Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama
Dosen pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 4
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Agama
pada masa dewasa dan lanjut usia.
Kami ucapkan terimakasih kepada Dr. Sururin, M.Ag. selaku dosen pengampu
mata kuliah Psikologi Agama yang telah membimbing kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini selain untuk
memenuhi tugas yang diberikan kepada kami, juga dapat menjadi pegangan pembaca.
Kami juga berharap kepada pembaca agar tidak terpaku pada makalah ini dengan
mencari sumber yang lain untuk menambah wawasan pembaca.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasa. Oleh karena itu, segala saran dan kritik dari pembaca kami butuhkan agar
dapat memperbaiki makalah ini. kami berharap semoga makalah tentang Agama pada
masa dewasa dan lanjut usia ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Agama Pada Masa Dewasa..................................................................................3
B. Ciri-Ciri Keberagamaan Pada Masa Dewasa.....................................................6
C. Agama Pada Usia Lanjut.....................................................................................7
D. Ciri-Ciri Keberagaman Pada Usia Lanjut.........................................................9
E. Kematangan Beragama........................................................................................9
F. Hubungan Psikologi Agama dan Tasawuf........................................................13
BAB III PENUTUP.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Agama pada masa dewasa?
2. Apa saja ciri-ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa?
3. Bagaimana Agama pada usia lanjut?
4. Apa saja ciri-ciri sikap keberagamaan pada usia lanjut?
5. Bagaimana kematangan beragama?
1
2
C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui Agama pada masa dewasa
2. Agar mengetahui ciri-ciri sikap keberagamaan pada masa dewasa
3. Agar mengetahui Agama pada usia lanjut
4. Agar mengetahui ciri-ciri sikap keberagamaan pada usia lanjut
5. Agar mengetahui kematangan beragama
6. Agar mengetahui hubungan Psikologi Agama dan Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
Dewasa adalah periode yang paling penting dalam masa kehidupan, masa
ini terbagi dalam 3 periode, yaitu:
1
Jalaludin. Psikologi Agama,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 105
3
4
2
Encep Sudirjo, & M. Nur Alif, Pertumbuhan dan Perkembangan Motorik, (Sumedang:
UPI Sumedang Press, 2018), hal. 10.
3
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), hal. 159-160.
4
Jalaluddin, Op. Cit., hal. 343.
Adapun menurut Dzakiyah Drajat, dapat dikatakan bahwa tiap-tiap
konversi agama itu melalui proses-proses jiwa sebagai berikut:5
5
Dzakiyah Drajat, Op. Cit., hal. 162-163.
6
Ibid, hal. 184-189.
B. Ciri-Ciri Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sikap keberagamaan seorang dewasa cenderung didasarkan atas
pemilihan terhadap ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas
dasar pertimbangan akal sehat. Sikap keberagamaan orang dewasa memiliki
perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap
keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan
perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Bergama, bagi
orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.7
7
Mulyadi, Perkembangan Jiwa Keberagamaan Pada Orang Dewasa dan Lansia, Jurnal
Uinib, 2015, hal. 50.
h. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan
sosial, sehingga perrhatian terhadap kepentingan organisasi sosial.8
8
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 118.
