Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA

Diajukanuntukmemenuhisyarat-syarat
Gunamemprolehnilaidimatakuliahpsikologiagamadanmental

DisusunOlehKelompok9:

Riska Alvionita :19531149

Renti Novitasari :19531138

Pera Mustika :19531123

Dosenpengamp: Rini Puspita Sari,MA

INSTITUTAGAMAISLAMNEGERICURUP
FAKULTASTARBIYAH
PROGRAMSTUDIPENDIDIKANAGAMAISLAM
TAHUNAJARAN2020/2021
PENDAHULUAN

Hidup penuh damai, toleran dan saling berdampingan tanpa memandang perbedaan baik
secara et nis, budaya dan agama merupakan impian ideal setiap manusia. Tidaklah mungkin kita
mampu meningkatkan kualitas hidup kita tanpa adanya ruang kehidupan yang toleran dan damai
tadi. Karena tidak ada setting sosial di mana pun di dunia ini yang benar-benar monolitik atau
homogen secara penuh, di manapun kita berada pasti kemajemukan ataupluralitas merupakan
kenyataan dan keniscayaan di sana. Pendek kata, tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang
benar-benar tunggal.

Karena tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang benar-benarmonolitik tetapi
selalu terkandung aspek-aspek hidup yang majemuk baiksecara etnis, budaya, maupun agama,
konflik dalam pengertiannya yang luasniscaya menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Diperlukan manajemenkonflik agar tidak menjadi konflik kekerasan yang akan merusak sendi-
sendikehidupan bersama. Konflik etnis di berbagai tempat, global, regional, dannasional masih
saja terjadi, dan Indonesia sebagai negara multi etnis, agama,dan budaya mengalami hal serupa.
Semua itu terjadi akibat dari ketidak-mampuan mengelola perbedaan atau melakukan manajemen
konflik dalammasyarakat majemuk. Sebab secara sosiologis, konflik memang merupakanhal
yang “lumrah” terjadi dan diyakini sebagai bagian dari kehidupan manusia.

Namun jika konflik bahkan yang sifatnya violence (kekerasan) dilakukan olehmereka
yang mengaku taat beragama, karena memang tidak pernah melewat-kan ritual keagamaan
masing-masing secara formal, hal itu tentu dianggapsebagai sebuah kasus atau bahkan fenomena
yang menyedihkan; bagaimanamungkin nilai-nilai mulia dari tujuan setiap peribadatan tidak
sejalan secaraempirik dengan orang-orang yang menjalankannya. Dalam hal kehidupan
beragama, perbedaan tidak jarang menyulutbeberapa konflik bahkan peperangan antar umat
beragama yang paling bru-tal dalam sejarah manusia.

Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam halajaran agama melepaskan kuda-kuda


perang dan membenarkan pembantaianmanusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan
dan panggilan suciagama. Semacam “teologi perang” pun dibangun untuk merespon
perbedaanini dan ironinya diyakini secara imani sebagai pemahaman kitab suci secaratekstual
dan parsial untuk mengklaim Tuhan dan kebenaran “hanya ada” dipihak sendiri, dan juga untuk
melegitimasi tindakan kekerasan dan perang atas nama Tuhan. Megatrend abad 21 sebagai abad
“kebangkitan agama” pun menjadi “jauh panggang dari api”. Perkembangan yang terjadi dewasa
iniadalah masih banyaknya para kaum beragama masih saling memandang dalamsorot mata
bermusuhan, teror, perang; ketika ketika agama membawa petakadan sengsara, ketika banyak
peperangan yang justru dikobarkan oleh “api jahat” agama, pada saat banyak jiwa manusia
melayang justru untuk memuliakan Tuhan,dan manakala Tuhan diagungkan dan dibela mati-
matian dengan darah sucibanyak manusia.
PEMBAHASAN

