Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KAJIAN FIQIH TENTANG


SHOLAT BAGI ORANG YANG SAKIT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih ibadah
Dosen Pengampu : Muhammad Ali, M.Pd.I

Disusun oleh : Kelompok 7

1. Anas Abdillah (2201011014)


2. Ahmad Fakthur Rohman (2201010004)
3. Ummi Latifah (2201010119)
4. Resa Yuliana Putri (2201010098)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI METRO

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehinnga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "
Kajian fiqih tentang sholat bagi orang yang sakit", ini dengan tepat waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqih Ibadah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi pembaca dan penulis makalah itu sendiri.
Kami berterimakasih kepada dosen mata kuliah Fiqih Ibadah Ayah
Muhammad Ali, M.Pd.I yang telah membimbing kami dalam menyusun makalah
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat mennyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami tulis jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Metro, 12 September 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang ............................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian Sholat ........................................................................ 3
B.Tata Cara Sholat Bagi Orang Yang Sakit ................................... 9
C.Ketentuan Shalat Bagi Orang yang Sakit .................................. 13

D.Landasan Hukum Bagi Orang yang Sakit ................................ 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .............................................................................. 16
B. Saran ........................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Shalat adalah jalinan (hubungan) yang kuat antara hamba Nya dan sang
pencipta (allah SWT). Shalat memiliki kedudukan yang tinggi yaitu sebagai rukun
dan tiang agama. Shalat menempati rukun kedua setelah membaca syahadat, serta
menjadi lambang hubungan yang kokoh antara Allah dan hamba Nya. Jadi dapat
disimpulkan shalat adalah ibadah kepada tuhan, yang berupa perkataan dan
perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan rukun dan
syarat yang sudah ditentukan oleh syara`.

Shalat dalam keadaan darurat ialah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan yang
menyulitkan seseorang untuk melaksanakannya sesuai dengan rukun-rukun shalat
yang lengkap.1 Dalam keadaan bagaimana pun, apapun, dimana pun, dan kapan
pun, sebagai umat islam kita harus selalu mendirikan shalat. Begitu pun dengan
Orang yang sakit tetap diwajibkan melaksanakan sholat fardhu. Selama akal dan
ingatan orang yang sakit masih sadar. Namun, kaum muslim yang kadang
meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat dengan tata-
tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat
bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya.

Tentang bagaimana orang yang terbaring lemah itu shalat, sesungguhnya telah
jelas bahwa tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seorang di
luar kemampuannya. Karena syari’at islam dibangun di atas dasar ilmu dan
kemampuan orang yang dibebani.

1 Amir Abyan, Zainal Muttaqin, Fiqih, Semarang : PT Karya Thoha Putra, 2004, hal. 113

1
Allah Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya :

ً ‫ۚ اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ْف‬


ْ ‫سا ِإاَّل ُو‬
‫س َع َها‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya,”


(Qs. Al-Baqarah: 286).

Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha
melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Sehingga
nampaklah keindahan syari’at dan kemudahannya.
Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan oleh setiap
kaum muslim, baik laki- laki maupun perempuan, yang telah terhukumi
wajib(mukalaf) untuk melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus dilaksanakan,
meskipun itu dalam kondisi tidak sehat atau sakit. Karena disaat sakit dan tidak bisa
berdiri atau tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan untuk sholat dengan duduk,
begitu juga jika tidak mampu dengan duduk, maka boleh dilaksanakan dengan
berbaring , jika bebaring tidak mampu untuk melaksanakan maka diperbolehkan
dengan terlentang kakinya mengarah kiblat dan jika berbaring tak mampu maka
dengan menggunakan isyarat kedipan mata dan apabila masih tak mampu berkedip
maka sholat dengan hatinya, karna agama islam adalah agama yang rahmatan lil
‘alamin, mudah dan tidak pernah mempersulit pemeluknya.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat
Dalam mendefinisikan tentang arti kata shalat, Imam Rafi’i mendefinisikan
bahwa shalat dari segi bahasa berarti do’a, dan menurut istilah syara’ berarti ucapan
dan pekerjaan yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri/ditutup denngan salam,
dengan syarat tertentu2.

