Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KENDALA dan SIKAP GURU TERHADAP SUPERVISI PENDIDIKAN

Makalah Ini Disusun Bertujuan Untuk Memenuhi Tugas Supervisi Pendidikan

Disusun Oleh Kelompok 9 (Kelas A)

1. Muhammad Didik Alfian 2201010070

2. Najwa Nafiatul Ummah 2201010079

3. Nur Azizah 2201010085

4. Resa Yuliana Putri 2201010098

5. Ridho Aziz Alfarezi

Dosen Pengampu : Novita Herawati, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO

i
TAHUN AJARAN 2023/2024

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiart Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kendala dan

Sikap Guru Terhadap Supervisi Pendidikan”. Kami mengucapkan terima kasih

kepada Ibu Novita Herawati, M.Pd., selaku dosen yang mengampu Mata Kuliah

Supervisi Pendidikan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah

pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian

pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

kelompok pada mata Kuliah Supervisi Pendidikan serta bertujuan untuk menambah

pengetahuan dan wawasan. Kami juga menyadari, bahwa makalah yang kami tulis ini

masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah Akidah

Akhlak dan Pembelajarannya ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa

bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Metro, 26 April 2024

Penulis

ii
A. Kendala Guru Terhadap Supervisi Pendidikan

Keterlaksanaan pembinaan Profesional guru (supervisi pengajaran) di

Indonesia bukanlah tanpa kendala. Sejak awal kendala-kendala yang

teridentifikasi adalah; kurang memahami kemampuan supervisor, sehingga

pelaksanaannya tidak lebih suatu kegiatan administrasi rutin; kuranglancarnya

komunikasi dan transportasi akibat kondisi geografis, sistembirokrasi terbaginya

loyalitas supervisi sebagai dampak dualism pengenalan dan sikap guru serta

supervisor terhadap pembaharuan pendidikan.

Namun, dalam perjalanannya, pelaksanaan supervisi di lapangan tidaklah

semudah penjabaran teori yang ada, tetapi juga dipenuhi oleh berbagai kendala

yang sesungguhnya tidaklah mudah untuk diselesaikan dengan cara-cara

sederhana. Adapun kendala pelaksanaan supervisi yang ideal, maka kendala

tersebut dapati dikategorikan dalam dua aspek, yaitu aspek struktur dan aspek

kultur.

Pada aspek struktur birokrasi pendidikan di Indonesia, ditemukan kendala

antara lain, sebagai berikut: pertama, secara legal yang ada dalam nomenklatur

adalah jabatan pengawas bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma

berpikir tentang pendidikan di negeri ini yang masih dekat dengan era inspeksi,

pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Dalam arti, kegiatan yang dilakukan

oleh atasan orang yang berposisi di atas, pimpinan terhadap hal-hal yang ada di

bawahnya (guru atau staf sekolah lainnya).

1
Kedua, lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada

pengawasan administrasi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru. Asumsi

yang digunakan adalah apabila administrasinya baik, maka pengajaran di sekolah

tersebut juga baik. Inilah asumsi yang keliru. Sebab, proses pembelajaran tidak

bisa dikalkulasikan dengan angka atau data statistik semata, karena proses

pembelajaran juga menyangkut pada pengalihan nilai nilai moral, dan ini tidak

bisa dipandang apalagi disimpulkan dengan angka atau data.

Ketiga, rasio jumlah pengawas dengan sekolah dan guru yang harus

dibina/diawasi sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pula Jawa misalnya,

seorang pengawas harus menempuh puluhan bahkan ratusan kilometer untuk

mencapai sekolah yang diawasinya. Bahkan di Jawa sendiri yang banyak

melahirkan lulusan pendidikan, ternyata masih ditemui sekolah sekolah yang

ditangani dengan situasi dan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan yang ada di

pulau lainnya di Indonesia.

