Anda di halaman 1dari 19

Fasakh

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh


Munakahat dan Mawaris yang diampu oleh

Drs. Rusdi Jamil, M.A

Kelompok 4 (3C)

Dyah Sahida 11190110000060


Rizki Maulana 11190110000064
Muhammad Rizki 11190110000069

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF


HIDAYATULLAH JAKARTA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
hidayah nya. Sholawat serta salam senantiasa kita limpahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad SAW. Atas karunia-Nya kami bisa
menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Fasakh Nikah”.
Kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca yang telah
berkenan membaca makalah ini serta kepada penulis buku yang telah
membuat buku-buku untuk referensi makalah kami. Makalah ini
memaparkan tentang berbagai sumber hukum yang disepakati. Karena
para pelaku pendidik wajib menguasai berbagai materi-materi yang
diajarkan kepada murid-muridnya nanti.
Kami sebagai penyusun sebagai manusia yang banyak khilaf
dan kesalahan meminta maaf kepada para pembaca jika terdapat
kesalahan dalam penulisan kata, nama, dan gelar baik yang disengaja
ataupun tidak disengaja. Saran dan kritik bisa disampaikan langsung
kepada kami.

Jakarta, 10 September 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................3

A. Pengertian Fasakh...................................................................3
B. Penyebab Terjadinya Fasakh..................................................3
C. Pelaksanaan Fasakh................................................................6

BAB III PENUTUP..........................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan sebuah kebahagiaan yang tak terlupakan
bagi dua insan yang disatukan dalam sebuah ikatan yang halal nan
suci yaitu pernikahan. Setiap manusia pasti membutuhkan pasangan
untuk menemani hidupnya. Oleh karena itu, pernikahan merupakan
separuh dari agama. Pernikahan juga bernilai ibadah jika diniatkan
hanya semata-mata karena Allah SWT. bukan karena hawa nafsu
atau hal yang lainnya.
Pernikahan merupakan upaya dalam bentuk ibadah dan
menghindarkan dari perzinahan. Allah SWT menyuruh manusia
yang sudah sanggup lahir dan batin untuk menikah, jika belum
sanggup maka berpuasa cara untuk menghindarkan zinah. Ketika
seseorang berniat melakukan pernikahan, maka ia harus bersiap
menghadapi yang namanya permasalahan. Maka dari itu jika ada
seseorang yang ingin melakukan pernikahan mereka harus
memahami dan mempunyai ilmu yang mumpuni tentang
perkawinan. Sebab, membangun rumah tangga itu laksana dua
orang insan yang sedang berlabuh menghadapi samudera yang
sangat luas, mereka harus siap menhadapi gelombang laut, badai,
dan tiupan angin yang tidak terduga. Mereka harus tau apa saja
ilmu yang dibutuhkan dalam pernikahan, salah satunya adalah
Fasakh. Fasakh itu penyebab rusaknya pernikahan seseorang karena
faktor-faktor tertentu.

1
2

B. Rumusan Masalah
Agar penulisan ini sesuai dengan pokok pembahasan, kami akan
memaparkan beberapa rumusan masalah. Adapun rumusan masalah
yang kami ajukan yaitu :
1.B.1 Apa yang dimaksud dengan Fasakh?
1.B.2 Bagaimana penyebab terjadinya Fasakh?
1.B.3 Bagaimana pelaksanaan Fasakh?

C. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dan manfaat makalah ini yaitu :
1.C.1 Memberikan informasi tentang Fasakh.
1.C.2 Mengetahui pelaksanaan Fasakh.
1.C.3 Mengetahui penyebab terjadinya Fasakh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fasakh.

Fasakh berasal dari bahasa Arab, yakni fasakha ‫فسخ‬


artinya rusak (Mahmud Yunus, tt.:312). Fasakh berarti mencabut
dan membatalkan yang asalnya dari pokok kata yang berarti
mencabut sesuatu yang sudah sah dan formal (legal formal).
Fasakh disyariatkan dalam rangka menolak kemudaratan dan
diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau balig
dan berakal (Sayyid Bakri, t.t.:86).1

Fasakh akad adalah melepaskan dan mengurai ikatan yang


terjalin antara suami-istri. Hal tersebut bisa terjadi karena cacat
yang terjadi dalam akad, atau ada sebab lainnya yang menghalangi
lestarinya tali pernikahan tersebut.2 Perceraian karena fasakh tidak
akan mengurangi jumlah talak yang menjadi hak suami. Misalnya
jika akad nikah karena adanya khiyar bulug, kemudian suami-istri
melangsungkan akad lagi, sang suami tetap memiliki jatah tiga kali
talak kepada istrinya.3

B. Penyebab Terjadinya Fasakh

Hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh yaitu:

1
Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Fiqh Munakahat 2, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2015, hlm. 105.
2
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid
Sabiq (Terj. Ahmad Tarmidzi, Lc, dkk), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm. 534.
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 3, hlm. 633.

3
4

1. Karena ada Balak (penyakit belang kulit).

Dari ka’ab bin Zaid r.a bajwasannya Rasulullah saw


pernah menikahi seorang perempuan Bani Gifa. Maka tatkala
ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah meleakkan kainnta
dan ia duduk do atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di
lambungnya, lalu beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu)
seraya berkata: ambilah kainmu, tutuplah badanmu dan beliau
tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah
diberikan kepada perempuan itu.

2. Karena Gila
3. Karena Penyakit Kusta

Dari umar r.a berkata: Bilamana seorang laki-laki


menikahi seorang perempuan dan pada perempuan itu terdapat
tanda-tanda gila atau penyakit kusta lalu disetubuhinya
perempuan itu maka hak baginya menikahinya dengan
sempurna dan yang demikian itu hak bagi suaminya utang atas
walinya.

4. Karena Penyakit Menular

Dari sa’id bin musayyab r.a berkata: barangsiapa di


antara laki-laki yang menikahi dengan seorang perempuan dan
pada laki-laki itu ada yanda-tanda gila atau ada tanda-tanda
yang membahayakan sesungguhnya perempuan itu bikeh
memilih jika mau ia tetap (dalam perkawinannya) jika ia
berkehendak cerai, maka si perempuan itu boleh bercerai.
5

5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang


menghambat maksud perkawinan (bersetubuh)

Dari ali r.a berkata: barang siapa laki-laki yang


mengawini perempuan lalu dukhul dengan perempuan itu,
maka diketahuinya perempuan itu terkena balak (belang kulit),
gila, atau berpenyakit kusta, maka hendak baginya maskawin
itu hak bagi suami (supaya dikembalikan) dan utang di atas
orang yang telah menipunya dari perempuan itu. Dan kalau
dudapatinya ada daging tumbuh (di farajnya sampai
menghalangi jima’) suami itu khiyar (memilih). Apabila ia
telah menyentuhnya, maka hak baginya maskawin sebab
barang yang telah dihalalkannya dengan farajnya.

6. Karena ‘anah ( zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’)


sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan
nikah.4

Dari sa’ad bin musayyab r.a berkata: umar bin khattab


telah memutuskan bahwasannya laki-laki yang ’anah diberi
janji satu tahun.

Pendapat lain mengatakan fasakh artinya merusak akad


nikah, nukan meninggalkan. Pada hakikatnya fasakh ini lebih keras
daripada khulu’ dan ubahnya seperti melakukan khulu’ pula.
Artinya dilakukan oleh pihak perempuan disebabkan ada beberapa
hal. Perbedaanya adalah, khulu’ diucapkan oleh suami sendiri

4
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2003), hlm, 109
6

sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi nikah setelah istri mengadu


kepadanya dengan memulangkan maharnya kembali.

Disamping itu fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab


berikut:

1. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang


bukan jodohnya, umpamanya: budak dengan merdeka, orang
pezina dengan orang terpelihara dan sebagainya
2. Suami tidak mau memulangkan istrinya dan tidak pula
memberikan velanja sedangkan istrinya itu tidak rela.
3. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa saksi
yang dapat dipercaya sehingga ia tidak sanggup lagi memberi
nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupin
maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur.5
C. Pelaksanaan Fasakh

Dalam syariat Islam, khususnya dalam masalah munakahat


salah satu pihak baik suami maupun isteri memiliki hak untuk
mengajukan permohonan agar ikatan pernikahan menjadi putus
(fasakh) apabila salah satu dari keduanya merasa tertipu karena
cacat. Adapun yang dimaksud dengan cacat disini ialah cacat
jasmani dan cacat rohani yang tidak dapat dihilangkan atau dapat
dihilangkan tetapi dalam waktu yang lama.6 Diantara penyakit atau
cacat ini ada yang diderita oleh suami, ada yang diderita oleh isteri,

