Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI


“PERNIKAHAN ”

OLEH KELOMPOK IV:


1. REGA VEMILIA
2. DIVIA SITI RAHAYU
3. M. RAZIF HABIBILLAH
4. NOVA ERLIZA
5. AHMAD SOFYAN

KELAS : XII IPS 1

GURU PEMBIMBING : WILDA KHAIRATI S.Ag

SEKOLAH MENENGAH ATAS


SMA N 1 PANGKALAN KEC. PANGKALAN KOTO BARU
KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
TP. 2022/2023
KATA PENGANTAR
 
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pengerjaan makalah yang berjudul “Pernikahan
Dalam Agama Islam”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam Dan Budi Pekerti.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Kami sebagai penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
 
 
Pangkalan, November 2022
 
 
Penyusun
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
1. Iddah................................................................................................................ 2
2. Rujuk............................................................................................................... 3
3. Hadanah........................................................................................................... 5
4. Hikmah Pernikahan......................................................................................... 8

BAB III PENUTUPAN


1. Kesimpulan ..................................................................................................... 10
2. Saran................................................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA  .................................................................................................... 11


 
 
 
  
 
 

ii
BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam
dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kewajiban dari seorang
manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan
memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt.
Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain.
Setiap Makhluk pasti ingin berkembang biak dan memiliki keturunan,  tetapi yang
membedakan Manusia dengan makhluk – makhluk lainnya adalah ikatan pernikahan.
Allah S.W.T menganjurkan Manusia untuk menikah agar dapat mempertahankan
keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan
menurut kaiadah norma Agama, Laki-laki dan perempuan memiliki fitrah yang saling
membutuhkan satu sama lain.
 
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan iddah, rujuk, dan hadanah ?
2. Apa Hikmah Pernikahan?

 
 

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. IDDAH
Iddah adalah waktu menunggu bagi mantan istri yang telah diceraikan oleh mantan
suaminya, baik itu karena thalak atau diceraikannya. Ataupun karena suaminya
meninggal dunia yang pada waktu tunggu itu mantan istri belum boleh melangsungkan
pernikahan kembali dengan laki-laki lain. Pada saat iddah inilah antara kedua belah pihak
yang telah mengadakan perceraian, masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban
antara keduanya.Lamanya masa iddah bagi perempuan adalah sebagai berikut:
a.       Perempuan yang masih mengalami haid secara normal, iddahnya tiga kali suci
b.      Perempuan yang tidak mengalami lagi haid (menopause) atau belum mengalami
sama sekali, iddahnya tiga bulan
c.       Perempuan yang ditinggal mati suaminya, iddahnya empat bulan sepuluh hari
d.      Perempuan yang sedang hamil, iddahnya sampai melahirkan

1) Masa Idddah
Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (‫ )ال ِع َّدة‬yang
َ ْ‫[)اِإل ح‬1] . Dinamakan demikian karena seorang
bermakna perhitungan (‫اء‬DDDD‫ص‬
menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa
iddah. Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa
di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia
ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu
kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan
yang sudah ditentukan.

2) Hikmah ‘Iddah
Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa
‘iddah, diantaranya:
 Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
 Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari ketidakjelasan
garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
 Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya
sebuah akad pernikahan.
 Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak
memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
 Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya
apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

2
Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ [al-
Baqarah/2:228]
Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya :

Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari
Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu
Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata,
“Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling
panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!” [HR al-
Bukhâri no. 4906].

B. RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Rujuk adalah bersatunya kembali sebuah hubungan yang telah di bangun dua
belah pihak dalam hal ini suami istri setelah mengalami perpisahan atau perceraian
sebelum habisnya masa iddah. Rujuk hanya dapat dilakukan ketika suami menjatuhkan
talak kepada istrinya dalam bentuk talak satu dan talak dua (talak raj,i). Kedua talak
tersebut tidak lagi membutuhkan pernikahan ulang untuk mengesahkan sebuah
hubungan suami istri setelah perceraian.
2. Rukun Rujuk
Rujuk adalah sebuah proses yang menyatukan kembali antara suami dan istri
yang telah bercerai sebelum masa tunggu atau iddahnya habis. Rujuk hanya boleh
dilakukan jika talak yang diberikan suami hanya berupa talak satu dan talak dua. Talak
3 menjadi talak yang tidak diperbolehkannya seorang suami dan istri untuk rujuk
kembali.

3
Rujuk memiliki beberapa rukun yang harus dipenuhi agar dapat dilakukan sesuai
tata cara yang benar. Berikut ini rukun rujuk yang perlu diperhatikan bagi pasangan suami
istri:
1. Istri sudah dicampuri
2. Talak Raj’i (talak 1 dan 2)
3. Dalam masa iddah
4. Melafalkan lafaz rujuk bagi suami
5. Adanya saksi
3. Cara Rujuk Talak 2
Jika masih dalam masa iddah seperti yang sudah dijelaskan pada penjelasan
sebelumnya, suami boleh langsung rujuk dengan istri dengan mengucapkan “ saya
kembali kepadamu” atau kata lainnya yang mirip. Syarat lainnya yaitu dengan
dihadirkan 2 saksi laki-laki yang adil dan menyaksikan suami mengucapkan kata-kata
tersebut.
Sedangkan jika sudah melewati masa iddah atau masa tunggu maka kedua
mantan suami istri ini sudah menjadi orang lain. Sepeti yang dituliskan oleh Sayuti
Thalib dalam bukunya “Hukum Kekeluargaan Indonesia”, dijelaskan bahwa jika
iddah telah habis, maka suami yang awalnya boleh melakukan rujuk, sekarang tidak
diperbolehkan rujuk kembali. Tetapi masih terbuka kemungkinan jika ingin berumah
tangga kembali.
Jika ingin kembali berumah tangga lagi, maka harus melalui pernikahan
kembali dengan memenuhi rukun nikah. Seperti ada akad nikah, ada mempelai laki-
laki dan perempuan, saksi, dan lain sebagainya untuk mengesahkan kedua suami istri
ini menjadi keluarga kembali.
4. Cara Rujuk Talak 3
Talak 3 menjadi talak yang paling sulit dimungkinkan untuk rujuk. Namun hal
tersebut bukan berarti talak 3 tidak memiliki jalan sama sekali untuk kembali rujuk
dengan pasangan. Demi melakukan rujuk saat talak tiga telah dijatuhkan. Dibutuhkan
proses yang tidak mudah dan sebentar.
Rujuk talak tiga dapat dilakukan dengan cara istri pada pernikahan sebelumnya
menikah dengan lelaki lain tanpa adanya paksaan dan pernikahan tersebut mengalami
kegagalan. Dengan begitu, Anda sebagai mantan suaminya dapat menikahkan kembali
istri anda yang sebelumnya telah dinikahkan dengan lelaki lain tanpa settingan.

4
5. Bolehkah Rujuk Setelah Masa Iddah?
Dalam penjelasan sebelumnya, telah disebutkan jika rujuk hanya bisa
dilakukan saat perceraian atau jatuhnya talak masih dalam masa tunggu atau masa
iddah. Lantas, apakah rujuk diperbolehkan saat masa iddah telah dilalui dalam jangka
waktu yang cukup lama?
Lamanya masa iddah telah ditentukan dan di jelaskan dalam point sebelumnya.
Jika terjadi hal yang memungkinkan untuk rujuk setelah lewatnya masa iddah hal ini
tetap dimungkinkan. Namun rujuk kali ini harus melalui pernikahan ulang atau
pernikahan kembali guna mensahkan hubungan suami dan istri yang telah lama
berpisah tersebut.

C. HADANAH
Kata hadhânah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, yang bermakna
mengasuh atau memelihara anak.

Secara terminologis, hadhânah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan
merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat
membahayakan dirinya. Hukum hadhânah ini hanya dilaksanakan ketika pasangan suami
istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal
ini disebabkan karena si anak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan
dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya.Inilah yang dimaksu dengan
perwalian (wilâyah).

HUKUM HADHANAH
Hadhânah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan
sebab ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran
sebagaimana diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan.[1]
Anak-anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika
tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah
dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Sebagian Ulama fikih
menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak kecil hingga mempu mandiri.[2]
Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifâyah.

5
Hadhânah sangat terkait dengan tiga hak:
Hak wanita yang mengasuh
Hak anak yang diasuh
Hak ayah atau orang yang menempati posisinya
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus
ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan
daripada hak yang lainnya.
Hadhânah (kepengasuhan) ini menjadi hak bagi sang anak (al-mahdhûn) juga orang
yang mengasuh (al-hâdin). Dia menjadi hak anak (al-mahdhûn) ditinjau dari hak
penjagaan yang harus didapatkan si anak yang jika ditelantarkan akan menyebabkan si
anak sengsara.
Hadhânah (kepengasuhan) juga merupakan hak pengasuh (al-hâdhin). Ini jika ditinjau
dari kebebasan yang dimilikinya untuk menuntut atau menggugurkan hak tersebut selama
sang anak bisa diasuh oleh selainnya.
Orang yang berhak menuntut hak kepengasuhan ini adalah semua lelaki yang menjadi
ashabah (semua lelaki yang menjadi ahli waris dari garis keturunan laki-laki selain suami-
red) seperti bapak, kakek, saudara sekandung dan saudara sebapak dan paman. Juga
semua wanita yang menjadi ahli warisnya seperti ibu, nenek, saudari atau orang yang
punya pertalian darah dengan ahli waris seperti bibi, keponakan (anaknya bibi) atau
sepupu dan yang lainnya. Jika semua yang di atas tidak ada lagi, maka pemerintah yang
mengurusnya.[3]
Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian
karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk mengasuh anak.
Si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak
mengharuskan demikian. Karena mengasuh anak itu hanya hak (bukan kewajiban) serta
tidak ada mudharat yang dikhawatirkan akan menimpa sang anak hanya karena
keberadaan mahram lain selain ibunya.
Seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya
(baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alasan syar’i yang
memperbolehkannya.
Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui
bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

6
HIKMAH PENSYARIATANNYA
Anak-anak kecil dan yang semisalnya seperti orang gila atau lumpuh dan sejenisnya
tidak mampu memelihara dirinya sendiri dan tidak mampu juga membinanya. Kondisi ini
menuntut disyariatkannya kepengasuhan untuk menjaga orang-orang yang
membutuhkannya dan memelihara urusan dan pembinaan mereka, apalagi saat terjadi
perpisahan pasangan suami istri. Itu merupakan sebentuk rahmat bagi mereka sehingga
mereka tidak rusak atau terlantar sehingga menjadi bencana bagi masyarakat.[4]

SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH (HADHANAH).[5]


Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang
harus dipenuhi demi menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini
tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati
dan ada yang masih diperselisihkan para Ulama.

Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah:

Berakal sehat. Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal
sehat.
Amanah dalam agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab
orang fasiq seperti pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam
menunaikan kewajiban kepengasuhan ini.
Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh. Dalam
hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu mengurusi anak
tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya. Hal ini
disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti kaum
wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya berpindah
kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung mengurusi
anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka.
Pengasuh tidak memiliki penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh.
Tinggal menetap di daerah anak yang diasuh.
Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari
sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya menikah
dengan kerabat sang anak maka tidak hak hadhânah (kepengasuhan)nya tidak gugur.
Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi
7
lelaki lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri
apabila berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya,
selama sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak
bagi ibu pada anaknya bila telah menikah lagi.[6]Hal ini juga ditegaskan oleh sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan
menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

،ً‫واء‬
َ ‫ح‬ ِ ‫ه‬ ُ َ‫ج ِري ل‬ْ ‫ح‬ِ ‫و‬َ ،ً‫سقَاء‬ ِ ‫ه‬ ُ َ‫وثَ ْديِي ل‬ َ ،ً‫عاء‬َ ‫و‬ ُ َ‫طنِي ل‬
ِ ‫ه‬ ْ َ‫ه َذا كَانَ ب‬ َ ‫ ِإنَّ ا ْبنِي‬،‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬َ ‫سو‬ ُ ‫يَا َر‬
ِ ‫هللا عَ لَ ْي‬
‫ه‬ ُ ‫ص لَّى‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬ُ ‫س و‬ ُ ‫ها َر‬ َ َ‫ل ل‬
َ ‫ق ا‬َ ‫ف‬َ ،‫م ِنّي‬ ُ َ‫د َأنْ يَ ْن َت ِزع‬
ِ ‫ه‬ َ ‫وَأ َرا‬ َ َّ‫وِإنَّ َأبَ ا ُه طَل‬
َ ،‫ق ِني‬ َ
‫حي‬ ِ ِ‫م تَ ْنك‬ ْ َ‫ما ل‬
َ ‫ه‬ِ ِ‫حقُّ ب‬ َ ‫ت َأ‬
ِ ‫ َأ ْن‬:‫م‬ َ َّ‫سل‬
َ ‫و‬َ

“Wahai Rasûlullâh! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya,
payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya
telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum
menikah lagi“.[HR Abu Daud no. 2276, Ahmad (2/182 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak
2/225 dan dihasankan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud].

D. Hikmah Pernikahan
Allah SWT berfirman :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-
ruum,21)
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini
berlanjut, darigenerasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui
hubungan suami istri serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan
juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas
saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban
untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik

8
anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat
mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.1[1][3]
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
a) Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak
dan berketurunan.
b) Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu
mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c) Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan
bencrengkramah dengan pacarannya.
d) Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat
kewanitaan yang diciptakan.

BAB III
1

9
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran telah memberi petunjuk
kepada pasangan suami istri tentang bagaimana semestinya membina rumah tangga agar
dapat mendatangkan sakinah mawaddah dan rahmah dalam rumah tangga. Tentu caranya
tidak lain adalah dengan menjalankan kewajiban masing-masing sebagai suami istri.
Adapun kewajiban suami terhadap isteri yakni memberikan mahar kawin, nafkah
yang layak sesuai kemampuan, pakain dan Tempat Tinggal, menggauli istri secara
makruf (baik), menjaga istri dari dosa, memberikan cinta dan kasih sayang. Selain suami,
istri juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati suami,
mengikuti tempat tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali ada halangan
syar’i, menjaga diri saat suami tak ada, dan tidak keluar rumah kecuali dengan izin
suami..

B. SARAN
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah,
mawadah, dan warohmah, dunia dan akhirat.
Pernikahan menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia yang
kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga, kehidupan
diharpakan menjadi lebih bermakna dan suami istri dan istri-istri akhir zaman ini
memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah Swt. Amiin . .

DAFTAR PUSTAKA
10
https://almanhaj.or.id/5882-hadhnah-dan-syaratnya-dalam-islam.html
https://blog.justika.com/perceraian/cara-pengertian-rukun-syarat-rujuk/

11

Anda mungkin juga menyukai