Keempat, persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta

evaluasi dan promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan

perhatian yang besar terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh

pedidikan, yaitu interaksi belajar- mengajar di kelas, Selama ini penunjukan dan

penetapan supervisor tidak dilandasi oleh latar belakang keilmuan dan juga

kompetensi dalam hal proses pembelajaran, bahkan masih banyak ditemukan

supervisor adalah dalah orang orang yang sekedar mencari peluang menambah

2
jam kerja karena menghindari masa pensiun bila tetap bertahan di jabatan

struktural1.

Sementara itu, pada aspek kultural dijumpai kendala antara lain: pertama,

para pengambil kebijakan tentang pendidikan di negeri ini yang belum berpikir

tentang pengembangan budaya mutu dalam pendidikan. Apabila dicermati, maka

mutu pendidikan yang diminta oleh customers sebenarnya justru terletak pada

kualitas interaksi belajar mengajar antara siswa dengan guru. Hal ini belum

menjadi komitmen para pengambil kebijakan, juga tentu saja para pelaksana di

lapangan.

Kedua, nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam

interaksi fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru.

Budaya ewah-pakewuh (merasa sungkan, tidak enak, takut tersinggung,

menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau "masuk terlalu jauh" pada

wilayah guru. Akhirnya guru merasa bahwa layanan supervisi menjadi tidak

bermakna baginya.

Ketiga, budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dalam

membangun hubungan profesional yang akrab dengan kepala sekolah dan

pengawas. Guru menganggap mereka sebagai "atasan", sebaliknya pengawas

menganggap kepala sekolah dan guru sebagai "bawahan". Inilah yang menjadikan

1
Ariesza Trijitmo Permata, “Problematika Pelaksanaan Supervisi dan Sikap Guru Terhadap
Supervisi Pembelajaran” 27, no. 1 (t.t.): hal. 66-67.

3
tidak terciptanya rapport atau kedekatan hubungan antara keduanya yang menjadi

syarat pelaksanaan supervisi2.

Bermuara pada keinginan dan cita-cita semua guru pada umumnya adalah

ingin memberikan yang terbaik pada seluruh siswa siswinya. Akan tetapi

terkadang guru tidak mampu melakukan perbaikan dengan menambah inovasi-

inovasinya dalam mengajar. Selalu tidak maksimal dan kurangnya rasa semangat

dan percaya diri untuk melakukan sebuah gebrakan perubahan. Ini semua

berkenaan dengan kurangnya skill yang dimiliki oleh para guru-guru yang ada.

Walaupun para guru telah melaksanakan tanggung jawabnya dalam

mengajar, menyelesaikan waktu mengajar tepat waktu, sebenarnya tidak cukup

sampai disitu. Akan tetapi ada masalah lain yang lebih krusial, yaitu diantaranya:

1. Ketidakmampuan dalam merumuskan tujuan

Tujuan umum dan tujuan khusus dalam pembelajaran

melibatkan sejumlah unsur yang terkait dengan terlaksananya proses

tersebut, proses pembelajaran berupa materi, metode dan teknik

mengajar, sumber belajar, evaluasi dalam belajar dan hasil yang

diperoleh, serta guru dan siswa sebagai pelaku pembelajaran. Adapun

kendala dalam pelaksanaan pembelajaran seperti adanya perubahan

kurikulum, inovasi ini yang sengaja dilakukan oleh atasan agar mutu

pedidikan lebih meningkat.

2
Sudadi, “Supervisi Pendidikan (konsep,teori, dan implementasi),” 1 ed. (Yogyakarta: CV.
Pustaka Ilmu, 2021), hal. 251-252.

4
2. Ketidakmampuan dalam memilih metode mengajar

Metode jelas sangat diperlukan dalam proses pembelajaran

guna mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien.

Berinteraksi dalam proses belajar antara guru dan siswa dalam

melakukan aktivitas merupakan bagian dari metode pembelajaran.

Guru perlu mengetahui metode pengajaran agar penyampaian materi

dapat tersampaikan kepada seluruh siswa. Metode pengajaran

dilakukan semenarik mungkin agar siswa mampu menerima

pengetahuan secara baik dan benar. Sebuah sarana interaksi antara

guru dan siswa dalam proses belajar mengajar selalu disebut dengan

metode mengajar.