A. Kematangan Beragama (Mature Religion)


Setiap pembahasan tentang kematangan beragama (Mature Religion), agama
diasumsikan sebagai keadaan terbaik dan paling efektif. Kematangan beragama
merupakan salah satu sub pembahasan dari pertumbuhan dan perkembangan beragama
dan kepribadian. Perkembangan dalam konteks psikologi selalu bermakna positif dan
tidak digunakan untuk sebaliknya. Oleh karena kematangan beragama merupakan
perkembangan beragama, maka ia memiliki makna positif sebagaimana akan dijelaskan
nanti. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa pandangan psikolog tentang kematangan
beragama dan ciri-ciri dari orang yang beragama secara matang.
1. Walter Houton Clark
Clark dalam diskusi tentang kematangan beragama ini mendefinisikan agama
sebagai “pengalaman keberjumpaan batin seseorang dengan Tuhan yang
pengaruhnya dibuktikan dalam perilaku nyata hidup seseorang. Penjelasan dari
pengertian agama Clark ini adalah ketika seseorang secara aktif berusaha
melakukan harmonisasi atau penyelarasan hidupnya dengan Tuhan.” Itulah
kematangan beragama yang didefiniskan Clark. Kematangan beragama dalam
konsepnya yang ideal meniscayakan suatu kesadaran ketuhanan (God awareness)
atau realitas kosmis lain, yang tercermin dalam pengalaman “ke dalam” dan
terekspresi “ke luar”. Adapun ciri-ciri dari keberagamaan yang matang menurut
Clark adalah sebagai berikut:
Pertama, lebih kritis, kreatif, dan otonom dalam beragama.
Kedua, keberagamaan matang memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar
dirinya.
Ketiga, keagamaan matang tidak puas semata-mata dengan rutinitas ritual dan
verbalisasinya.
2. Gordon Allport
Psikolog terkenal Allport memberikan ciri-ciri kematangan beragama beberapa
kriteria berikut, yaitu: Pertama, berpengetahuan luas dan rendah hati (well-
differentiated and self critical). Orang beragama dengan ciri ini mengimani dan
memiliki kesetiaan yang kuat terhadap agamanya, namun juga ia mengakui
kemungkinan “kekurangan” untuk diperbaiki sehingga mau belajar kepada
siapapun termasuk kepada pemeluk agama lain. Orang yang beragama matang
juga bisa menerima kritik tetapi memiliki fondasi kuat tentang agama dan istitusi
agamanya. Intinya, agama matang menggunakan nalar sebagai faktor integral
dalam keberagamaannya yang berfungsi secara dinamis dalam beragama.
Kedua, menjadikan agama sebagai kekuatan motivasi (motivational force). Orang
yang matang dalam beragama menjadikan agama sebagai tujuan dan kekuatan
yang selalu dicari untuk mengatasi setiap masalah yang selanjutnyamembawa
pada transformasi diri.
Ketiga, memiliki moralitas yang konsisten (moral consistency). Orang yang
beragama matang memiliki perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai moral secara
yang konsisten dalam perilaku nyata sehari-hari.
Keempat, pandangan hidup yang komprehensif (comprehensiveness), yang
intinya adalah toleransi. Orang yang beragama matang memiliki keyakinan kuat
akan agamanya tetapi juga mengharuskan dirinya untuk hidup berdampingan
secara damai dan harmonis dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Konflik kekerasan tentu bukan bagian dari kehidupannya karena toleransi
merupakan visi hidupnya.
Kelima, pandangan hidup yang integral (integral). Kriteria ini melibatkanrefleksi
dan harmoni, dan hidup yang berguna. Orang yang beragama dengan matang,
sejalan dengan prinsip keempat sebelumnya, memiliki visi hidup yang harmoni
atau damai. Ia juga mengorientasikan hidupnya agar dapat berguna bagi orang
lainnya.
Keenam, heuristic. Maksud dari kriteria ini adalah bahwa orang yang beragama
matang selalu mencari kebenaran dan memahami pencapaian sementara tentang
keyakinannya itu, yang menjadikannya seorang “pencari” selamanya. Orang yang
beragama matang memiliki kerendahan hati dan keterbukaan atas pandangan-
pandangan keagamaan baru dan menjadikan perkembangan atau dinamika
keagamaan sebagai sebuah pencarian asli. Bagi Allport orang yang beragama
matang memiliki dimensi akademisnya, sehingga kriterianya tentang kematangan
beragama lebih disukai oleh kalangan akademisi. Dalam pandangan Allport,
