Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“PERNIKAHAN DAN ETIKA PERGAULAN LAWAN JENIS


DALAM PANDANGAN ISLAM”
Dosen Pengampu :

Di susun oleh :
Wildan Khoeruddin Arrahman C1B022020
Filiana C1B022023
Isna Oktafiana C1B022040

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
"Pernikahan dan Etika Pergaulan Lawan Jenis Dalam Pandangan Islam"
tepat waktu.

Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam. yang telah memberikan tugas
kepada kami. Makalah ini jauh dari kata sempurna tetapi kami berusaha untuk
menjelaskan dan memaparkan sesuai dengan judul yang kami ambil. Makalah ini
dibuat sesuai dengan pengetahuan yang kami peroleh dari beberapa sumber.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaaat bagi kita semua. Bila ada
kesalahan tulisan atau kata-kata di dalam makalah ini, kami mohon maaf sebesar-
besarnya.

Purwokerto, 25 Februari 2023

Penulis
Daftar isi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan
sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan pernikahan, sebagaimana difirmankan Allah
s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu
menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah
warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia
melakukan pernikahan
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah dalam
pengertian mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan
supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan
bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT,
dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali
dijelaskan di dalam al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. Al Nuur/24 : 32)
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pernikahan dalam Islam
2. Apa saja Hukum, Rukun, dan Syarat Nikah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pernikahan Dalam Pandangan Islam
2. Mengetahui Hukum, Rukun dan Syarat Nikah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pernikahan
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum
Nikah Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫) النكاح‬, adapula yang
mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj . Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi
pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar
katanya saja. Perkawinan adalah :
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas
rukun-rukun dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan
badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah
atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan,
yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah
dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi.
Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang.
2.1.2 Tujuan Pernikahan
Tujuan Nikah Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan
untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia
pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:
Pertama, Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabdanya:
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu
untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”
Kedua, Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena
(pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di
hadapan umat-umat yang lain.”
Ketiga, Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan
pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu
wa Ta'ala memerintahkan:
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan
mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
2.1.3 Hukum Nikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima
yaitu:
a. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan
terjerumus dalam praktek perzinahan.
b. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah
lahir dan batin kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum
mendesak.
c. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai
kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari
berbuat haram.
d. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member
belanja calon istrinya.
e. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan
segera nikah atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk
nikah.
2.1.4 Rukun dan Syarat Nikah
Menurut pandangan ulama Ḥanafī, rukun nikah hanya ijab dan qabul, sementara
dalam pandangan jumhur, rukun nikah terdiri dari a) pengantin lelaki, b)
pengantin perempuan, c) wali, d) dua orang saksi, serta e) ijab dan qabul (akad
nikah).19 Sementara itu, Mālikiyah menetapkan mahar juga sebagai rukun
nikah.20 Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Syarat pengantin laki-laki adalah,
a) Islam,
b) rida terhadap pernikahan tersebut,
c) orangnya jelas,
d) tidak ada halangan shara’,
misalnya tidak sedang ihram haji atau umrah. Menurut Ḥanafiyah, baligh dan
berakal bukan syarat sah-nya nikah, melainkan syarat sah-nya pelaksanaan
akad nikah, sementara syarat sahnya nikah cukup mumayyiz, yakni berusia
tujuh tahun. Mālikiyah memperbolehkan ayah dan hakim atau orang yang
mendapatkan wasiat untuk menikahkan orang gila dan anak kecil untuk
kepentingan maslahah seperti dikhawatirkan zina. Shāfi’iyah juga
memperbolehkan ayah dan kakeknya menikahkan anaknya yang mumayyiz,
sekalipun lebih dari satu istri jika hal tersebut membawa maslahah. Ḥanābilah
memperbolehkan seorang ayah menikahkan anak laki-lakinya yang masih
kecil, atau gila walaupun yang bersangkutan sudah tua.
2. Syarat pengantin wanita adalah
a) rida terhadap pernikahan tersebut,
b) Islam atau Ahl al-Kitāb,
c) orangnya jelas,
d) tidak ada halangan shar’i untuk dinikahi, baik yang bersifat muabbad
(selamanya) karena mahram, atau muaqqat (sementara) misalnya sedang
terikat pernikahan dengan orang lain.
3. Syarat wali. Wali ada dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Syarat wali
adalah:
a) cakap bertindak hukum (baligh dan berakal),
b) merdeka,
c) seagama antara wali dan mempelai yang diakadkan,
d) laki-laki
e) adil.
Dalam pandangan Ḥanafiyah, perempuan dapat menjadi wali sebagai wali
pengganti atau mewakili.22Adil juga bukan syarat bagi seorang wali menurut
Ḥanafiyah dan Mālikiyah. Seorang yang fasik dapat bertindak sebagai wali.23
4. Syarat saksi adalah
a) cakap bertindak hukum,
b) minimal dua orang laki-laki,
c) muslim,
d) melihat,
e) mendengar,
f) adil,
g) faham terhadap maksud akad,
h) merdeka. Menurut Ḥanābilah, kesaksian budak, sah, karena tidak ada
pernyataan naṣṣ yang menolak kesaksian mereka.
5. Syarat ijab-qabul adalah
a) lafaz yang diucapkan harus bersifat pasti (menggunakan fi’il māḍī),
b) tidak mengandung makna yang meragukan,
c) lafaz akad bersifat tuntas bersamaan dengan tuntasnya akad. Artinya, akad
tidak digantungkan pada syarat tertentu, misalnya, “saya nikahkan anak
saya jika nanti sudah diterima menjadi pegawai negeri”,
d) ijab dan qabul diucapkan dalam satu majlis, artinya ijab dan qabul berada
dalam situasi dan kondisi yang menunjukkan adanya kesatuan akad. Jika
salah satu pihak tidak hadir dalam majlis akad, namun mengirimkan surat
yang berisi kesediaan terhadap akad, maka ketika surat tersebut dibacakan
di hadapan saksi, maka itulah satu majlis,
e) qabul tidak berbeda dengan ijab. Jika jumlah mahar disebutkan dalam
akad, maka jumlah mahar yang disebut dalam qabul harus sama dengan
jumlah yang disebut dalam ijab, kecuali jika dalam qabul (pihak suami)
menyebut jumlah mahar yang melebihi jumlah yang disebut dalam ijab.
Dalam hal ini, akad, sah. Sekalipun menurut jumhur mahar bukan rukun,
namun jika disebut dalam akad, maka menjadi bagian dari akad,
f) antara ijab dan qabul harus bersifat segera (al-faur), artinya, tidak ada jarak
yang lama antara ijab dan qabul yang menunjukkan adanya
perubahan/pemalingan dari tujuan akad,
g) kedua pihak mendengar ijab dan qabul secara jelas,
h) orang yang mengucapkan ijab tidak mencabut ijabnya,
i) harus disampaikan secara lisan, kecuali orang bisu dan orang yang tidak
berada di tempat,
j) akad bersifat abadi, tidak dibatasi oleh waktu, misalnya bahwa pernikahan
hanya selama satu bulan, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:
Bulan Bintang. Halaman. 79.
Muzammil, Iffah. 2019. Hukum Pernikahan Dalam Islam. Tira Smart.
Tanggerang.

Anda mungkin juga menyukai