Anda di halaman 1dari 16

Kematangan Beragama

MATA KULIAH
Psikologi Agama
DOSEN PENGAMPU

Dra. Hj. Siti Faridah, M. Ag

Oleh:
Dicky kurniawan Chaniago (180103040242)
Hidayatun Nadya (180103040333)
Luzaina (170104040238)
Mayadah Sarnadilah (180103040238)
Muhammad Mursyidi (180103040351)
Norhidayah (180103040072)
Yulisa Bella Putri Cikita (180103040098)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PSIKOLOGI ISLAM
BANJARMASIN
2020
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kematangan beragama yang dimiliki setiap individu, merupakan
perilaku mulia yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari dan akan
dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Apabila dari anggota masyarakat
berperilaku mulia, maka kehidupan pada masyarakat tersebut seperti mata air
yang bersih dan sejuk. Serta dari setiap jiwa akan memancarkan cahaya yang
merupakan pandangan yang indah bagi siapa saja yang memandangnya.
Individu yang memiliki kematangan beragama yang tinggi, akan
mampu membuka diri dan loyal dalam memperluas wawasan dan aktifitasnya.
Berbekal kematangan beragama, individu akan menunjukan kematangan
dalam sikap dan menghadapi permasalahan, nilai, tanggung jawab dan
terbuka terhadap semua realitas yang mengitarinya. Dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai pengertian dari kematangan beragama, baik itu
menurut Psikologi Barat ataupun menurut Psikologi Islam, kriteria dan aspek-
aspek kematangan beragama serta faktor penghambat kematangan beragama
tersebut.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu kematangan beragama itu?
2. Apakah itu kematangan beragama menurut Psikologi Barat?
3. Apakah itu kematangan beragama menurut Psikologi Islam?
4. Apa saja kriteria dan aspek-aspek dalam kematangan beragama itu?
5. Apa saja faktor penghambat dari kematangan beragama itu?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penegrtian dari kematangan beragama.
2. Untuk mengetahui kematangan beragama menurut Psikologi Barat.
3. Untuk mengetahui kematangan beragama menurut Psikologi Islam.
4. Untuk mengetahui kriteria dan aspek-aspek dalam kematangan beragama.
5. Untuk mengetahui faktor penghambat dari kematangan beragama.

D. Teori yang dipakai


Dalam makalah ini, kami menggunakan dua pandangan yaitu pandangan dari
Psikologi Barat dan Psikologi Islam.

E. Metode yang digunakan


Dalam makalah ini kami menggunakan metode deskriptif karena mengutip
dari buku-buku, jurnal dan karya tulis ilmiah sebelumnya.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kematangan Beragama


Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan
jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur
kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut
kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat
kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi
perkembangan rohani disebut istilah kematangan.1 atau dapat juga
diartikan bahwa kematangan adalah satu keadaan yang menimbulkan
perubahan tingkah laku sebagai akibat daripertumbuhan dan
perkembangan fisik.2
Menurut pengertian Allport, kematangan diartikan sebagai
pertumbuhan kepribadian dan intelegensi secara bebas dan wajar, seiring
dengan perkembangan yang relevan. Kematangan dicapai seseorang
melalui perkembangan hidup yang berakumulasi dengan berbagai
pengalaman. Individu dalam menjalani fase kehidupannya, memperoleh
dan mengolah berbagai pengalaman hidupnya, baik secara fisik,
psikologis, sosial dan spiritual. Akumulasi dari pengalaman hidup tersebut
kemudian terefleksikan dalam pandangan hidup, sikap, dan perilaku
sehari-hari.
Kematangan dalam beragama, yaitu kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama
yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama
karena menurut keyakinannya, agama tersebutlah yang terbaik. Keyakinan

1
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2012), 123.
2
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 1995),
115.
itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang
mencerminkan ketaatan terhadap agama.3

