ZHIHAR
DI SUSUN OLEH
SEMESTER : III(3)
YOGYAKARTA
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT,karena berkat rahmat dan karunia-Nya saya telah
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”ZHIHAR”.Untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur
dalam mata kuliah FIQH MUNAKAHAT.
Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi
dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, saya mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya.Kritik konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
PENULIS
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian zhihar?
PEMBAHASAN
A. Pengertiaan Zhihar
Zhihar menurut etimologi berasal dari kata Zhahr yang berarti punggung.. Dalam
termonologi syariah, Konteks membandingkan atau menyamakan isteri dengan ibunya
sering disebut dengan dhihar, dhihar bisa didefinisikan sebagai seorang suami yang
mengungkapkan bahwa istrinya itu menyerupai (secara hukum) dengan wanita yang haram
dinikahinya secara seterusnya, seperti ibu, saudara wanita dan seterusnya.
Tindakan menyamakan dalam dhihar adalah dengan maksud untuk mengharamkan
hubungan antara suami istri. Dhihar terjadi manakala seorang suami ingin mengharamkan
istrinya dengan mengucapkan kalimat,"Kamu seperti punggung ibu saya". Maksudnya
bahwa saya menyatakan bahwa istri saya itu haram bagi saya sebagaimana haramnya
punggung ibu saya bagi saya. Dhihar adalah salah satu bentuk perceraian pada masa Arab
jahiliyyah. Sebagaimana mana halnya dengan illa’, maka dhihar dilakukan oleh suami yang
tidak menyukai istrinya lagi, oleh karena suami tidak berani untuk mengatakan kata talak
kepada istrinya.
Sayyid sabiq menutip dari kitab Fatul Bahri, menjelaskan bahwa khusus disebut
punggung bukan anggota badan yang lainnya, karena umumnya punggung merupakan
tempat tunggangan, lalu perempuan diserupakan dengan punggung, sebab ia menjadi
tempat tunggangan laki-laki.
Pada permulaan datangnya agama islam , hukum dhihar tersebut tetap berlaku
dikalangan kaum muslimin, samapi Allah SWT menurunkan surat Al- Mujadilah ayat 1
samapi 4 ketika peristiwa Khaulah binti Tsa’labah yang didhihar oleh suaminya.
Artinya : ayat 1
Dari keterangan surat Al-Mujadial diatas tersebut dapat kita simpulkan mengenai kaffarat dhihar
itu ada tiga tingkatan, tingkatan-tingkatan tersebut ialah :
Jika suami berpendapat bahwa jika memperbaiki kembali hubungan dengan istrinya
tidak memungkinkan dan menurut pertimbangannya bercerai itu jalan yang terbaik,
maka hendaklah suami mengajukan talaq kepada istrinya. Tetapi apabila suami tidak
mencabut kembali dhiharnya, dan tidak pula menceraikan istrinya, maka setelah berlalu
masa empat bulan sejak diucapkan dhihar, maka haikm menceraikan antara keduanya
sebagai perceraian ba’in.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari keterangan dapat kita simpulkan bahwa dhihar tidak secara langsung
berakibat cerai, melainkan dhihar merupakan prolog dari perceraian. Dhihar
merupakan suatu perkataan dari seorang suami kepada istrinya dengan
mengatakan bahwa istrinya tersebut sama dengan punggung ibunya, dengan
maksud suami untuk mengharamkan istrinya yang sama halnya haram ibunya atas
dirinya untuk digauli. Hal ini disebabkan oleh karena suami tidak berani untuk
mengatakan ucapan talak kepada istrinya,
Dalam permasalah dhihar ini, ada beberapa syarat atau kaffarat yang yang harus
dipenuhi oleh seorang suami jika ingin menarik ucapan dan hendak menggauli
istrinya kembali, dengan kaffarat seperti yang telah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Mujieb Abdul Mabruri Tholhah Syafi’ah, Muhammad, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 1995)
Azhim, Abdul bin Badawi al-Khalafi, Al-Wazij, (Jakarta:Pustaka asSunnah, 2006) Drs. Kamal Muchtar,
Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,( Jakarta : Bulan Bintang, 1974)
Drs.Supriatna, Fiqih Munakahat II,( Yogyakarta : Teras, januari 2009