Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KHULU’

Disusun Oleh :

Iin Trilia

Dosen Pengampu :

H. M. Wahyudin, SH.I.,M.Pd.I

YAYASAN PERGURUAN AGAMA ISLAM AL-KALAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MUARA ENIM

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Karena atas
limpahan rahmat-nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Khulu’. Sholawat
dan salam tak lupa kita hantarkan kepada baginda Nabi besar kita yaitu Nabi
Muhammad SAW,. Yang telah meinggalkan contoh cermelang bagaimana
mencintai ilmu pengetahuan, serta bagaimana mengamalkannya.

Kami ucapakan juga terimakasih kepada Bapak H. M. Wahyudin,


SH.I.,M.Pd.I yang telah mengarahkan kami serta teman-teman yang telah
mendukung kami sehingga makalah ini dapat kami selesaikan. Dan kami mohon
saran dan kritikannya atas makalah yang kami buat ini bila ada salah kata dalam
pemakaiannya atau kesalahan dalam pemahaman yang kami utarakan.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk banyak orang dan di ridhoi
oleh Allah SWT,. Aamiin.

Muara Enim, Juli 2023

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian khulu’...................................................................................3
2. Syarat dan Rukun Khulu’.......................................................................
3. Dasar Hukum Khulu’.............................................................................
4. Akibat Hukum Khulu’...........................................................................
5. Tujuan dan Hikmah dari Khulu’............................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam
ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak
menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi
suami membenci istri atau istri membenci suami. Dalam keadaan seperti
ini islam berpesan agar bersabar dan sanggup menahan diri dan
menasehati dengan obat penawar yang dapat menghilangkan sebab-sebab
timbulnya rasa kebencian. Dan Islam memberikan solusi yang terbaik
kepada kedua pasangan(suami-istri). Jika istri bermasalah maka solusinyan
dengan Thalaq. Dan jika suami yang bermasalah maka solusinya dengan
khulu’.
Khulu’ terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab,
secara etimologi bearti menanggalkan atau membuka pakaian.
Dihubungkan dengan kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-
Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian istri dan istri merupakan
pakaian bagi suaminya. Khulu’ itu perceraian kehendak istri. Hukumnya
menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah menghindarkan istri dari
kesulitan dan kemudaratan yang dirasakan bila perkawinan dilanjutkan
tanpa merugikan pihak suami karena ia sudah mendapat iwadh dari
istrinya atas permintan cerai dari istrinya itu. Hikmah dari hukum khulu’
adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami
istri.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian khulu’?
2. Apa sajakah syarat dan rukun Khulu’?
3. Apa dasar hukum khulu’?
4. Bagaimana akibat hukum Khulu’ ?
5. Apa tujuan dan hikmah dari khulu’?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian khulu’.
2. Untuk mengetahui syarat dan rukun Khulu’.
3. Untuk mengetahui dasar hukum khulu’.
4. Untuk mengetahui akibat hukum Khulu’.
5. Untuk mengetahui tujuan dan hikmah dari khulu’.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Khulu’
Khulu’ menurut etimologi  berasal dari kata ‫خلع‬ yang berarti
melepaskan atau memisahkan.    ‫ل ثوبه‬DDD‫ع الرج‬DDD‫“خل‬Pria itu melepaskan
pakaian-nya.” 1
Dan khulu’ disebut juga Fidyah (Pemberian sebagian
besar), Shulh (Pemberian sebagiannya), dan Mubara’ah (Istri
menggugurkan hak yang di miliki dari suami). 2
Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa
Arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. 3

Karena seorang wanita merupakan pakaian bagi lelaki, dan sebaliknya


sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an :
Artinya : “mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki), dan kamu pun
adalah pakaian bagi mereka (wanita)”. (QS. Al-Baqarah 2:187). 4
Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di lakukan oleh
suami istri untuk membebaskan istri dari pernikahannya, dengan syarat si
istri membayarkan sejumlah harta (atau maskawin yang dahulu diberikan),
lalu suami methalaqnya atau mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di
berikan oleh istri kepada suami supaya mengkhulu’nya. 5
Terdapat pada buku lain yakni dalam bukunya Jaih Mubarok yang
berjudul “Modifikasi Hukum Islam”, khulu’ dengan bahasa kiasan. Dalam
fikih dikenal istilah khulu’, secara bahasa, Khulu’ berarti melepas.
Sedangkan secara istilah, khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh
seorang istri terhadap suaminya dengan membayar tebusan ‘iwadh.6

1
Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab, Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih (Jakarta:
Cahaya, 2007) jil. 3, hal. 560.
2
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Fathur Rakhman (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007) hal. 133.
3
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009, cet.3), hal. 231.
4
Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996, cet.2), hal.
122.
5
Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 163.
6
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.1),
hal. 259.

