Anda di halaman 1dari 14

PSIKOLOGI AGAMA

“PROBLEMA DAN JIWA KEAGAMAAN”

OLEH :
MAIMUNAH
YENITA APRIYANTI
USWATUN KHASANAH

DOSEN PENGAMPU :
Dra. Siti fatimah, M.si

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BATURAJA


TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Sebagai makhluk religious manusia memliki potensi insaniyah yaitu beragama.
Sebagai mahluknya manusia telah dibekali potensi yang luar biasa seperti akal, hati serta
alat indra untuk beragama. Melalui semua yang ada, manusia memperoleh pengertian
mengenai keagamaan yang akan membawa pada pemahaman dan kesadaran keagamaan.
Selanjutnya memunculkan sebuah pengalaman keagamaan atas tindakan yang telah
dilakukan, sehingga tumbuh sikap keagamaan pada diri seseorang.
      Sikap keagamaan yang tumbuh pada diri seseorang dapat berbentuk sikap yang positif
atau sikap negatif (sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi masyarakat yang
sedang berlangsung). Berbagi bentuk sikap yang menyimpang akan menimbulkan berbagi
masalah/problem yang juga berpengaruh pada sisi jiwa keagamaan seseoarang.
      Perkembangan jiwa beragama selalu menghadapi problema. Problema ini bersumber
dari faktor interen atau eksteren yang dihadapi tiap individu. Faktor interen mencakup
sifat-sifat keturunan, watak dan hal-hal yang bersifat differensiasi individu. Faktor-faktor
eksteren mencakup: pendidikan, nilai-nilai budaya, lingkungan tempat tinggal dan lain-
lain.        
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud problema dan jiwa keagamaan?
2.      Apa sajakah jenis-jenis problema dan jiwa keagamaan?
3.      Bagaimana sikap keagamaan dan pola tingkah laku?
4.      Bagaimana sikap keagamaan yang menyimpang?
5.      Apa sajakah factor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan yang menyimpang?
BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEMA DAN JIWA KEAGAMAAN
A.    Pengertian Problema dan Jiwa Keagamaan
         Problema adalah masalah atau sesuatu yang keluar dari yang sebenarnya yang
sesuai ideal dengan kenyataan. Jiwa Keagamaan adalah keinginan atau kemauan
beragama. Jadi, problema jiwa beragama adalah masalah berkeinginan dalam beragama.
B.     Jenis-Jenis Problema Jiwa Keagamaan
Problema Jiwa Keagamaan mempunyai jenis-jenis sebagai berikut:
1.      Munafik
        Munafik adalah orang yang lahiriyahnya menampakkan suatu (ucapan, perbuatan
atau sikap) yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang tersembunyi di dalam
hatinya. Kelompok lain mengatakan munafik itu adalah orang-orang yang lahiriyahnya
menyatakan dirinya muslim sedangkan batinnya tidak sesuai lahiriyahnya atau orang
yang melahirkan iman dengan mulutnya tetapi kafir. Dari defenisi di atas dapat di
simpulkan bahwa orang munafik adalah orang-orang yang bermuka dua lain di mulut lain
di hati. Dalam al-qur’an di sebutkan orang munafik adala orang yang imannya di mulut
tetapi kafir di hati. Bila dilihat pedekatan ilmu jiwa orang munafik adalah orang yang
mempunyai keperibadian terpecah yang disebut dengan plin-plan.
        Sifat-sifat orang munafik yaitu orang yang tidak tegas terhadap aqidahnya:
a)      Mereka menyatakan beriman dan kembali musyrik bila bertemu dengan orang-orang
musyrik.
b)      Pelaksanaan ibadah mereka lebih banyak di karenakan riya dan mereka mendirikan
shalat dengan bermalas-malasan dan lalai.
c)      Dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang munafik menyuruh orang berbuat
kemungkaran dan mencegah kebaikan.
d)     Mereka berusaha membuat fitnah dalam barisan kaum muslim
e)      Bermulut manis tapi tidak tulus.
f)       Suka bersumpah agar orang mempercayainya dan merintangi orang untuk menjalankan
agama.
2.      Dengki
        Dengki adalah menaruh perasaan benci, tidak senang yang amat sangat terhadap
kemenangan orang lain. Dengki biasanya berkaitan dengan sifat iri. Wujudnya adalah
sikap dan perbuatan yang tidak senang terhadap orang lain, seperti memusuhi, menjelek-
jelekkan, mencemarkan nama baik orang lain, dan lain-lain. Sikap dan perbuatan seperti
ini biasanya dapat berkepanjangan sehingga menimbulkan perselisihan dan permusuhan
apabila yang bersangkutan tidak menyadari sikap buruknya tersebut.
        Perbuatan dengki akan menimblkan bahaya-bahaya seperti:
a)      Menimbulkan permusuhan.
b)      Menimbulkan perasaan dendam.
c)      Menghilangkan persahabatan.
d)     Menghilangkan kebaikan yang telah dilakukan.
e)      Dibenci Allah SWT.
        Orang yang mempunyai sifat dengki jiwa beragamanya tidak akan sempurna. Sebab,
yang ada didalam hatinya hanyalah rasa benci kepada orang lain yang mendapatkan
kemenangan dan kebahagiaan.
3.      Riya
        Riya adalah sikap yang suka memamerkan harta benda atau orang yang melakukan
segala sesuatu yang hanya mengharapkan pujian dari orang lain tapi bikan mengharapkan
pahala dari Allah. Sikap riya ini sikap yang susah untuk mengubahnya sebab ia
melakukan sesuatu hanya demi mengharapkan pujian orang lain.