9
Heni Narendrany Hidayati, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hal. 68
10
Sururin, Ilmu Jiwa Agama Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 83
penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan
kesehatan bagi sick old ini semakin besar sehingga di dunia kedokteran
berkembang spesialisasi yang dinamakan geriatry, baik dari aspek medis (fisik)
maupun kejiwaan (psikiatris).11
Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel-sel menjadi
tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini
biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan
menghadapi berbagai persoalan. Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan
fisik aktivitas menurun seringmengalami gangguan kesehatan mereka cenderung
kehilangan semangat.12
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan
sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
11
Heni Narendrany Hidayati. Op. Cit., hal. 134
12
Sururin. Op. Cit., hal. 88
13
Ibid., hal.89-90
D. Ciri-Ciri Keberagaman Pada Usia Lanjut
Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini William James
menyatakan, bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru
terdapat pada usia tua, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir.14
E. Kematangan Beragama
Kematangan beragama adalah ketika seseorang mampu untuk mengenali
dan memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta
menjadikan nilai-nilai agama dalam bersikap dan bertingkah laku.16 Secara
psikologis, kematangan beragama mengandung pola penyesuaian diri yang tepat,
pandangan yang integral dalam menghadirkan nilai-nilai agama dalam setiap
aspek kehidupan dan perilakunya. Kemampuan untuk memunculkan komitmen
ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk melakukan diferensiasi terhadap
agama dan menjadikan individu yang baik serta mampu menjalankan setiap
14
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 110
15
Ibid
16
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hal.108
ajaran agama secara komprehensif dan obyektif.17 Kematangan beragama bisa
tercapai ketika keenam aspek rasa beragama bisa berfungsi optimal dalam diri
seseorang dalam perilaku keseharian. Keenam aspek rasa beragama pada kondisi
ideal saling berkaitan. Pertama, ketika seseorang percaya adanya Tuhan (aspek
ideological atau doctrine). Kedua, mendalami pengetahuan keagamaan (aspek
intellectual atau knowledge). Ketiga, pengetahuan diperoleh untuk menjalankan
ritual peribadatan (aspek ritualistic). Keempat, penghayatan terhadap ritual
peribadatan akan memunculkan pengalaman emosi seperti kenyaman dan
ketenangan batin (aspek experiential atau emotion). Kelima, pengahyatan
terhadap ritual peribadatan yang menimbulkan pengalaman emosi berdampak
perilaku yang baik (aspek consequential atau athics). Keenam, seseorang dalam
beragama juga ingin mengikuti perkumpulan keagamaan (aspek community).18
William James dianggap sebagai bapak psikologi agama. Bukunya yang
terkenal The Varieties of Religious Experience merupakan pembahasan agama
yang paling mendalam dan komprehensif. James berpendapat bahwa agama
memiliki peran sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beraga-
ma pada manusia menurut James paling tidak sama menariknya dengan
dorongan-dorongan lainnya, oleh karena itu, agama patut mendapat perhatian
dalam setiap pembahasan dan penelitian sosial yang lebih luas. James mem-
berikan kriteria orang yang beragama matang sebagai berikut;
Pertama, sensibilitas akan eksistensi Tuhan, maksudnya adalah bahwa
orang yang beragama matang selalu tersambung hati dan pikirannya dengan Tu-
han. Perilaku orang yang beragama matang akan melahirkan kedamaian,
ketenangan batin yang mendalam dan terhindar dari keburukan-keburukan
hidup.
Kedua, kesinambungan dengan Tuhan dan penyerahan diri pada-Nya. Poin
kedua ini merupakan konsekwensi dari yang pertama, di mana orang beragama
matang secara sadar dan tanpa paksaan menyesuaikan hidupnya dengan ke-
17
Fadholi & Nurkudri, Perbedaan Harga diri ditinjau dari Orientasi Religiusitas
Ekstrinsik-Instrinsik, (Malang: UMM Press, 1995), hal. 11.
18
Ahmad Saifuddin, Psikologi Agama : Implementasi Psikologi untuk memahami
Perilaku Beragama, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2019), hal. 63.
hendak Tuhan, yakni kebajikan karena Tuhan adalah Maha Baik. Orang yang
beragama matang terbebas dari ego yang selalu membisikkan orang pada keja-
hatan-kejahatan, baik secara intra maupun interpersonal.
Ketiga, penyerahan diri sebagaimana dalam poin kedua melahirkan rasa
bahagia dan kebebasan yang membahagiakan. James menandai sikap beragama
sebagai kepercayaan akan adanya ketertiban tak terlihat dan keinginan untuk
hidup serasi dengan ketertiban itu. Hubungan manusia dengan realitas tak ter-
lihat, agama, melahirkan efek kehidupan secara individual. Ia akan
mengaktifkan energi spiritual dan menggerakkan karya spiritual. Orang yang be-
ragama matang memiliki gairah spiritual. Orang yang beragama matang mem-
iliki gairah hidup, dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal
yang lazimnya dianggap biasa-biasa saja. James karenanya melihat agama se-
bagai sumber kebahagiaan, sehingga orang yang beragama matang menjalani
kehidupannya dengan penuh kebahagiaan.
