Anda di halaman 1dari 13

PSIKOLOGI AGAMA

KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA


Dosen Pengampu : Dra. Isti Fatonah, MA

Disusun oleh: Kelompok 6


1. Riski wahyu duwi saputra (2201010101)
2. Anas Abdilah (2201011014)

A. Pengertian Kematagan Beragama


Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya
ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap
benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang
terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan
bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Manusia mengalami
dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan
rohani.
Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak
perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya
perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas).
Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut dengan
istilah kematangan (maturity).1 Jika pada suatu saat keberagamaan individu sudah
matang, maka kematangan beragama itulah yang akan mengarahkan individu
untuk bersifat dan bersikap terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, dan
memberi arah dalam menuju kerangka hidup, baik secara teoritis maupun
praktek. Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari, atau kematangan beragama ialah
keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah

1
Jalaludin, Psikologi Agama (jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010), hal 123.
pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap
beipegang teguh pada ajaran agama yang diyakini.2

Menurut owler & Hackett mengemukakan beberapa faktor yang


mempengaruhi kematangan beragama yaitu:

1. Pengalaman religious, Perbedaan kualitas dari pengalaman religius ini


dapat mempengaruhi perkembangan seseorang dalam menjalani tradisi
keagamaan seperti dalam melakukan ritualitas keagamaan
2. Pendidikan,Seseorang yang berpendidikan tentunya sangat membantu
sekali bagi meningkatnya tingkat kematangan beragama yang tinggi
yang dibangunnya sejak ia masih kecil kemudian didukung oleh
pendidikan yang diperolehnya.
3. Pengambilan Peranan. Pengambilan peranan diartikan sebagai proses
di mana seseorang mampu mengambil pandangan orang lain dan
menghubungkannya dengan pandangan-nya sendiri.

Jadi, kematangan beragama yang tertanam dan berkembang dalam diri


individu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan orang tua, teman-teman, guru
ataupemuka agama ( ulama ).3

B. Kriteria Orang Yang Sudag Matang Beragama


Kematangan adalah kemampuan seseorang untuk berbuat sesuatu dengan
cara-cara tertentu. Singkatnya ia telah memiliki intelegensi. Intelegensi itu ialah
faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat bersang- kutan di dalamnya (ingatan,
fantasi, perasaan, perhatian, minat, dan sebagainya) turut memengaruhi
intelegensi seseorang. Kematangan disebabkan karena perubahan "genes" yang
mentukan perkembangan struktur fisiologi dalam sistem saraf, otak, dan indra
sehingga semua itu memungkinkan individu matang mengadakan reaksi-reaksi
terha- dap setiap stimulus lingkungan.

2
Emma Indirawati, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi
Coping,” Jurnal Psikologi 3, no. 2 (2006): hal 75
3
Ida Windi Wahyuni, “Hubungan Kematangan Beragama Dengan Konsep Diri,” Al-Hikmah:
Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 8, no. 1 (15 April 2011): hal 4
Allport mengatakan bahwa kriteria kematangan beragama sangat
ditentukan oleh sikap heuristik (terus belajar mencari kebenaran yang hakiki, baik
mencari Hadis, dalil, ayat yang kuat), yang terdapat dalam pribadi manusia
masing-masing. Setiap individu akan menyadari ke- terbatasannya dalam
beragama, serta selalu berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatannya
dalam beragama.

William Jammes membagi kriteria kematangan beragama dalam empat


aspek yang merupakan kondisi terdalam jiwa manusia:

1. Sensabilitas akan eksistensi kekuasaan Tuhan. Kekuasaan ini sering kali


diidentifikasi sebagai manifestasi Tuhan.
2. Kesinambungan dengan esensi Tuhan dan pasrah diri. Kesinambungan
dipahami telah terjadi keselarasan yang pada gilirannya dapat mengontrol
ego manusia, sehingga menciptakan keramahan dan persahabatan
antarsesama.
3. Perubahan emosi yang terdalam. Dalam konteks ini, kematangan dalam
konsep James dapat memberikan pengaruh signifikan terha- dap stabilitas
dan konsistensi emosi seseorang sehingga perubah- an emosi tersebut
dapat terkontrol dengan sempurnaan dan tanpa mengedepankan ego yang
berlebihan.
4. Perasaan bahagia, kasih sayang dan keharmonisan akan tumbuh
berkembang, jika seseorang sudah matang dalam melaksanakan agama.
Tak heran, kalau kematangan beragama sering kali dipa- hami sebagai
bagian dari kedamaian hati yang terdalam sehingga bisa menciptakan
keselarasan dalam hidup.4

Jadi, dapat disimpulkan bahwa, kriteria orang yang matang beragama


adanya hubungan tingkah laku keagamaan dengan pengalaman keagamaannya.

Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang
yang matang beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama
4
Dr Mulyadi M.Pd S. Ag dan Adriantoni M.Pd S. Pd I., Psikologi Agama (Prenada Media, 2021), hal
174-176.
pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan:
1. Mereka yang khusyu' shalatnya
2. Menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
3. Menunaikan zakat
4. Menjaga kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
5. Jauh dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
6. Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya
7. Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
8. Suka bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan
sia-sia, memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan
yang bertaqwa (QS. Al-Furqan : 63 - 67)

Kriteria dari As-sunnah : Rasulullah SAW memberikan batas minimal


bagi seorang yang disebut muslim yaitu disebut muslim itu apabila muslim-
muslim lain merasa aman dari lidah dan tangannya (HR. Muslim). Sementara ciri-
ciri lain disebutkan cukup banyak bagi orang yang meningkatkan kualitas
keimanannya. Sehingga tidak jarang Nabi SAW menganjurkan dengan cara
peringatan, seperti: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
hendaknya dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri"
(HR. Bukhari). "Tidak beriman seseorang sampai tetangganya merasa aman dari
gangguannya "(HR. Bukhari dan Muslim)." Tidak beriman seseorang kepada
Allah sehingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada kecintaan
lainnya..." (HR. Muslim).
Dengan demikian petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kepada seseorang
yang beragama Islam agar dia menjaga lidah dan tangannya sehingga tidak
mengganggu orang lain, demikian juga dia menghormati tetangganya, saudara
sesama muslim dan sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Ringkas kata, dia berpedoman kepada petunjuk Al-Qur'an dan mengikuti
contoh praktek Rasulullah SAW, sehingga dia betul-betul menjaga hubungan
"hablum minallah "(hubungan vertikal) dan "hablum minannaas" (hubungan
horizontal).
C. Ciri Ciri Dan Sikap Keagamaan
Kematangan beragama adalah kemampuan seseorang untuk berpegang
teguh pada agama yang diyakininya, mengenali atau memahami nilai-nilai agama,
serta mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-
hari.Berikut adalah ciri-ciri dan sikap keberagamaan bagi orang yang sudah
matang beragama:

