Anda di halaman 1dari 22

AGAMA PADA MASA DEWASA DAN LANJUT USIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama

Dosen pengampu:

Dr. Sururin, M.Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 4

Nada Shofiyah 11190110000012

Elsa Aprilia Nur’aini 11190110000057

Dyah Sahida 11190110000060

Shifa Ananda Rahmania 11190110000063

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2021 M/1442 H


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Agama
pada masa dewasa dan lanjut usia.

Kami ucapkan terimakasih kepada Dr. Sururin, M.Ag. selaku dosen pengampu
mata kuliah Psikologi Agama yang telah membimbing kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini selain untuk
memenuhi tugas yang diberikan kepada kami, juga dapat menjadi pegangan pembaca.
Kami juga berharap kepada pembaca agar tidak terpaku pada makalah ini dengan
mencari sumber yang lain untuk menambah wawasan pembaca.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasa. Oleh karena itu, segala saran dan kritik dari pembaca kami butuhkan agar
dapat memperbaiki makalah ini. kami berharap semoga makalah tentang Agama pada
masa dewasa dan lanjut usia ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Depok, 15 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Agama Pada Masa Dewasa..................................................................................3
B. Ciri-Ciri Keberagamaan Pada Masa Dewasa.....................................................6
C. Agama Pada Usia Lanjut.....................................................................................7
D. Ciri-Ciri Keberagaman Pada Usia Lanjut.........................................................9
E. Kematangan Beragama........................................................................................9
F. Hubungan Psikologi Agama dan Tasawuf........................................................13
BAB III PENUTUP.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ajaran Islam bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan


manusia sebagai makhluk tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang
dibawa sajak lahir salah satu fitrah itu adalah kecendrungan terhadap agama.
Sikap keberagamaan pada orang dewasa dilandasi oleh pendalaman pengertian
dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan
keagamaan pada manusia lanjut usia sudah mencapai tingkat pemanfaatan.
Perasaan takut pada kematian berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan abadi (akhirat). Di lingkungan
peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para
manusia lanjut usia dilakukan dengan menempatkan mereka di panti jompo. Lain
halnya dengan konsep yang dianjurkan islam. Perlakuan terhadap orang tua
menurut islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan
secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada
anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih
sayang. Beragama bagi orang dewasa dan lanjut usia sudah merupakan sikap
hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan oleh karena itu, kemampuan orang dewasa
dan manusia lanjut usia mengenali atau memahami nilai ajaran agama terletak
pada nilai-nilai luhur yang hakiki sehingga menjadikan nilai-nilai tersebut dalam
bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Agama pada masa dewasa?
2. Apa saja ciri-ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa?
3. Bagaimana Agama pada usia lanjut?
4. Apa saja ciri-ciri sikap keberagamaan pada usia lanjut?
5. Bagaimana kematangan beragama?

1
2

6. Apa hubungan Psikologi Agama dan Tasawuf?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui Agama pada masa dewasa
2. Agar mengetahui ciri-ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa
3. Agar mengetahui Agama pada usia lanjut
4. Agar mengetahui ciri-ciri sikap keberagamaan pada usia lanjut
5. Agar mengetahui kematangan beragama
6. Agar mengetahui hubungan Psikologi Agama dan Tasawuf
BAB II

PEMBAHASAN

A. Agama Pada Masa Dewasa


Istilah dewasa yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran
yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah
individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan telah siap menerima
kedudukan dalam masyarakat bersamaan dengan orang dewasa lainya. Usia
dewasa adalah usia ketenangan jiwa, ketetapan hati dan keimanan yang tegas.
Masa dewasa menurut konsep Islam adalah fase dimana seseorang telah
memiliki tingkat kesadaran dan kecerdasan emosional, moral, spiritual dan
agama secara mendalam. Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya
kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dansaya tahu untuk apa,”
menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab
serta sudah menyadari makna hidup.1 Dengan kata lain, orang dewasa berusaha
mencari nilai-nilai yang akan dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan
nilai-nilai yang dipilihnya.

Menurut pemakalah, pada masa dewasa juga perhatian seseorang


terhadap agama lebih besar dibandingkan pada masa sebelumya. Hal ini terjadi
dengan berlandaskan kebutuhan dirinya pribadi dan juga kebutuhan sosial, dan
seiring dengan pengalaman beragamanya yang semakin hari semakin bertambah.
Usia dewasa juga sudah memiliki sikap yang stabil, yang dapat dilihat dari cara
bertindak dan berperilakunya.