4.      Tama’
        Tama’ sering dikatan sebagai orang yang rakus kepada apapun. Misalnya ia sudah
kaya tetapi mau lebih kaya lagi. Sikap tama’ ini adalah sikap yang tidak patut dicontoh
sebab hanya akan membawa kerugian bagi orang yang memiliki sifat ini.
5.      Iri
        Iri adala sesuatu sikap yang tidak senang melihat orang jika mendapatkan
kebahagiaan atau mendapatkan sesuatu yang baik. Sikap iri ini adalah sikap yang
berbahaya dan akan membuat orang yang memiliki sikap ini mendapatka penyakit hati.
6.      Takabbur
        Takabbur menurut bahasa adalah membesarkan diri, menganggap dirinya lebih besar
dari orang lain. Sedangkan menurut istilah takabbur adalah suatu sikp mental yang
merasa dirinya lebih besar, lebih tinggi, lebih pandai dan memandang kecil serta rendah
terhadap orang lain. Takabbur digolongkan menjadi dua bagian yaitu: takabbur batin dan
takabbur lahir. Takabbur batin yaitu sifat dalam jiwa yang tidak terlihat karena sifat
tersebut melekat dalam hati seperti sifat merasa besar, merasa lebih dari segala-galanya.
Sedangkan takabbur lahir adalah perbuatan atau tingkah laku yang dapat dilihat seperti
merendahkan orang lain, menyepelekan orang lain.
7.      Sombong
              Sifat sombong agak sama dengan sifat takabbur karena sama-sama membesarkan
diri atau menganggap dirinya adalah yang terbaik. Didalam al-qur’an surah Luqman ayat
18 yang berbunyi: ”dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan
janganlah kamu berjalan diatas bumi dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri. Jadi, dari ayat tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa Allah sangatlah membenci orang yang sombong dan
membanggakan diri.”
8.      Agnotisme
              Agnotisme adalah suatu paham yang ragu-ragu tentang adanya tuhan, atau faham
yang mengatakan bahwa manusia tidak sanggup dan tidak bisa memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan. Agnotisme tidak tegas mengatakan Tuhan tidak ada. Tuhan menurut
aliran ini mungkin ada tetapi, manusia tidak dapat mengetahuinya secara positif. Oleh
karena itu aliran ini disebut juga dengan aliran skepsitisme ( ragu-ragu ). Mereka
beranggapan ajaran tentang Tuhan didalam agama adalah sesuatu yang tidak mngkin.
Kalau dilihat dar pandangan ilmu jiwa kelompok ini termasuk orang pecah kepribadian.
Namun, dengan sikap ragu-ragunya masih lebih mudah diajak kepada ajaran agama dari
pada kelompok atheis yang sama sekali tidak mempercayai tuhan.
9.      Konversi Agama
         Konversi berasal dari kata convertion yang artinya adalah pertaubatan, pembalikan
atau perlainan dengan semula. Walter Houston Clark mendefenisikan agama sebagai
berikut: ‘’ konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan
spritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti dalam sikap terhadap
ajaran dan tindakan agama. Lebih jelas dan tegas lagi, konversi agama menunjukkan
bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah secara
mendadak, telah terjadi yang mungkin saja yang sangat mendalam ataupun dangkal. Bisa
saja terjadi perubahan itu secara berangsur-angsur pada diri seseorang’’.
         Zakiah Darajat mengatakan proses konversi tidak sama pada setiap orang tergantung
kepada pertumbuhan jiwa yang dialaminya, pendidikan dan pengalaman yang
diterimanya sejak kecil, suasana lingkungan tempat tinggal dan pengalaman terakhir yang
menjadi puncak dari perubahan keyakinan tersebut serta situasi yang terjadi sesudah itu.
Konversi menurut Zakiah Darajad dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut:
a)Pertentangan batin ( konflik jiwa ) dan ketegangan perasaan.
      Orang-orang yang gelisah dalam dirinya terjadi pertarungan berbagai persoalan yang
kadang-kadang sukar untuk dipecahkan, akan memungkinkan terjadi konversi agama itu.
b)      Pengaruh hubungan dengan tradisi agama.
      Pendidikan agama masa kecil seseorang mengenai pelajaran agama yang pernah
dialaminya dalam lingkungan keluarga atau masyarakat yang penuh kedamaian dan
ketenangan, terikat dan terbiasa dengan tradisi lama dapat menyebabkan konversi agama
terhadap situasi masyrakat yang tidak menentu yang dialaminya pada masa berikutnya.
c)Ajakan, seruan ataupun sugesti.
      Sugesti, seruan atau bujukan dari luar dapat menyebabkan konversi agama. Apalagi
individu tersebut dalam keadaan labil, kosong dan tidak memiliki pegangan hidup. Cepat
atau lambatnya pengaruh sugesti ini tergantung kepada kepintaran pemberi sugesti.
d)     Emosi.
      Penyelidikan para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa emosi adalah keadaan jiwa yang
sedang tidak normal atau stabil, pada saat seperti ini mereka mudah terpengaruh, mudah
terpengaruh yang memungkinkan mereka akan mengalami konversi agama[1].
e)Kemauan
      Kemauan dapat menyebabkan konversi. Mereka yang menyadari kembali ketidak
pedulian terhadap agama dapat bertaubat dan menjadi taat mengamalkan ajaran
agamanya.