Keempat, orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi
menjadi cinta dan harmoni. Orang yang beragama matang mencapai perasaaan
tenteram dan damai, di mana cinta mendasari seluruh hubungan interpersonal-
nya.
Orang beragama matang bebas dari rasa benci, prejudice, permusuhan, dan
lain-lain, tetapi cinta dan harmoni merupakan dasar bagi kehidupan sosial atau
interpersonalnya. James berpandangan seorang rahib adalah tipe kehidupan ideal
dari orang yang beragama matang ini sehingga nampaknya tidak semua orang
dapat mencapai puncak keberagamaan matang ini. Seorang Sufi, Bikkhu dan
Bikkhuni, Romo, dan yang sejenis masuk ke dalam tipe orang yang beragama
matang menurut James ini.19
Fowler dan Hackett mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kematangan beragama yaitu: pertama, pengalaman religious. Perbedaan kualitas
dari pengalaman religious ini dapat mempengaruhi perkembangan seseorang
dalam menjalani tradisi keagamaan seperti dalam melakukan ritualitas
19
Yusron Masduki dan Idi Warsah, Psikologi Agama, (Palembang: CV. Tunas Gemilang
Press, 2020), hal. 289-290.
keagamaan. Kedua, pendidikan. Seseorang yang berpendidikan tentunya sangat
membantu sekali bagi meningkaynya tingkat kematangan beragama yang tinggi
yang dibangunnya sejak ia masih kecil kemudian didukung oleh pendidikan
yang diperolehnya. Ketiga, pengambilan peranan. Pengambilan peranan
diartikan sebagai proses dimana seseorang mampu mengambil pandangan orang
lain dan menghubungkannya dengan pandangannya sendiri. Kematangan
beragama yang tertanam dan berkembang dalam diri individu sangat dipengaruhi
oleh kepercayaan orang tua, teman-teman, guru, atau pemuka agama (ulama).
Kematangan beragama akan memberikan dampak atau pengaruh pada
kesehatan jiwa seseorang. Ahmad Saifuddin menjelaskan dampak kematangan
beragama tersebut ialah: Pertama, menjalani agama dengan penuh kesadaran. Ini
merupakan dampak dari ciri kematangan beragama yang berupa ibadah bukan
karena faktor hata dan eksternal. Dalam ibadah, orang dengan kematangan
beragama akan menjalani perintah agama dana ibadah dengan prinsip totalitas.
Kedua, berpeluang kecil melanggar aturan Tuhan. Sikap ini menjadi dampak
dari kematangan beragama yang bersumber dari optimalnya dimensi ethics atau
consequential sehingga beragama dan beribadah memunculkan perilaku yang
baik dan berpeluang kecil melanggar aturan Tuhan. Ketiga, memiliki ketenangan
jiwa dan hati. Sikap ini menjadi dampak dari ciri kematangan beragama yang
berupa sikap moderat dan keluasan wawasan serta pengetahuan keagamaan.
Dengan keluasan wawasan serta pengetahuan keagamamaan, jiwa dan hati
menjadi tenang karena tidak mudah terkejut dengan pendapat tentang ajaran
agama di luar keyakinannya. Keempat, memiliki sikap yang lemah lembut. Sikap
lemah lembut ini dampak dari cirri kematangan beragama yang berupa
berperilaku baik. Orang yang memiliki kematangan beragama yang tinggiakan
memiliki sikap tidak kasar dan keras serta tidak radikal kepada orang lain karena
menyakini bahwa agama pada dasarnaya mengajarkan kelembutan agart orang
lain nyaman dan merasakan dampak dari agama tersebut. Kelima, totalitas dalam
menjalani kehudupan, menjadi dampak dari ciri kematangan beragama yang
berupa berpikir positf terhadap Tuhan bahkan dalam situasi yang sulit
sekalipun.pikiran dan perasaan menjadi positif ini kemudian menjadikan
seseorang menjalani kehidupan dengan totalitas.20
20
Zulkarnain, “Kematangan Beragama dalam Perspektif Psikologi Tasawuf”, Mawa’izh:
Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan, Vol. 10, No. 2, Tahun 2019, hal. 314-
315.
