Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ZHIHAR DAN LI’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahah yang Dibina

Oleh Bapak Dr. Maimun, S.H.I, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Abdul Rohman (21381011126)

Wasilatul Bariroh (21381012114)

Yulia Ayu Wahyuni (21381012118)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
”Zhihar dan Li’an” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Fiqih Munakahah dengan dosen pengampu Bapak Dr. Maimun,
S.H.I, M.Pd.I Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang “Zhihar dan Li’an” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Maimun, S.H.I,
M.Pd.I selaku dosen pada mata kuliah Fiqih Munakahah yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Pamekasan, 24 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Dhihar....................................................................................3
B. Dasar Hukum Dhihar...............................................................................4
C. Kafarat Dhihar..........................................................................................4
D. Pengertian Li’an.......................................................................................5
E. Dasar Hukum Li’an..................................................................................7
F. Rukun dan Syarat Li’an............................................................................8
G. Sebab dan Akibat Hukum Li’an...............................................................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................11
B. Saran.......................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan adalah hal kesepkatan sosial antara laki – laki dan
perempuan, yang tujuannya adalah hubungan seksual, musaharah (menjalin
hubungan kekeluargaan melalui perkawinan), meneruskan keturunan,
memohon karunia anak, membentuk keluarga dan menempuh kehidupan
bersama. Dalam kata lain perkawinan merupakan sarana untuk menghalalkan
terjadinya hubungan yang intim antara pria dan wanita. Dengan jalan
perkawinan, hubungan biologis tidak lagi menjadi liar dan dapat tersalurkan
dengan baik di dalam satu ikatan yang suci dan sah.

Keharmonisan keluarga merupakan syarat penting dalam mengarungi


kehidupan rumah tangga agar mereka mampu menghadapi berbagai
goncangan dan hempasan badai dalam rumah tangga. Oleh karena itu,
pemahaman terhadap konsep keluarga sangat diperlukan karena kebanyakan
keluarga yang gagal adalah keluaraga yang tidak memahami pentingnya
keharmonisan keluarga.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dhihar ?
2. Apa dasar hukum dhihar ?
3. Bagaimana hukum kafarat dhihar ?
4. Apa pengertian li’an ?
5. Apa dasar hukum li’an?
6. Apa saja rukun dan syarat li’an ?
7. Apa saja sebab dan akibat dari hukum li’an ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dhihar.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dhihar.
3. Untuk mengetahui hukum kafarat dhihar.
4. Untuk mengetahui pengertian li’an.
5. Untuk mengetahui dasar hukum li’an.
1
6. Untuk mengatahui rukun dan syarat li’an.
7. Untuk mengetahui sebab dan akibat dari hukum li’an.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dhihar
Zhihar dalam bahasa arab adalah masdar dari kata zhahara yang berasal
dari akar kata azh-zhahr, yaitu ucapan suami kepada istrinya, “kamu bagiku seperti
punggung ibuku.” Sementara dalam terminologi fuqaha, Zhihar adalah perilaku
suami yang menyerupakan istrinya dengan perempuan yang diharamkan baginya
secara permanen (selamanya), atau dengan salah satu anggota tubuh perempuan
itu, yang tidak boleh diperlihatkan olehnya, seperti punggung, perut dan paha.
Zhihar ini pada zaman jahiliah dianggap sebagai talak, kemudian diharamkan oleh
agama islam serta wajib membayar denda (kafarat)1.
Menurut madzhab Hambali. Mereka juga menganggap sahnya
(terlaksananya) zhihar dengan orang kafir, dimana madzhab Syaifi’i juga
sependapat dengan mereka dalam hal ini. Namun madzhab Syafi’i tidak
sependapat dengan madzhab Hambali yang menganggap sahnya zhihar dengan
wanita mahram yang haram dinikahi untuk sementara waktu atau dengan wanita
yang tidak halal disetubuhi. Madzhab Hambali sebagaimana juga madzhab Maliki,
menganggap sahnya. Zhihar dengan wanita ajnabiyyah.
Sementara itu, madzhab Hanafi dan madzhab Maliki sepakat mengenai
tidak sahnya zhihar dengan orang kafir. Namun mereka berbeda pendapat
mengenai zhihar dengan wanita ajnabiyyah. Menurut madzhab Hanafi hal itu tidak
dianggap sah, sebab pengharaman menikahi wanita ajnabiyyah itu merupakan
pengharaman yang sifatnya temporal. Adapun menurut madzhab Maliki, baru
meniatkannya saja (belum mengucapkan zhihar) sudah dianggap zhihar; sebab
pengharaman menikahi wanita ajnabiyyah saat itu merupakan sesuatu yang
prinsipil.