C.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku


         Mengawali pembahasan mengenai sikap keagamaan, maka terlibih dahulu akan
dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum, sikap
dipandang sebagai seperangkap reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan
hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan inididu. Dengan demikian, sikap terbentuk
dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan (factor
intern) seseorang, serta tergantung kepada objek tertentu.
         Menurut Prof. Dr. Mar’at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun
sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi
11 rumusan  mengenai sikap[2]. Rumusan umum tersebut adalah:
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang
terus-menerus dengan lingkungan (attudes are learned).
2.      Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun
ide (attitudes bave referent).
3.      Sikap diperoleh dari berinteraksidengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat
ibadat ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan(attitudes are
social learnings).
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap
objek (attitudes bave readiness to respond).
5.      Bagian yang paling dominan dari sikap perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam
menentukan apakah positif, negatif atau ragu (attitudes are affective).
6.      Sikap memiliki tingkat intensitas terhadapobjek tertentu yakni kiat atau
lemah (attitudes are very intensive).
7.      Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu
mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes
bave a time dimension).
8.      Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes bave
duration factor).
9.      Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are
complex).
10.  Sikap merupakan penilaian terhadap suatu yang mungkin mempunyai konsekuensi
tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11.  Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang
sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
         Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk
tertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup komponen
kognisi, afeksi, dan konasi. Dengan demikian, sikap merupakan interaksi dari komponen-
komponen tersebut secara kompleks.
         Terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga
komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi, dan konasi yang bekerja secara kompleks
merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik yang
berbentuk konkret maupun objek yang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab
tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Dengan demikian, sikap
yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan pemilihan
motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
         Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terhadap objek ditentukan oleh pengaruh faal,
kepribadian, dan faktor eksternal, situasi, pengalaman, dan hambatan (Mar’at, 1982: 22).
Hal ini mengisyaratkan ketiga faktor tersebut, yaitu pengaruh faal, kepribadian, dan faktor
eksternal. Dalam kaitan ini sikap didasarkan atas konsep evaluasi berkenaan dengan objek
tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Sedangkan menurut pandangan
psikologi, sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan
motif. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behaviour) sedangkan, reaksi afektif
bersifat tertutup (cover), tulis Mar’at.
         Telaah psikologi dan psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-
potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual. Kemudian
menempatkan potensi dan daya psikis tersebut sebagai suatu yang penting dalam dalam
kehidupan manusia. Selain itu mulai tumbuh suatu kesadaran baru mengenai hubungan
antara potensi dan daya psikis tersebut dengan sikap dan pola tingkah laku manusia.