Dewasa adalah periode yang paling penting dalam masa kehidupan, masa
ini terbagi dalam 3 periode, yaitu:

1. Masa dewasa awal dari umur 21 - 40 tahun.

1
Jalaludin. Psikologi Agama,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 105

3
4

2. Masa dewasa pertengahan dari umur 40 tahun - 60 tahun.


3. Dan masa akhir atau usia lanjut dari umur 60 tahun - wafat.2
Dari segi ilmu jiwa agama, dapat dikatakan bahwa perubahan keyakinan
atau perubahan jiwa agama pada orang dewasa bukanlah hal yang terjadi secara
kebetulan saja, dan tidak pula merupakan pertumbuhan yang wajar, akan tetapi
adalah suatu kejadian yang didahului oleh berbagai proses dan kondisi yang
dapat diteliti dan dipelajari. Perkembangan jiwa agama pada orang dewasa, yang
dinamakan “Konversi Agama”, keyakinan yang berupa mistik; dan perubahan ke
arah acuh tak acuh terhadap ajaran agama.

Walter Houston Clark dalam bukunya, The Psychology of Religion


memberikan definisi konversi sebagai berikut:3 Konversi agama sebagai suatu
macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan
arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih
jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan
emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah
terjadi yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan mungkin pula
terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.

Menurut Jalaluddin, Konversi menurut etimologi berasal dari kata lain


“conversio” yang berarti tobat, indah, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya,
kata tersebut dipakai dalam kata Inggris conversion yang mengandung
pengertian berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain.
Jalaluddin menjelaskan bahwa konversi agama (religious conversion) secara
umum dapat diartikan dengan berubah agama ataupun masuk agama. Pengertian
konversi agama diambil kesimpulan bahwa konversi agama mengandung
pengertian bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama
atau masuk ke dalam agama.4

2
Encep Sudirjo, & M. Nur Alif, Pertumbuhan dan Perkembangan Motorik, (Sumedang:
UPI Sumedang Press, 2018), hal. 10.
3
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), hal. 159-160.
4
Jalaluddin, Op. Cit., hal. 343.
Adapun menurut Dzakiyah Drajat, dapat dikatakan bahwa tiap-tiap
konversi agama itu melalui proses-proses jiwa sebagai berikut:5

1. Masa tenang pertama, masa tenang sebelum mengalami konversi, dimana


segala sikap, tingkah laku, dan sifat-sifatnya acuh tak acuh menentang
agama.
2. Masa ketidak tenangan; konflik dan pertentangan batin berkecamuk
dalam hatinya, gelisah, putus asa, tegang, panik, atau sebagainya baik
disebabkan oleh moralnya, kekecewaan atau oleh apapun juga.
3. Peristiwa konversi itu sendiri setelah masa goncang itu mencapai
puncaknya, maka terjadilah peristiwa konversi itu sendiri.
4. Keadaan tenteram dan tenang.
5. Ekspresi konversi dalam hidup.

Dan adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan


terjadinya konversi agama antara lain:6

a. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan.


b. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama.
c. Ajakan / seruan dan sugesti
d. Faktor-faktor emosi.

Dapat disimpulkan oleh pemakalah, bahwa konversi agama yang terjadi


pada setiap orang dewasa ini tentu berbeda-beda. Karena proses ini terjadi
berdasarkan pertumbuhan jiwa seseorang, pengalaman yang telah dialaminya,
pendidikan yang telah didapatkannya, serta keadaan suatu lingkungan dimana ia
berada. Adanya sebab, unsur dalam dirinya maupun dari luar dirinya, serta
faktor yang berlainan yang dapat mendorong tingkat pemahaman dirinya
terhadap agama. Demikianlah mengapa konversi agama seseorang itu
mengalami perbedaan antara satu dengan yang lainnya.

5
Dzakiyah Drajat, Op. Cit., hal. 162-163.
6
Ibid, hal. 184-189.
B. Ciri-Ciri Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sikap keberagamaan seorang dewasa cenderung didasarkan atas
pemilihan terhadap ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas
dasar pertimbangan akal sehat. Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki
perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap
keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan
perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Bergama, bagi
orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.7

Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap


keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang


matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
b. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih bannyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha
untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
d. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung
jawab sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap
hidup.
e. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f. Bersikap kritis terhadap materi ajaran agama seehinnga kemantapan
beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan
atas pertimbangan hati nurani.
g. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian
masing-masing,sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam
menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang
diyakininya.