untuk menjadi orang yang matang dalam beragama tidaklah sulit karena siapa pun
bisa mencapai tingkat keberagamaan puncak ini.
3. William James
William James dianggap sebagai bapak psikologi agama. Bukunya yang terkenal
The Varieties of Religious Experience merupakan pembahasan agama yang
paling mendalam dan komprehensif. James berpendapat bahwa agama memiliki
peran sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beragama pada
manusia menurut James paling tidak sama menariknya dengan dorongan-
dorongan lainnya. Oleh karena itu, agama patut mendapat perhatian dalam setiap
pembahasan dan penelitian sosial yang lebih luas. James memberikan kriteria
orang yang beragama matang sebagai berikut;
Pertama, sensibilitas akan eksistensi Tuhan, maksudnya adalah bahwa orang yang
beragama matang selalu tersambung hati dan pikirannya dengan tuhan. Oleh
karena selalu tersambung dengan Tuhan, perilaku orang yang beragama matang
akan melahirkan kedamaian, ketenangan batin yang mendalam dan terhindar dari
keburukan-keburukan hidup. Kedua, kesinambungan dengan Tuhan dan
penyerahan diri pada-Nya. Poinkedua ini merupakan konsekwensi dari yang
pertama, di mana orang beragama matang secara sadar dan tanpa paksaan
menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Tuhan, yakni kebajikan karena Tuhan
adalah Maha Baik. Orang yang beragama matang terbebas dari ego yang selalu
membisikan orang pada kejahatan-kejahatan baik secara intra maupun
interpersonal.
Ketiga, penyerahan diri sebagaimana dalam poin kedua melahirkan rasa bahagia
dan kebebasan yang membahagiakan. James menandai sikap beragama sebagai
kepercayaan akan adanya ketertiban tak terlihat dan keinginan untuk hidup serasi
dengan ketertiban itu. Hubungan manusia dengan realitas tak terlihat, agama,
melahirkan efek kehidupan secara individual. Ia akan mengaktifkan energi
spiritual dan menggerakkan karya spiritual. Orang yang beragama matang
memiliki gairah hidup, dan memberikan makna danm kemuliaan baru pada hal-
hal yang lazimnya dianggap biasa-biasa saja. James karenanya melihat agama
sebagai sumber kebahagiaan, sehingga orang yang beragama matang menjalani
kehidupannya dengan penuh kebahagiaan.
Keempat, orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi menjadi
cinta dan harmoni. Orang yang beragama matang mencapai perasaaan tenteram
dan damai, di mana cinta mendasari seluruh hubungan interpersonalnya. Oleh
karena itu, orang beragama matang bebas dari rasa benci, prejudice, permusuhan,
dan lain-lain, tetapi cinta dan harmoni merupakan dasar bagi kehidupan sosial
atau interpersonalnya. Bagi James, seorang rahib adalah tipe kehidupan ideal dari
orang yang beragama matang ini10 sehingga nampaknya tidak semua orang dapat
mencapai puncak ke- beragamaan matang ini. Seorang Sufi, Bikkhu dan
Bikkhuni, Romo, dan yang sejenis masuk ke dalam tipe orang yang beragama
matang menurut James ini.
4. Wiemans
Dalam bukunya Normative Psychology of Religion Henry Nelson Wieman dan
Regina Westcott Wieman menguraikan kriteria agama matang sebagai berikut:
Pertama, hidup yang bermanfaat secara kemanusiaan.
Kedua, loyalitas yang sempurna.
Ketiga, efisien dalam mencapai tujuan.
Keempat, hidup berdasarkan dan sensitive dalam memandang nilai.
Kelima, loyalitas yang terus tumbuh, dan
Keenam, loyalitas sosial yang efektif.
Inti dari ciri orang yang beragama matang menurut Wiemans adalah
penekanannya pada kehidupan sosial yang diringkas dengan kesalehan sosial.
Oleh karena itu, orang yang beragama matang mengimplementasikan
kebagamaannya dari kebaikan sosial atau kesalehan sosial tadi.
5. Erich Fromm
Dalam pembahasan tentang kematangan beragama ini Fromm membandingkan
antara keberagamaan otoriter dan humanis. Keagamaan otoriter adalah
keberagamaan yang diperoleh dari yang lain (luar) dan bersifat tirani dalam diri
seseorang, sedangkan keberagamaan keagamaan humanis adalah keagamaan yang
muncul dari pendirian dan keyakinan terdalam, kerinduan akan nilai agama dalam
dirinya sehingga bersifat humanis. Keberagamaan tipe kedua inilah yang
dimaksud Fromm sebagai keagamaan yang matang.