3
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat
suatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
menghendaki untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang
disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan
dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya
perkawinan dengan cara ini juga disebut khulu’.7
Menurut pendapat para ulama mengenai khulu’ yang terdapat
dalam bukunya Abdul Rahman yang berjudul “perkawinan dalam syariat
islam”, yakni: Maliki, khulu sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwad” atau “cerai
dengan membayar”, sedangkan menurut ulama Hanafi, berkata bahwa ia
menandakan berakhirnya hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik
mengucapkan kata khulu’ ataupun kata lain yang berarti sama. Dan para
ulama syafi’I berkata, “ia merupaan cerai yang dituntut pihak istri dengan
membayar sesuatu dan dengan mengucapkan kata cerai atau khulu”. Ia
dapat dicapai melalui perintah Qadhi agar si istri membayar/ memberikan
sejumlah tertentu kepada suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah
diberikan suaminya sebagai maharnya.8
B. Syarat dan Rukun Khulu’
Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun
yang menjadi karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun
terdapat beberapa syarat yang hampir keseluruhannya menjadi
perbincangan dikalangan ulama. Adapun yang menjadi syarat khulu’ itu
adalah:
1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan
3. Uang tebusan atau iwadh, dan
4. Alasan untuk terjadinya khulu’
a. Suami. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk
khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam thalaq adalah seseorang
yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu
7
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009, cet.3), hal.197.
8
Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996, cet.2), hal.112-
113.

4
akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan
kesengajaan.
b. Istri yang di khulu’. Istri yang mengajukan khulu’ kepada
suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam
arti, istrinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada
dalam iddah raj’iy.
2) Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena
untuk pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk
syarat ini ia harus seorang wanita yang telah baligh, berakal,
tidak berada di dalam pengampuan, dan sudah cerdas dalam
bertindak atas harta.
Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya
dengan persetujuan istri. Khulu’ ini disebut khulu’ ajnabi.
Pembayaran iwadh dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh
pihak ajnabi tersebut.
3) Adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau iwadh.
4) Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang
dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh.
Menurut ulama ucapan khulu’ terdapat dua macam. Pertama,
menggunakan lafadz yang jelas dan terang atau shahih. Kedua,
menggunakan lafadz kinayah yaitu lafadz lain yang tidak
langsung berarti perceraian tapi dapat digunakan untuk itu.
5) Adanya alasan untuk terjadinya khulu’
C. Dasar Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua
hukum tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
1. Mubah
Hukumnya menurut Jumhur Ulama adalah boleh atau mubah. 9

Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa


tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 232

5
sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-
haknya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak
menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan ketentuan Allah. Dalam
kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, Dasar
dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan terdapat pula dalam
hadist Nabi :
Artinya: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya.” 10
2. Haram
Khulu'  bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi
berikut ini :
a) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan
dan sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik
saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh isteri untuk
mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman Allah
berikut ini:

Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari


yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya”. (QS. Al-Baqarah: 229).

Artinya: "Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita


yang mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa

10
QS. Al-Baqarah (2) : 229.

6
alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium wangi
surga" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
b) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak
si isteri dengan maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal
ini juga haram hukumnya. Apabila Khulu' terjadi, si suami tidak
berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang gantinya karena
maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah
berfirman:

Artinya : “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena


hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata”. (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si
isteri berbuat zina misalnya, maka apa yang dilakukan si suami
boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh tersebut. 11
D. Akibat Hukum Khulu’
Perceraian yang dilakukan dengan putusnya Pengadilan Agama
adalah perceraian yang dilakukan berdasarkan suatu gugatan perceraian
oleh istri. Tatacara perceraian yang berhubungan dengan gugatan,
dilakukan sebagaimana pasal 28 PMA Nomor 3 Tahun 1975. Suatu
perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. 12
Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk.
1. Khulu’ Tanpa Alasan
Khulu’ hanya  di bolehkan kalau ada alasan yang benar. seperti:
suami cacat badan, buruk akhlaqnya, tidak memberi nafkah lahir batin,
dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya,  sedangkan istri
11
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2004, cet.5), hal. 164.
12
Ibid, Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hal. 202.

7
khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam keadaan seperti ini
maka istri tidak wajib memenuhi hak suami. Maka jika tidak ada
alasan yang benar, maka tidak di perbolehkan oleh syariah.
Sebagaimana hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Tirmidzi:  Dari Tsauban ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:
Artinya : “ Setiap wanita yang minta Thalaq kepada suaminya tanpa
alasan yang di benarkan agama, maka haram baginya mencium
semerbak (wanginya) surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Dari tsauban ra. dari Rasulullah saw bersabda:
Artinya : “Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-
wanita munafiq”(HR. Tirmidzi).13
2. Iddah perempuan yang di khulu’
Menurut pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling
shahih dari Ahmad bin Hambal, dan juga pendapat Ishaq bin
Rahawaih, bahwa perempuan yang di Khulu’ iddah-Nya satu kali
Haid. Sebagaimana hadis Tsabit, beliau bersabda kepadanya:
Artinya : “menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit
beriddah dengan satu kali haid dan di “Ambillah miliknya  (Istri
Tsabit) untuk mu (tsabit) dan mudahkanlah urusannya, lalu ia
kembalikan kepada keluarganya” (HR. Nasa’i). 14
3. Sighat khulu’
Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan
sehingga terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari
salah satu pihak dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian,
Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan sebagai Ijab-
Qabul dalam Khulu'. Pada dasarnya, shigat ini harus dengan kata-kata.
Namun, untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu
misalnya, maka shigatnya boleh dengan isyarat yang dapat dipahami.

13
Al-Khalafi,  Al- Wajiz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil (Jakarta: Pustaka Al- Sunnah,
2006) hal. 638.
14
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Penerjemah Dr. M. Thalib, jil. 8, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990),
hal. 111.

8
a) Jumhur ulama membolehkan sighah khulu’ di ucapkan dengan kata

jelas atau kiasan, seperti khulu’ atau fasakh sepertiD‫ بارئتك‬ (Aku

melepaskan- Mu) dan suami berkata kepada istrinya ‫بعتك نفسي بكذا‬ 
“Aku menjual diri-Ku dengan sekian”  lalu istri berkata ‫اشتريت‬  “
Aku membeli-Mu” Atau suami berkata demikian  ‫اشتريت طالقك‬

‫بكذا‬   “Belilah thalaq-Mu dengan sekian”  lalu Istri berkata  ‫قبلت‬ 


“Aku terima”.
Khulu tidak syah bila di lakukan secara Mu’athah (serah
terima), yaitu dengan cara istri memberikan tebusan kepada suami
dan berpisah tanpa keduanya mengucapkan sighat apapun.
b) Imammiyah berpendapat bahwa khulu’ tidak syah bila
menggunakan kata kiasan. Mereka hanya mensyahkan sighat
dengan kata khulu’ dan thalaq, keduanya bisa di ucapkan sekaligus
atau salah satu dari keduanya. Misalnya: Istri berkata ‫ذا‬DD‫ذلت ك‬DD‫ب‬

‫لتطلقني‬  “Aku serahkan sekian demi engkau menthalaq-Ku” lalu

 
suami berkata: ‫الق‬DD‫أنت ط‬DD‫ف‬  ‫” خعلتك على ذلك‬aku mengkhulu’-Mu
atas hal itu maka kamu tercerai”. 15
E. Tujuan dan Hikmah Khulu’
Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si
istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan
dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat
iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.16
Hikmah yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah
disebutkan adalah untuk menolak bahaya, yaitu apabila perpecahan antara
suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat
menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami-istri, maka khulu’ dengan
cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana

15
Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab, Penerjemah Ibnu Alwi Bafaqih (Jakarta:
Cahaya, 2007) jil. 3, hal. 569-570.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 234

9
merupakan penolak terjadinya permusuhan dan unutk menegakkan
hukum-hukum Allah. 17 Oleh karena itu Allah berfirman:
Artinya : “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.” 18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

17
Abdul Rahman,. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. (Jakarta: Rineka Cipta. cet.2)
hal. 226.
18
QS. Al-Baqarah (2) : 229.

10
Khulu’ dapat diartikan talak yang dijatuhkan suami terhadap
istrinya atas permintaan istri dengan pembayaran sejumlah harta kapada
suami. Mengkhulu’ istri dapat dilakukan sewaktu-waktu.
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai dua
hukum tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum dimaksud adalah:
1. Mubah. Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia
merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya.
2. Haram. Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada
alasan dan sebab yang jelas dan apabila si suami sengaja menyakiti dan
tidak memberikan hak-hak si isteri dengan maksud agar si isteri
mengajukan Khulu'.
Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan si istri
dari kesulitan dan kemudaratan. Sedangkan hikmah dari hukum khulu’
adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami
istri.
Selain itu khuluk mempunyai rukun dan syarat khuluk. Dan khlu’
itu dapat dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan
hakim atau oleh hakim.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini, para pembaca khususnya
mahasiswa dapat lebih memahami tentang Khulu’.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim

11
Jannati, Fiqh Perbandingan Lima Madzhab, Penerjemah Ibnu Alwi
Bafaqih (Jakarta: Cahaya, 2007) jil. 3, hal. 560.

Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Fathur Rakhman (Jakarta:


Pustaka Azzam, 2007) hal. 133.

yarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2009, cet.3), hal. 231.
Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1996,
cet.2), hal. 122.
Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal.
163.
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002, cet.1), hal. 259.
Abdul Rahman,. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. (Jakarta: Rineka
Cipta. cet.2) hal. 226.
Al-Khalafi,  Al- Wajiz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil (Jakarta: Pustaka
Al- Sunnah, 2006) hal. 638.
Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Penerjemah Dr. M. Thalib, jil. 8, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1990), hal. 111.
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2004,
cet.5), hal. 164.

12
13

Anda mungkin juga menyukai