D.    Sikap Keagamaan yang Menyimpang


         Dalam  pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma-norma yang
dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma
tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu kepada
pembentukan kepribadian dan hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan. Dengan
demikian sikap keagamaan merupakan kecendrungan untuk memenuhi tuntutan yang
dimaksud.
         Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap
kepercayaan dan keyakinan terhadap yang dianut mengalami perubahan. Perubahan sikap
seperti itu dapat terjadi pada orang per orang (dalam diri individu) dan juga pada
kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan
intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal
netral kea rah negatif. Dengan demikian, sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan
dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi buruk.
         Masalah yang menyangkut sikap keagamaan ini umumnya tergantung hubungan
persepsi seseorang mengenai kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan adalah tingkat
piker manusia dalam mengalami proses berpikir yang telah dapat membebaskan manusia
dari segala unsur-unsur yang terdapat di luar pikirannya. Sedangkan keyakinan adalah
suatu tingkat piker yang dalam proses berpikir manusia telah menggunakan kepercayaan
dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurnaan proses, pencapaian kebenaran, dan
kenyataan yang terdapat diluar jangkauan pikir manusia. (Kasmiran Wuryo, 1982: 104).
Kepercayaan dan keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga, secara empiric sulit
dibuktikan secara nyata mengenai kebenarannya.
         Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi, bila terjadi penyimpangan pada
kedua tingkat pikir dimaksud, sehingga dapat member kepercayaan dan keyakinan baru
pada seseorang atau kelompok. Apabila tingkat pikir tersebut mencapai tingkat
kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu maka akan
terjadi sikap keagamaan yang menyimpang, baik dalam diri orang per orang (individu)
kelompok atau pun masyarakat. Sebab, sikap memiliki sasaran tertentu baik konkret
maupun abstrak (mar’at, 1982: 18).
         Di luar itu, sikap keagamaan yang menyimpang juga bisa termanifestasikan dalam
pelanggaran terhadap nilai-nilai moral ataupun norma-norma agama. Perilaku
penyimpangan ini disebut sebagai tindakan amoral. Bahkan bisa meningkat ke tindakan
yang mengarah pada “moral games”, yang di dalamnya batas baik-buruk, benar-salah,
pantas-tidak pantnas dibuat jadi samar.
         Tindak korupsi merupakan perbuatan yang akan menimbulkan dampak negative
bersifat ganda. Dalam islam perbuatan ini tergolong sebagai fahsy (keji), yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri pelakunya, tetapi juga orang lain. Pada
hakikatnya, pelaku korupsi telah melakukan perbuatan nista yang menganiaya dirinya
sendiri dan sekaligus menimpakan petaka bagi orang lain. Disebut menganiaya diri
sendiri, karena pelaku tindak korupsi adalah sosok yang telah kehilangan jati diri sebagai
manusia yang beradab. Sistem nilai yang ada dalam dirinaya (moral, hukum, adat istiadat,
maupun agama) dihancurkan oleh keserakahan yang bersumber dari dorongan nafsunya.
         Berangkat dari pendekatan psikologi agama, tindak korupsi merupakan bagian dari
sikap keagamaan yang menyimpang. Secara psikologis, pelaku korupsi adalah pengidap
kepribadian terbelah. Memiliki kepribadian ganda. Di satu sisi, mungkin ia merasa
dirinya sebagai orang yang bermoral dan menghargai nilai-nilai ajaran agama yang
dianutnya. Di sisi yang lain, ia malahan memerikan dirinya sebagai pribadi yang ‘bebas’
dari keterkaitan keapda nilai-nilai luhur tersebut, dan menganggap tindak korupsi sebagai
sebagian sesuatu yang wajar-wajar saja.
         Dalam pendekatan psikologi agama, pelaku tindak korupsi adalah pribadi yang
rapuh, pribadi terbelah yang mengalami kegampangan hidup dan mudah tersugesti oleh
situasi lingkungan. Sosok manusia yang menderita kegersangan batin. Sebagai pemeluk
agama, ia telah kehilangan makna hidup, dan merasa kehidupannya tidak bermakna. Oleh
karena itu, tindakan kompensatif yang dilakukan adalah untuk menunjukan eksistensi
dirinya. Ia menunjukan bahwa dirinya masih ada, dan masih diperhitungkan. Namun, di
kala terjerat hukum, kepribadian yang rapuh tadi akan tampil dalam bentuk aslinya.
Pertahanan mentalnya runtuh dan kebugaran fisiknya melorot tajam. Hukum moral akan
selalu mendera batinnya.
         Tindakan korupsi dinilai sebagai gangguan kejiwaan. Perubahan sikap yang cepat
ini disebut bipolar dalam ilmu kedokteran. Bipolar adalah gangguan jiwa yang ditandai
dua suasana hati yang berubah secara bergantian dalam waktu yang singkat, dari gembira
menjadi sedih, dan dari mania menjadi depresi (Boni Hargan, Komps 8 februari 2006).
Ibarat retina mata yang kehilangan kemampuan untuk menerima cahaya. Secara fisik,
proses penerimaan cahaya melalui retina mata dalam bentuk pesan melalui bipolar dan
sel-sel gangliom ke saraf optic, dan selanjutnya dikirim ke occipital cortex. Di bagian
otak inilah pesan itu diterjemahkan ke dalam gejala visual, hingga disadari adanya cahaya
(Philip G. Zimbargo, 1979: 252).

