Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH TENTANG IDDAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Fikih Munakahat B”

Dosen Pembimbing: Sami Faidhullah, S.HI. M.H

Disusun oleh:

Kelompok 3

M.Amin

Junaidi

Fahri

Haris abdillah

Dhicky Wahyudi

Ahmad El fajrinor

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

RASYIDIYYAH KHALIDIYYAH (RAKHA)

(AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)

HUKUM KELUARGA

AMUNTAI

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT.. Shalawat serta salam
bagi junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta para sahabat dan keluarganya.
Penyusun makalah bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fkih Munakahat
Bpada jurusan Ahwal Al Syakhsyyiah. Adapun judul makalah ini adalah “Iddah"

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Sami Faidhullah, S.HI. M.H
selaku dosen pembimbing mata kuliah Fikih Munakahat yang membimbing kami dalam
pekerjaan tugas ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang selalu
setia membantu dalam hal mengumpulkan hal data-data dalam pembuatan tugas makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, kami banyak memperoleh bantuan, serta informasi baik
pemikiran maupun orientasinya. Kami menyadari sepenuhnya dalam penulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Semoga makalah ini tercatat sebagai amal shaleh dan menjadi motivator bagi kami untuk
menyusun makalah lain yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita, Amin.

Amuntai, Febuari 2021

Kelompok : 3

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................. 1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian khulu’...........................................................................
B. Syarat-syarat khulu’......................................................................
C. Rukun khulu’..................................................................................
D. Akibat hukum perceraian dengan khulu’...................................

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................

3
A. PENGERTIAN

Al-khul` berarti menanggalkan dan melepaskan. Salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan
yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi. Terdapat beberapa
definisi khuluk yang dikemukakan oleh ulama mazhab.

 Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan "melepaskan ikatan perkawinan yang


tergantung kepada penerimaan istri dengan menggunakan lafal khuluk atau yang semakna
dengannya". Akibat akad ini baru berlaku apabila mendapat persetujuan istri dan
mengisyaratkan adanya ganti rugi bagi pihak suami.
 Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan khuluk dengan "talak dengan ganti rugi, baik
datangnya dari istri maupun dari wali dan orang lain". Artinya, aspek ganti rugi sangat
menentukan akad ini di samping lafal khuluk itu sendiri menghendaki terjadinya
perpisahan suami istri tersebut dengan ganti rugi. Menurut mereka, apabila lafal yang
digunakan adalah lafal talak, maka harus disebutkan ganti rugi. apabila yang digunakan
adalah lafal khuluk maka tidak perlu disebutkan ganti rugi, karena lafal khuluk sudah
mengandung pengertian ganti rugi.
 Ulama Mazhab Syafil mendefinisikan khuluk dengan "perceraian antara suami istri
dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khuluk". Contohnya,
suami mengatakan pada istrinya, "Saya talak engkau atau saya khuluk engkau dengan
membayar ganti rugi kepada saya sebesar...," lalu istri menerimanya[4].
 Ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya dengan "tindakan suami menceraikan istrinya
dengan ganti rugi yang diambil dari istri atau orang lain dengan menggunakan lafal
khusus". Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ulama Mazhab Hanbali membolehkan
terjadinya khuluk tanpa ganti rugi. Tetapi pendapat ini tergolong lemah di kalangan
ulama Hanbali. Adapun pendapat terkuat di kalangan Mazhab Hanbali ialah bahwa dalam
khuluk aspek ganti rugi merupakan rukun khuluk[5]. Oleh sebab itu, khuluk harus dengan
ganti rugi dari pihak istri atau orang lain.

    Dari empat definisi di atas, menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih di Universitas Damascus
(Suriah), yang berlaku luas adalah yang dikemukakan ulama Mazhab karena sangat sesuai de-
ngan pengertian bahasa dari kata khuluk itu sendiri. Singkatnya, sesungguhnya definisi khusus
khulu' membuat hilang berbagai hak istri. Definisi khulu' menurut pendapat mazhab Maliki
adalah, talak dengan 'iwadh, baik talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang selain
istri yang terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu'.

   Definisi ini menunjukkan bahwa ada dua macam khulu': Pertama, yaitu yang mayoritas terjadi
adalah yang berdasarkan 'iwadh harta. Kedua, talak yang terjadi dengan lafal khulu' meskipun
tidak berdasarkan 'iwadh apaapa. Misalnya si suami berkata kepada si istri, "Aku khulu' kamu"
atau "Kamu terkhulu'." Dengan kata lain, si istri ataupun orang lain memberikan harta kepada si
suami agar menalak si istri. Atau membuat jatuh hak si istri yang harus dipenuhi oleh si suami,
maka dengan khulu' ini jatuh talak ba'in[6].

4
B. SYARAT KHULU’

 Bagi suami : suami yang akan menceraikan istrinya dalam bentuk khuluk sebagaimana
berlaku dalam talak, adalah seorang yang ucapannya telah diperhitungkan. Syaratnya
adalah akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dengan kesengajaan. Bila
suami masih belum dewasa atau siuami dalam keadaan gila , maka yang akan
menceraikan dengan khuluk adalah walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang
dibawah pengampuan (pengawasan) karena kebodohannya, maka yang menerima
permintaan khuluk istri adalah wali
 Bagi istri : ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami , dalam arti istrinya 
atau orang yang telah diceraikan , masih berada dalam iddah roj’i. Istri adalah seorang
yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan khuluk ini, harus
menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak
berada dibawah pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas harta[10].

C .RUKUN KHULU’

    Rukun khuluk menurut jumhur ulama selain Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut :

 Adanya ijab (pernyataan) dari pihak suami atau wakilnya, atau walinya jika suami masih
kecil atau orang bodoh.
 Status mereka masih suami istri (belum pisah).
 Adanya ganti rugi dari pihak istri atau orang lain. Ganti rugi ini tidak harus dinyatakan
secara jelas apabila lafal yang digunakan adalah lafal khuluk, karena risiko khuluk itu
adalah adanya ganti rugi dari pihak istri. Tetapi, jika yang digunakan adalah lafal selain
khuluk, maka ganti rugi harus
 Adanya lafal yang menunjukkan pengertian khuluk.
 Istri menerima khuluk tersebut sesuai dengan ijab yang dikemukakan suami[11].

 Selanjutnya mengenai uang tebusan, mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang
tidak boleh dtinggalkan untuk sahnya khuluk. Mengenai sighat atau ucapan cerai , dalam hal ini
tanpa menyebutkan nilai ganti , maka ia menjadi talak biasa[12].Oleh karena itu menurut
penulis, bahwa para penulis Ensiklopedia Sains Islami menerapkan pasal 148 KHI dan sekaligus 
mengesampingkan pendapat Mahkamah Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan 
Administrasi Agama Buku II 2013 halaman 151 yang menurutnya tidak bernyawa lagi atau para
penulis Ensiklopedia Sains Islami belum pernah membaca pendapat Mahkamah Agung tersebut.

             Yang sangat urgen adalah rukun yang terakhir adalah I’wadl (Tebusan), yaitu tebusan
yang harus diberikan istri kepada suami. Maka khulu’ menjadi tidak sah tanpa adanya tebusan.
Namun ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini; apakah khulu’ tetap sah walaupun
tanpa adanya tebusan?. Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah khulu’ menjadi tidak sah tanpa
adanya tebusan. Sedangkan menurut Hanafiyyah walaupun tanpa tebusan khulu’ tetap sah.
Adapun ulama Malikiyyah mengatakan khulu’ tetap sah baik itu dengan tebusan atau tanpa
tebusan.

5
D. AKIBAT HUKUM PERCERAIAN DENGAN KHULU’

 istri tidak bisa dirujuk, berakhir dengan takak ba’in, kalau ingin rujuk harus menikah baru
lagi, berlaku pasal 161 Kompasi Hukum Islam.
 tentang akibat hukum terhadap anak atau anak-anaknya sama dengan akibat hukum yang
telah diatur dalam pasal 149 huruf d kompilasi hukuk Islam (memberikan biaya hadhanah
untuk anakanaknya yang belum mencapai umur 21 tahun).

Anda mungkin juga menyukai