Kemudian shalat diartikan sebagai suatu ibadah yang meliputi ucapan dan peragaan
tubuh yang khusus, dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam (taslim). Dari
pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan shalat
adalah suatu pekerjaan yang diniati ibadah dengan berdasarkan syaratsyarat yang
telah ditentukan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam.
Shalat menghubungkan seorang hamba kepada penciptanya, dan shalat merupakan
menifestasi penghambaan dan kebutuhan diri kepada Allah SWT.Dari sini maka,
shalat dapat menjadi media permohonan, pertolongan dalam menyingkirkan segala
bentuk kesulitan yang ditemui manusia dalam perjalanan hidupnya3.

Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan. Ketika kita sakit pun kita wajib
mendirikan sholat4. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah
Ta’ala dalam firman-Nya:
‫ستَطَ ْعتُم‬ ۟ ُ‫فَٱتَّق‬
ْ ‫وا ٱهَّلل َ َما ٱ‬
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-
Taghâbûn/ 64:16).
Rasullulah shallallahu `alaihi wa salam mengingatkan, Sesungguhnya Allah
ketika mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka dengan musibah. Siapa
yang ridho dengan musibah itu maka dia akan mendapatkan ridho Allah.
2 Syekh Syamsidin abu Abdillah, Terjemah Fathul Mu’in (Surabaya: Al-Hidayah, 1996), hal. 47
3 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta:
Amzah, 2009), hal. 145
4 Imam Mujtaba, dkk, Fiqih, Jakarta, 2007, hal.62

3
Sebaliknya, siapa yang marah dengan musibah itu dia akan mendapatkan murka
Allah.` (HR.Ahmad 23623, Tirmizi 2396 dan dishahihkan al-Albani).

Jadi ada dua sifat manusia yang berbeda, ada yang memahami musibah itu
dengan baik sehingga dia bisa ridho terhadap ujian yang Allah berikan. Sebaliknya,
ada orang yang menyikapi musibah itu dengan cara yang salah yaitu dengan
menganggap sakit ini adalah kezaliman dan ketidakadilan.

Orang sakit wajib juga shalat semampunya selama akal atau ingatannya masih
tetap. Kalau tidak mampu berdiri, ia boleh shalat sambil duduk; kalau tidak mampu
duduk, boleh berbaring ke sebelah kanan menghadap kiblat; kalau tidak kuat
berbaring, boleh menelentang dengan kedua kakinya kearah kiblat, dan kalau dapat
kepalanya diberi bantal agar mukanya menghadap kiblat.
Termasuk dalam arti “tidak mampu” ialah apabila ia mendapat kesukaran berdiri
atau mendapat kesukaran duduk dan seterusnya, atau takut sakitnya akan bertambah
parah apabila ia berdiri. Sabda Rasulullah SAW:
‫عن علي بن ابي طالب عن النبي صل هللا عليه وسلم قال يصل المريض قايتا استطاع فإن لم يستطع صل‬
‫ ضلع‬، ‫قاعدا فإن لم يستطع ان يجداوم يرأسه رجل بجوده أخفض من ركوعي فإن لم يستطع يصلي قاعد‬
‫جنيه ون الين مستقبل القبلة فإن اليستطيع أن يصلى عال جنبه األيمن لتلقي جاله بابل القبلة‬
‫رواه الدارقطني‬
“Dari Ali bin Abi Talib menceritakan hadis berikut langsung dari Nabi Saw.
Beliau telah bersabda, "Salat orang yang sakit sambil berdiri jika mampu. Kalau
tidak mampu, salatlah sambil duduk. Jika ia tidak kuat sujud, isyaratkan saja
dengan kepalanya, tetapi hendaklah sujudnya lebih rendah daripada rukuknya.
Kalau ia tidak mampu salat sambil duduk, salatlah sambil berbaring ke sebelah
kanan menghadap kiblat Dan kalau tidak mampu sambil berbaring ke sebelah
kanan, shalatlah sambil terlentang dan menghadapkan kaki ke arah kiblat.”
Dalam prespektif hukum Islam orang yang sakit tetap berkewajiban
menjalankan agamanya, selama akalnya masih berfungsi dengan baik, baik
kewajiban kepada Allah ataupun yang berkaitan dengan hak hak manusia, tetapi
aktivitas orang yang sakit tentunya berbeda dengan orang yang sehat. Syariah