E.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang


         Dalam kehidupan masyarakat dikenal dengan aturan-aturan yang di sebut norma.
Norma dalam kehidupan sosial merupakan nilai-nilai luhur yang menjadi tolak ukur
tingkah laku sosial. Jika tingkah laku yang di perlihatkan sesuai dengan norma yang
berlaku, maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima, sebaliknya, jika tingkah
laku tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah
laku tersebut dinilai buruk dan ditolak. Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku
ini disebut dengan tingkah laku yang menyimpang.
         Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk 
tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian, sikap
mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata
dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan,
maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
         Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan perubahan
sikap. Beberapa teori psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut,
antara lain:
1.      Teori Stimulus dan Respon
      Teori ini teori yang memandang manusia sebagai organisme menyamakan perubahan
sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variable yang mempengaruhi
terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian pengertian dan penerimaan. Mengacu kepada
teori ini, jika seseorang atau kelompok memiliki perhatian terhadap suatu objek dan
memahami objek dimaksud serta menerimanya, maka akan terjadi perubahan sikap. Jadi
perubahan sikap sepenuhnya bergantung pada kemampuan lingkungan untuk
menciptakan stimulasi yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk respons. Hal ini
menunjukkan untuk mengubah sikap diperlukan kemampuan untuk merekayasa objek
sedemikian rupa hingga menarik perhatian, memberi pengertian hingga dapat diterima.
      Dalam kaitannya dengan sikap keagamaan yang menyimpang maka pengaruh
stimulus yang relevan adalah segala bentuk objek yang berhubungan dengan keagamaan.
Misalnya saja di dalam suatu masyarakat muncul aliran-aliran keagamaan yang berjalan.
2.      Teori Pertimbangan Sosial
      Teori ini melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini
perubahan sikap ditentukan oleh dua factor yaitu:
a)      Factor internal.
Yang mempengaruhi perubahan sikap adalah
                                                   i.            Persepsi sosial.
                                                  ii.            Posisi sosial dan proses belajar sosial.
b)      Factor eksternal
Terdiri atas:
                                                   i.            Factor penguatan.
                                                  ii.            Komunikasi persuasif.
                                                iii.            Harapan yang diinginkan.
      Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan sosial sebagai
hasil interaksi factor internal dan eksternal. Perubahan sikap dalam kaitannya dengan
sikap keagamaan yang menyimpang merujuk kepada teori pertimbangan sosial ini
tampaknya menyangkut factor status sosial seseorang dalam masyarakat. Penyimpangan
sikap keagamaan yang dipengaruhi oleh status sosial ini cenderung dilatarbelakangi
harapan untuk mengembalikan kedudukan di dalam masyarakat. Misalnya sesesorang
yang semula dihormati dalam masyarakat kemudian mendapat saingan dari tokoh lain.
Karena kalah dalam persaingan tersebut pandangan masyarakat beralih kepada tokoh
pendatang baru. Maka untuk mengembalikan status yang pernah diperolehnya
kemungkinan besar ia cenderung untuk melakukan suatu yang menyimpang guna menarik
kembali perhatian masyarakat, yaitu untuk mengisi kekosongan wibawa yang hilang.
3.      Teori Konsistensi
      Menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya
untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Oleh karena itu teori konsistensi
disebut balance theory (mar’at, 1982:37), Osgood dan tannenbaum menamakan
congruity (keharmonisan), festinger menyebutkan cognitive dissonance, serta brohm