7
Mulyadi, Perkembangan Jiwa Keberagamaan Pada Orang Dewasa dan Lansia, Jurnal
Uinib, 2015, hal. 50.
h. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan
sosial, sehingga perrhatian terhadap kepentingan organisasi sosial.8

Maka dapat disimpulkan oleh pemakalah, bahwa sikap keberagamaan


pada orang dewasa timbul berdasarkan dengan pemikirannya yang sudah
matang, pengalaman hidup yang semakin mantap, serta kesesuaian hati nurani.
Sehingga timbullah kesadaran beragama terhadap dirinya yang digambarkan
melalui sikap keberagamaan dalam kesehariannya.

C. Agama Pada Usia Lanjut


Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi
secara perlahan-lahan dan bertahap dikenal sebagai senescence yaitu masa
proses menjadi tua. Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup
seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah beranjak jauh dari pada
periode terdahulu. Masa ini pertimbangan pemikiran yang matang. 9 Kematangan
pemikiran pada usia lanjut ditandai dengan puncak dari jiwa keagamaan dalam
pemahaman dan penerimaan seutuhnya, meningkatkan nilai ibadah, kepedulian
akan kehidupan dunia mulai ditinggalkan.
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa
inidimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan
adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya
adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik,
perubahan kekuatanfisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam
system syaraf dan perubahan penampilan. Dan kesederhanaan lebih sangat
menonjol pada usia ini.10
Di dalam gerontology (ilmu mempelajari usia lanjut) lanjut usia dibagi
menjadi dua golongan, yaitu young old (65-74) dan old old (diatas 75 tahun).
Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok well
old (mereka sehat dan tidak sakit apa-apa) dan sick old (mereka yang menderita

8
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 118.
9
Heni Narendrany Hidayati, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hal. 68
10
Sururin, Ilmu Jiwa Agama Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 83
penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan
kesehatan bagi sick old ini semakin besar sehingga di dunia kedokteran
berkembang spesialisasi yang dinamakan geriatry, baik dari aspek medis (fisik)
maupun kejiwaan (psikiatris).11
Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel-sel menjadi
tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini
biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan
menghadapi berbagai persoalan. Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan
fisik aktivitas menurun seringmengalami gangguan kesehatan mereka cenderung
kehilangan semangat.12
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan
sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:

1. Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang


keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual.
Menurut pendapat inimanusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang
seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini
dinilai sebagai satu- satunya factor yang membentuk sikap keagamaan.
Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat
tersebut terlalu dilebih- lebihkan.
2. Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.
Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan
manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai
mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.

3. Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap


keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini
diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.13

11
Heni Narendrany Hidayati. Op. Cit., hal. 134
12
Sururin. Op. Cit., hal. 88
13
Ibid., hal.89-90
D. Ciri-Ciri Keberagaman Pada Usia Lanjut
Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James
menyatakan, bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia tua, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.14

Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:15

1. Kehidupan keagamaan pada manusia lanjut usia sudah mencapai tingkat


pemanfaatan
2. Meningkatnya kecenderungan menerima pendapat keagamaan
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat
secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling
cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya
kehidupan abadi (akhirat).

E. Kematangan Beragama
Kematangan beragama adalah ketika seseorang mampu untuk mengenali
dan memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta
menjadikan nilai-nilai agama dalam bersikap dan bertingkah laku.16 Secara
psikologis, kematangan beragama mengandung pola penyesuaian diri yang tepat,
pandangan yang integral dalam menghadirkan nilai-nilai agama dalam setiap
aspek kehidupan dan perilakunya. Kemampuan untuk memunculkan komitmen
ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk melakukan diferensiasi terhadap
agama dan menjadikan individu yang baik serta mampu menjalankan setiap

14
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 110
15
Ibid
16
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hal.108
ajaran agama secara komprehensif dan obyektif.17 Kematangan beragama bisa
tercapai ketika keenam aspek rasa beragama bisa berfungsi optimal dalam diri
seseorang dalam perilaku keseharian. Keenam aspek rasa beragama pada kondisi
ideal saling berkaitan. Pertama, ketika seseorang percaya adanya Tuhan (aspek
ideological atau doctrine). Kedua, mendalami pengetahuan keagamaan (aspek
intellectual atau knowledge). Ketiga, pengetahuan diperoleh untuk menjalankan
ritual peribadatan (aspek ritualistic). Keempat, penghayatan terhadap ritual
peribadatan akan memunculkan pengalaman emosi seperti kenyaman dan
ketenangan batin (aspek experiential atau emotion). Kelima, pengahyatan
terhadap ritual peribadatan yang menimbulkan pengalaman emosi berdampak
perilaku yang baik (aspek consequential atau athics). Keenam, seseorang dalam
beragama juga ingin mengikuti perkumpulan keagamaan (aspek community).18
William James dianggap sebagai bapak psikologi agama. Bukunya yang
terkenal The Varieties of Religious Experience merupakan pembahasan agama
yang paling mendalam dan komprehensif. James berpendapat bahwa agama
memiliki peran sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beraga-
ma pada manusia menurut James paling tidak sama menariknya dengan
dorongan-dorongan lainnya, oleh karena itu, agama patut mendapat perhatian
dalam setiap pembahasan dan penelitian sosial yang lebih luas. James mem-
berikan kriteria orang yang beragama matang sebagai berikut;
Pertama, sensibilitas akan eksistensi Tuhan, maksudnya adalah bahwa
orang yang beragama matang selalu tersambung hati dan pikirannya dengan Tu-
han. Perilaku orang yang beragama matang akan melahirkan kedamaian,
ketenangan batin yang mendalam dan terhindar dari keburukan-keburukan
hidup.
Kedua, kesinambungan dengan Tuhan dan penyerahan diri pada-Nya. Poin
kedua ini merupakan konsekwensi dari yang pertama, di mana orang beragama
matang secara sadar dan tanpa paksaan menyesuaikan hidupnya dengan ke-

17
Fadholi & Nurkudri, Perbedaan Harga diri ditinjau dari Orientasi Religiusitas
Ekstrinsik-Instrinsik, (Malang: UMM Press, 1995), hal. 11.
18
Ahmad Saifuddin, Psikologi Agama : Implementasi Psikologi untuk memahami
Perilaku Beragama, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hal. 63.
hendak Tuhan, yakni kebajikan karena Tuhan adalah Maha Baik. Orang yang
beragama matang terbebas dari ego yang selalu membisikkan orang pada keja-
hatan-kejahatan, baik secara intra maupun interpersonal.
Ketiga, penyerahan diri sebagaimana dalam poin kedua melahirkan rasa
bahagia dan kebebasan yang membahagiakan. James menandai sikap beragama
sebagai kepercayaan akan adanya ketertiban tak terlihat dan keinginan untuk
hidup serasi dengan ketertiban itu. Hubungan manusia dengan realitas tak ter-
lihat, agama, melahirkan efek kehidupan secara individual. Ia akan
mengaktifkan energi spiritual dan menggerakkan karya spiritual. Orang yang be-
ragama matang memiliki gairah spiritual. Orang yang beragama matang mem-
iliki gairah hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal
yang lazimnya dianggap biasa-biasa saja. James karenanya melihat agama se-
bagai sumber kebahagiaan, sehingga orang yang beragama matang menjalani
kehidupannya dengan penuh kebahagiaan.
Keempat, orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi
menjadi cinta dan harmoni. Orang yang beragama matang mencapai perasaaan
tenteram dan damai, di mana cinta mendasari seluruh hubungan interpersonal-
nya.
Orang beragama matang bebas dari rasa benci, prejudice, permusuhan, dan
lain-lain, tetapi cinta dan harmoni merupakan dasar bagi kehidupan sosial atau
interpersonalnya. James berpandangan seorang rahib adalah tipe kehidupan ideal
dari orang yang beragama matang ini sehingga nampaknya tidak semua orang
dapat mencapai puncak keberagamaan matang ini. Seorang Sufi, Bikkhu dan
Bikkhuni, Romo, dan yang sejenis masuk ke dalam tipe orang yang beragama
matang menurut James ini.19
Fowler dan Hackett mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kematangan beragama yaitu: pertama, pengalaman religious. Perbedaan kualitas
dari pengalaman religious ini dapat mempengaruhi perkembangan seseorang
dalam menjalani tradisi keagamaan seperti dalam melakukan ritualitas