3. Ketidakmungkinan dalam menggunakan sumber belajar

Guru merupakan sumber belajar yang biasa digunakan oleh

guru-guru pada umumnya, sementara sumber belajar itu bukan berasal

dari guru saja. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat

digunakan sebagai tempat di mana materi pembelajaran di dapat.

Artinya sumber belajar itu bisa dari mana saja dan apa saja yang

digunakan sepanjang dalam proses belajar mengajar berlangsung.

4. Ketidakmampuan dalam membuat dan menggunakan alat peraga

Alat peraga sering diartikan sebagai media pembelajaran. alat

peraga adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyatakan

pesan, merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan siswa sehingga

5
dapat mendorong proses belajarDengan kata lain ketika proses

pembelajaran desertakan dengan alat peraga hasilnya lebih efektif dan

menarik perhatian siswa karena materi lebih mudah dipahami secara

maksimal.

5. Ketidakmampuan dalam merencanakan program pengajaran

Planning atau perencanaan adalah pokok pikiran sebelum

pelaksanaan suatu tugas. Maka perencanaan pengajaran adalah

pemikiran tentang penerapan umum dalam mengajar dalam suatu

interaksi guru dan siswa. Setiap guru harus mampu membuat program

pengajaran. Kurikulum harus menjadi dasar pijakan dalam

mengembangkan program pengajaran dan disusun sesuai dengan

aturan dan format yang diputuskan dalam musyawarah guru-guru di

suatu sekolah tersebut sehingga kepala sekolah tidak kesulitan untuk

melakukan penilaian. Guru harus mampu merencanakan program

pengjaran seperti program tahunan, program semester, kalender

akademik, silabus, dan rpp3.

Ketidakmampuan yang telah disebutkan diatas merupakan

kendala supervise pendidikan yang bermuara pada seorang guru yang

kurang mampu serta memahami apa yang harus ia lakukan demi

tercapainya tujuan pembelajaran baik dari guru sendiri maupun dari

3
Sulistyorini dan Johan Andriesgo, “Supervisi Pendidikan,” 1 ed. (Riau: Dotplus, 2021), hal. 157-
160.

6
satuan pendidikan nya. Maka dari itu supervisor harus ekstra dalam

memberikan arahan kepada guru supaya hasil pembelajaran sesuai

dengan tujuan yang diinginkan.

Problematika dalam supervisi pendidikan tentunya tidak hanya terjadi pada


supervisi akademik saja, tetapi supervisi manajerial juga ditemukan berbagai
problematika dalam proses pelaksanaannya, sebagai berikut:

1. Ketidakcocokan antara gaya kepemimpinan dan gaya kerja bawahan. Salah


satu permasalahan dalam supervisi manajerial adalah ketidakcocokan antara
gaya kepemimpinan dan gaya kerja bawahan. Hal ini dapat menghambat
efektivitas supervisi dan mempengaruhi kinerja bawahan.

2. Kurangnya pengembangan keterampilan. Kurangnya pengembangan


keterampilan juga menjadi permasalahan dalam supervisi manajerial. Hal ini
dapat menghambat pengembangan keterampilan bawahan dan mempengaruhi
kinerja mereka.

3. Ketidakadilan dalam penilaian. Ketidakadilan dalam penilaian juga dapat


terjadi dalam supervisi manajerial. Hal ini dapat mempengaruhi motivasi dan
kinerja bawahan.

4. Kurangnya komunikasi efektif. Kurangnya komunikasi efektif antara manajer


dan bawahan juga dapat menjadi permasalahan dalam supervisi manajerial.
Hal ini dapat menghambat efektivitas supervisi dan mempengaruhi kinerja
bawahan.

5. Keterbatasan waktu. Kepala sekolah seringkali menghadapi keterbatasan


waktu dalam melaksanakan supervisi akademik. Hal ini dapat menghambat
efektivitas supervisi dan mempengaruhi kualitas pembelajaran.

7
6. Kurangnya guru senior/sejawat. Salah satu kendala dalam pelaksanaan
supervisi akademik adalah kurangnya guru senior atau staf untuk membantu
kepala sekolah menjalankannya. Guru senior dan staf dapat memberikan
masukan dan rekomendasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.4

B. Sikap Guru dalam Pelaksanaan Supervisi

Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan, terkait sosok yang sangat

berperan dalam melahirkan tunas bangsa yang memilki intelektual yang mumpuni.

Guru adalah sumber daya yang harus terus dilakukan pembinaan agar lebih

profesional di masa era globalisasi masa kini, sehingga ketika adanya supervisi yang

merupakan wadah dan alat untuk meningkatkan profesionalisme guru agar memiliki

etos kerja dan kinerja yang baik. Adanya supervisi dapat membantu guru dalam

mengemban tugasnya. Supervisi tujuannya melakukan pembinaan kepada guru-guru

di sekolah. Supervisi merupakan pelayanan kepada guru yang bertujuan

menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum (Ross: 1980).

Dalam hal ini tentunya dengan adanya supervisi, perbaikan disegala aspek menjadi

tujuan utama untuk meningkatkan mutu pendidikan disekolah itu sendiri.

Ada tiga aspek peran kerja supervisi itu meliputi pembinaan, motivasi dan

pelatihan. Namun ironisnya fakta di lapangan supervisi jarang diterapkan secara

optimal. Supervisi tak jarang dilakukan hasil inisiatif dari kepala sekolah. Guru-guru

tidak pernah meminta untuk dilakukan pembinaan, dikarenakan guru merasa sudah

tidak perlu dilakukan supervisi karena merasa telah berpengalaman. Komunikasi


4
Muhajirah B, Danial Rahman, dan Lisa Nursita, “PROBLEMATIKA DALAM
PELAKSANAAN SUPERVISI PENDIDIKAN,” NAZZAMA JOURNAL OF MANAGEMENT
EDUCATION 3, no. 1 (April 2023): 90–91.

8
tidak tercipta dengan baik antara kepala sekolah dan guru. Kondisi seperti inilah yang

menyebabkan supervisi tidak berjalan maksimal. Supervisi hanya sebatas persiapan

administrasi, contohnya pembuatan silabus, RPP, akan tetapi mengabaikan pembinaan

profesionalisme. Supervisi hanya dijadikan sebagai patokan pengawasan, bukan

pembinaan. Selain itu ada hubungan interaksi antara kepala sekolah dan para guru

yang masih kaku sehingga tidak saling terbuka. Inilah yang menjadi penyebab

supervisi belum bisa dilakukan secara optimal.

Melilhat fenomena terhadap peran supervisi belum bisa berjalan maksimal itu

mungkin diantara keduanya yaitu kepala sekolah dan para guru belum mengetahui

makna dan kegunaan dari supervisi tersebut. Implementasi supervisi yang belum

maksimal ini pasti berpengaruh pada kinerja para guru. Sedangkan arti kinerja itu

adalah hasil kerja seseorang sesuai tanggung jawab dan hasil yang diharapkan.

Kinerja itu sendiri merupakan wujud dari keberhasilan seseorang dalam

melaksanakan pekerjaan (Robbins, 2007: 231). Dengan kata lain kinerja seorang guru

selain bermuara pada keahlian guru itu sendiri, akan tetapi juga perlu peran

supervisor untuk melakukan pembimbingan guna melakukan perubahan kepada guru

agar bekerja lebih baik lagi.

Definisi lain terkait kinerja adalah sebagai pernyataan sejauh mana seseorang

telah memainkan perannya dalam melaksanakan strategi organisasi baik dalam

mencapai sasaran, sasaran khusus yang berhubungan dengan peranan seseorang atau

dengan memperhatikan kompetensi, kompetensi yang dinyatakan relevan bagi

organisasi apakah dalam suatu peranan tertentu atau secara umum (Moitorani, 1995:

9
131). Dengan kata lain seseorang akan dinilai baik kinerjanya ketika dia bisa

menunjukkan kemampuannya dalam menjalankn tugas yang diemban. Halpin dan

Croft adalah pionir konseptualisasi dan pengukuran iklim organisasi di sekolah dasar

(Sutaryadi, 1990: 66), pendekatan yang digunakannya adalah mengembangkan suatu

pertanyaan yang membuat aspek-aspek penting hubungan guru-guru dan guru-kepala

sekolah. Aspek-aspek tersebut dikelompokkan menjadi:5

a. Karakteristik perilaku guru :

1. Memiliki kemampuan menciptakan iklim belajar yang kondusif

2. Kemampuan mengembangkan strategi dan manajemen pembelajaran

3. Memiliki kemampuan memberikan umpan balik (feed back) dan pengamatan


(reinforcement)
4. Memiliki kemampuan untuk peningkatan diri.6

5. Membimbing peserta didik, Guru memiliki peran membimbing, menjaga, dan


mengarahkan peserta didik supaya dapat tumbuh dan berkembang sesuai
bakat, minat, serta sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik
tersebut.

6. Taat pada pemimpin Seorang guru harus taat kepada pemimpinnya. Tingkatan
kepemimpinan dimulai dari kepengurusan cabang daerah hingga pusat Hal
ini juga berlaku sanaa untuk dinas pendidikan.

5
Dr. Sulistyorini Dr. Balthasar Watunglawar, S.Pd. M.Ag. dkk., “SUPERVISI PENDIDIKAN,”
(Penerbit: DOTPLUS Publisher, Jln. Penepak RT 12 RW 06, Bengkalis-Riau, 28771, t.t.).
6
Fathul Fauzi, “PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI SUPERVISI KLINIS,”
Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam; Volume 7, No. 02, Bulan September, Tahun 2020 (t.t.).

10
7. Memiliki komitmen terhadap profesonalitas Pelayanan dan pengabdian yang
diberikan berlandaskan pada kemampuan profesional. serta falsafah hidup
yang mantap.

8. Menciptakan suasana baik di tempat kerja Suasana baik yang tercinta di


tempat kerja tentu akan meningkatkan produktivizas guru.7

b. Karakteristik perilaku kepala sekolah

1. memahami sepenuhnya berbagai faktor yang merupakan kekuatan bagi


organisasi,

2. mengenali secara tepat berbagai bentuk kelemahan yang terdapat dalam


organisasi,

3. memanfaatkan berbagai peluang yang mungkin timbul,

4. menghilangkan berbagai bentuk ancaman yang dapat menjadi penghalang


bagi keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya,

5. memiliki sifat yang proaktif dan antisipatif terhadap perubahan yang pasti
selalu terjadi, baik karena faktor – faktor intern maupun karena tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

6. mendorong para bawahan sehingga bekerja dengan tingkat efesiensi,


efektifitas dan produktifitas yang mendorong keberhasilan usaha,

7. menciptakan cara dan iklim kerja yang mendukung wawasan


kebersamaandalam usaha pencapaian tujuan.8

7
Munawir Amilya Nurul Erindha dan Della Puspita Sari, “Memahami Karakteristik Guru
Profesional,” Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, Volume 8, Nomor 1, Februari 2023 (t.t.).
8
Nur Agus Salim, “PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN
DISIPLIN KERJA GURU,” Jurnal Pendas Mahakam.Vol. 1 (2). 215-226. Desember 2016 (t.t.).

11
Sikap guru terhadap supervisi pendidikan sangat penting dalam menentukan

keberhasilan proses supervisi itu sendiri. Guru yang memiliki sikap terbuka akan

menerima masukan, saran, dan kritik dari supervisor dengan lapang dada, serta

menyadari bahwa supervisi bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan

profesionalisme guru. Mereka juga bersikap kooperatif dengan bersedia bekerjasama,

berbagi informasi, mengikuti arahan, dan melaksanakan rekomendasi dari supervisor.

Sikap positif dan antusias juga diperlukan, di mana guru melihat supervisi sebagai

peluang untuk berkembang, bukan ancaman, serta percaya bahwa supervisi dapat

membantu mereka menjadi guru yang lebih baik.9

Selain itu, guru yang profesional dan bertanggung jawab akan menghargai

proses supervisi sebagai bagian dari pengembangan profesional mereka. Mereka

memahami bahwa supervisi bukan hanya evaluasi, tetapi juga upaya untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran. Sikap ini mencerminkan komitmen guru

terhadap profesinya dan keinginan untuk terus belajar serta memperbaiki praktik

mengajar mereka. Guru yang proaktif dan reflektif pun sangat dibutuhkan, yaitu tidak

hanya menunggu saran dari supervisor, tetapi juga mengambil inisiatif untuk

memperbaiki praktik mengajar, mencari umpan balik, mengidentifikasi area yang

perlu ditingkatkan, dan mengambil tindakan untuk meningkatkan keterampilan

mengajar mereka.10
9
Sahertian, P. A, “Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan

Sumber Daya Manusia,” t.t., Jakarta: Rineka Cipta. (Halaman 18-20).

10
Dirjen PMPTK., “Supervisi Akademik dalam Peningkatan Profesionalisme Guru,” Jakarta: Depdiknas.

12
Sikap guru terhadap supervisi pendidikan memiliki peran penting dalam

menentukan keberhasilan proses supervisi itu sendiri. Berikut adalah penjelasan rinci

mengenai sikap guru terhadap supervisi pendidikan, beserta footnote dan halaman

dari buku-buku Indonesia:

1. Sikap Terbuka dan Kooperatif

Guru yang memiliki sikap terbuka dan kooperatif akan menerima

masukan, saran, dan kritik dari supervisor dengan lapang dada. Mereka

menyadari bahwa supervisi bertujuan untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran dan profesionalisme guru. Sikap terbuka dan kooperatif ini

mencerminkan keinginan untuk terus belajar dan berkembang, serta bersedia

bekerjasama dengan supervisor dalam melaksanakan rekomendasi yang

diberikan.11

2. Sikap Positif dan Antusias

Guru yang memiliki sikap positif dan antusias akan melihat supervisi

sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Mereka

(Halaman 33-34).

11
Sahertian, P. A., “Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan
Sumber Daya Manusia,” t.t., Jakarta: Rineka Cipta. (Halaman 18-20).

13
percaya bahwa supervisi dapat membantu mereka menjadi guru yang lebih

baik dan meningkatkan kualitas pembelajaran bagi siswa. Sikap positif dan

antusias ini akan mendorong guru untuk terlibat secara aktif dalam proses

supervisi dan mengimplementasikan saran-saran yang diberikan.12

3. Sikap Profesional dan Bertanggung Jawab

Guru yang profesional dan bertanggung jawab menghargai proses

supervisi sebagai bagian dari pengembangan profesional mereka. Mereka

memahami bahwa supervisi bukan sekedar evaluasi, tetapi juga upaya untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran. Sikap profesional dan bertanggung

jawab ini mencerminkan komitmen guru terhadap profesinya dan kesediaan

untuk terus belajar serta memperbaiki praktik mengajar mereka.13

4. Sikap Proaktif dan Reflektif

Guru yang proaktif dan reflektif tidak hanya menunggu supervisor

untuk memberikan saran, tetapi juga mengambil inisiatif untuk memperbaiki

praktik pengajaran mereka. Mereka mencari umpan balik, mengidentifikasi

12
Mulyasa, E, “Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah,” Jakarta: Bumi Aksara., (Halaman
249-250).

13
Arikunto, S., “Dasar-Dasar Supervisi,” Jakarta: Rineka Cipta., (Halaman 41-42).

14
area yang perlu ditingkatkan, dan mengambil tindakan untuk meningkatkan

keterampilan mengajar mereka. Sikap proaktif dan reflektif ini mendorong

guru untuk terus melakukan evaluasi diri dan perbaikan secara

berkelanjutan.14

Sikap positif, terbuka, kooperatif, profesional, bertanggung jawab, proaktif, dan

reflektif dari guru akan memfasilitasi proses supervisi dan mendorong peningkatan

kualitas pendidikan secara berkelanjutan.