1
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga, terj. Nur Khozin Jakarta : Amzah, 2010.
3
B. Dasar Hukum Zhihar

‫والذين يظهرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من‬


ً ‫ذلكم توعظون به وهللا بما تعملون خبير قبل أن يتماسا‬

Artinya :
“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujadilah: 3).”

Yang harus ditekankan didalam memahami zhihar ini adalah zhihar


merupakan sebuah ucapan yang memiliki konsekuensi berat dimata Agama2.
Begitu berat konsekuensi dari zhihar membuat hal ini dapat menyebabkan
talak dimata Allah Swt. Untuk bisa lepas dari zhihar ini, ucapan itu harus
ditarik kembali dan dibarengi membayar kafarat (denda). Kafarat ini wajib
dibayarkan oleh suami yang telah menzhihar istrinya agar ia dapat kembali
mensetubuhi istrinya. Disamping itu ada yang menganggap kafarat ini sebagai
hutang suami kepada istri yang telah dizhiharnya.

C. Kafarat Zhihar

‫والكفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من العيوب المضرة با العمل والكسب فإن لم يستطع فإطعام ستين‬
‫مسكينا كل مسكين مد وال يحل للمظاهر وطؤها حتى يكفر‬

Artinya :
“ Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan, Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya

2
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana, 2006.
4
bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan
enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih3.
Para ulama’ sepakat mengatakan bahwa zhihar itu hukumnya haram.
Oleh karena itu orang yang melakukan zhihar berarti melakukan perbuatan
yang berdosa. Seseorang yang menzhihar istrinya akan berakibat :

1) Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zhihar.

2) Penzhihar wajib membayar kafarat zhihar4.

Adapun untuk menghapus kemungkaran ini dengan kafarat (penebus) berikut


ini secara berurutan : Memerdekakan budak perempuan, puasa dua bulan
berturut-turut dan memberi makan 60 orang miskin. Keduanya haram
untuk bersentuhan sebelum mengeluarkan kafarat tersebut5.

D. Pengertian Li’an
Abu al-Qasim Rahimahullah Ta’ala dalam tulisannya, kata Li’ān berasal
dari kata dasar la’n (menjauhkan), karena setiap orang dari sepasang suami
istri melaknat dirinya pada sumpah yang kelima, jika dia orang yang berdusta.6

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Li’ān diartikan sumpah seorang


suami dengan tuduhan bahwa istrinya melakukan zina, sebaliknya istrinya juga
bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya berbohong (masing-masing
mengucapkan empat kali sumpah, sedangkan yang kelima mereka berikrar
bersedia mendapat laknat Allah jika berdusta) sehingga suami istri bercerai dan
haram menikah kembali seumur hidup.7

Al-Imām al-Qādhi al-Baidhowi berkata : “suami istri yang melakukan


Li’ān disebut demikian, karena suami istri itu tidak terbebas dari status bahwa
salah seorang dari mereka itu adalah orang yang berdusta, sehingga terjadilah
pelaknatan atas dirinya, yaitu pengusiran dan menjauhkan. 8 Pendapat lain,
3
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 163-164
4
M.A.Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahah Kajian Fikih Nikah Lengkap, hlm. 249-250.
5
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mua’amalat, (Jakarta : Pustaka Amani, 1994),
hlm. 279-280.
6
Ibnu Qudamah, al-Mughnī (Kairo: Dārul Hadīts, 2005), VI, 359.
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
668.
8
Ibnu Qudamah, al-Mughni, VI, 126.
5
yaitu karena masing-masing suami istri dijauhkan dari teman hidupnya tadi
untuk selama-lamanya, sehingga haramlah dikawininya kembali.9

Adapun bentuk-bentuk tuduhan yang mewajibkan Li’ān ada dua : Pertama,


tuduhan berzina. Kedua, pengingkaran kandungan (anak). Tuduhan berzina
tidak terlepas dari ketentuan penyaksian. Yakni, seseorang mengaku bahwa ia
menyaksikan perbuatan zina. Atau tuduhan itu bersifat mutlak tanpa ikatan dan
jika ia mengingkari kandungan (anak), maka ada kalanya ia mengingkarinya
dengan pengingkaran mutlak atau mengatakan bahwa ia tidak mencampuri
istrinya sesudah istrinya itu membersihkan rahimnya dari kandungan
(istibrak).10

Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa menghadirkan empat orang


saksi, haruslah ia bersumpah empat kali yang menyatakan ia benar. Pada yang
kelima, ia mengucapkan bahwa ia dilaknat oleh Allah kalau tuduhanya itu
dusta. Istri yang menyanggah tuduhan tersebut lalu bersumpah juga empat kali
bahwa suaminya telah berdusta. Pada kali yang kelima ia mengucapkan bahwa
ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar.11

Dalam definisi yang sederhana terdapat kata kunci yang akan menjelaskan
hakikat dari perbuatan Li’ān itu, yaitu sebagai berikut:
a. kata “sumpah”. Kata ini menunjukan bahwa Li’ān itu adalah salah satu
dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali.
Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapanya dan
kelima kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila ia berbohong.
b. kata “suami” yang dihadapkan pada “istri”. Hal ini mengandung
bahwa arti Li’ān berlaku antara suami istri dan tidak berlaku diluar
lingkungan keduanya. Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan
saling melaknat tidak disebut dengan istilah Li’ān.
c. kata “ menuduh berzina”, yang mengandung arti bahwa sumpah yang
dilakukan suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia sendiri
mendapatkan istrinya berbuat zina atau menyakini bahwa bayi yang
dikandung istrinya bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan

9
Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah (Libanon: Darul Fikri, 1948), III, 219.
10
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Cairo : Darul Aqidah, 2004), II, 272.
11
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III, 213.
6
suami itu tidak ada hubunganya dengan zina atau anak yang
dikandung, tidak disebut dengan Li’ān.
d. kata “suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi”. Hal ini
mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhanya itu suami
mampu mendatangkan empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan
ketika menuduh zina, tidak dinamakan dengan Li’ān , tetapi
melaporkan apa yang terjadi untuk diselesaikan oleh hakim.12

E. Dasar Hukum Li’an


Seorang suami yang menuduh istrinya berzina, sedangkan dia tidak
mempunyai saksi-saksi atau alat bukti yang dapat menguatkan tuduhannya dan
istrinya menolak tuduhannya tersebut dan mengajukan perkaranya ke
Pengadilan Agama, maka Hakim atau pengadilan harus menyelesaikan perkara
tersebut dengan cara Li’ān , sesuai dengan jalan yang ditentukan oleh Allah
SWT.
Dasar hukum Li’ān adalah firman Allah SWT dalam surat an-Nur (24)
ayat 6-7. Ayat tersebut turun sehubungan dengan kasus Hilal bin Umayyah
yang telah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di
hadapan Rosulullah Salallahu Alaihi Wasallam. Diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dari Ibnu Abbas bahwasanya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya
melakukan perbuatan zina di Hadapan Rosulullah dengan Syuraik bin Sahma’.
Lalu Rasulullah berkata kepadanya : “Datangkan bukti, jika tidak akan
diberlakukan hukuman hadd atas punggungmu”. Dia berkata : “wahai Nabi
Allah, jika salah seorang diantara kami melihat ada seorang lelaki di atas
istrinya, apakah yang demikian dia harus mencari bukti juga?“ Rasulullah
mengulangi ucapannya tadi, Maka Hilal pun berkata : “Demi Dzat yang
mengutusmu dengan kebenaran sebagai seorang Nabi, sesungguhnya saya
adalah benar, semoga Allah menurunkan ayatnya untuk menyelamatkan
punggungku dari hukuman had, lalu Jibril turun dengan turunlah ayat (dan
orang-orang yang menuduh istri-istri mereka berbuat zina....sampai akhir
ayat)”.13
Sedangkan mengenai Li’ān para ulama ‟bersepakat bahwa perkara Li’ān
merupakan suatu ketentuan yang sah menurut Al-Qur’an, AsSunnah, Qiyas

12
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta, Putra Grafika, 2009), 288- 289.
13
Muhammad bin Ismail as-Shan’any, Subulus Salam (Libanon : Darul Fikri, 2003), III, 192.
7
dan Ijma.14

F. Rukun dan Syarat Li’an


a. Rukun Li’an

Rukun li’an adalah sebagai berikut:


1. Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang menuduh zina atau yang
mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan
pernikahan (bukan suaminya).
2. Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut bukan
istrinya.
3. Shighat atau lafadz li’an, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan zina
atau pengingkaran kandungan kepada istrinya.15
b. Syarat Li’an

Adapun syarat wajib li’an dibagi dalam empat kelompok, yaitu 16 :


1. Syarat yang kembali kepada suami istri

Syarat yang kembali pada kedua belah pihak yaitu suami istri
adalah Perkawinan yang sah (utuh) dan Merdeka, baligh, berakal,
Islam, dapat berbicara, dan tidak adanya hukuman had zina.
2. Syarat yang kembali kepada penuduh (suami)

Li’an diperbolehkan dan dianggap sah jika penuduh (suami),


tidak bisa menunjukkan bukti atas perzinahan yang ia tuduhkan pada
istrinya17.
3. Syarat yang kembali kepada tertuduh (istri)

Adanya pengingkaran istri terhadap perbuatan zina yang


dituduhkan kepadanya, sehingga apabila istri mengaku telah berbuat
zina, maka li’an tidak wajib dilakukan. Akan tetapi yang wajib
dilakukan adalah hukuman had zina kepada istri. Kehormatan dirinya
terjaga dari perbuatan zina.
4. Syarat yang kembali kepada tuduhan
14
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III, 316.
15
Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahhab al-Siwasi, Fath al-Qodir, Juz IV, (Beirut:Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, t. th.), 248-250.
16
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, (Lebanon: Dar al-kutub al-‘Ilmiah, t. th.,), 149-150.
17
Abdul Malik Kamal bin as-Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, Penerjemah : Khairul Amru Harahap,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid 3, 609-613.
8
Tuduhan zina harus diucapkan dengan jelas, seperti ucapan
suami kepada istrinya “Hai wanita yang berzina”, tetapi apabila
tuduhan diucapkan dengan kata-kata sindiran, maka li’an tidak dapat
dilaksanakan seperti penuduh dalam tuduhannya mengganti kata zina
dengan kata liwath . Li’an hanya ada di negara Islam. Li’an tidak dapat
dilaksanakan apabila tuduhan tersebut dilaksanakan diluar negara
Islam, karena wilayah kekuasaan pengadilan tersebut hanya meliputi di
mana pengadilan itu berada yang mana hukum itu dapat berlaku. Li’an
terjadi di hadapan qadhi atau wakilnya, karena Nabi Saw.
memerintahkan Hilal bin Umayyah untuk memanggil istrinya ke
hadapan beliau dan saling melakukan li’an di hadapan beliau.

G. Sebab dan Akibat Hukum Li’an

Terjadinya li’an disebabkan karena seorang suami menuduh istrinya


berbuat zina dengan laki-laki lain, tanpa mampu mendatangkan empat orang
saksi yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Bentuk ini
menyebabkan adanya li’an setelah suami melihat sendiri (secara langsung)
bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain, ataupun istri mengaku telah
berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuan istrinya tersebut.

Sebab yang lain adalah seorang suami mengingkari (menolak) bayi yang
telah di kandung istrinya. Hal ini bisa terjadi apabila suami mengaku bahwa
suami tidak pernah berhubungan badan dengan istrinya semenjak akad nikah
berlangsung. Kemudian sebab yang lainnya adalah bahwa istrinya telah
melahirkan sebelum batas minimal kelahiran (kurang dari kelahiran) setelah
bersenggama.

Oleh karena sebab-sebab yang terjadi di atas, maka untuk menguatkan


kebenaran tuduhannya seorang suami mengucapkan sumpah li’an . Sedangkan
istri menyangkal tuduhan tersebut dengan sumpah li’an pula, sehingga terjadi
mula’anah di antara kedua suami istri tersebut. Apabila terjadi hal yang
demikian berarti salah satu dari suami istri tersebut ada yang berdusta.

Adapun akibat hukum dari peristiwa li’an yang dilakukan oleh suami istri
adalah sebagai berikut:

9
a. Gugurnya hukuman dera bagi suami yang menuduh istrinya berbuat
zina tanpa mendatangkan empat orang saksi.
b. Istri dijatuhi hukuman dera, kecuali jika istri membantah dengan
bersedia mengucapkan sumpah li’an juga.
c. Haram (tidak boleh) melakukan hubungan suami istri.
d. Tidak sahnya anak. Artinya nasab anak tidak dihubungkan kepada
ayahnya, melainkan kepada ibunya saja. Akibat lebih lanjut adalah
anak yang dilahirkan itu tidak mendapat nafkah dan tidak saling waris-
mewarisi dengan ayahnya.
e. Secara otomatis terjadi perceraian antara suami istri yang melakukan
li’an itu. Mereka tidak dapat menjadi suami istri kembali dengan cara
apapun, baik dengan cara rujuk maupun dengan akad baru.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam masalah zhihar ada hikmah yang terkandung:

Hikmah sebagai hukuman, yaitu karena dia mewajibkan atas dirinya


sendiri suatu yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa kepada dosa
dari peninggalan kaum jahiliyah tanpa ada ketentuan hukum yang
meawjibkan.

Hukum zhihar itu akan bernilai positif karena adanya kewajiban


membayar kafarat untuk tidak semena – mena bagi suami dalam kehidupan
bersama sebagi suami istri baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan
yang mengakibatkan kehidupan istri menjadui merana, bila sanksi hukum ini
diberlakukan, maka bagi suami akan bersikap hati – hati dan akan mampu
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang ideal.

Sedangkan Li’ān diartikan sumpah seorang suami dengan tuduhan bahwa


istrinya melakukan zina, sebaliknya istrinya juga bersumpah dengan tuduhan
bahwa suaminya berbohong (masing-masing mengucapkan empat kali
sumpah, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat
Allah jika berdusta) sehingga suami istri bercerai dan haram menikah kembali
seumur hidup.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini, pasti ada kesalahan dan juga kekurangan
dari penulis. Oleh karena itu, kami sangat menerima kritikan dan juga saran
yang membangun dari pembaca. Kurang lebihnya mohon maaf. Terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana, 2006.


Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah,terj. Harits
Fadly dan Ahmad Khotib, Surakarta: Era Intermedia, 2005.
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah Ibadah-Mua’amalat, Jakarta :
Pustaka
Amani, 1994.
Qudamah, Ibnu, al-Mughnī, Kairo: Dārul Hadīts, 2005.
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtar, Juz V, Lebanon: Dar al-kutub al-‘Ilmiah, t. Th.
Abdul Malik Kamal bin as-Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, Penerjemah :
Khairul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Putra Grafika,
2009.

12

Anda mungkin juga menyukai