19
Yusron Masduki dan Idi Warsah, Psikologi Agama, (Palembang: CV. Tunas Gemilang
Press, 2020), hal. 289-290.
keagamaan. Kedua, pendidikan. Seseorang yang berpendidikan tentunya sangat
membantu sekali bagi meningkaynya tingkat kematangan beragama yang tinggi
yang dibangunnya sejak ia masih kecil kemudian didukung oleh pendidikan
yang diperolehnya. Ketiga, pengambilan peranan. Pengambilan peranan
diartikan sebagai proses dimana seseorang mampu mengambil pandangan orang
lain dan menghubungkannya dengan pandangannya sendiri. Kematangan
beragama yang tertanam dan berkembang dalam diri individu sangat dipengaruhi
oleh kepercayaan orang tua, teman-teman, guru, atau pemuka agama (ulama).
Kematangan beragama akan memberikan dampak atau pengaruh pada
kesehatan jiwa seseorang. Ahmad Saifuddin menjelaskan dampak kematangan
beragama tersebut ialah: Pertama, menjalani agama dengan penuh kesadaran. Ini
merupakan dampak dari ciri kematangan beragama yang berupa ibadah bukan
karena faktor hata dan eksternal. Dalam ibadah, orang dengan kematangan
beragama akan menjalani perintah agama dana ibadah dengan prinsip totalitas.
Kedua, berpeluang kecil melanggar aturan Tuhan. Sikap ini menjadi dampak
dari kematangan beragama yang bersumber dari optimalnya dimensi ethics atau
consequential sehingga beragama dan beribadah memunculkan perilaku yang
baik dan berpeluang kecil melanggar aturan Tuhan. Ketiga, memiliki ketenangan
jiwa dan hati. Sikap ini menjadi dampak dari ciri kematangan beragama yang
berupa sikap moderat dan keluasan wawasan serta pengetahuan keagamaan.
Dengan keluasan wawasan serta pengetahuan keagamamaan, jiwa dan hati
menjadi tenang karena tidak mudah terkejut dengan pendapat tentang ajaran
agama di luar keyakinannya. Keempat, memiliki sikap yang lemah lembut. Sikap
lemah lembut ini dampak dari cirri kematangan beragama yang berupa
berperilaku baik. Orang yang memiliki kematangan beragama yang tinggiakan
memiliki sikap tidak kasar dan keras serta tidak radikal kepada orang lain karena
menyakini bahwa agama pada dasarnaya mengajarkan kelembutan agart orang
lain nyaman dan merasakan dampak dari agama tersebut. Kelima, totalitas dalam
menjalani kehudupan, menjadi dampak dari ciri kematangan beragama yang
berupa berpikir positf terhadap Tuhan bahkan dalam situasi yang sulit
sekalipun.pikiran dan perasaan menjadi positif ini kemudian menjadikan
seseorang menjalani kehidupan dengan totalitas.20

F. Hubungan Psikologi Agama dan Tasawuf


Psikologi agama menurut Zakiah Darajat yaitu ilmu yang meneliti
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seesorang atau mekanisme
yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut cara berpikir, bersikap,
berkreasi, dan bertingkah laku yang tidak terpisahkan dari keyakinannya, karena
keyakinan itu masih dalam konstruk kepribadiannya.21 Bagi orang yang
beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan psikologi
membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami
penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama
menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas, tidak hanya sekedar
moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekspresi spiritual yang
sangat individual hingga tindakan kekerasan masa, dan ritus ibadah serta kata-
kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dalam teriakan jargon
keagamaan yang membakar emosi masa.

Seberapa besar psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang


sangat bergantung kepada paradigma psikologi itu sendiri. Urgensi pendekatan
Indigenous Phsychology bukan saja hanya sifat keberagamaan itu sangat beragam,
bahkan dalam satu agama pun, Islam misalnya memiliki keragaman
keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang sangat rasional,
tradisional, ada yang fundamentalis dan ada yang irrasional. Keberagamaan
manusia juga dipengaruhi keberagaman sosial, disinilah terjadi dinamika dan
dialektika antara kajian tasawuf dan psikologi agama.