4
Islam memberikan beberapa kemudahan bagi orang yang sakit. Hal ini bertujuan
agar orang yang sakit tetap melaksanakan ibadah sesuai dengan kondisi sakit yang
dideritanya tanpa beban dan kesulitan.
Ada beberapa keutamaan orang sakit yaitu :
1. Dihapus dosa kecilnya yang berkaitan dengan hak Allah. Hal ini bersandar
pada hadits berikut:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan,
kekhawatiran, dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan
bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahan ya.”(HR.Bukhari dan muslim dari Abu Said al-
Khudri dan Abu Hurairah).
2. Ditinggikan derajatnya.berbuat Hal ini bersandar pada hadits berikut:
“Tidak ada satupun musibah (cobaan) yang menimpa seorang muslim
berupa duri atau yang semisalnya, melainkan dengannya Allah akan
mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahnya”. (H.R Muslim dan
Tirmizi dari Aisyah).
3. Diberinya sebuah kebaikan.Hal ini bersandar pada hadist berikut.
“Barang siapa dikhendaki Allah kebaikan, maka Dia akan mengujinya”.
4. Dicatat seperti orang sehat yang kebaikan.

Dalam keadaan bagaimanapun shalat tidak boleh ditinggalkan. Orang yang


sakit tetap harus melaksanakannya dengan berdiri. Jika memerlukan tongkat atau
yang lainnya untuk bertumpu ketika berdiri, maka ia diperbolehkan untuk
menggunakannya. Karena sesuatu yang tanpanya kewajiban menjadi tidak
sempurna, maka sesuatu tersebut pun hukumnya menjadi wajib.
Apabila seseorang yang sakit tidak mampu melaksanakan shalat dengan
berdiri, seperti jika hal itu menyusahkannya, khawatir jika berdiri penyakitnya
akan bertambah parah dan semakin lama sembuh, atau memang ia tidak mampu
berdiri, maka ia boleh melaksanakan shalat dalam posisi duduk.

5
Kebolehan duduk sewaktu shalat tidak diisyaratkan di dalamnya
ketidakmampuan untuk berdiri, dan tidak juga kesulitan yang sangat sepele, akan
tetapi yang dijadikan standar adalah kesulitan yang memberatkan.
Para ulama telah sepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri dalam
shalat fardhu, maka ia melaksanakannya dengan duduk dan ia tidak wajib
mengulangnya. Hal itu tidak pula mengurangi pahala nya. Bentuk posisi
duduknya adalah sesuai dengan yang bisa dan mudah dilakukan, karena syariat
tidak memintanya untuk duduk dengan posisi tertentu. Karena itu, duduk dalam
bentuk apa pun dibolehkan. Jika seseorang yang sakit tidak mampu melakukan
shalat dengan duduk, seperti jika duduk tersebut terlalu memberatkannya atau
memang ia tidak mampu duduk, maka ia boleh melakukan shalat dengan
merebahkan diri dalam posisi miring dan wajahnya menghadap kiblat. Sebaiknya
posisi miring tersebut di atas sisi badannya sebelah kanan. Jika tidak ada orang
yang mengarahkannya ke arah kiblat sedangkan ia tidak mampu melakukannya
sendiri, maka ia melakukan shalat sesuai dengan kondisinya dan menghadap ke
arah mana saja yang mampu ia lakukan.
Jika seseorang yang sakit tidak mampu melakukan shalat dengan
merebahkan diri di atas salah satu sisi badannya, maka ia harus me lakukannya
dengan terlentang dan kedua kakinya (jika mampu) ke arah kiblat.
Jika orang yang sakit melakukan shalat dalam keadaan duduk namun ia
tidak mampu bersujud di lantai, maka ia cukup menggerakkan kepalanya sebagai
isyarat untuk sujud. Begitu juga orang yang melakukan shalat di atas sisi
badannya atau terlentang, maka ia cukup menggerakkan kepalanya sebagai isyarat
untuk ruku’ dan sujud. Dan hendaknya posisi kepala sebagai isyarat sujud lebih
rendah dari posisinya sebagai isyarat ruku. Jika orang yang sakit melaksanakan
shalat dalam keadaan duduk dan ia mampu bersujud di atas lantai, maka ia wajib
melakukannya dan tidak cukup baginya gerakan isyarat.
Adapun dalil kebolehan bagi orang yang sakit untuk melakukan shalat dengan
cara yang disebutkan di atas, adalah sebuah hadits yang diri wayatkan oleh
Bukhari dan para penyusun kitab Sunan, dari Umran bin Hashin r.a., ia berkata,