menamakannya reactance  (mar’at, 1982: 37-47). Walaupun berbeda dalam penamaan,
namun intisari dari teori konsistensi ini adalah bahwa perubahan sikap merupakan proses
yang terjadi pada diri seseorang dalam upaya untuk mendapatkan keseimbangan antara
sikap dan perbuatan. Berdasarkan berbagai pertimbangan, maka seseorang kemudian
memilih sikap tertentu sebagai dasar untuk bereaksi atau bertingkah laku[3].
      Pertimbangan tersebut melalui proses dari munculnya persoalan hingga tercapainya
suatu keseimbangan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah:
a)      Munculnya persoalan yang dihadapi.
b)      Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih.
c)      Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
d)     Terjadi keseimbangan.
      Perubahan sikap yang dihubungkan dengan sikap keagamaan yang menyimpang
menurut teori konsistensi ini terdapat dalam kasus-kasus konversi agama. Konversi pada
dasarnya bersumber dari konflik yang terjadi pada diri seseorang.
4.      Teori fungsi
      Menurut teori ini perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang.
Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar individu senantiasa
menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya. Katz berpendapat bahwa sikap
memiliki empat fungsi yaitu:
a)      Fungsi instrumental, manusia dapat membentuk sikap positif maupun negative terhadap
objek yang dihadapinya.
b)      Fungsi pertahanan diri, berperan untuk melindungi diri dari ancaman luar.
c)      Fungsi penerima dan pemberi arti, berperan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan.
d)     Fungsi nilai ekspresif, terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar bagaimana
sikap seseorang atau kelompok terhadap sesuatu (mar’at, 1982: 48).
Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak berlangsung
secara serta merta, melainkan melalui suatu proses penyimpangan diri dengan
lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan.
BAB III
PENUTUP
F. Kesimpulan
      Problema adalah masalah atau sesuatu yang keluar dari yang sebenarnya yang sesuai
ideal dengan kenyataan. Jiwa beragama adalah keinginan atau kemauan beragama. Jadi,
problema jiwa beragama adalah masalah berkeinginan dalam beragama. Jenis-jenis
problema jiwa beragama yaitu: munafik, sombong, iri, dengki, riya, tama’, agnotisme,
konversi agama dan lainnya.
      Sikap tersebut adalah sikap yang tidak patut untuk di contoh. Dalam pengertian
umum, sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi terhadap objek tertentu
berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu. Dengan demikian,
sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan
seseorang, serta tergantung kepada objek tertentu. Sikap keagamaan yang menyimpang
terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap yang dianut
mengalami perubahan.
      Sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu
berkonotasi buruk. Sikap kagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang
cendrung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan
pembaharuan. Jika tingkah laku yang di perlihatkan sesuai dengan norma yang berlaku,
maka tingkah laku tersebut dinilai baik dan diterima, sebaliknya, jika tingkah laku
tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan norma yang berlaku, maka tingkah laku
tersebut dinilai buruk dan ditolak. Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku ini
disebut dengan tingkah laku yang menyimpang.
DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-1


Hude Darwis, Emosi, Jakarta (erlangga: 2006)
Jalaluddin, psikologi agama, Jakarta (PT rajagrafindo persada: 2012)
http://susahkal.blogspot.co.id/2013/05/problema-jiwa-beragama.html
http://kumpulantugassekolahdankuliah.blogspot.co.id/2014/12/hubungan-sikap-
keagamaan-dan-pola.html

[1] M. Darwis Hude,Emosi,erlangga,jakarta,2006,hlm18


[2] H. Jalaluddin, psikologi agama, Jakarta (PT rajagrafindo persada: 2012), hlm
259.
[3] Ibid hlm 288

Anda mungkin juga menyukai