20
Zulkarnain, “Kematangan Beragama dalam Perspektif Psikologi Tasawuf”, Mawa’izh:
Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. 10, No. 2, Tahun 2019, hal. 314-
315.
21
Zakiah Darajat, Op. Cit., hal. 11
Sedangkan Tasawuf bersumber dari akar kata ahl suffah, sufi, saff, suf. 22
Ahl suffah berarti penghuni emper masjid Nabawi, saff berarti barisan dalam
shalat berjama’ah, kata suf berarti kain terbuat dari bulu yang biasa dipakai para
sufi, sementara kata Sophos berasal dari istilah Yunani berarti bijaksana. Jika
dicermati kata tasawuf itu mengandung arti kehidupan jiwa dan mental seseorang.
Para sufi mencontoh para sahabat yang senantiasa berebut untuk menempati
barisan saff pertama, dengan harapan hatinya dekat dengan Nabi. Para sufi
berusaha senantiasa hidup sederhana dalam materi, dan berjuang keras dalam
mencapai kesempurnaan rohani. Kata Sophos yang berarti bijaksana
melambangkan bahwa para sufi selalu bersikap bijaksana terhadap siapa pun.
Sikap bijaksana merupakan sikap yang adil dan seimbang, jauh dari jiwa zalim.

Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi agama ditemukan
beberapa persamaan dari keduanya, yaitu:

1. Persamaan konsepsi tentang potensi dan asar manusia


Di kalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hampir
terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan
suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah disini adalah bahwa manusia ketika
dilahirkan dalam kondisi yang tidak memiliki dosa sama sekali, bahkan manusia
memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi Islam mengenai
potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai Tuhan, atau
kecenderungan kepada kebenaran. Konsepsi tentang fitrah memiliki kesamaan
dengan pandangan Maslow dan juga para ahli psikolog humanistik lain yang
menekankan potensi dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang
memiliki kemampuan atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada
umumnya manusia hanya menggunankan Sebagian kecil kemampuannya.
Kebanyakan manusia justru lebih didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya
yang dapat mengarahkan pada pilihan mundur atau kejahatan. Konsepsi semacam

22
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hal. 15
ini adalah salah satu faktor penting dari teori maslow tentang motivasi manusia
secara komperhensip.
2. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mempunyai peluang
untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya
manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, dimana pilihan inilah
yang dapat merubah kondisi psikologis manusia.
Menurut Javad Nurbakhsi (2000:3) ada beberapa hal dalam memahami
bahwa tasawuf merupakan bagian dari psikologi agama, yaitu:
Pertama, perlu diketahui bahwa para sufi sebagaimana mistis yang lain,
memiliki konsep dunia yang berbeda dengan ilmu pengetahuan modern. Ilmu
pengetahuan modern menganggap dunia yang di kaji manusia secara valid hanya-
lah realitas yang obyektif, yang seringkali disebut dunia materi. Meskipun
keberadaan dunia non-materi tidak sepenuhnya diingkari, namun mereka tidak
memiliki ketegasan, apakah realitas spiritual itu merupakan sesuatu yang ada da-
lam dirinya sendiri ataukah hanya sisi dalamm dunia materi. Sedangkan para sufi
dengan tegas menganggap bahwa hakikat realitas bersifat spiritual, karena segala
sesuatu berasal dari Tuhan dan Tuhan adalah wujud spiritual.

Kedua, Para sufi juga menganggap diri manusia memiliki lapisan-lapisan


yang paralel dengan realitas alam raya. Kita tidak hanya berjumpa dengan istilah
mikrokosmos dan makrokosmos, yang menggambarkan bahwa diri manusia
adalah miniatur alam raya melainkan juga mikroantropos dan makroantropos, dari
Ibnu Arabi yang berarti alam raya sebenarnya merupakan tiruan dalam struktur
raksasa dalam diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat lapisan fisikal yang
berada di alam materi lapisan selanjutnya lebih tinggi adalah nafs yang setara
dengan alam nasut, yaitu lapisan qalb yang sejajar dengan ‘Arsy, yaitu lapisan ruh
yang setara dengan malaikat, yaitu lapisan kesadaran batin, Sirr atau kahfi, yang
berada dalam tingkat alam jabarut, yaitu serta lapisan kesadaran batin terdalam
(Akhfa) yang berada dalam tingkatan alam lahut.
Ketiga, di dalam konsep sufi juga terdapat berbagai realitas dan wujud
spiritual yang berinteraksi serta memberi pengaruh kepada kondisi jiwa manusia,
seperti mukjizat, bantuan malaikat, godaan setan, atau gangguan jin yang bukan
hanya terdapat dalam, namun juga tidak mungkin diterima oleh psikologi modern.