B. Kriteria Orang yang Matang Beragama


Menurut penelitian Allpon (1967), bahwa ada enam ciri-ciri sentimen beragama
yang matang, yaitu adanya differensiasi, dinamis, produktif, komprehensif, integral, dan
keikhlasan dalam pengabdian kepada Tuhan. Berdasarkan pendapat Allpon tersebut,
maka dapat dikembangkan bahwa karakteristik orang yang telah matang jiwa
beragamanya, adalah jika seseorang memiliki enam kriteria, yaitu: (1) differensiasi yang
baik, (2) motivasi kehidupan beragama yang dinamis, (3) pelaksanaan ajaran agama
secara konsisten dan produktif, ( 4) pandangan hid up yang komprehensif, (5) pandangan
hid up yang integral, (6) semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan (Aziz, 1991:
50). Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Differensiasi yang Baik
Differensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin
majemuk suatu aspek psikis yang dimiliki seseorang. Semua pengalaman, rasa
dan kehidupan beragama makin lama semakin matang, semakin kaya, kompleks
dan makin bersifat pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam memecahkan
perbagai permasalahan yang dihadapi berlandaskan ke-Tuhanan. Penghayatan
yang berhubungan dengan Tuhan makin dirasakan bervariasi dalam perbagai
suasana dan nuansa. Dalam kesendiriannya; ia mencari dan merasakan kerinduan
kepada Tuhan. Perasaan, penghayatan, pemikiran, kemauan dan keinginan yang
bergolak pada situasi dan kondisi yang berbeda tersebut merupakan differensiasi
kesadaran beragama. Harapan akan surga dan keridhaan Tuhan, kecemasan dan
ketakutan terhadap api neraka dan siksaan Tuhan, cinta kasih terhadap sesama
pemeluk agama serta kebencian terhadap hawa nafsu dan godaansyetan,
kesemuanya itu merupakan hasil differensiasi kesadaran beragama yang
terpolakan ke dalam suatu sistem mental.
2. Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis
Dari sudut psikologi, motivasi kehidupan beragama pada mulanya berasal dari
pelbagai dorongan, baik biologis, psikis maupun sosial. Dorongan biologis,
seperti rasa lapar, rasa haus, kemiskinan, penderitaan, penjajahan dan penindasan.
Orang akan termotivasi mendekatkan diri kepada Tuhan saat dilanda kekurangan,
kemiskinan, bencana alam, saat penderitaan lainnya. Dalam al-Kitab maupun al-
Qur'an secara implisit diterangkan bahwa Bani Israel akan taat mengikuti
perintah-perintah Nabi maupun Tuhan di saat di landa krisis maupun ditindas
bangsa lain seperti bangsa Falistin dan Babilonia. Sebaliknya, kalau mereka sudah
terbebaskan dari penindasan maupun hidup dalam kemakmuran, watak Bani Israel
akan muncul yaitu suka membakang terhadap ajaran para nabinya bahkan
berusaha membunuhnya (wa yaqtulu al-anbiya'), seperti yang menimpa Nabi
Zakaria, as. dan putranya, Yahya, as. Dalam realitas sekarang bangsa-bangsa yang
sering mengalami krisis ekonomi maupun politik ada kecenderungan aktif
melakukan pendekatan kepada Tuhan, seperti yang terjadi di Indonesia di kala
awal krisis di mana-mana kita dapatkan kegiatan seperti tau bat dan doa bersama
(istighasah akbar), tetapi ketika krisis mulai mereda kegiatan semacam itu seakan
hilang gaungnya. Inilah watak asli manusia, dia akan dekat kepada Tuhan saat
dilanda berbagai bencana dan menjauhkan dari Tuhan ketika kemakmuran telah
datang sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'an Surat Saba' yaitu kejadian
bencana banjir (sailul 'arim) yang melanda negeri Saba' (Yaman).
3. Pelaksanaan Ajaran Agama Secara Konsisten clan Produktif
Tanda ketiga kesadaran beragama yang matang terletak pada konsistensi atau
keajegan pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab dengan
mengerjakan perintah agama sesuai kemampuan clan berusaha secara maksimal
meninggalkan larangan-larangan-Nya. Pelaksanaan kehidupan beragama atau
peribadatan merupakan realisasi penghayatan ke-Tuhanan clan keimanan.
Pengertian ibadah mencakup pelaksanaan aturan, hukum, ketentuan, tata cara,
perintah, kewajiban, clan larangan dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia,
masyarakat, clan alam. lbadah yang menekankan realisasi hubungan manusia
dengan Tuhan, sering disebut ibadah dalam arti khusus. Formalitas, tata cara dan
peraturan ibadah khusus telah ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu yang
disampaikan kepada Nabi sehingga tidak boleh diubah atau dimodifikasikan.
Ibadah dalam arti luas mencakup seluruh kehendak, cita-cita, sikap, dan tingkah
laku manusia berdasarkan penghayatan ke-Tuhanan disertai niat atau kesengajaan
dengan ikhlas karena dan demi Allah. Orang yang memiliki kesadaran
beragamayang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil,
mantap dan penuh tanggung jawab dan dilandasi wama pandangan agar yang luas.
Tiada kebahagiaan yang lebih mulia daripada kewajiban melaksanakan perintah
agama secara konsisten (istiqamah).
Bagi orang yang belum matang seringkali muncul gejolak yang kuat untuk
melaksanakan ibadahnya, namun kurang konsisten dan kurang terintegrasi dengan
perilaku keagamaan lainnya, misalnya kadang-kadang gejolak ibadahnya karena
dipengaruhi oleh orang lain. Ia melaksanakan ibadah dan mengendalikan
kehidupan moralnya secara kaku, kadang-kadang terlalu berlebihan
mengharapkan bahkan memaksa orang lain agar beribadah dan bermoral seperti
dirinya. Orang yang tidak melaksanakan ibadah sebagaimana ia sendiri
melaksanakannya akan dimusuhi. Sikap demikian dapat disebut sok-agamis, sok