B. Kematangan Beragama Menurut Psikologi Barat


Psikologi agama yang bersumber dari barat dimaknai sebagai ilmu
jiwa yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan
mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap,
tingkah laku, dan keadaan hidup manusia pada umumnya. Disamping itu,
psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa
agama pada seseorang dan faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan
tersebut. Dunia barat melahirkan paradigma dalam studi perkembangan
jiwa keagamaan manusia sesuai dengan aliran-aliran psikologi yang ada,
seperti Wilhem Wundt tokoh psikologi strukturalisme memakai
paradigma “kesadaran”, Sigmund Freud tokoh psikoanalisa yang
menggunakan paradigma “ketaksadaran”, J.B Waston tokoh
Behaviorisme yang menggunakan paradigma “objektif”, dan Abraham
Maslow tokoh psikologi Humanistik yang menggunakan paradigma “
kemanusiaan”. Paradigma psikologi dari barat ini memiliki corak
objektivitas dan rasionalitas. Suatu studi dikatakan ilmiah apabila
memiliki kedua sifat ini, rasionalitas dan objektivitas menilai kebenaran
berdasarkan apa yang ada pada dirinya sendiri dan kebenaran yang
didapatkan bersifat relatif yang artinya dapat berubah seiring
berkembangnya penelitian yang dilakukan.4 Di bawah ini akan dijelaskan
beberapa pandangan psikolog barat tentang kematangan beragama:

3
Jalaludin, Psikologi Agama.
4
Endang Kartikowati dan Zubaedi, PSIKOLOGI AGAMA DAN PSIKOLOGI
ISLAMI: Sebuah Komparasi (Jakarta: Kencana, 2016), 10-11.

4
1. Gordon Allport
Menurut Allport (1953), kematangan beragama ialah watak
keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Pengalaman-
pengalaman itu sendiri akan membentuk respon terhadap objek-objek
atau stimulus yang diterimanya akan berupa konsep-konsep dan
prinsip-prinsip. Konsep dan prinsip yang terbentuk dalam diri
individu tersebut akan menjadi bagian penting dan bersifat menetap
dalam kehidupan pribadi individu sebagai agama. Jika pada suatu saat
keberagamaan individu sudah matang, maka kematangan
keberagamaan itulah yang akan mengarahkan individu untuk bersikap
dan bersifat terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, dan memberi arah
dalam menuju kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek.
Dalam upaya pencapaian kematangan keberagamaan dalam diri
individu, peran kedewasaan, kematangan, dan kemampuan dalam
memahami makna, baik yang tersirat maupun tersurat dengan
bersandar pada sendi agama, menjadi faktor yang cukup menentukan.
Pengalaman supra natural dan religious juga tidak dapat diabaikan
sebagai faktor yang turut berperan dalam membentuk pribadi yang
memiliki kematangan beragama.5

Subandi (1995), mengungkapkan bahwa perkembangan


keberagamaan seseorang merupakan proses yang tidak akan pernah
selesai. Mencapai kematangan beragama yang ideal bukanlah suatu
usaha yang mudah, banyak aspek yang berperan dalam proses
kematangan dalam beragama. Oleh karena itu kematangan beragama
ialah keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai,, serta

5
Emma Indirawati, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan
Strategi Coping,” dalam Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro No. 2, Vol. 3 (2016): 74–75.

5
memberi arah pada kerangka hidup baik secara teoritis maupun
praktis dengan berpegang pada agama yang diyakini.

2. Walter Houton Clark


Clark dalam diskusi tentang kematangan beragama ini
mendefinisikan agama sebagai “pengalaman keberjumpaan batin
seseorang dengan Tuhan yang pengaruhnya dibuktikan dalam
perilaku nyata hidup seseorang, penjelasan dari Clark mengenai
pengertian agama ini adalah ketika seseorang yang secara aktif
berusaha melakukan harmonisasi atau penyelarasan kehidupannya
dengan Tuhan”. Itulah kematangan beragama yang didefinisikan
Clark. Kematangan beragama dalam konsepnya yang ideal
meniscayakan suatu kesadaran ketuhanan (God awareness) atau
realitas kosmis lain, yang tercermin dalan pengalaman “ke dalam”
dan terekspresi “ke luar”.6

3. William James
William James dianggap sebagai bapak psikologi agama.
Bukunya yang terkenal The Varieties of Religious Experience
merupakan pembahasan agama yang paling mendalam dan
komprehensif. James berpendapat bahwa agama memiliki peran
sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beragama
menurut James sangat menarik, dia berpendapat bahwa manusia
memiliki sensitibilitas akan eksistensi Tuhan, maksudnya adalah
manusia yang beragama matang selalu tersambung antara hati dan
pikirannya dengan Tuhan. Itulah mengapa perilaku orang yang

6
Roni Ismail, “Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan
Beragama),” dalam Jurnal Religi No. 1, Vol. 3 (Januari 2012): 3–4.