Keempat, dalam perspektif mistisisme secara umum dan juga bagi para
sufi terdapat kaidah yang mengatakan: hanya yang sama bisa saling mengetahui,
yang mengacu kepada kesejajaran antara aspek-aspek di dalam diri manusia
dengan lapisan alam raya di atas.

Dari sisi lain hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama (Psikologi
Agama) semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan
latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spiritual ke arah yang
lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut
adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih
kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta
untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan
baik.

Di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada


penyakit, antara lain penyakit jiwa manusia yaitu iri, dengki, takabur, resah,
gelisah, khawatir, stress, dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Dengan tasawuf
manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (Psikologis)
berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki,
takabur, resah, gelisah, khawatir, stress, dan berbagai penyakit jiwa lainnya.

Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa agama memiliki


hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar
manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan terhindar dari penyakit-
penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur, dan lain
sebagainya. Tasawuf juga membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa
manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang
tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya


dan telah siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersamaan dengan orang
dewasa lainya. Usia dewasa adalah usia ketenangan jiwa, ketetapan hati dan
keimanan yang tegas. Konversi agama yang terjadi pada setiap orang dewasa ini
tentu berbeda-beda. Karena proses ini terjadi berdasarkan pertumbuhan jiwa
seseorang, pengalaman yang telah dialaminya, pendidikan yang telah didapat-
kannya, serta keadaan suatu lingkungan dimana ia berada. Adanya sebab, unsur
dalam dirinya maupun dari luar dirinya, serta faktor yang berlainan yang dapat
mendorong tingkat pemahaman dirinya terhadap agama. Sikap keberagamaan
pada orang dewasa timbul berdasarkan dengan pemikirannya yang sudah matang,
pengalaman hidup yang semakin mantap, serta kesesuaian hati nurani. Sehingga
timbullah kesadaran beragama terhadap dirinya yang digambarkan melalui sikap
keberagamaan dalam kesehariannya. Usia lanjut adalah periode penutup dalam
rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai
mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis
yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian
pribadi dan sosialnya adalah: Perubahan yang menyangkut kemampuan motorik,
perubahan kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam
system syaraf dan perubahan penampilan. Dan kesederhanaan lebih sangat men-
onjol pada usia ini. Kematangan beragama adalah ketika seseorang mampu untuk
mengenali dan memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya
serta menjadikan nilai-nilai agama dalam bersikap dan bertingkah laku. Tasawuf
dengan Ilmu Jiwa Agama memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan
praktis dari ilmu jiwa agama adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ke-
tentraman jiwa, dan terhindar dari penyakit-penyakit

17
18

psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur, dan lain sebagainya. Tasawuf juga
membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang
dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan
keislaman.

B. Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penyusun berharap makalah ini dapat


dijadikan referensi untuk makalah-makalah tahun berikutnya dan bisa membawa
manfaat bagi penyusun sendiri maupun para pembaca. Penyusun juga sangat
menerima terhadap saran serta kritikan yang bersifat membangun supaya penyusun
dapat lebih baik lagi kedepannya dalam membuat makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.

Darajat, Zakiah. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Encep Sudirjo, & M. Nur Alif, 2018, Pertumbuhan dan Perkembangan Motorik.
Sumedang: UPI Sumedang Press.

Fadholi dan Nurkudri. 1995. Perbedaan Harga diri ditinjau dari Orientasi
Religi- usitas Ekstrinsik-Instrinsik. Malang: UMM Press.

Hidayati, Heni Narendrany. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Jalaludin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jalaludin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2016. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan
Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Masduki, Yusron dan Idi Warsah. 2020. Psikologi Agama. Palembang: CV. Tunas
Gemilang Press.

Mulyadi. 2015. Perkembangan Jiwa Keberagamaan Pada Orang Dewasa dan


Lansia, Jurnal Uinib.

Nasution, Harun. 1995. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Saifuddin, Ahmad. 2019. Psikologi Agama : Implementasi Psikologi untuk
me- mahami Perilaku Beragama. Jakarta : Prenadamedia Group.

Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Zulkarnain. 2019. “Kematangan Beragama dalam Perspektif Psikologi Tasawuf”.
Mawa’izh: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan. Vol. 10,
No. 2.

19

Anda mungkin juga menyukai