21
Zakiah Darajat, Op. Cit., hal. 11
Sedangkan Tasawuf bersumber dari akar kata ahl suffah, sufi, saff, suf. 22
Ahl suffah berarti penghuni emper masjid Nabawi, saff berarti barisan dalam
shalat berjama’ah, kata suf berarti kain terbuat dari bulu yang biasa dipakai para
sufi, sementara kata Sophos berasal dari istilah Yunani berarti bijaksana. Jika
dicermati kata tasawuf itu mengandung arti kehidupan jiwa dan mental seseorang.
Para sufi mencontoh para sahabat yang senantiasa berebut untuk menempati
barisan saff pertama, dengan harapan hatinya dekat dengan Nabi. Para sufi
berusaha senantiasa hidup sederhana dalam materi, dan berjuang keras dalam
mencapai kesempurnaan rohani. Kata Sophos yang berarti bijaksana
melambangkan bahwa para sufi selalu bersikap bijaksana terhadap siapa pun.
Sikap bijaksana merupakan sikap yang adil dan seimbang, jauh dari jiwa zalim.
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi agama ditemukan
beberapa persamaan dari keduanya, yaitu:
22
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hal. 15
ini adalah salah satu faktor penting dari teori maslow tentang motivasi manusia
secara komperhensip.
2. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mempunyai peluang
untuk mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya
manusia diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, dimana pilihan inilah
yang dapat merubah kondisi psikologis manusia.
Menurut Javad Nurbakhsi (2000:3) ada beberapa hal dalam memahami
bahwa tasawuf merupakan bagian dari psikologi agama, yaitu:
Pertama, perlu diketahui bahwa para sufi sebagaimana mistis yang lain,
memiliki konsep dunia yang berbeda dengan ilmu pengetahuan modern. Ilmu
pengetahuan modern menganggap dunia yang di kaji manusia secara valid hanya-
lah realitas yang obyektif, yang seringkali disebut dunia materi. Meskipun
keberadaan dunia non-materi tidak sepenuhnya diingkari, namun mereka tidak
memiliki ketegasan, apakah realitas spiritual itu merupakan sesuatu yang ada da-
lam dirinya sendiri ataukah hanya sisi dalamm dunia materi. Sedangkan para sufi
dengan tegas menganggap bahwa hakikat realitas bersifat spiritual, karena segala
sesuatu berasal dari Tuhan dan Tuhan adalah wujud spiritual.
Keempat, dalam perspektif mistisisme secara umum dan juga bagi para
sufi terdapat kaidah yang mengatakan: hanya yang sama bisa saling mengetahui,
yang mengacu kepada kesejajaran antara aspek-aspek di dalam diri manusia
dengan lapisan alam raya di atas.
Dari sisi lain hubungan tasawuf dengan ilmu jiwa agama (Psikologi
Agama) semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan
latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spiritual ke arah yang
lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut
adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih
kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta
untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan
baik.
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
18
psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur, dan lain sebagainya. Tasawuf juga
membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang
dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan
keislaman.
B. Saran
Darajat, Zakiah. 2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Encep Sudirjo, & M. Nur Alif, 2018, Pertumbuhan dan Perkembangan Motorik.
Sumedang: UPI Sumedang Press.
Fadholi dan Nurkudri. 1995. Perbedaan Harga diri ditinjau dari Orientasi
Religi- usitas Ekstrinsik-Instrinsik. Malang: UMM Press.
Hidayati, Heni Narendrany. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Jalaludin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jalaludin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2016. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan
Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Masduki, Yusron dan Idi Warsah. 2020. Psikologi Agama. Palembang: CV. Tunas
Gemilang Press.
Nasution, Harun. 1995. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Saifuddin, Ahmad. 2019. Psikologi Agama : Implementasi Psikologi untuk
me- mahami Perilaku Beragama. Jakarta : Prenadamedia Group.
19