agama.
Dengan demikian, berdasarkan fakta, agama tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
Jadi agama adalah fakta sosial yang eksistensinya tidak bisa diingkari. Bahkan agama
merupakan sesuatu yang dilembagakan dalam masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto, suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga
(institutionalized), apabila norma tersebut:
1) Diketahui
2) Dipahami atau dimengerti
3) Ditaati,
4) Dihargai
Proses melambaganya suatu agama, diketahui berawal dari pengetahuan
terhadap nilai dan norma yang terkandung dalam agama itu, walaupun masih taraf
rendah. Selanjutnya norma itu dipahami sebagai sesuatu yang dapat mengatur
kehidupan bersama, maka timbullah kecenderungan untuk mentaati norma itu. Setalah
disadari bahwa norma itu memang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan
sendirinya akan tumbuh dalam masyarakat sikap menghargai dan akan berprilaku
sesuai dengan norma dan nilai agama itu.
Lembaga sosial mempunyai fungsi, yaitu:
1) Memberikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya
2) Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan
3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control), yakni sistem pengawasan oleh
masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Keberadaan lembaga sosial, termasuk agama dalam suatu masyarakat, dapat
menjadikan masyarakat itu semakin tertib, utuh, dan terkendali, sebab mereka diikat
oleh norma-norma yang diketahui, dipahami dan dimengerti, ditaati, dan dihargai
secara bersama. Semakin maju atau kompleks suatu masyarakat, semakin banyak
norma yang dibutuhkan yang berarti bahwa akan semakin kompleks pula lembaga
yang tumbuh dalam masyarakat itu. Salah satu di antasranya adalah agama.
Agama memiliki sarana untuk mencapai tujuannya. Dalam Islam, sasrana
berupa kitab suci, tempat peribadatan dan sebagainya merupakan media untuk
pembinaan umat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh agama itu. Di dalam
kitab suci, sudah tercantum berbagai petunjuk untuk membangun individu dan
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Islam, yakni
tercapainya kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa agama merupakan suatu
institusi atau lembaga sosial yang akan tetap ada dan fungsional dalam masyarakat.
Tanpa agama, masyarakat akan mengalami kegoncangan, baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Agama akan tetap fungsional dalam
masyarakat. Jika suatu masyarakat mengalami konflik yang disebabkan oleh
persoalan agama, sebenarnya bukan karena agama itu sendiri, melainkan kesalahan
memahaminya yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai