1
Jalaludin, Psikologi Agama (jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010), hal 123.
pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap
beipegang teguh pada ajaran agama yang diyakini.2
2
Emma Indirawati, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi
Coping,” Jurnal Psikologi 3, no. 2 (2006): hal 75
3
Ida Windi Wahyuni, “Hubungan Kematangan Beragama Dengan Konsep Diri,” Al-Hikmah:
Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 8, no. 1 (15 April 2011): hal 4
Allport mengatakan bahwa kriteria kematangan beragama sangat
ditentukan oleh sikap heuristik (terus belajar mencari kebenaran yang hakiki, baik
mencari Hadis, dalil, ayat yang kuat), yang terdapat dalam pribadi manusia
masing-masing. Setiap individu akan menyadari ke- terbatasannya dalam
beragama, serta selalu berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatannya
dalam beragama.
Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang
yang matang beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama
4
Dr Mulyadi M.Pd S. Ag dan Adriantoni M.Pd S. Pd I., Psikologi Agama (Prenada Media, 2021), hal
174-176.
pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan:
1. Mereka yang khusyu' shalatnya
2. Menjauhkan diri dari (perbuatan-perbuatan) tiada berguna
3. Menunaikan zakat
4. Menjaga kemaluannya kecuali kepada isteri-isteri yang sah
5. Jauh dari perbuatan melampaui batas (zina, homoseksual, dan lain-lain)
6. Memelihara amanat dan janji yang dipikulnya
7. Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10)
8. Suka bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan
sia-sia, memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan
yang bertaqwa (QS. Al-Furqan : 63 - 67)
Mistisisme merupakan salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi
agama. Mistisime dijumpai dalam semua agama, baik agama teistik (Islam,
Kristen, Yahudi) maupun dikalangan mistik nonteistik (misalnya penganut agama
Budha). Baik tokoh mistik teistik maupun nonteistik sependapat mengenai arti
penting pengalaman yang mereka anggap murni terhadap salah satu aspek realitas,
meskipun barangkali mereka berbeda jauh dalam pernyataan verbal yang mereka
kemukakan mengenai apa yang mereka persepsi itu.
Dari tokoh mistik itu sendiri, pengasingan diri dan kontemplasi itu adalah
dalam upaya menyucikan diri, membersihkan jiwa dari keterikatan akan
kenikmatan materi. Kecenderungan yang sedemikian itu menampilkan sikap yang
berbeda dari kehidupan masyarakat umumnya. Mistisme dalam psikologi agama
dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaaan yang
melatarbelakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah tidaknya mistisme itu
berdasarkan agama masing-masing. Dengan demikian mistisme menurut
pandangan psikologi agama, hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-
5
Ahmad Fikri Sabiq, “Analisis Kematangan Beragama dan Kepribadian serta Korelasi dan
Kontribusinya terhadap Sikap Toleransi,” Institut Agama Islam Negeri Salatiga, Indonesia Vol.2,
no. No.1 (2020): hal.28.
gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik tanpa harus
mempersalahkan agama yang mereka anut.
Yang dimaksud dengan ilmu gaib disini adalah cara-cara dan maksud
menggunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada dialam gaib. Kekuatan-
kekuatan gaib ini di percayai tempat-tempat tertentu pada benda-benda (pusaka)
ataupun berada dan menjelma dalam tubuh manusia. Sejalan dengan kepercayaan
tersebut timbullah fetisien, tempat keramat dan dukun sebagai wadah dari
kekuatan gaib.
b. Magis
Magis adalah suatu tindakan dengan anggapan, bahwa kekuatan gaib bisa
mempengaruhi duniawi secara nonkultus dan nonteknis berdasarkan kenangan
dan pengalaman. Untuk menejelaskan hubungan antara unsur-unsur kebatinan ini
kita pertentangkan magis ini dengan masalah lain yang erat hubungannya:
c. Kebatinan
d. Para Psikologi
Menurut ilmu jiwa, gejala jiwa manusia itu dapat dibagi atas:
1) Gejala jiwa yang normal, yang terdapat pada orang yang normal.
2) Gejala jiwa yang abnormal terdiri dari :
a) Gejala jiwa supranormal.
b) Gejala jiwa paranormal.
c) Gejala jiwa abnormal.
Tarikat pada mulanya diartikan sebagai jalan yang harus dilalui seorang
sufi dengan tujuan berada sedekat mungkin (taqqarrub) dengan Tuhan. Tarikat
mengandung arti organisasi (tarikat), tiap organisasi tarikat mempunyai syaikh,
upacara ritual, dan dzikir tersendiri dan nama tersendiri.
Pelaksanaan tarikat itu diantaranya :
1) Dzikir, yaitu ingatan yang terus menerus kepada Allah dalam hati, serta
menyebut nama Nya dengan lisan.
2) Ratib, yaitu menyebut kalimat la ilaha illa Allah dengan gaya gerak dan
irama tertentu.
3) Muzik, yaitu dalam membaca wirid-wirid diiringi wirid-wird dan bacaan-
bacaan supaya lebih khitmat.
4) Bernafas, yaitu mengatur pada waktu melakukan zikir tertentu.
Kesimpulan:
Jadi,dengan Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya
ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap
benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Dan juga orang yang matang beragama memiliki kesadaran beragama yang kuat,
mampu mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, memiliki
pandangan hidup yang komprehensif, konsisten dalam praktik keagamaan, toleran
terhadap perbedaan agama, memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama,
serius dalam meningkatkan kualitas iman dan taqwa, terlibat dalam kegiatan
keagamaan, menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhirat, serta
memberikan pengaruh positif kepada orang lain.
Daftar Pustaka
Indirawati, Emma. “HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA
DENGAN KECENDERUNGAN STRATEGI COPING.” Jurnal Psikologi
3, no. 2 (2006): 69–92.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/view/658.
Jalaludin,. Psikologi Agama. jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2010.
M.Pd, Dr Mulyadi, S. Ag, dan Adriantoni M.Pd S. Pd I. Psikologi Agama.
Prenada Media, 2021.
Sabiq, Ahmad Fikri. “Analisis Kematangan Beragama dan Kepribadian serta
Korelasi dan Kontribusinya terhadap Sikap Toleransi.” Institut Agama
Islam Negeri Salatiga, Indonesia Vol.2, no. No.1 (2020).
Wahyuni, Ida Windi. “Hubungan Kematangan Beragama Dengan Konsep Diri.”
Al-Hikmah: Jurnal Agama Dan Ilmu Pengetahuan 8, no. 1 (15 April
2011): 1–8. https://journal.uir.ac.id/index.php/alhikmah/article/view/1532.