moralis. Ada pula orang yang hanya tekun melaksanakan ibadah secara parsial
atau sporadis seperti melaksanakan puasa sunnah berbulan-bulan tanpa shalat atau
suka berderma akan tetapi tidak pemah mengeluarkan zakat. Mereka yang belum
matang kesadaran beragamanya menunjukkan tingkah laku keagamaan yang
kaku, labil, dan kurang disertai rasa tanggung jawab.
4. Pandangan Hidup yang Komprehensif
Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh danbkomprehensif.
Keanekaragaman kehidupan dunia harus diarahkan pada keteraturan. Keteraturan
ini berasal dari analisis terhadap fakta yang ternyata mempunyai hubungan satu
sama lain. Fakta yang perlu dicari kaidahnya itu bukan hanya benda materi, akan
tetapi keteraturan itu meliputi pulaalam perasaan, pemikiran, motivasi, norma,
nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia
memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya secara
pasti. Agama seperti juga filsafat mampu memberikan jawaban, keteraturan dan
hukum/kaidah secara rasional dan logis. Bahkan agama lebih luas dan lebih
mendalam daripada filsafat, karena agama tidak hanya memberikan pegangan
hidup yang logik dan rasional saja, akan tetapi memberikan pula dinamika
penyaluran dan kepuasan bagi dorongan emosional. Agama memberikan jawaban
terhadap masalah kematian, hid up sesudah mati, alam akhirat dan rasa ke-
Tuhanan. Agama memberikan dorongan dan motivasi lebih kuat dan lebih
bermakna terhadap semangat dan arti hidup. Bagi orang yang matang
beragamanya, maka memahami dan melakukan agama tidak sekedar bersifat
formalitas dan parsial, tetapi berusaha memahami dan melaksanakan agama
secara logika, perasaan dan tindakan. Bahkan memasuki wilayah agama secara
utuh. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah swt. berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu". (QS. al-Baqarah: 208).
5. Pandangan Hidup Yang Integral
Kesadaran beragama yang matang ditandai adanya pandangan hidup yang
komprehensif yang dapat mengarahkan dan menyelesaikan berbagai
permasalahan hidup. Fi1safat hidup yang komprehensifitu meliputi berbagai pola
pandangan, pemikiran dan perasaan yang luas. Di samping komprehensif,
pandangan dan pegangan hidup itu harus terintegrasi, yakni merupakan suatu
landasan hidup yang menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi
fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam kesadaran beragama, integrasi
tercermin pada keutuhan pelaksanaan ajaranagama, yaitu keterpaduan antara
Islam (amal shaleh), keimanan (keyakinan dan pemikiran) serta ihsan
(perasaan/kalbu). Pandangan hid up yang matang bukan hanya keluasan
cakupannya saja, akan tetapi mempunyai landasan terpadu yang kuat dan
harmonis (Aziz, 1991: 58).
Pegangan hidup keagamaan yang komprehensif dan terintegrasi dengan harmonis
bukan hanya mampu menghadapi permasalahan hidup empat belas abad yang lalu
ketika Nabi saw terakhir diturunkan, akan tetapi dapat menjadi pegangan bagi
manusia yang hidup pada masa kini yang ditandai kepesatan perkembangan sains
dan teknologi. Norma serta hasil penemuan sains dan teknologi dapat
bertentangan dengan penafsiran normal kepercayaan dan kebiasa:.m perilaku
keagamaan. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang terintegrasi akan
berusaha mengolah penentangan itu dengan menganalisis kembali penafsiran
ajaran agama dan meneliti norma penemuan baru dengan kritis, sehingga
menghasilkan pandangan baru yang dapat dijadikan pegangan. la menyadari,
bahwa pada dasamya agama dan sains tidaklah bertentangan, bahkan hams
bekerja sama dan saling mendukung, karena keduanya sama-sama mencari
kebenaran.
6. Sernangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan
Ciri terakhir dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang ialah
adanya semangat mencari kebenaran, keirnanan, rasa ke-Tuhanan dan cara-cara
terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. la selalu menguji
keimanannya melalui pengalaman-pengalaman keagamaan sehingga menemukan
keyakinan lebih tepat. Peribadatannyaselalu dievaluasi dan ditingkatkan agar
menemukan keledzatan ibadah dan kesyahduan penghayatan "kehadiran" Tuhan.
Walaupun demikian ia masih merasakan bahwa keimanan dan peribadatannya,
belum sebagaimana mestinya dan belum sempuma (Aziz, 1991: 59).
Gambaran tentang Tuhan tiap kali dirasakan masih merupakan suatu hipotesis
hasil pemikiran yang tidak terlepas dati orientasi ruang dan waktu. Gambaran itu
tiap kali bukanlah Tuhan sebenamya. la berusaha terus mencari dan mendapatkan
keimanan yang lebih tepat. Keimanan yang lebih tepat pun ternyata belum
mencapai kebenaran yang sempurna. Kesempurnaan itu sendiri tidak mungkin
dicapai seumur hidupnya. la hanya mampu mendekatinya. Setiap beribadah ia
merasa dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu demikian dekat sehingga lebih dekat
daripada urat nadi di lehemya. Bahkan akhimya kedekatan itu tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata kepada orang lain. Hal itu sebagaimana yang
digambarkan kisah Ibrahim as. dalam mencari Tuhan-Nya. Setelah Ibrahim dalam
perjuangan panjangnya menemukan hakikat Tuhan yang sejati;maka jiwa ke-
Tuhanan-nya tak pemah lepas dari kepribadiannya, bahkan ke manapun pergi ia
merasa selalu dekat dengan Tuhan hingga mendapat gelar Ibrahim Khalilullah
(Ibrahim Sahabat Allah).