5
Ibid., hlm. 110
6
Kamal Muchatar, Asas-asas Hukum Islam dalam Perkawinan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), cet Ke-3, hlm. 213
7

bahkan ada yang diderita oleh keduanya.7 Jika terjadi cacat pada
salah satu pihak, baik suami ataupun isteri, sehingga menganggu
kelestarian suami isteri tersebut, atau menimbulkan penderitaan
pada salah satu pihak atau membahayakan hidup, atau mengancam
jiwa salah satu pihak, maka yang bersangkutan berhak mengadukan
permasalahannya pada hakim, kemudian pengadilan memfasakhkan
perkawinan mereka.8

Fasakh akad melepaskan dan mengurai ikatan yang terjalin


antara pasangan suami-isteri. Fasakh bisa terjadi karena sebab
khalal (cacat) yang terjadi dalam akad, atau adanya sebab yang
yang menghalangi lestarinya tali pernikahan tersebut.

Sebab terjadinya hal tersebut dapat dilihat dari contoh


pelaksanaanya sebagai berikut:

1. Fasakh karena adanya cacat saat akad


Jika telah terjadi akad, kemudian diketahui bahwa isteri
yang telah diikat dengan tali pernikahan ternyata saudara
perempuan sepersusuan seorang laki-laki, maka fasakh
nikahnya.
2. Fasakh nikah setelah akad
Jika salah satu dari pasangan suami-isteri murtad dan
tidak taubat lagi maka terjadilah fasakh, karena sebab murtad
setelah akad nikah. Pisahnya suami-isteri karena fasak bukanlah

7
Abu Malik Kamal bin Assyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), Jilid III, hlm.635
8
Djmaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: CV Toha Putra, 1993),
hlm.171
8

seperti pisah yang terjadi karena talak. Fasakh yang terjadi, baik
karena sebab tertentu setelah nikah atau sebab lain yang
berkaitan dengan akad, maka hal itu langsung menghalangi
(membatalkan) hubungan suami-isteri dengan seketika. Dan
pisah yang disebabkan karena fasakh tidak berlaku hitungan
talak.
3. Fasakh atas Keputusan Hakim (Pengadilan)
Dalam kondisi tertentu, sebab fasakh itu tidak diketahui
dengan jelas, maka perlu adanya keputusan hukum (syariat) dan
perkaranya divonis sesuai keputusannya. Seperti fasakh yang
terjadi, karena tidak ada kepedulian isteri yang musyrik kepada
Islam, ketika suaminya masuk Islam. Jika kemungkinan karena
isteri menahan diri, maka tidak terjadi fasakh dalam akadnya.
Hal ini perlu diberi keputusan berdasarkan pertimbangan yang
teliti, cermat, dan bijaksana dari hakim (syariat).9

Pada prinsipnya fasakh adalah hak suami dan isteri, tetapi


pada pelaksanaannya (khususnya di Indonesia) lebih banyak
diberikan kepada pihak isteri daripada pihak suami. Hal ini
disebabakan suami telah mempunyai hak thalaq yang telah
diberikan agama kepadanya.10

Akan tetapi, jika fasakh itu dari suami maka ia wajib


membayar setengah dari mahar itu. Disini penceraian itu sifatnya

9
Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq,
(Jaktim: Pustaka Al-Kautasar, 2013), hlm. 534
10
Sudarsono, hukum perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta,1991),
hlm. 135
9

sementara dan dihubungkan dengan masa iddah. 11 Berlaku seperti


iddah talak.12 Disamping itu, baik bentuk fasakh yang pertama atau
kedua, menyebutkan penceraian umumnya terdapat pada saat itu
juga. Ketentuan hukum lain ialah bahwa penceraian dengan jalan
fasakh tidak mengurangi jumlah talak.13 Dan bekas isteri tidak
boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika suami ingin mengembil
isterinya itu kembali, maka suami itu harus nikah lagi.14

Penceraian dalam bentuk fasakh termasuk penceraian dalam


proses peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan akan
kelangsungan perkawinan atau terjadinya penceraian, karena itu
pihak penggugat dalam perkara fasakh ini haruslah mempunyai
alat-alat bukti yang lengkap dan alat-alat bukti yang menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang mengadilinya. Keputusan hakim
didasarkan pada kebenaran alat-alat bukti.15

Maka dapat pemakalah simpulkan pelaksanaan fasakh bisa


timbul bersamaan pada waktu akad atau setelahnya. Fasakh
merupakan proses awal dari sebuah pencerain dalam perkawinan
sebelum jatuhnya talak oleh suami. Karena biasanya fasakh ini
diajukan oleh isteri kepada suaminya karena sebab-sebab yang
telah disebutkan diatas. Berbeda dengan penceraian dalam proses
11
Depag RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Arda Utama,1993), hlm.
285
12
Ahmad Rafiqoh, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), cet ke-1, hlm. 316
13
Depag RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Arda Utama,1993), hlm.
285
14
Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Tintamas, 1968),
hlm. 87
15
Kamal Muchatar, Asas-asas Hukum Islam dalam Perkawinan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), cet Ke-3, hlm. 212
10

pengadilan yang lain maka alat-alat bukti dalam perkara fasakh


sifatnya lebih nyata dan jelas. Misalnya seorang suami memiliki
suatu penyakit, maka surat keterangan dari dokter bisa dijadikan
sebagai salah satu dari alat-alat bukti yang diajukan.

Selain fasakh yang dimana sebagai solusi untuk


menyelesaikan permasalahan dalam mahligai rumah tangga, syariat
Islam pun memberikan solusi yang terbaik kepada kedua
pasangan(suami- istri). Jika istri bermasalah maka solusinyan
dengan Thalaq yang dijatuhkan suami. Dan jika suami yang
bermasalah maka solusinya dengan khulu’.

a) Khulu’

Khulu’ menurut etimologi  berasal dari kata ‫ خلع‬yang


berarti melepaskan atau memisahkan.    ‫ل ثوبه‬NN‫“خلع الرج‬Pria itu
melepaskan pakaian-nya.”16 Dan khulu’ disebut juga Fidyah
(Pemberian sebagian besar), Shulh (Pemberian sebagiannya),
dan Mubara’ah (Istri menggugurkan hak yang di miliki dari
suami).17

Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-‘a yang berasal


dari bahasa Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau
membuka pakaian. Karena seorang wanita merupakan pakaian
bagi lelaki, dan sebaliknya sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Qur’an:

16
Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab, Penerjemah Ibnu Alwi
Bafaqih (Jakarta: Cahaya, 2007) jil. 3, hlm. 560.
17
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Fathur Rakhman (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007) hlm. 133.
11

Artinya: “…mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki),


dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (wanita)…”. (QS.
2:187).

Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di


lakukan oleh suami istri untuk membebaskan istri dari
pernikahannya, dengan syarat si istri membayarkan sejumlah
harta (atau maskawin yang dahulu diberikan), lalu suami
methalaqnya atau mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di
berikan oleh istri kepada suami supaya mengkhulu’nya.18

Terdapat pada buku lain yakni dalam bukunya Jaih


Mubarok yang berjudul “Modifikasi Hukum Islam”, khulu’
dengan bahasa kiasan. Dalam fikih dikenal istilah khulu’, secara
bahasa, Khulu’ berarti melepas. Sedangkan secara istilah,
khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri
terhadap suaminya dengan membayar tebusan ‘iwadh.19

Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si


istri melihat suatu yang menghendaki putusnya perkawinan,
sedangkan si suami tidak menghendaki untuk itu. Kehendak
untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan
cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan

18
Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.
19
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002, cet.1), hlm. 259.
12

ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya


perkawinan dengan cara ini juga disebut khulu’.20

Maka dengan demikian dapat pemakalah simpulkan


bahwa khulu’ merupakan gugatan cerai dari isteri dikarenakan
isteri tersebut menerima kemudharatan (keburukan) dari
suaminya, semisal suami cacat badan, buruk akhlaqnya, tidak
memberi nafkah lahir batin, dan tidak memenuhi kewajiban
terhadap istrinya,  sedangkan istri khawatir akan melanggar
hukum Allah. Dengan cara meminta suami menjatuhkan talak
kepadanya, kemudian isteri membayar tebusan (‘iwadh).