6
beragama matang akan melahirkan kedamaian, ketenangan batin yang
mendalam dan terhindar dari keburkan-keburukan hidup.7

4. Wiemans
Wiemans berpendapat bahwa keberagamaan individu
ditekankan pada kehidupan sosial yang diringkas dengan kesalihan
sosial. Oleh karena itu orang yang beragama matang
mengimplementasikan keberagamaan dengan hidup bermanfaat
secara kemanusiaan, memiliki loyalitas yang terus tumbuh, fokus
dalam mencapai tujuan hidup, hidup berdasarkan nilai serta
sensitivitas dalam memandang nilai.

5. Erich Fromm
Dalam pembahasan tentang kematangan beragama ini Fromm
membandingkan antara keberagamaan otoriter dan humanis.
Keagamaan otoriter adalah keberagamaan yang diperoleh dari yang
lain (luar) dan bersifat tirani dalam diri seseorang, sedangkan
keberagamaan keagamaan humanis adalah keagamaan yang muncul
dari pendirian dan keyakinan terdalam, kerinduan akan nilai agama
dalam dirinya sehingga bersifat humanis, keberagamaan inilah yang
dimaksud Fromm sebagai keberagamaan yang matang.8

7
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2004).
8
Roni Ismail, “Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan
Beragama).”

7
C. Kematangan Beragama Menurut Psikologi Islam
Menurut Ibnu Qayyim, ada Sembilan kriteria orang yang memiliki
kematangan beragama berdasarkan Q.S. Al-Mu’minun: 1-10, yaitu:
Pertama, terbina keimanan agar selalu bertambah kualitasnya. Kedua,
terbina ruhiyah, menanamkan kebesaran dan keagungan Allah SWT
sehingga menyibukkan diri dengan shalat lima waktu. Ketiga, terbina
pemikiran sehingga akal hanya memikirkan ayat-ayat Al-Qur’aniyah.
Keempat, terbina perasaan sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan
kepada Allah SWT, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena
Allah SWT. Kelima, terbina akhlaknya, meliputi berbicara jujur, bermuka
manis, menyantuni yang tidak mampu, tidak menyakiti orang lain, dan
berbagai akhlak mulia. Keenam, terbina kemasyarakatan, ikut
mensejahterahkan masyarakat baik intelektualitas, ekonomi, dan gotong
royong. Ketujuh, terbina kemauan sehingga diarahkan sesuai dengan
kehendak Allah SWT dan selalu beramal shaleh. Kedelapan, terbina
kesehatan, memberikan hak-hak badan untuk taat kepada Allah SWT.
Kesembilan, terbina nafsu seksual, mengarahkan perkawinan yang di
halalkan Allah SWT.9
Konsep kriteria kematangan beragama yang diungkapkan Ibnu
Qayyim berdasarkan Q.S. Al-Mu’minun: 1-10 di atas dapat disimpulkan
bahwa orang yang memiliki kematangan beragama, setiap tingkah laku
dan perbuatan yang dilakukan didasarkan atas ajaran-ajaran agama.
Konsep kriteria kematangan beragama ini menggambarkan konsep
kematangan beragama menurut agama Islam.

9
Risma Frianty dan Ema Yudiani, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan
Strategi Coping Pada Santriwati Di Pondok Pesantren Tahfidz Putri Al-Lathifiyyah Palembang,”
dalam Psikis Jurnal Psikologi Islami No. 1, Vol. 1 (Juni 2015): 63.

