Anda di halaman 1dari 13

Nikah Wanita Hamil

Menurut Hukum Islam

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas :


Mata Kuliah : Pendidikan Agama
Dosen Pengampu : Mr. Ali Sabaruddin Alhasby, S. Ag

Disusun Oleh :

Dadang Wijaya (8080200037)


Hafizan (80802000041)
M. Isngadurrofiq (8080200038)
Putri Salsabila (8080200035)
Zathia Fadhillah Apriliansyah (8080200043)

Kelas : 02PM1
Program Studi : Manajemen
Universitas Dinamika Bangsa

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah


melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Nikah Wanita Hamil
Menurut Hukum Islam”. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad Saw., sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga
yaumil akhir.

Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan terkait


pengertian, hukum menikahi wanita hamil dan status anak yang akan dilahirkan
atau hukum status anak zina. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi
dalam diskusi mata kuliah Pendidikan Agama Universitas Dinamika Bangsa Jambi.

Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini


jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba
mengembangkan dari beberapa referensi mengenai sumber materi yang
saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan
kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis dengan
senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.

Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca yang budiman. Amin yaa robbal ‘alamin

[Date] 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………..2
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………………………….3
BAB I……………………………………………………………………………………………………………………..4
- Pendahuluan…………………………………………………………………………………………..…4
BAB II…………………………………………………………………………………………………………………….5
- Pembahasaan……………………………………………………………………………………………5
- Hukum Menikahi Wanita Hamil…………………………………………………………………5
- Status Hukum Anak Zina…………………………………………………………………………..10
BAB III…………………………………………………………………………………………………………………..12
- Penutup……………………………………………………………………………………………………12
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………………..13

[Date] 3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehamilan dapat terjadi melalui perkawinan yang legal, maupun melalui
hubungan akibat perkosaan, atau hubungan suka-sama suka diluar nikah yang
disebut dengan perzinahan/prostitusi. Apalagi pergaulan bebas antara muda
mudi , seperti yang terjadi saat ini, seringkali membawa hal-hal yang tidak
dikehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan
pernikahan. Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah telah
menjadi problema yang membutuhkan pemecahan,sehingga terjadi kegelisahan
dikalangan masyarakat maupun para Ulama, yang ditangan merekalah terletak
tanggung jawab yang sangat besar, terlebih lagi menyangkut masalah hukum
islam/syari’at.

Kebiasaan orang tua yang merasa malu karena putrinya hamil diluar
nikah , mereka biasanya berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki yang
menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya.Sekarang ini menikahi
wanita hamil karena zina bukanlah masalah baru karena pada zaman Rasulullah
juga pernah terjadi. Padahal Islam menganjurkan nikah dan melarang
zina,karena zina adalah sumber kehancuran.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil?
2. Bagaimana status anak yang akan dilahirkan atau hukum status anak zina?

[Date] 4
BAB II
PEMBAHASAN

I. Hukum Menikahi Wanita Hamil


Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pernikahan merupakan
ikatan lahir batin antara seorang pria. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, pernikahan juga mendirikan keluarga yang sakinah,


mawaddah dan wa rahmah. Di dalam pernikahan adanya saling memelihara
dan menjaga satu sama lain untuk terjaganya keutuhan keluarga dari hal-hal
yang membawa kemudharatan dan menghindarkan dari api neraka.

Wanita hamil secara tekstual dapat dipahami dengan dua makna, yakni
wanita hamil akibat oleh suami yang sah dan wanita hamil dengan akibat zina.
Perkataan ini ditetapkan dalam hukum Islam sebagai istilah (‫)ﺑﺎﻟﺤﺎﻣﻞ اﻟﺘﺰوج‬
yang dapat diartikan sebagai perkawinan seorang pria dengan seorang wanita
yang sedang hamil. Hal ini terjadi dua kemungkinan yaitu dihamili dulu baru
dikawini atau dihamili oleh orang lain baru dikawini oleh orang yang bukan
menghamilinya.

Ada beberapa alasan yang bisa dijadikan landasan terjadinya pernikahan


dengan wanita hamil, diantaranya adalah:

1. Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal


Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwa:

[Date] 5
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(beribadah) 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S.
Al-baqarah: 234)

Laki-laki yang menikah dengan seorang wanita yang sedang hamil,


hukumnya yaitu sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Thalaq ayat: 4
yaitu:

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopouse) diantara


perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah 3 bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. (Q.S. Al-Thalaq:
4)

Dengan demikian, perempuan yang hamil tidak boleh menikah sebelum


janin yang dikandungnya lahir. Alasan keharaman nikah hamil itu demi
menghormati sperma suaminya yang suci karena telah menikah.

[Date] 6
2. Menikahi Wanita hamil karena Zina
Ada beberapa ketentuan hukum, yang dapat dikemukakan dalam
pembahasan ini, antara lain mengenai sah atau tidaknya perkawinan keduanya,
boleh atau tidaknya melakukan sanggama, dan kedudukan nashab (keturunan)
bayi yang dilahirkannya.

Sepakat Ulama Mazhab yang empat menetapkan bahwa perkawinan


keduanya sah, dan boleh mengadakan sanggama bila laki-laki itu sendiri yang
menghamilinya baru ia mengawininya. Tetapi Ibnu Hazm mengatakan:
Keduanya boleh dikawinkan dan boleh mengadakan sanggama bila ia telah
bertaubat dan mengalami hukuma dera (cambuk) karena keduanya telah
berzina. Pendapat ini berdasarkan pada keputusan hukum yangtelah diterapkan
oleh Sahabat Nabi kepada orang-orang yang telah berbuat seperti itu, antaralain
diriwayatkan:
1. Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan dua
orang yang telah berzina, maka ia berkata: Boleh mengawinkannya, asalkan
keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
2. Seorang lelaki tua mengajukan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar,
lalu berkata: Hai Amirul Mu’minin, putriku telah dikumpuli oleh tamuku,
dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan. Ketika itu, Khalifah
memerintahkan kepada Sahabat lain untuk melakukan hukuman dera kepada
keduanya, kemudian dikawinkannya.

Dan yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama Hukum Islam,


adalah kepastian hukum tentang pernikahan lelaki dengan perempuan yang dihamili oleh
orang lain:
a. Imam Abu Yusuf mengatakan; keduanya tidak boleh dikawinkan karena
bila dikawinkan, maka perkawinannya fasid atau batal. Pendapat ini
berdasarkan pada sebuah ayat dan keterangan sebuah Hadits yang
bersumber dari Sa’id bin Musayab yang berturut-turut disebutkan:

[Date] 7
Artinya:Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mu’min. (QS.An Nuur:3)
b. Pendapat yang diikuti oleh Ibnu Qudamah, dengan
menambahkan bahwa seorang laki-laki tidak halal mengawini perempuan
yang diketahuinya bahwa ia telah berzina dengan orang lain, kecuali melalui
dua syarat:
• Perempuan tersebut telah melahirkan kandungannya bila ia hamil.
• Perempuan tersebut telah menjalani hukuman dera, baik ia hamil maupun tidak.

c. Imam Muhammad bun Al Hasan Al- Syaibany mengatakan, perkawinannya


sah, tetapi diharamkan baginya mengadakan sanggama, hingga bayi yang
dikandungnya itu lahir. Pendapat ini berdasarkan padaHadits yang berbunyi:
‫ ﻻﻻﺗﻮطﺂﺣﺎﻣﻼﻻﺣﺘﻰ ﺗﻀﻊ‬:‫ﯾﻘﻮل اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﮭﻌﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬.
Artinya:Sabda Nabi SAW; Janganlah engkau mengumpuli wanita yang
hamil hingga lahir (kandungannya).

Lebih jelasnya menurut pendapat para ulama tentang masalah ini adalah
sebagai berikut:
1) Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali,
membolehkan menikah dengan perempuan yang sedang hamil karena zina,
asalkan yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya sebab
hamil yang semacam ini tidak menyebabkan haramnya dinikahi.

2) Abu Yusuf dan Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa tidak boleh
menikahi wanita yang hamil karena zina, sebelum ia melahirkan, agar
nutfah (darah) suami tidak bercampur dengan tanaman orang lain.

3) Abu Hanifah menguraikan bahwa pernikahan dengan perempuan berzinah


yang hamil, sah, tetapi tidak boleh melakukan coitus/hubungan badan
sebelum janinnya lahir.

[Date] 8
3. Menikahi wanita hamil yang bukan dengan ayah janin
Berdasarkan sebab turunnya surat An-Nur ayat 3, dapat diketahui bahwa
Allah mengharamkan seseorang laki-laki yang bukan menghamilinya menikahi
wanita yang hamil karena zina. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan
laki-laki yang beriman.

Ketentuan ini diatur juga oleh undang-undang pernikahan maupun KHI


pasal 53 yang berbunyi:
1. Seorang wanita yang hamil diluar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Pernikahan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran janinnya.
3. Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan pernikahan ulang setelah janin yang dikandungnya lahir.

Kemudian persyaratan dipertegas lagi oleh Allah SWT dalam surat Al


Baqarah ayat 221:

Artinya: “ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-Baqarah: 221)

[Date] 9
II. Status Hukum Anak Zina
Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dari segala dosa, karena
kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut, tetapi kepada kedua
orang tuanya (yang tidak sah menurut hukum).
Di dalam hadits disebutkan:

(‫ﻣﺎﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮدإﻻﻻﯾﻮﻟﺪﻋﻠﻰ اﻟﻔﻄﺮة )رواه اﻟﺒﺨﺎرى‬


Artinya:“Tidak setiap anak dilahirkan kecuali suci bersih (menurut fitrah)”
(HR. Bukhari).

Bayi yang lahir dari wanita yang dihamili tanpa dikawini lebih dahulu,
disebut oleh Ahli hukum Islam sebagai istilah anak zina atau anak dari orang yang terlaknat.
Jadi istilah tersebut, bukan nama bayi yang lahir itu, tetapi istilah yang dinisbatkan kepada
kedua orang tuanya yang telah berbuat zina, atau melakukan perbuatan yang terlaknat.
Sedangkan bayi yang dilahirkannya, tetapi suci dari dosa dan tidak mewarisi perbuatan yang
telah dilakukan oleh orang tuanya.

Tanggung jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik materiil maupun spiritual
adalah ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya itu. Sebab, anak zina hanya
mempunyai nasab dengan ibunya saja. Demikian juga halnya dengan hak waris mewarisi,
sebagimana dinyatakan dalam hadits Bukhari dan Abu Daud menyatakan bahwasanya: “Dari
Ibnu Umar, bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya di zaman Nabi SAW. Dan dia
tidak mengakui anak istrinya (sebagai anaknya), maka Nabi menceraikan antara
keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada si istri.”

Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:


1. Menurut Imam Malik dan Syafi’i, anak zina yang lahir setelah enam bulan
dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya.
2. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada
ibunya.
3. Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap dinasabkan kepada suami
ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si
ibu.

[Date] 10
Sepakat Ulama Hukum Islam menetapkan bahwa status anak itu
termasuk anak zina bila laki-laki yang mengawininya bukan orang yang menghamilinya.
Tetapi yang mengawini itu termasuk orang yang menghamilinya, maka terjadi dua macam
pendapat di kalangan Ulama Hukum, yaitu:
1. Ada yang menetapkan bahwa bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah
kandungannya berumur 4 bulan ke atas, bila kurang dari umur kandungannya tersebut, maka
bayi yang dilahirkannya termasuk anak suaminya yang sah.
2. Ada lagi yang menetapkan bahwa bila ibunya sudah hamil meskipun kandungannya baru
beberapa hari, kemudian dikawini oleh orang yang menghamilinya, maka bayi yang
dilahirkannya bukan anak suaminya yang sah. Karena keberadaannya dalam kandungan,
mendahului perkawinan ibunya; maka bayi tersebut termasuk anak zina.

[Date] 11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menikahi wanita hamil karena cerai atau suami meninggal yaitu harus
menunggu sampai lepas masa iddah selesai. Masa iddahnya itu sendiri yaitu
sampai anak dalam kandungannya lahir.

Hukum menikahi wanita hamil sebab zina yaitu terjadi perbedaan


pendapat diantara para ulama, yaitu ada yang mengatakan boleh dan ada pula yang
mengatakan tidak boleh. Namun pada surat An-Nur ayat 3 sudah dijelaskan bahwa wanita
pezina harus menikah dgn laki-laki pezina dan hokum nya haram jika seorang mukmin
menikahi laki-laki pezina tersebut.

Pada dasarnya nasab anak zina hanya dihubungkan dengan


ibunya. Sesuai dengan hadits Nabi”al-walidu lil-firsasyi” yaitu seorang anak hanya milik
ibunya. Namun terjadi beberapa perbedan pendapat untuk masalah ini.

[Date] 12
DAFTAR PUSTAKA

Slideshare. 2016. Menikahi wanita hamil dan nasab anak di luar kawin.
https://www.slideshare.net/phatmaecha/hukum-menikahi-wanita-hamil . Akses 1 November
2020.

Anshary, M. 2010. Hukum Pernikahan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial,


Jakarta: Pustaka Belajar.

[Date] 13

Anda mungkin juga menyukai