6
"Dulu saya terkena sakit bawasir (ambeyen). lalu saya bertanya kepada
Rasulullah. Maka beliau bersabda:
‫سلَّ َم َع ِن‬ َ ‫سَأ ْلتُ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ َ‫ ف‬،‫سي ُر‬ ِ ‫ َكانَتْ بِي بَ َوا‬:‫ قَا َل‬،ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ ‫ص ْي ٍن َر‬ َ ‫عَنْ ِع ْم َرانَ ْب ِن ُح‬
‫ب» (رواه البخارى وابوداود‬ َ
ٍ ‫ستَ ِط ْع ف َعلَى َج ْن‬ َ
ْ َ‫ فِإنْ لَ ْم ت‬،‫اعدًا‬ َ َ
ْ َ‫ فِإنْ لَ ْم ت‬،‫ص ِّل قَاِئ ًما‬
ِ َ‫ستَ ِط ْع فق‬ َ « :‫ فَقَا َل‬،‫صالَ ِة‬َّ ‫ال‬
)‫والترميذي واحمد‬

Dari Imran bin Hushain, ia berkata, aku dulu sakit bawasir, maka aku bertanya
pada Nabi SAW tentang (pelaksanaan) Shalat, makaBeliau bersabda:”Shalatlah
kamu denganberdiri, bila kamu tdk bisa maka (shalatlah) dengan duduk, bila
kamu tidak bisa maka (shalatlah) dengan berbaring “. (HR. Ahmad, Bukhari, Abu
Dawud, Tirmidzi danIbnu Majah)

Imam Nasa'i menambahkan dalam riwayat hadits tersebut,

‫فإن لم تستطع فمستلقيا‬


"Jika engkau tidak mampu, maka dengan telentang."

Di sini harus diperhatikan bahwa merupakan kesalahan besar dari beberapa


orang yang sakit dan orang-orang yang dioperasi ketika meninggalkan shalat
dengan alasan tidak mampu melakukannya secara keseluruhan, atau tidak mampu
berwudhu atau juga karena pakaiannya terkena najis serta uzur-uzur lainnya.
Karena seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat jika ia tidak mampu me
lakukan sebagian syarat, rukun, dan kewajibannya. Akan tetapi, seorang muslim
harus tetap melakukan shalat sesuai dengan kondisi nya.
Ada sejumlah orang yang sakit berkata, "Jika aku sembuh, maka aku akan
mengqadha semua shalat yang aku tinggalkan." Hal ini merupakan suatu
kebodohan atau sikap mempermudah. Karena sebisa mungkin shalat harus
dilaksanakan tepat pada waktunya dan tidak boleh mengakhirkannya hingga
keluar dari waktunya. Dan, hal ini harus benar-benar diperhatikan. Seharusnya di
rumah sakit-rumah sakit terdapat badan penyuluhan agama yang selalu memantau
para pasien dalam mengerjakan shalat dan kewajiban-kewajiban syara' lain nya
yang membutuhkan penjelasan.
Apa yang kami jelaskan di atas adalah berlaku untuk orang yang mempunyai
uzur sejak ia memulai shalat dan terus berlangsung hingga ia selesai

7
mengerjakannya. Adapun orang yang ketika memulai shalat mampu berdiri
kemudian setelah memulainya ia tidak mampu untuk berdiri, atau ketika memulai
shalat ia tidak mampu berdiri namun ketika di tengah-tengah shalat ia mampu
berdiri, atau ia memulai shalat dengan duduk kemudian di tengah-tengah shalat ia
tidak mampu duduk, atau ia memulai shalat dengan tiduran di atas sisi kanan
badan nya kemudian di tengah-tengah shalat ia mampu duduk, maka dalam
kondisi-kondisi di atas ia berpindah posisi sesuai dengan keadaan yang sesuai
baginya, sebagaimana yang ditetapkan oleh syara'. Dan, ia wajib
menyelesaikannya dengan keadaan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah:

ٓ
َ‫س ِهۦ فَُأ ۟و ٰلَِئ َك ُه ُم ٱ ْل ُم ْفلِ ُحون‬
ِ ‫ق ش َُّح نَ ْف‬ ۟ ُ‫وا َوَأنفِق‬
ِ ُ‫وا َخ ْي ًرا َأِّلنف‬
َ ‫س ُك ْم ۗ َو َمن يُو‬ ۟ ‫وا َوَأ ِطي ُع‬
۟ ‫س َم ُع‬
ْ ‫ستَطَ ْعتُ ْم َوٱ‬ ۟ ُ‫فَٱتَّق‬
ْ ‫وا ٱهَّلل َ َما ٱ‬

"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah


serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang-siapa
dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung."(at-
Taghabun: 16)

Maka seseorang yang memulai shalat dengan duduk lalu di tengah-tengah


shalat ia mampu berdiri, maka ia harus berdiri. Demikian juga dengan orang yang
memulai shalat dengan berdiri, namun di tengah-tengah shalat ia tidak mampu
untuk berdiri, maka ia boleh melakukan sisa shalatnya tersebut dengan duduk.
Begitulah seterusnya.

Jika seseorang mampu berdiri dan mampu duduk, namun tidak mampu ruku
dan sujud, maka ia mengisyaratkan ruku dengan gerakan kepalanya dalam posisi
berdiri, dan mengisyaratkan sujud dengan gerakan kepalanya dalam posisi duduk.
Hal ini agar ada perbedaan antara dua isyarat sesuai dengan kemampuan.

Orang sakit yang bisa berdiri dibolehkan shalat dengan telentang. jika dokter
muslim yang terpercaya mengatakan kepadanya, "Anda tidak mungkin diobati
kecuali jika Anda shalat dengan telentang." Hal ini karena Rasulullah melakukan

8
shalat dalam posisi duduk ketika salah satu sisi badannya terluka. Dan, Ummu
Salamah pernah tidak melakukan sujud karena sakit mata yang dideritanya.

Kedudukan shalat dalam Islam sangat agung. Oleh karena itu, setiap muslim
dituntut bahkan wajib baginya untuk melaksanakannya baik ketika sehat dan
ketika sakit. Kewajiban shalat tidak gugur dari orang yang sakit, tetapi ia tetap
harus melakukan shalat sesuai dengan kondisinya. Maka, seorang muslim wajib
menjaga shalat tersebut sebagaimana diperintahkan oleh Allah.

B.Tata cara shalat bagi orang yang sakit


Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagi berikut :
 Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila
mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam
shalat wajib, merupakan rukun shalat. Diwajibkan juga bagi orang yang
mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke
tembok atau berpegangan tiang, Demikian juga orang bungkuk diwajibkan
berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk5.
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri bagi
seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau
bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia”6.
 Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud , ia
tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan rukuk
dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan
punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya,
Kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan
duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
 Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya
dengan duduk, berdasarkan hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para
ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Para ulama telah

5 Lihat al-Mughnî 2/571


6 Syarhu al-Mumti’ ‘Alâ Zâd al-Mustaqni’ 4/459

9
berijmâ’ bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan
shalat dengan duduk”.
 Orang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan
shalat dengan duduk7. Syeikh Ibnu Utsaimin berkata, “Yang benar adalah,
kesulitan (Masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat
dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri,
maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk.
Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya
duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadîts ‘Aisyah
Radhiyallahu anha yang berbunyi:
“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan bersila”8.
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih
tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirâsy9. Apabila rukuk, maka
lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan
meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri 10.
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud di atas tanah. Bila tetap
tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak
tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud.
Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan
menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’11.
 Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan berbaring, boleh dengan miring ke kanan
atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
‘Imrân bin al-Hushain Radhiyallahuanhu :

7 Al-Mughni 2/571
8 HR An-Nasâ’i no. 1662 dan dishahihkan al-Albani dalam shohih Sunan an-Nasâ’i 1/538.
9 Lihat Syarhu al-Mumti’ 4/462-463
10 Demikian yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 4/463
11 Syarhu al-Mumti’ 4/466-467

10
Shalatlah dengan berdiri , apabila tidak mampu maka duduklah dan bila
tidak mampu juga maka berbaringlah. [HR al-Bukhâri no. 1117]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan
pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga
yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan
lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu
yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya
sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama.
 Orang sakit yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan
terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih
dekat kepada cara berdiri12. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak
kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat. Apabila tidak
mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau
membantu mengarahkannya, maka hendaklan ia shalat sesuai keadaannya
tersebut.
 Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya
sesuai keadaannya dengan isyarat kedipan matanya.
 Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua
gerakan di atas (Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan
tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya ia melakukan shalat
dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat
Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang
sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia
wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan
menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu,
karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah13.