8
D. Kriteria dan Aspek-Aspek Dalam Kematangan Beragama
1. Kriteria Dalam Kematangan Beragama
a) Kemampuan Melakukan Diferensiasi
Individu mempunyai kemampuan melakukan diferensiasi yang
baik, sehingga akan bersikap dan berprilaku terhadap agama secara
objektif, kritis, reflektif, tidak dogmatis, observatif, dan tidak
fanatik secara terbuka. Orang yang matang dalam beragama akan
mampu mengharmoniskan rasio dengan dogma, mengobservasi
dan mengkritik tanpa meninggalkan ketaatannya. Seseorang yang
memiliki kehidupan keagamaan yang terdifferensiasi adalah dia
yang mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari
kehidupan beragama selain dari segi sosial, spiritual, maupun
emosional. Pandangannya tentang agama menjadi lebih kompleks
dan realistis.
b) Berkarakter Dinamis
Dalam diri individu yang berkarakter dinamis, agama telah mampu
mengontrol dan mengarahkan motif-motif dan aktivitasnya.
Aktivitas keagamaan yang dilaksanakan semuanya demi
kepentingan agama itu sendiri. Karakter dinamis ini di dalamnya
meliputi motivasi intrinsik, otonom, dan independen dalam
kehidupan beragama. Kesimpulannya orang yang matang
keberagamaannya adalah yang menjadikan agamanya sebagai
motivasi intrinsik pada semua segi kehidupannya.
c) Konsistensi Moral
Kematangan beragama ditandai dengan konsistensi individu pada
konsekwensi moral yang dimiliki dengan ditandai oleh keselarasan
antara tingkah laku dengan nilai moral. Kepercayaan tentang
agama yang intens akan mampu mengubah atau

9
mentransformasikan tingkah laku. Mereka yang matang dalam
beragama akan selalu menyelaraskan antara tingkah laku dengan
nilai-nilai moral keagamaan yang dianutnya. Nilai-nilai moral
dalam suatu agama itu biasanya tercantum dalam kitab suci dalam
agama itu.
d) Komprehensif
Keberagamaan yang komprehensif dapat diartikan sebagai
keberagamaan yang luas, universal dan toleran dalam arti mampu
menerima perbedaan. Shihab mengatakan bahwa toleransi
memang mengandaikan adanya perbedaan yang merupakan hukum
dalam kehidupan ini.
e) Integral
Keberagamaan yang matang akan mampu mengintegrasikan atau
menyatukan agama dengan segenap aspek lain dalam kehidupan,
termasuk ilmu pengetahuan di dalamnya.
f) Heuristik
Ciri heuristik dari kematangan beragama berarti individu akan
menyadari keterbatasannya dalam beragama, serta selalu berusaha
untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatannya dalam
beragama. Orang yang matang dalam keberagamaannya, akan
selalu sadar dengan keterbatasan dirinya terhadap penerapan nilai-
nilai agama dalam kehidupannya, sehingga ia secara aktif akan
selalu progresif meningkatkan penghayatan dan pengamalannya di
dalam beragama.10

10
Emma Indirawati, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan
Strategi Coping.”
2. Aspek Dalam Kematangan Beragama
Kematangan perilaku beragama meliputi 3 aspek, yaitu: pikiran,
perasaan dan tindakan. Setiap aspek dari kematangan perilaku
beragama terdiri dari beberapa indikator sebagai berikut.
a) Aspek pikiran, indikatornya meliputi: pemahaman prinsip dasar
agama, kesadaran akan keterbatasan dalam ilmu agama dan
keimanan.
b) Aspek perasaan, indikatornya meliputi: motivasi beragama,
syukur, sabar, perasaan dekat dengan Tuhan, moralitas yang
konsisten, dan toleran.
c) Aspek tindakan, indikator dari aspek ini meliputi: praktik ibadah
dan peduli.11

E. Faktor Penghambat Kematangan Beragama


Dalam proses kematangan beragama terdapat beberapa hambatan.
Setiap tingkat kematangan beragama adalah sebuah perkembangan dari
individu, untuk mendapatkanya tentu saja memerlukan waktu karena
perkembangan dalam kematangan beragama tidak terjadi secara tiba-tiba.
Karena itu ada dua faktor yang sering menjadi hambatan, yaitu:
1. Faktor Diri Sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri ini ada dua, kapasitas diri dan
pengalaman. Kapasitas ini adalah kemampuan ilmiah (rasio) dalam
menerima ajaran-ajaran agama yang ia anut, hal itu dapat terlihat
perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang
kemampuan.