1. Berpengetahuan luas dan rendah hati (well-differentiated and selfcritical).


Orang yang memiliki ciri ini mengimani dan memiliki kesetiaanyang luas
terhadap agamanya, dan juga dia mengakui kemungkinankekurangan
untuk diperbaiki sehingga mau belajar dari siapapun.
2. Menjadikan agama sebagai kekuatan motivasi (motivational force).Orang
yang matang dalam beragama menjadikan agama sebagai tujuan dan
kekuatan yang selalu dicari untuk mengatasi setiap masalahnya
3. Memiliki moralitas yang konsisten (moral consistency).Orang yang
beragama matang memiliki perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai moral
secara yang konsisten dalam perilaku nyata sehari-hari.
4. Pandangan hidup yang komprehensif (comprehensiveness),yang intinya
adalah toleransi. Orang yang beragama matang memiliki keyakinan kuat
akan agamanya tetapi juga mengharuskan dirinya untuk hidup
berdampingan secara damai dan harmonis dengan orang lain yang berbeda
dengan dirinya
5. Pandangan hidup yang integral (integral). Kriteria ini melibatkan refleksi
dan harmoni, dan hidup yang berguna. Orang yang beragama dengan
matang, sejalan dengan prinsip keempat sebelumnya,memiliki visi hidup
yang harmoni atau damai. Ia juga mengorientasikan hidupnya agar dapat
berguna bagi orang lainnya.
6. Heuristic.Maksud dari kriteria ini adalah bahwa orang yang beragama
matang selalu mencari kebenaran dan memahami pencapaian sementara
tentang keyakinannya itu, yang menjadikannya seorang “pencari”
selamanya.5

D. Mistisme Dan Psikologi Agama

Mistisisme merupakan salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi
agama. Mistisime dijumpai dalam semua agama, baik agama teistik (Islam,
Kristen, Yahudi) maupun dikalangan mistik nonteistik (misalnya penganut agama
Budha). Baik tokoh mistik teistik maupun nonteistik sependapat mengenai arti
penting pengalaman yang mereka anggap murni terhadap salah satu aspek realitas,
meskipun barangkali mereka berbeda jauh dalam pernyataan verbal yang mereka
kemukakan mengenai apa yang mereka persepsi itu.

Menurut Prof. Harun Nasution, dalam tulisan orientalis Barat, mistisme


yang dalam Islam adalah tasawuf disebut sufisme. Sebutan ini tidak dikenal di
agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisme Islam. Ciri khas mistisme
yang pertama kali menarik para psikologi agama adalah kenyataan bahwa
pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang
mencapai puncaknya kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan.

Dari tokoh mistik itu sendiri, pengasingan diri dan kontemplasi itu adalah
dalam upaya menyucikan diri, membersihkan jiwa dari keterikatan akan
kenikmatan materi. Kecenderungan yang sedemikian itu menampilkan sikap yang
berbeda dari kehidupan masyarakat umumnya. Mistisme dalam psikologi agama
dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaaan yang
melatarbelakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah tidaknya mistisme itu
berdasarkan agama masing-masing. Dengan demikian mistisme menurut
pandangan psikologi agama, hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-

5
Ahmad Fikri Sabiq, “Analisis Kematangan Beragama dan Kepribadian serta Korelasi dan
Kontribusinya terhadap Sikap Toleransi,” Institut Agama Islam Negeri Salatiga, Indonesia Vol.2,
no. No.1 (2020): hal.28.
gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik tanpa harus
mempersalahkan agama yang mereka anut.

1. Sejarah Perkembangan Aliran Kepercayaan

Dalam memaparkan sejarah perkembangan ini kami mengetengahkan


intisari dari uraian Prof. Dr. Selo Sumarjan dalam simposium “Mengamalkan Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa tanggal 14 Februari 1966 di Jakarta. Dalam evolusi
sistem-sistem kepercayaan diuraikan sebagai berikut :

Manusia dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan, yaitu lingkungan


alam dan lingkungan masyarakat. Lingkungan alam meliputi, benda organis dan
nonorganis yang hidup di sekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah
masa manusia yang berada di sekitarnya.
Dalam kedua macam lingkungan ini manusia mempertahankan dan
mengembangkan hidupnya. Bagi manusia yang kurang pengalaman dan
pengetahuan terpaksa menyerah dalam menghadapi keadadaan lingkungan ini dan
terpaksa menyesuaikan diri dengan kehendak keadaan. Perkembangan masyarakat
pada kenyataannya selalu membawa bekas dan unsur generasi terdahulu.
Demikian pula perkembangan kepercayaan dari tahap politeisme menjadi
monoteisme.

2. Hal-hal yang Termasuk Mistisme


a. Ilmu Gaib

Yang dimaksud dengan ilmu gaib disini adalah cara-cara dan maksud
menggunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada dialam gaib. Kekuatan-
kekuatan gaib ini di percayai tempat-tempat tertentu pada benda-benda (pusaka)
ataupun berada dan menjelma dalam tubuh manusia. Sejalan dengan kepercayaan
tersebut timbullah fetisien, tempat keramat dan dukun sebagai wadah dari
kekuatan gaib.

Bedasarkan fungsinya kekuatan gaib itu dapat dibagi menjadi :


1) Kekuatan gaib hitam (black-magic), untuk adan mempunyao pengaruh
jahat.
2) Kekuatan gaib merah (red-magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau
kemauan orang lain (hypnotisme).
3) Kekuatan gaib kuning (yellow-magic), untuk praktik occultisme.
4) Kekuatan gaib putih (white-magic), untuk kebaikan.

b. Magis

Magis adalah suatu tindakan dengan anggapan, bahwa kekuatan gaib bisa
mempengaruhi duniawi secara nonkultus dan nonteknis berdasarkan kenangan
dan pengalaman. Untuk menejelaskan hubungan antara unsur-unsur kebatinan ini
kita pertentangkan magis ini dengan masalah lain yang erat hubungannya:

1) Magic dan takhayul


2) Magis dan Ilmu Gaib
3) Magis dan Kultus

c. Kebatinan

Menurut pendapat Prof. Djojodiguno, S.H. berdasarkan hasil penelitiannya


di Indonesia, aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi:

1) Golongan yang hendak menggunakan kekuatan gaib untuk melayani


berbagai keperluan manusia (ilmu gaib).
2) Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan
Tuhan selama manusia itu masih hidup agar manusia itu dapat merasakan
dan mengetahui hidup di alam baka sebelum manusia itu mengalami mati.
3) Golongan yang berniat mengenal Tuhan (selama manusia itu masih hidup)
dan menebus dalam rahasia ke-Tuhanan sebagai tempat asal dan
kembalinya manusia.
4) Golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia serta
berusaha menciptakan masyarakat yang saling harga menghargai dan
cinta-mencintai dengan senantiasa mengindahkan perintah-perintah Tuhan.

d. Para Psikologi

Menurut ilmu jiwa, gejala jiwa manusia itu dapat dibagi atas:

1) Gejala jiwa yang normal, yang terdapat pada orang yang normal.
2) Gejala jiwa yang abnormal terdiri dari :
a) Gejala jiwa supranormal.
b) Gejala jiwa paranormal.
c) Gejala jiwa abnormal.

Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimilki seseorang berdasarkan anugerah


yang Mahakuasa tanpa dipelajari, sehingga mempunyai kemampuan melebihi
gejala jiwa orang yang normal, berupa:

1) Kemampuan mengetahui sesuatu peristiwa sebelum terjadi (prognostis):


telepati, ramalan, melihat tanpa dengan mengguanakan mata, dan lain-lain.
2) Kemampuan perubahan-perubahan tanpa menggunakan kekuatan yang
terdapat dalam fisik: pengobatan, stigmatisasi (mengeluarkan darah dari
tubuh tanpa merasa sakit), dan lain sebagainya.

e. Aliran Kebatinan dan Schizoprenia

Yang menggerakkan seseorang untuk memasuki aliran kebatinan adalah


berbagai motif kejiwaan, misalnya: ingin tahu, rasa tidak aman, kurang percaya
pada diri sendiri ataupun ingin memperdalam ajaran suatu aliran kebatinan. Bagi
mereka yang mempunyai predisposisi tertentu kadang-kadang akan
mengakibatkan suatu kondisi mental-breakdown. Akibat psikologis lainnya dari
aliran kebatinan berupa:
1) Pemimpin tertentu terlibat secara emosional terhadap pengikutnya: jatuh
cinta,free sex, dan lainnya.
2) Pemimpin cenderung untuk membiarkan individu tergantung pada
karismanya yang ia dan para pemimpin biasanya tak dapat memberikan
psikoterapinya.mungkin mengarah kepada kultus individu.
3) Sering terjadi umsur eksploitasi dari pribadi-pribadi yang mengidap
paranoida yang ingin menarik simpati.
4) Memungkinkan terjadinya depresi yang menjurus kearah pengorbanan diri
dan keinginan bunuh diri (suicide).
5) Memberikan kemungkinan penampungan bagi penderita schizoprenia dan
para pemimpin biasanya tak dapat memberikan psikotrapinya.

Dalam aliran kebatinan dikenal suatu cara meditasi yang mengarah


kekehidupan mistik. Menurut Evelyn Underhill stadium meditasi itu umumnya
adalah:

1) Kebangunan diri pribadi kearah realitas ke-Tuhanan.


2) Purgation, yaitu suatu stadium kesediaan dan usaha.
3) Illumination, yaitu stadium kegembiraan yang sebenarnya menjurus kesatu
eksaltasi..
4) Purifikasi, yaitu kesempurnaan pribadi. Individu menyadari antara
kehadiran Tuhan dan penyatuan diri dengan Tuhan.
5) Persatuan dan kehidupan absolut

Jika di analisis secara psikologis dan urutan stadium meditasi tersebut


tampak gejala-gejala kejiwaan sebagai berikut:

1) Respons terhadap dunia luar menyempit (mengasingkan diri dan


konsentrasi jiwa).
2) Timbulnya eksaltasi dan kesedihan yang mendalam.
3) Terdapat gejala disosiasi, halusinasi, dan waham.
4) Terdapat kebekuan dorongan untuk berbuat, hilang kemampuan
penerimaan rangsangan, dan keinginan untuk menilai keadaan lingkungan.
Ditinjau dari gejala penderita schizoprenia, maka tampak ciri-ciri yang
hampir sama. Penderitaan schizoprenia (schizoprenik) mengaklami gejala-gejala :

1) Kekaburan individualitas yang disebabkan oleh proses disentegrasi


kepribadian.
2) Dengan adanya disentegrasi itu penderita memliki predis posisi khusus
yang cenderung untuk menafsirkan sesuatu yang kadang-kadang irrealistik
dan melakukan tindakan asosial.
3) Timbulnya halusinasi yang menyebabkan terjadinya anxiety yang hebat,
sehingga dapat menimbulkan prustasi dan panicreaction serta perbuatan
nekat.

William James dalam bukunya, The Varieties of Religious Experience


mengemukakan tanda-tanda mistisme sebagai berikut :

1) Tak dapat diungkapkan (Ineffability).


2) Intuitif (Neotic quality).
3) Sementara dan cepat (Transiency).
4) Cenderung kearah kepasifan (Passivity).

f. Tasawuf dan Tarikat

Tasawuf disebut juga mistisme islam memperoleh hubungan langsung dan


disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat
Tuhan. Untuk berada dekat dengan Tuhan orang harus menempuh jalan yang
panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut maqamat. Diantara stasiun-
stasiun ini adalah, taubat, wara’, faqir, sabar, tawakal, ridha, mahabbah, ma’rifah,
fana, dan baka.

Tarikat pada mulanya diartikan sebagai jalan yang harus dilalui seorang
sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin (taqqarrub) dengan Tuhan. Tarikat
mengandung arti organisasi (tarikat), tiap organisasi tarikat mempunyai syaikh,
upacara ritual, dan dzikir tersendiri dan nama tersendiri.
Pelaksanaan tarikat itu diantaranya :

1) Dzikir, yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati, serta
menyebut nama Nya dengan lisan.
2) Ratib, yaitu menyebut kalimat la ilaha illa Allah dengan gaya gerak dan
irama tertentu.
3) Muzik, yaitu dalam membaca wirid-wirid diiringi wirid-wird dan bacaan-
bacaan supaya lebih khitmat.
4) Bernafas, yaitu mengatur pada waktu melakukan zikir tertentu.

Tarikat itu pada mulanya adalah tasawuf kemudian berkembang dengan


berbagai faham dan aliran yang dibawa oleh para syaikhnya, melembaga menjadi
suatu organisasi yang disebut tarikat. Dalam pandangan agama, manusia terdiri
atas unsur fisik, jiwa, dan roh.
Fisik atau jasmani itu terdiri dari unsur materi, yang kebagiaannya dapat
dicapai pemenuhan kebutuhan materi, seperti sandang, pangan, papan, maupun
pemuasan seksual. Sedangkan, jiwa kebutuhannya akan terpenuhi melalui ilmu
pengetahuan. Adapun roh sebagai unsur Tuhan yang dianugerahkan kepada
manusia, akan merasakan kebahagiaan bila dapat bertemu dengan sang
penciptanya.
Selain dari itu, dalam pandangan agama, tubuh yang terdiri dari unsur
materi dapat diibaratkan sangkar. Pemenuhan kebutuhan tubuh (jasmaniah) tidak
dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah
melalui pendekatan rohaniah. Makanya dalam upaya mendekatkan diri kepada
sang pencipta, parra sufi lebih mementingkan unsur rohaniah ini, hingga terkesan
mereka mengabaikan kebutuhan dan kenikmatan jasmaniah.
Adapun unsur rohaniah yaitu jiwa dan roh, yang terkurung didalam raga
(tubuh) harus dibebaskan dengan cara pensucian batin (jiwa) agar kesucian roh
tetap terpelihara. Memperturutkan dorongan jasmiah yang didasarkan pada
pemenuhan hawa nafsu menurut mereka akan menjauhkan manusia dari fitrah
kejadiannya, yaitu sebagai makhluk yang suci. Oleh karena itu, melakukan
pensucian batin sebagai upaya untuk mencapai kebahagiaan rohaniah.
Kebahagiaan rohaniah merupakan puncak bagi manusia, dalam pandangan sufi.
Berangkat dari sikap dan tingkah laku yang tampak, kaum sufi menampilkan
perilaku yang terkesan aneh. Untuk melakukan pensucian jiwa (batin) misalnya
kaum sufi berusaha untuk berpantang diri dan melakukan perbuatan tercela yang
menurut agama dapat mendatangkan dosa.

Kesimpulan:
Jadi,dengan Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya
ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap
benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Dan juga orang yang matang beragama memiliki kesadaran beragama yang kuat,
mampu mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, memiliki
pandangan hidup yang komprehensif, konsisten dalam praktik keagamaan, toleran
terhadap perbedaan agama, memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama,
serius dalam meningkatkan kualitas iman dan taqwa, terlibat dalam kegiatan
keagamaan, menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhirat, serta
memberikan pengaruh positif kepada orang lain.

Daftar Pustaka
Indirawati, Emma. “HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA
DENGAN KECENDERUNGAN STRATEGI COPING.” Jurnal Psikologi
3, no. 2 (2006): 69–92.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/658.
Jalaludin,. Psikologi Agama. jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010.
M.Pd, Dr Mulyadi, S. Ag, dan Adriantoni M.Pd S. Pd I. Psikologi Agama.
Prenada Media, 2021.
Sabiq, Ahmad Fikri. “Analisis Kematangan Beragama dan Kepribadian serta
Korelasi dan Kontribusinya terhadap Sikap Toleransi.” Institut Agama
Islam Negeri Salatiga, Indonesia Vol.2, no. No.1 (2020).
Wahyuni, Ida Windi. “Hubungan Kematangan Beragama Dengan Konsep Diri.”
Al-Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 8, no. 1 (15 April
2011): 1–8. https://journal.uir.ac.id/index.php/alhikmah/article/view/1532.

Anda mungkin juga menyukai