Al-Jurzawi mengatakan bahwa khulu’ sendiri


sebenarnya dibenci oleh syari‟at yang mulia seperti halnya
talak. Semua akal dan perasaan sehat menolak khulu’, hanya
Allah SWT saja Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya
untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hukum-
hukum Allah SWT. Lebih lanjut jika terjadi perselisihan antara
suami dan isteri tersebut menyebabkan masing-masing ingin
berpisah dari yang lain. Dan isteri sudah tidak kuat lagi bergaul
dengan suaminya dan ingin berpisah.Maka tiada jalan
penyelamat kecuali dengan khulu’, yaitu dengan membayar
sejumlah uang agar suami mentalaknya sehingga dia selamat
dari beban perkawinan, kalau suaminya mau mengabulkan
permintaan isteri tersebut.21

20
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009, cet.3), hlm. 197.
21
Abdul Rahman Ghazaly, Op.Cit, hlm. 168
13

Kemudian hikmah yang terkandung didalamnya


sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menolak bahaya,
yaitu apabila perpecahan suami isteri telah memuncak dan
dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat
dalam kehidupan suami isteri, maka khulu’ dengan cara-cara
yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana
merupakan penolak terjadinya pernusuhan dan untuk
menegakan hukum-hukum Allah SWT.22

Selain itu hikmah dari hukum khulu’ adalah tampaknya


keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami isteri. Bila
suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan isterinya
menggunakan cara talak, isteri juga mempunyai hak dan
kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara
khulu.23

22
Darmiko Suhendra, KHULU’ DALAM PERSFEKTIF HUKUM ISLAM,
Jurnal: ASY-SYAR‟IYYAH, Vol. 1 No. 1, Juni 2016, hlm. 230. Diakses pada 24
September 2020
23
Sudirman, Fiqh Kontemporer: (Contemporary Studies of Fiqh), (Sleman:
Deepublish, 2018), hlm. 348
PENUTUP

Demikianlah makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas


mata kuliah Ushulul Fiqh. Semoga bisa bermanfaat bagi para
pembaca. Makalah ini kami buat dengan sgenap hati agar para
pembaca bisa mengerti dan paham atas yang kami sampaikan.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan kata, nama, dan gelar.
Saran dan kritik bisa disampaikan langsung kepada kami supaya
kami bisa meningkatkan mutu isi makalah kami.
Wassalamu`alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Jakarta, 10 September 2020

14
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Gus dan Wahidah, Sundus. 2018. Ensiklopedia Fikih Wanita:


Pembahasan Lengkap A-Z Fikih Wanita dalam Pandangan
Empat Mazhab. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Depag RI. 1993. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Arda Utama
Al-Faifi, Sulaiman Ahmad Yahya. 2013. Ringkasan Fikih Sunnah
Sayyid Sabiq. Jaktim: Pustaka Al-Kautasar
Saebani, Beni Ahmad. 2015. Fiqh Munakahat 2. Bandung: CV.
Pustaka Setia
Al-Faifi, Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya. 2013. Ringkasan Fikih
Sunnah Sayyid Sabiq (Terj. Ahmad Tarmidzi, Lc, dkk). Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar
Ghazaly, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat, Jakarta:
Prenadamedia Group.

Jannati. 2007. Fiqh Perbandingan Lima Madzhab. Penerjemah Ibnu


Alwi Bafaqih. Jakarta: Cahaya.
Kamal, Abu Malik bin Salim, Assyid. 2007. Shahih Fiqih Sunnah.
Jakarta: Pustaka Azzam
Mubarok. 2002. Modifikasi Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Mujieb dkk. 1994. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Muchatar, Kamal. 1993. Asas-asas Hukum Islam dalam Perkawinan.
Jakarta: Bulan Bintang
Nur, Djmaan. 1993. Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra
Rafiqoh, Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada

15
16

Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Fathur Rakhman


Jakarta: Pustaka Azzam.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah 3
Sudirman. 2018. Fiqh Kontemporer: (Contemporary Studies of Fiqh),
Sleman: Deepublish.

Sudarsono. 1991. hukum perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta


Syarifuddin. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Siddik, Abdullah. 1968. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Tintamas.
Suhendra, Darmiko. KHULU’ DALAM PERSFEKTIF HUKUM
ISLAM, Jurnal: ASY-SYAR‟IYYAH, Vol. 1 No. 1, Juni 2016,
hlm. 230. Diakses pada 24 September 2020

15

Anda mungkin juga menyukai