12 Ibid 4/465
13 Lihat al-Mughni 2/577, Majmu’ Fatawa Syeikh bin Baaz 12/243 dan Syarhu
al-Mumti’ 4/472-473.

11
1.1 Aturan Jamak Bagi Orang Yang Sakit

Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka


diperbolehkan menjamâ’ (menggabung) shalat , shalat Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan ‘Isya` baik dengan jamâ’ taqdîm atau ta’khîr14.
dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka
tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan
sesudahnya.
Rasulullah SAW membolehkan kita menjamâ’ shalat karena adanya rasa berat
yang menyusahkan (Masyaqqah) dan sakit adalah Masyaqqah. Ini juga
dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena
istihâdhoh yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan
Maghrib serta mempecepat Isya’15.
 Wajib bagi orang sakit untuk melaksanakan shalat wajib pada waktunya, jika
tidak memberatkan.
 Jika kesulitan untuk shalat pada waktunya, boleh melakukan shalat jamak
tanpa qasar .
 Termasuk orang yang boleh menjalankan jamak adalah orang yang hendak
menjalankan operasi dengan durasi panjang, dan akan memakan waktu shalat
selanjutnya.

14 manhaj as-salikin hal 82.


15 hal ini ada dalam hadist Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Dawud dan dinilai Hasan.
oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Gholil no.188 lihat juga Shokhih Fikih Sunnah 1/514.

12
C.Ketentuan Shalat Bagi Orang yang Sakit

Berikut ketentuan shalat bagi orang yang sakit :


1.1 Tetap wajib shalat menghadap kiblat

Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu


berdiri dan duduk, maka dia tetap wajib shalat menghadap kiblat. Namun caranya
sedikit berbeda-beda diatara para ulama.Sebagian mengatakan bahwa caranya
dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubhnya ada di bawah dan bagian
kiri tubuhnya di atas. Mirip dengan posisi mayat masuk ke liang lahat.Dalilnya
karena menurut pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap kiblat
harus dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa
menghadap kiblat. Dan caranya dengan shalat dengan posisi miring.Namun
sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjai ukuran dalam
menghadap kiblat adalah kaki, bukan dada.Asalkan kakinya sudah menghadap
kiblat, maka dianggap posisi badan nya sudah memenuhi syarat.

1.2 Orang Sakit Menjama` Shalat

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan orang yang sedang sakit
untuk menjama` shalatnya.
Sebagian ulama tidak memperbolehkannya tetapi sebagian yang lain
membolehkan adanya shalat jama` bagi orang yang sedang sakit.

a. Tidak Boleh Dijama`


Mereka yang tidak memperbolehkan orang sakit untuk menjama` shalat di
antaranya adalah mazhab Al- Hanafiah dan Asyafi`iyah, serta sebagian dari ulama
dari mazab Al-Malikiyah. Dasarnya karena tidak ada dalil apapun dari Rasullulah
yang membolehkan hal itu. Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalanan
shalat sesuai dengan waktunya yang telah ditentukan.

13
b. Boleh Dijama`
Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan menjama` karena disebabkan sakit.
Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.
Begitu pula dengan Ibnu Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama`
dengan perkataan Ibnu Abas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Mazab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah
berpendapat seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk menjama` dua
shalat, baik jama`taqdim atau pun jama` takhir.

c.Tidak Boleh Mengqashar


Meskipun ada pendapat yang membolehkan orang sakit menjama`
shalatnya, namun perlu digaris bawahi bahwa qasar tetap tidak berlaku. Artinya
bahwa orang sakit tidak boleh mengqashar shalat.Selama ini banyak yang
terlanjur menyamakan antara jama dan qasar, sehingga dalam benak mereka jika
boleh men jama` maka boleh meng qasar.

d.Mengganti Shalat Yang Tertinggal


Apabila karena alasan sakit seseorang terpaksa harus meninggalkan shalat
fardhu dari waktunya, maka hukumnnya secara syariah tidak berarti kewajibannya
shalat atasnnya gugur. Demikian juga para ulama sepakat bahwa orang yang
pimgsan, hukumnnya sama seperti orang yang tidur. Bila ada pasien berada dalam
keadaan pingsan atau koma, maka semua shalanya yang ditinggalkan wajib
diganti ketika sudah sehat.