C. Kematangan Beragama Menurut Al-Qur'an


Di dalam al-Qur'an terdapat beberapa kriteria orang yang bisa dikategorikan
matang agamanya antara lain: 1) Orang tersebut amat cinta kepada Allah (QS. al-
Baqarah: 165); 2) Beriman kepada semua nabi (QS.al-Baqarah: 136); 3). Mereka
senantiasa bersama Allah dan tidak pernah cerai berai dari pada-Nya, iman mereka
mantap, tujuan hidupnya menegakkan tauhid, dengan senantiasa mengabdi dan beribadah
kepada-Nya (QS. al-Baqarah: 194); 4). Mereka juga orang yang selalu setia pada janji
(QS. al-Baqarah: 177); 5). Selalu bantu membantu dalam kebajikan dan bukan dalam ha!
kejahatan (QS. al-Maidah: 2); 6) Bersikap adil walaupun harus merugikan dirinya dan
golongannya (QS. an-Nisa: 135); 7) Bersikap jujur sekalipun pada lawan (QS. al-Maidah:
2); 8) Hidup secara wajar (QS. al-Baqarah: 62); 9) Orang yang selalu menafkahkan
sebagian hartanya baik dalam kondisi lapang maupun sempit serta memaafkan kesalahan
orang lain (QS. al- Imran: 133-134); 10) Hidupnya dikorbankan demi mencari ridha
Allah swt. (QS. al-Baqarah: 207). Dan tentunya masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an
maupun hadits yang menjelaskan tentang kematangan beragama seorang muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa. Teologi Perang, Justifikasi Kekerasan Atas Nama Tuhan, KOMPAS,
Rubruk, 7 Februari 2003.

Clar, Walter Houston. The Psychology Of Religion: An Introdution to Religious


Experience and Bebavior. New York: the MacMillan Company, 1968

Hamim, Thoha et.al (eds), Resolusi Konflik Islam Indonesia. Surabaya: LSAS, 2007.

Allport, Gordon W.1967. the Individual and his Religion. New York: Macmilla Company.

Madjid, Nurcholis. 1997. Tradisi: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai