Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

“TATA CARA PERKAWINAN”

Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Kapita Selekta Fiqih
dan Dipresentasikan di kelas Tbio 4A

Dosen Pembimbing:

ASHABUL FADHLI, S.H.I., M.H.I

Oleh: KELOMPOK 10

AYUNI PUSPITA SARI NIM 1830106009

ERA AMELIA NIM 1830106015

JURUSAN TADRIS BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BATUSANGKAR

TA.2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt. Yang maha kuasa,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami
telah dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Kapita Selekta Fiqih.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya, sahabat dan seluruh orang yang senantiasa mengikuti sunah beliau.

Makalah Kapita Selekta Fiqih ini dibuat berdasarkan kepada panduan dan
garis-garis besar pengajaran yang diberikan oleh Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Batusangkar.

Juga kami menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah


membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini tentunya memerlukan
sebuah celah untuk menyempurnakan materi kedepannya, untuk itu kami dengan
segala kerendahan hati menerima masukan demi peningkatan dan penyempurnaan
dalam makalah dan pembelajaran ini.

Batusangkar, 20 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..i
DAFTAR ISI……………...…....………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………………………...……….1

B. RumusanMasalah......................................................................................1

C. Tujuan ......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Tata Cara Perkawinan…………..............................................................3

B. Perkawinan Yang Diharamkan …………...............................................5

C. Wanita Yang Haram Dinikahi................................................................11

D. Hak Dan Kewajiban Suami Istri….........................................................16

E. Harta Dalam Perkawinan……………………………………………….22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………….…26
B. Saran ……………………………………………………………..........26

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah swt telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan,
ada lelaki dan ada perempuan. Salah satu ciri makhluk hidup adalah
berkembang biak yang bertujuan untuk generasi atau melanjutkan
keturunan. Oleh Allah swt manusia diberikan karunia berupa pernikahan
untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan
melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut
menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi, maka islam telah
datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-
Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan itu akan lahir keturunan
secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar pernikahan dikatakan
sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin
menjaga kesucian fitrah. Oleh sebab itu, dibuatlah makalah ini agar kita
dapat mengetahui tentang pernikahan dalam islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Tata Cara Perkawinan?

2. Apa Saja Perkawinan Yang Diharamkan?

3. Siapa Saja Wanita Yang Haram Dinikahi?

4. Apa Saja Hak Dan Kewajiban Suami Istri?

5. Bagaimakah Harta Dalam Perkawinan ?

1
C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Bagaimanakah Tata Cara Perkawinan

2. Untuk Mengetahui Tentang Perkawinan Yang Diharamkan

3. Untuk Mengetahui Siapa Saja Wanita Yang Haram Dinikahi

4. Untuk Mengetahui Apa Saja Hak Dan Kewajiban Suami Istri

5. Untuk Mengetahui Tentang Harta Dalam Perkawinan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tata Cara Perkawinan


Nikah secara bahasa yaitu kumpulan, bersetubuh, akad. Secara syar‟i
yaitu dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenang-senang
melakukan hubungan seksual, dan lainnya. Islam telah memberikan
konsep yang jelas tentang cara perkawinan berlandaskan Al-Qur‟an dan
sunnah yang shahih, tata caranya yaitu1 :
1. Khitbah (peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya
ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang
oleh orang lain, dalam hal ini islam melarang seorang muslim
meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain
(muttafaq‟alaihi).
2. Aqad nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai
b. Adanya ijab qabul
1) Syarat ijab
a) Pernikahan nikah hendaklah tepat
b) Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
c) Diucapkan oleh wali atau wakilnya
d) Tidak diikatkan dengan tempo waktu
e) Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab di
lafazkan)
Contoh bacaan ijab : wali/wakil wali berkata kepada calon
suami “aku nikahkan/kawinkan engkau dengan delia binti

1
Abdul Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Lentera, 2010), Hlm 40.

3
munif dengan mas kawinnya/bayaran perkawinannya sebesar
Rp.300.000 tunai”.
2) Syarat qabul
a) Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
b) Tiada perkataan sindiran
c) Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab
tertentu)
d) Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (seperti
nikah kontrak)
e) Tidak secara taklik (tiada sebuutan prasyarat sewaktu qabul
dilafazkan)
f) Menyebut nama calon istri
g) Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul (dilafazkan oleh calon suami) : “aku
terima nikah/perkawinan ku dengan delia binti munif dengan
mas kawinnya/bayaran perkawinannya sebanyak Rp. 300.000
tunia” atau “aku terima delia binti munif sebagai istriku”.
c. Adanya mahar
Mahar (diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita
yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar
merupakan milik seorang istri dan tidak boleh seorang pun
mengambilnya, baik ayah maupun yang lainya, kecuali dengan
keridhannya.
d. Adanya wali
e. Adanya saksi-saksi2

2
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukumperdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2006), Hlm 99.

4
B. Perkawinan Yang Diharamkan
Dalam hal nikah, hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang
lazim dikenal dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima).
Yakni :
1. Pernikahan wajib (az-zawaj al-wajb)
Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang
memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki
nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan
perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan
menikah ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan kehormatan
diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib. Dan satu-satunya
sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina itu adalah nikah,
maka menikah menjadi wajib bagi orang yang seperti ini3
2. Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)
Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu
untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia
merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan
melakukan zina. Orang yang memiliki kemampuan dalam bidang
ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat
(tidak impoten), maka dia tetap dianjurkan supaya menikah meskipun
orang yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan
dirinya dan kemungkinan melakukan pelanggaran seksual, khususnya
zina. Sebab, Islam pada dasarnya tidak menyukai pemeluknya yang
membujang semur hidup (tabattul)4
3. Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)
Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan
biologis, atau tidak memilki nafsu biologis meskipun memiliki

3
Muhammad Abdulkadir, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1994), Hlm 33.
4
Muhammad Jawat, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,2006), Hlm 25.

5
kemampuan ekonomi, tetapi ketidak mampuan biologis atau ekonomi
itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Jika
kondisi seseorang seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan,
maka pernikahan kurang (tidak disukai) karena pernikahan yang
dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal-hal yang kurang
disukai oleh salah satu pihak.
4. Pernikahan yang dibolehkan (az-zawaj al-mubah)
Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada faktor-faktor yang
mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan
ibadah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas dan
oleh kebanyakan ulama dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum
asal dari nikah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan
istri.
Perkawinan bagi orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi
kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan
membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan pagi
orang yang antara pendorong dan pengahambatnya untuk kawin itu
sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan
kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai
kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum
mempunyal kemauan yang kuat5
5. Pernikahan yang dilarang
Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta
tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah

5
Muhammad Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), Hlm 111.

6
dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang
tersebut adalah haram.
Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai
yang haram secara pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang
haram secara pasti, maka la haram juga. Jika seseorang menikahi wanita
pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki
itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk
disakiti, maka menikah menjadi haram untuknya.
Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut arena nikah
disyari'atkan dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan
akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan
sarana mencapai bahaya, kerusakan, dan penganiayaan. Disebutkan
dalam Al-Qur'an surat Al-Bagarah ayat 195 juga telah melarang orang
melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan.
Sedangkan macam-macam nikah yang diharamkan menurut syari'at
adalah antara lain sebagai berikut6:
a. Nikah syighar
Yang dimaksud nikah syighar yaitu seorang ayah (wali)
Menikahkan putrinya/saudarinya dengan seorang pria dengan syarat
agar pria tersebut menikahkan ayah/ wali calon istrinya dengan putri
atau saudari perempuan tersebut dan tanpa menggunakan mahar.
Pernikahan semacam ini diharamkan dalam islam,
sebagaimana sabda rasulullah saw “tidak ada nikah syighar dalam
islam." (HR musilim dari Ibnu Abas, Ibnu Maian, dan Anas bin
Malik). Dalam riwayat ibnu majah dari ibnu umar di jelaskan
"rasulullah saw. Melarang nikah syighar, dan contoh kawin syighar
yaitu seorang laki-lak berkata pada temannya, kawinkanlah putrimu
atau saudarimu dengan saya, nanti saya kawinkan putrimu dengan
putriku atau saudariku dengan syarat kedua-duanya bebas mahar".

6
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Hlm
67.

7
Nikah syighar diharamkan oleh ajaran islam karena:
1) Dalam nikah syighar tidak ada mahar
2) Dalam nikah syighar, istri tidak mendapat manfaat apa-apa sebab
pemberian oleh suami dimanfaatkan oleh ayah atau walinya
3) Pemberian anak perempuan tidak berfungsi sebagai mahar
4) Pelaksanaan nikah syighar bersyarat kalau calon suami
memberikan putrinya atau saudarinya kepada calon mertua
b. Nikah tahil
Nikah tahil ialah nikah lelaki tersebut menalaknya juga dengan
maksud agar suami pertamanya tersebut dapat mengawininya
kembali. Hukum nikah tahlil adalah dosa besar dan mungkar karena
diharamkan oleh allah serta diancam mendapat laknat Hal ini
dijelaskan dalam hadist riwayat Ahmad dari Abu Hurairah, "allah
melaknat muhallil (yang kawin/pria suruhan bekas suami pertama
wanita yang ditalak tiga) dan muhalalinya (bekas suami pertama
yang menyuruh orang menjadi muhalil)." Dalam riwayat Tirmidzi
dari Abdullah Ibnu Mas'ud dijelaskan juga, " rasulullah saw.
melaknat muhallil dan muhalla-nya"
c. Nikah mut'ah
Nikah mut'ah yaitu nikah yang di tentukan lamanya (jangka
waktu pernikahannya), misalnya, tiga hari, satu bulan, dan
sebagainya. Artinya, nikah mut'ah adalah menikahi wanita dengan
batas waktu tertentu. Dalam nikah mut'ah tidak ada talak sebab
pernikahan itu berakhir dengan sendirinya pada saat berakhirnya
pernikahan tersebut.
Pelaksanaan nikah mut'ah pun berbeda dengan pernikahan
biasa. Demikian juga perceraian setelah pernikahan tersebut
berakhir, wanita tidak mempunyai hak apa-apa, seperti nafkah,
warisan, soal nasab, dan lain-lain. Nikah mut'ah pernah dizinkan
oleh rasul pada suatu saat yaitu pada tahun penaklukan mekkah dan

8
beberapa hari sesudahnya raulullah mengharamkannya untuk
selama-lamanya.
Subrah al-juhni meriwayatkan bahwa suatu ketika dia bersama
rasulullah saw, beliau bersabda; "wahai segenap manusia, sungguh
aku dulu telah mengizinkan kalian untuk bersenang-senang dengan
wanita (nikah mut'ah). sungguh Allah mengharamkan hal itu hingga
hari kiamat. Barang siapa masih menjalankan hubungan dengan
mereka, maka lepaskanlah jalannya. Dan janganlah kalian
mengambil suatu yang telah kalian berikan kepada mereka, "(HR.
Ahmad).
d. Menikah dengan wanita yang sedang dalam masa idah
Yang dimaksud 'iddah adalah masa menunggu bagi wanita
dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan
dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas
meninggalnya suami. Nikah dengan wanita yang masih dalam masa
idah adalah tidak sah, kalau yang bersangkutan (pria atau wanita
yang menikah tersebut) tahu bahwa wanita tersebut dalam masa idah
dan yang bersangkutan juga tahu bahwa nikah dengan wanita dalam
masa idah itu tidak boleh maka mereka berdosa. Kalau pernikahan
itu dilakukan karena tidak tahu (tidak tahu bahwa wanita yang
dinikahi sedang dalam masa idah atau tidak tahu bahwa wanita yang
sedang dalam masa idah tidak boleh nikah) maka begitu mereka tahu
mereka harus pisah karena pada dasarnya mereka bukan suami-istri
yang sah, dan wanita yang masih dalam masa idah adalah hak suami
yang menceraikan untuk sewaktu-waktu rujuk kembali dalam masa
ldah tersebut.
Apabila mereka hendak melajutkan pemikahan hendaknya
mereka melakukan akad nikah lagi setelah selesai masa idah sesuai
dengan ketentuan syariat Akan tetapi, Imam Malik berpendapat
sebagaimana dikutip dari buku al-fighu 'ala madzahib al-khamsah,
manakala laki-laki itu kemudian mencampurinya (di saat wanita

9
yang dinikahinya masih dalam masa idah) maka wanita itu menjadi
haram selama lamanya, tetapi bila tidak maka dia (wanita) tersebut
tidak haram untuk dinikahi. Peraturan pencatatan nikah dan
sekaligus pencatatan perceraian sebagaimana yang berlaku di negara
republik indonesia ini sangat penting untuk menghindari adanya
kemungkinan peristiwa seperti itu.
e. Nikah badal
Suatu pernikahan dengan tukar menukar istri misalnya seorang
yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain
dengan menambah sesuatu sesuai kesepakatan dengan kedua belah
pihak.
f. Nikah istibdlo
Yaitu suatu pernikahan dengan sifat sementara yang dilakukan
oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan laki-laki lain
dengan tujuan mendapat benih keturunan laki-laki tersebut, setelah
jelas diketahui kehamilannya dari laki-laki tersebut maka diambil
lagi oleh suami pertama.
g. Nikah righoth
Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki secara
bergantian menyetubuhi seorang wanita, setelah wanita tersebut
hamil dan melahirkan maka wanita tersebut menunjuk satu diantara
laki-laki yang turut menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak
dari anak yang dilahirkan kemudian antara keduanya berlaku
kehidupan pernikahan sebagai suami istri.
h. Nikah baghoya
Artinya nikah yang di tandai dengan adanya hubungan seksual
antara beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna
susila, setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebu maka
dipanggilah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki
tersebut sebagai ayahnya berdasarkan tingkat kemiripan antara anak
dengan laki-laki yang menghamili ibu dari anak yang lahir tersebut.

10
C. Siapa Saja Wanita Yang Haram Dinikahi
Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa‟ : 23 yang berbunyi

Terjemahan : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-


anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An-
Nisa: 23)

1. Mahram Karena Nasab


Mahram karena nasab adalah hubungan antara seorang
perempuan dengan laki-laki masih satu nasab atau hubungan keluarga.
Tetapi dalam syariat Islam, tidak semua hubungan keluarga itu berarti
terjadi kemahraman. Hanya hubungan tertentu saja yang hubungannya
mahram, di luar apa yang ditetapkan, maka tidak ada hubungan
kemahraman.
a. Ibu kandung

11
Buat seorang laki-laki, wanita yang pertama kali menjadi
mahram adalah ibunya sendiri. Maksudnya adalah ibu yang
melahirkan dirinya. Haram terjadi pernikahan antara seorang laki-
laki dengan ibu kandungnya sendiri. Hukum yang berlaku pada diri
seorang ibu juga seterusnya berlaku kepada ibunya ibu atau nenek,
dan ibunya nenek ke atas.
b. Anak Wanita (anak-anakmu perempuan)
Buat seorang laki-laki, anak kandung perempuannya adalah
wanita yang menjadi mahramnya, sehingga haram terjadi
perkawinan antara mereka. Dan anak perempuan dari anak
perempuan (cucu) dan seterusnya ke bawah, hukumnya mengikuti
terus sampai kepada keturunannya.
c. Saudari Kandung (Saudara-saudaramu yang perempuan)
Seorang laki-laki diharamkan menikah dengan saudari
wanitanya. Yang dimaksud dengan saudari wanita bisa saja sebagai
kakak atau sebagai adik, keduanya sama kedudukannya, yaitu sama-
sama haram untuk dinikahi. Baik posisinya sebagai saudari itu
seayah-seibu, atau saudari seayah tidak seibu, atau saudari seibu tapi
tidak seayah.
d. Saudari Ayah (Saudara-saudara bapakmu yang perempuan)
Dalam ungkapan bahasa Indonesia, saudari ayah sering disebut
bibi. Dan dalam bahasa pergaulan sehari-hari biasa disebut dengan
tante. Seorang laki-laki diharamkan menikah dengan saudari
ayahnya, atau bibinya sendiri.
e. Saudari Ibu (Saudara-saudara ibumu yang perempuan)
Dalam istilah kita, saudari ayah atau saudari ibu tidak dibedakan
panggilannya. Namun dalam syariat Islam, keduanya berbeda.
Saudari ibu dalam bentuk tunggal disebut khaalah, sedangkan dalam
bantuk jamak disebut khaalaat.
f. Keponakan dari Saudara Laki (Anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki)

12
Anak-anak wanita yang lahir dari saudara laki-laki termasuk
wanita yang haram dinikahi. Dalam panggilan akrab kita, mereka
termasuk keponakan. Sedangkan dalam istilah syariah disebut
banatul akh. Anak wanita dari saudara laki-laki ini diharamkan untuk
dinikahi dengan dasar potongan ayat.
g. Keponakan dari Saudara Wanita (Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan)
Anak-anak wanita dari saudari wanita disebut banatul ukht
termasuk para wanita yang haram untuk dinikahi7
2. Mahram Karena Mushaharah
Penyebab kemahraman abadi kedua adalah karena mushaharah,
atau akibat adanya pernikahan sehingga terjadi hubungan mertua
menanti atau orang tua tiri. Kemahramannya bukan bersifat sementara,
tetapi menjadi mahram yang sifatnya abadi.
a. Ibu dari istri (mertua wanita)
Seorang laki-laki diharamkan selama-lamanya menikahi ibu dari
istrinya, atau mertua perempuannya. Sifat kemahramannya berlaku
untuk selama-lamanya.
b. Anak wanita dari istri (anak tiri)
Bila seorang laki-laki menikahi seorang janda beranak perawan,
maka haram selamanya untuk suatu ketika menikahi anak tirinya itu.
Keharamannya bersifat selama-lamanya, meski pun ibunya telah
wafat atau bercerai. Namun ada sedikit pengecualian, yaitu bila
pernikahan dengan janda itu belum sampai terjadi hubungan suami
istri, lalu terjadi perceraian, maka anak perawan dari janda itu masih
boleh untuk dinikahi.
c. Istri dari anak laki-laki (menantu)
Seorang laki-laki diharamkan untuk menikahi istri dari anaknya
sendiri, atau dalam bahasa lain menantunya sendiri. Dan

7
Kamil Musa, Suami Istri Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Hlm 23.

13
keharamannya berlaku untuk selama-lamanya, meski pun wanita itu
barangkali sudah tidak lagi menjadi menantu.
d. Istri dari ayah (ibu tiri)
Sedangkan yang dimaksud dengan istri dari ayah tidak lain
adalah ibu tiri. Para wanita yang telah dinikahi oleh ayah, maka
haram bagi puteranya untuk menikahi janda-janda dari ayahnya
sendiri, sebab kedudukan para wanita itu tidak lain adalah sebagai
ibu, meski hanya ibu tiri. Dan status ibu tiri sama haramnya untuk
dinikahi sebagaimana haramnya menikahi ibu kandung.
Dalil pengharaman untuk menikahi ibu tiri adalah firman Allah
SWT dalam Qs. An-Nisa: 22 yang berbunyi:

Terjemahan : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang


telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (QS. An-Nisa' : 22)8
3. Mahram Karena Penyusuan
a. Wanita yang Menyusui
Wanita yang secara langsung menyusui bayi orang lain secara
otomatis menjadi mahram terhadap bayi tersebut. Jumlah wanita
yang menyusui tidak harus hanya satu orang saja, tetapi dimungkin
ada beberapa orang.
b. Anak Wanita dari Wanita yang Menyusui
Bila wanita yang menyusui itu punya anak perempuan, maka
anak perempuan itu otomatis menjadi saudari sesusuan dengan bayi
itu, sehingga hubungan mereka menjadi mahram selama-lamanya.

8
Wardah nuroniah, hukum perkawinan islam di indonesia, (yogyakarta: teras,
2011), hlm 324.

14
c. Saudari Wanita dari Wanita yang Menyusui
Demikian juga bila wanita yang menyusui bayi itu punya
saudari perempuan, baik sebagai kakak ataupun adik, maka dia pun
ikut jadi mahram juga.
d. Ibu dari Wanita yang Menyusui
Meski tidak menyusui langsung bayi itu, tetapi ibu dari wanita
yang menyusui juga berstatus mahram kepada bayi itu.
e. Ibu dari Suami Wanita yang Menyusui
Dan kemahraman ini juga menjalar kepada kerabat suami dari
wanita yang menyusui, yaitu ibunya suami serta saudarinya. Cukup
menarik untuk diperhatikan, bahwa kemahraman ini juga menjalar
ke pihak keluarga suami. Ibu dari suami wanita yang menyusui bayi
itu pun ikut jadi mahram juga kepada si bayi.
f. Saudari dari Suami Wanita yang Menyusui
Demikian juga dengan saudari wanita dari suami yang istrinya
menyusui bayi itu, ikut juga menjadi mahram atas si bayi.
g. Bayi Wanita Yang Menyusu Pada Wanita Yang Sama
Bila ada dua bayi disusui oleh satu orang wanita yang sama,
maka kedua bayi itu menjadi saudara sesusuan. Bila bayi pertama
laki-laki dan bayi kedua perempuan, maka hubungan keduanya
menjadi mahram, alias haram terjadi pernikahan untuk selama-
lamanya. Namun hubungan saudara sesusuan ini hanya berdampak
dalam masalah kemahraman saja, dan tidak menimbulkan pengaruh
apapun terhadap masalah waris. Maksudnya, saudara sesusuan bukan
termasuk ahli waris, sehingga tidak akan terjadi hubungan saling
mewarisi antara bayi tersebut dengan orang-orang yang sudah
disebutkan di atas.
4. Mahram yang Bersifat Sementara
Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-
laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh
menikahinya. Bentuk kemahraman yang ini semata-mata

15
mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh
melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang
bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semua itu
hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram
dinikahi secara sementara waktu saja adalah
a. istri orang lain, masih masa iddah,
b. istri yang ditalak tiga,
c. wanita pezina,
d. istri yang dili'an,
e. wanita kafir selain ahli kitab.
f. Itulah wanita-wanita yang dilarang dinikahi dalam Islam. Semoga
kita senantiasa terjaga dari hal-hal yang dilarang Allah SWT.
Aamiin9

D. Kewajiban Suami Istri


1. Kewajiban Dan Hak Suami
a. Kewajiban Suami
1) Kewajiban Memberi Nafkah
Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang suami wajib
memberikan jaminan dari segi material kepada wanita yang
telah ia pilih menjadi istrinya. Islam pun telah
mengategorikan nafkah sebagai salah satu hak istrinya, baik
sang istri orang kaya maupun orang miskin. Hal ini
berdasarkan pada beberapa nas Al-Quraan al-karim dan sunah
Nabi SAW, yang telah menjadi dasar pendapat berbagai
mazhab fikih.
2) Kewajiban Memberi Makanan, Pakaian, Dan Biaya Berobat
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa laki-laki (suami) wajib
memberikan segala hal yang diperlukan oleh istrinya; berupa

9
Rasjid sulaiman, fiqih islam, (bandung: sinar baru algesindo, 2008). Hlm 78.

16
tempat tinggal yang menyenangkan, makanan, minuman, dan
pakaian. Khususnya jika istri sakit yang dapat menghalanginya
melakukan hubungan suami-istri. Sebab tidak ada gunanya istri
sakit tinggal di rumah. Syariat islam mewajibakan laki-laki
yang menjadi suami untuk menyediakan tempat tinggal yang
layak untuk istrinya.
3) Kewajiban suami membimbing terhadap istri dan rumah
tangganya
Suami adalah kepala keluraga dan istri yang mengurus
urusan rumah tangga yang penting-penting, yang telah menjadi
keputusan bersama.
4) Kewajiban suami melindungi istri dan anaknya
Suami wajib melindungi istri serta anak-anaknya dan
memberikan segala keperluan hidup rumah tangga sesuai
dengan kemampuanya.
5) Kewajiban memberikan pendidikan dan bimbingan agama
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
istrinya dan memberi kesempatan sang istri belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,nusa
dan bangsa.
6) Kewajiban memuliakan istri
Suami wajib memuliakan istri, karena dengan memulikan
istri akan menambah rizky dan Allah akan mencukupannya.

b. Hak Suami
1) Suami berhak di Taati oleh istri selain perkara maksiat
Rasulluah SAW bersabda yang menunjukan wajibnya istri
menaati suaminya, termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada
suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur, serta
tidak boleh menolak “hasratnya” istri yang menolak “ajakan”
suaminya diancam oleh Rasulluah dengan sabda Beliau “Jika

17
seseorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu
istri menolak untuk datang maka para malaikat akan
melaknatnya sampai pagi .”
2) Suami Berhak Melarang Istri nya Untuk Tidak Keluar Rumah
Tanpa Seiizin nya
Seoranng istri tidak boleh keluar dari rumahnya, keuali
dengan izin suaminya, baik istri keluar untuk mengunjungi
orang tuanya atau untuk kebutuhan yang lain. “Syaikhul Islam
Ibnu Tamiyah mengatakan “Tidak halal bagi seorang istri
keluar rumah dari rumah suaminya kecuali dengan izin
suaminya.” Dan beliau juga berkata “Bila si istri keluar rumah
suami tanpa izinya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat
kepada Allah dan Rasul Nya, serta pantas mendapatkan
hukuman.”
3) Suami Berhak Mendapatkan Pelayanan (khidmat) dari Istrinya
Sudah semestinya seorang istri membantu suaminya dalam
kehidupannya, hal ini dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari
kalangan sahabat seperti yang dilakukan oleh Asma‟ binti Abu
Bakar Ash-Shddiq yang berkhidmat dengan suaminya, Az-
Zubair ibnu „Awwam z. Ia mengurusi hewan tunggangan
suaminya, memberi akan dan minum kudanya, menjahit dan
menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat
kue, Ia memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya
sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut
sekitar 2/3 farsakh.”
4) Suami Berhak Mendapatkan Nikmat syukur Dari Istrinya
Seorang istri harus pandai-pandai berterimakasih kepada
suaminya atas semua yang diberikan suaminya untuk dirinya.
Bila tidak istri akan mendapatkan ancaman neraka Allah.
Selesai sholat Kusuf (Sholat Gerhana) Nabi SAW bersbda
menceritakan surga da neraka yang diperlihatkan kepada

18
beliau ketika sholat :” Dan aku melihat neraka. Aku belum
pernah sama sekali meliat pemandangan seperti hari ini. Dan
aku lihat ternyata mayoritas penhuninya adalah para wanita.”
Mereka bertanya “Kenapa para wanita menjadi mayoritas
penghuni neraka, ya Rasulluah?‟ Beliau menjawab
“Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada
Beliau. “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau
menjawab “(Tidak melainkan) mereka kufur kepada suami dan
mengufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik
diantara salah satu dari mereka pada suatu masa, kemudian
suatu saat melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenaan
dihatinya) niscaya ia berkata “aku sama sekali belum pernah
melihat kebaikan darimu.”10

2. Hak Dan Kewajiban Istri


a. Kewajiban Istri
1) Kewajiban Istri Untuk Tinggal Dirumah
Sayariat Mewajibakan seorang istri untuk tinggal dirumah
suaminya atau dirumah bersama sang suami. Kewajiban untuk
tetap tinggal dirumah ini menjadikan salah satu sebab adanya
pemberian nafkah kepada istri.
2) Kewajiban istri memenuhi hajat biologis suaminya
Istri hendaknya selalu memenuhi hajat suaminya terutama
hajat biologis sang suami, walaupun sang istri sedang dalam
keadaan sibuk. Kepuasan seksual merupakan sebab wajibnya
pemberian nafkah, karena itu, perkwainan tanpa adanya
pemenuhan hajat biologis istri terhadap suaminya,
menyebabkan gugurnya pemberian nafkah kepadanya.
3) Kewajiban Istri Mendahulukan Hak Suaminya

10
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) Hlm
66.

19
Istri hendaknya mendahulukan hak suaminya atas orang
tuanya, karena ridha seorang istri ada pada suaminya, sebab
istri yang meninggal dalam keridhaan suaminya akan
mendapat jaminan surga.
4) Kewajiban Istri Menjaga Harta suaminya
Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya,
dengan mendahulukan kebutuhan keluarga daripada kebutuhan
pribadi sang istri.
5) Kewajiban Istri Tampil Menarik Didepan Suami
Istri hendaknya senantiasa berdandan dan tampil menarik di
hadapan suaminya.
6) Kewajiban Istri Menjaga Kehormatan Suaminya
Seorang istri wajib menjaga kehormatan serta nama baik
suaminya baik dihadapan suami maupun di belakangnya.
7) Kewajiban Istri Melakukan Iddah
Wanita mukmin hanya diperbolehkan berkabung atas
kematian suaminya dengan tidak melakukan perkawinan
kembali sebelum empat bulan lebih sepuluh hari sepeninggal
suaminya.

b. Hak Istri
1) Istri Berhak Menerima Mahar
Mahar atau mas kawin nantinaa diberikan kepada istri
menjadi hak istri sepenuhnya, ketentuan memberi mahar
terdapat pada surat An-Nisa ayat 4:
Terkemahan : “Berikan Mahar (mas kawin) pada wanita
yang kamu nikahi sebagai sebuah pemberian dengan penuh
kerelaan …”
2) Istri Berhak Digauli Dengan Baik
Diantara hak istri atas suami, agar tidak terlalu membuka
lebar di dalam mencubu rayu, kebaikan budi dan mengikuti

20
hawa nafsunya sampai kebatas yang dapat merusak budi
pekerti istri. Maka seorang istri berhak mendapat perlakuan
baik. Surat An-Nisa ayat 19 “ Dan bergaulah dengan mereka
secara patut”
3) Berhak Menerima Nafkah Lahir Batin
Islam telah mengkategorikan nafkah sebagai salah satu
hak istri, baik sang istri orang kaya maupun orang miskin.
4) Istri Berhak Diperlakukan Dengan Baik
Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa yang atas
kejelekan budi pekerti istrinya, Allah akan memberi pahala
seperti apa yang diberikan Ayyup atas bala‟nya. Dan
barangsiapa yang bersabar atas kejelekan budi pekerti
suaminya, Allah akan memberikan pahala seperti pahala
A‟isyah istri Fir”aun.” Yang dimaksud baik budi pekertinya
adalah bertahan tidak menyakiti istrinya, maka dari itu
perlakukan istri mu dengan patut (baik).
5) Istri Berhak Di Bimbing dan diajarkan Agama yang baik
Istri berhak mendapatkan pendidikan agama dan memberi
kesempatan sang istri belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama,nusa dan bangsa.
6) Hak Memperoleh Kelembutan
Suami istri harus bersikap lembut satu sama lain, tidak
kasar, tidak membentak, tidak melakukan kekerasan fisik
maupun psikis.
7) Hak Mendapatkan Kasih Sayang
Suami istri hendaknya saling memberikan cinta dan kasih
sayang kepada pasanagannya, agar terciptanya keluarga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah.
8) Hak Mendapatkan Anak

21
Diantara tujuan berumah tangga adalah mendapatkan
keturunan. Suami istri harus bekerja sama dalam mewujudkan
keturunan yang salih dan salihah.
9) Hak Mendapatkan Kepercayaan dan Baik Sangka
Suami istri harus saling percaya dan berprasangka baik
kepada pasangannya. Jangan menyimpan rasa curiga, buruk
sangka, tuduhan dusta serta berbagai perasaan negatif kepada
pasangannya.
10) Hak Bersama dalam Suka dan Duka
Suami istri harus saling bersama dalam keadaan suka dan
duka, bersama dalam menghadapi berbagai suasana11

E. Harta Dalam Perkawinan


Harta kekayaan adalah benda milik seseorang yang mempunyai nilai
ekonomi. Dalam literatur hukum, benda adalah terjemahan dari istilah
bahasa Belanda zaak, barang adalah terjemahan dari good, dan hak adalah
terjemahan dari recht. Menurut pasal 499 KHUP, pengertian benda
meliputi barang dan hak. Barang adalah benda berwujud, sedangkan hak
adalah benda tak berwujud.
Pada dasarnya menurut hukum islam harta suami isteri itu terpisah,
jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau
membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya, tanpa diganggu oleh pihak
lain. Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak
ialah harta bawaan masing-masing sebelum terjadinya perkawinan ataupun
harta yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang
bukan merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah,
hadiah dan lain sebagainya.
Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam perkawinan itu
dapat digolongkan menjadi tiga golongan:

11
Kamil musa, suami istri islam, (bandung:remaja rosdakarya, 2000), hlm 77.

22
1. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum
kawin, baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha
lainnya, dalam hal ini disebut harta bawaan.
2. Harta masing-masing suami isteri yang diperolehnya selama berada
dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha
mereka bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi karena diperoleh
seperti hibah, warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
3. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan
perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari
mereka, dalam hal ini disebut harta pencaharian.
Dalam firman Allah SWT dalam Qs. An- Nisa‟: 32 berbunyi :

Terjemahan: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang


dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari
pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)

Harta bersama suami isteri, mestinya masuk dalam rubu‟


muamalah, tetapi ternyata secra khusus tidak dibicarakan. Mungkin hal ini
disebabkan oleh karena pada umumnya pengarang kitab-kitab tersebut
adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat
mengenai harta bersama suami isteri itu. Tetapi sedikit dibicarakan
mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa Arab disebut syarikah

23
atau syirkah. Para pakar hukum islam di Indonesia ketika merumuskan
Pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam setuju untuk mengambil syarikat
abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami
isteri dalam kompilasi. Di dalam KHI, harta kekayaan dalam perkawinan
terdapat pada bab XII.
1. Pasal 8
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
2. Pasal 86
a. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.
b. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi
penuh olehnya.
3. Pasal 87
a. Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
b. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
4. Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta
bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.
5. Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri
maupun harta sendiri.
6. Pasal 90

24
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun
harta suami yang ada padanya.
7. Pasal 91
a. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat
berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
b. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga.
c. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban.
d. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah
satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
8. Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama.
9. Pasal 93
a. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan
pada hartanya masing-masing.
b. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
c. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta
suami.
d. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta
isteri12

12
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) Hlm
73.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nikah secara bahasa yaitu kumpulan, bersetubuh, akad. Secara syar‟i
yaitu dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenang-senang
melakukan hubungan seksual, dan lainnya. Tata cara perkawinan yaitu
khitbah (peminangan), aqad nikah, adanya mahar, adanya wali dan juga
saksi. Perkawinan yang diharamkan yaitu nikah syighar, nikah tahil, nikah
mut‟ah, menikah dengan wanita pada masa idah, nikah badal, nikah
istibdlo, nikah righoth, nikah baghoya. Adapula wanita yang diharamkan
untuk dinikahi yaitu mahram karena nasab, mahram karena mushaharah,
mahram karena penyusuan, mahram karena bersifat sementara.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna
karena keterbatasan dan sumber yang didapat, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kedepannya makalah ini
jauh lebih sempurna.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. 1994. Hukum Harta Kekayaan. Bandung: Citra


Aditya Bakti.

Ghozali, Abdul. 2010. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.

Jawad, Muhammad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.

Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia.


Jakarta: Prenada Media Group.

Musa, Kamil. 2000. Suami Istri Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nuroniah, Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.


Yogyakarta: Teras.

Ramulyo, Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Sulaiman, Rasjid. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Summa, Muhammad. 2004. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

27

Anda mungkin juga menyukai