14
D.Landasan Hukum Bagi Orang yang Sakit

Hukum Islam pada dasarnya tidak memiliki hukum yang memberatkan


umatnya. Dalam kenyataannya dilingkungan kita sebagian orang beranggapan
bahwa hukum Islam adalah hukum yang memberatkan umatnya. Memang bila
diliha sepintas mengisyaatkan demikian, akan tetapi bila seorang muslim dalam
melaksanakan hukum islam harus melakukannya dengan kesanggupan yang
sesuai dengan kondisinya.
Jadi hukum melaksanakan shalat bagi orang yang sakit adalah wajib tetapi,
diberikan keringanan yaitu :
1. Kondisi sakit tidak bisa menggugurkan kewajiban shalat
orang yang sedang menderita sakit tidak boleh meninggalkan shalat.
kalaupun ia terpaksa harus meninggalkan shalat dikarenakan sakit yang
tidak mungkin bisa mengerjakannya, maka tetap saja ia wajib dan harus
mengerjakan shalat yang ia tinggalkan di kemudian hari.
2. Kondisi sakit memperbolehkan untuk melakukan apa yang bisa dilakukan
sebagaimana dikemukanan diatas, seseoarang tetap wajib untuk
mendirikan shalat, hanya saja cara nya sedikit berbeda.
3. Keringanan tidak bisa mengarang-ngarang sendiri.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Shalat adalah ibadah yang berhukum wajib. Wajib untuk dilaksanakan
oleh setiap kaum muslim, baik laki- laki mau pun perempuan, yang telah
terhukumi wajib untuk melaksanakan. Oleh sebab itu. Sholat harus
dilaksanakan, meskipun itu dalam kondisi tidak sehat atau sakit. Karna disaat
sakit dan tidak bisa berdiri atau tidak sanggup berdiri maka diperbolehkan
untuk sholat dengan duduk, begitu juga jika tidak mampu dengan duduk,
maka boleh dilaksanakan dengan berbaring dan jika bebaring tak mampu
untuk melaksanakan maka diperbolehkan dengan berbaring. karena agama
islam adalah agama yang mudah dan tidak pernah mempersulit pemeluknya.16
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas kelompok mencoba mengemukakan saran
sebagai pertimbangan untuk meningkatkan kualitas Asuhan Keperawatan.
Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Kewajiban
mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang sakit sesuai petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah
sholatnya adalah:
1. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya
menurut kemampuannya
2. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala
kondisinya selama akalnya masih baik.
3. Orang sakit yang berat mendatangi masjid untuk berjama’ah tetapi akan
memperlambat kesembuhannnya maka boleh tidak berjama’ah dimasjid.17

16 Tim Penulis, Kampus 1 IAIN Metro, Jl. Ki Hajar Dewantara, Iring Mulyo 15 A.
17 Tim Penulis, Kampus 1 IAIN Metro, Jl. Ki Hajar Dewantara, Iring Mulyo 15 A.

16
DAFTAR PUSTAKA

Enang Hidayat, M,Ag., Fiqih Ibadah Bagi Orang Yang Sakit dan Bepergian.
Qanuny, 2019.

Ahmad Sarwat, Lc,.M.A Sholat Orang Sakit.

Syekh Syamsidin abu Abdillah, Terjemah Fathul Mu’in ,Surabaya: Al-Hidayah,


1996.

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Ibadah, Jakarta: Amzah, 2009.

Amir Abyan, Zainal Muttaqin, Fiqih, Semarang : PT Karya Thoha Putra, 2004,
hal.113.

Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Gema Insani.

Imam Mujtaba, dkk, Fiqih, Jakarta, 2007, hal.62.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Shahih Fikih Sunnah.

Syaikh Kamal as-Sayid, Al-Mughni.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil Buhuts al-‘Ilmiyah


wa al-Ifta`, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah.

Syaikh Muhammad Nâshiruddin, al-Albâni Irwa’ al-Ghalîl.

https://almanhaj.or.id/23268-shalat-orang-yang-sakit-2.html.

Tim Penulis, Kampus 1 IAIN Metro, Jl. Ki Hajar Dewantara, Iring Mulyo 15 A.

17

Anda mungkin juga menyukai