11
Abdurahim Casim, Mamat Supriatna, dan Yaya Sunarya, “Analisis Skala Kematangan
Beragama Para Siswa Sekolah Menengah Pertama Berasrama,” dalam Journal Of Innovative
Counseling No. 2, Vol. 3 (2019): 1–6.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman
seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan
stabil dalam mengerjakan aktivitas keagamaan. Namun, bagi mereka
yang mempunyai pengalaman yang sedikit dan sempit, ia akan
mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan
pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama
secara mantap dan stabil.
2. Faktor Luar
Maksud dari faktor luar ini adalah beberapa kondisi dan situasi
lingkungan yang tidak banyak memberi kesempatan untuk
berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya
perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara
lain tradisi tertentu dan berkala secara turun termurun dari satu
generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh seseorang sebagai
suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Sering kali tradisi tersebut
tidak diketahui asal-usulnya, sebab-musababnya, mulai kapan ada dan
bagaimana ceritanya.12

12
Sunurin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), 92.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama
yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu
agama karena menurut keyakinannya, agama tersebutlah yang terbaik.
Psikologi agama yang bersumber dari barat dimaknai sebagai ilmu
jiwa yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang
dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam
sikap, tingkah laku, dan keadaan hidup manusia pada umumnya.
Konsep kematangan beragama yang diungkapkan Ibnu
Qayyim berdasarkan Q.S. Al-Mu’minun: 1-10 dapat disimpulkan
bahwa orang yang memiliki kematangan beragama, setiap tingkah
laku dan perbuatan yang dilakukan didasarkan atas ajaran-ajaran
agama.
Kriteria Dalam Kematangan Beragama itu ada enam, yaitu:
kemampuan melakukan diferensiasi, berkarakter dinamis, konsistensi
moral, komprehensif, integral dan heuristik. Sedangkan aspek dalam
kematangan beragama ini yaitu: aspek pikiran, aspek perasann dan
aspek tindakan, dengan indikator yang berbeda disetiap aspeknya.
Ada dua faktor yang menghambat kematangan dalam
beragama yaitu: faktor internal yang meliputi kemampuan diri serta
pengalaman dan faktor eksternal yang meliputi kondisi dan situasi
lingkungan sosialnya yang tidak mendukung atau menghambat
seseorang dalam berproses.
B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih
terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna. oleh sebab itu
penulis leluasa menerima keritikan dan saran yang membangun agar
kepada para pembaca atau dalam penulisan makalah selanjutnya bisa
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Casim, Abdurahim, Mamat Supriatna, dan Yaya Sunarya, “Analisis Skala


Kematangan Beragama Para Siswa Sekolah Menengah Pertama Berasrama,”
dalam Journal Of Innovative Counseling No. 2, Vol. 3 (2019).

Frianty, Risma dan Ema Yudiani, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan
Strategi Coping Pada Santriwati Di Pondok Pesantren Tahfidz Putri Al-
Lathifiyyah Palembang”, dalam Psikis Jurnal Psikologi Islami No. 1, Vol. 1,
Juni 2015.

Indirawati, Emma, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan


Kecenderungan Strategi Coping,” dalam Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro No. 2, Vol. 3 (2016).

Ismail, Roni, “Konsep Toleransi Dalam Psikologi Agama (Tinjauan Kematangan


Beragama)”, dalam jurnal Religi, No. 1, Vol. 3, Januari 2012.

Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta, PT Raja Gravindo Persada, 2012.

Kartikowati, Endangdan Zubaedi, PSIKOLOGI AGAMA DAN PSIKOLOGI ISLAMI:


Sebuah Komparasi, Jakarta, Kencana, 2016.

Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2004.

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya, Jakarta, Rineka Cipta,


1995.

Sunurin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2014.

Anda mungkin juga menyukai