KESIMPULAN

Supervisi pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai kendala baik dari segi

struktur maupun kultur. Secara struktural, kendala meliputi paradigma pengawasan

yang masih mengarah pada inspeksi administratif, kurangnya jumlah dan kompetensi
14
Dirjen PMPTK, “Supervisi Akademik dalam Peningkatan Profesionalisme Guru,” Jakarta:
Depdiknas., (Halaman 33-34).

15
pengawas, serta kurangnya perhatian terhadap implementasi supervisi pada ruh

pendidikan, yaitu interaksi belajar-mengajar di kelas. Sementara secara kultural,

kendala meliputi kurangnya komitmen pada pengembangan budaya mutu dalam

pendidikan, budaya interaksi sosial yang kurang positif, dan budaya paternalistik

yang menghambat hubungan profesional antara pengawas, kepala sekolah, dan guru.

Di sisi lain, sikap guru dalam pelaksanaan supervisi juga sangat penting. Guru

perlu memiliki sikap terbuka, positif, profesional, bertanggung jawab, proaktif, dan

reflektif terhadap supervisi. Sikap-sikap ini memfasilitasi proses supervisi dan

mendorong peningkatan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.

Dengan demikian, untuk meningkatkan efektivitas supervisi pendidikan, perlu

dilakukan upaya pembenahan baik dari segi struktur maupun kultur. Hal ini meliputi

perubahan paradigma pengawasan, peningkatan jumlah dan kompetensi pengawas,

penguatan budaya mutu dalam pendidikan, serta pembangunan hubungan profesional

yang baik antara pengawas, kepala sekolah, dan guru.

DAFTAR PUSTAKA

Amilya Nurul Erindha, Munawir, dan Della Puspita Sari. “Memahami Karakteristik
Guru Profesional,” Jurnal Ilmiah Profesi Pendidikan, Volume 8, Nomor 1,
Februari 2023 (t.t.).
Ariesza Trijitmo Permata. “Problematika Pelaksanaan Supervisi dan Sikap Guru
Terhadap Supervisi Pembelajaran” 27, no. 1 (t.t.).

16
Arikunto, S. “Dasar-Dasar Supervisi,” Jakarta: Rineka Cipta., (Halaman 41-42).
Dirjen PMPTK. “Supervisi Akademik dalam Peningkatan Profesionalisme Guru,”
Jakarta: Depdiknas. (Halaman 33-34).
Dirjen PMPTK. “Supervisi Akademik dalam Peningkatan Profesionalisme Guru,”
Jakarta: Depdiknas., (Halaman 33-34).
Dr. Balthasar Watunglawar, S.Pd., Dr. Sulistyorini, M.Ag., Warda Indadihayati ohan
Andriesgo, M.Pd.I., M.Pd., Mavianti Dr. A. Suradi, M.Ag. S.Pd.I., M.A., Sri
Wahyuningsih Aisyah Nuramini, M.Pd., M.Ε., dan Roso Sugiyanto Edi
Purnomo, S.Ag., M.A., M.Pd.,. “SUPERVISI PENDIDIKAN,.” Penerbit:
DOTPLUS Publisher, Jln. Penepak RT 12 RW 06, Bengkalis-Riau, 28771, t.t.
Fathul Fauzi. “PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI
SUPERVISI KLINIS,” Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam; Volume 7,
No. 02, Bulan September, Tahun 2020 (t.t.).
Muhajirah B, Danial Rahman, dan Lisa Nursita. “PROBLEMATIKA DALAM
PELAKSANAAN SUPERVISI PENDIDIKAN.” NAZZAMA JOURNAL OF
MANAGEMENT EDUCATION 3, no. 1 (April 2023).
Mulyasa, E. “Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah,” Jakarta: Bumi
Aksara., (Halaman 249-250).
Nur Agus Salim. “PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM
MENINGKATKAN DISIPLIN KERJA GURU,” Jurnal Pendas
Mahakam.Vol. 1 (2). 215-226. Desember 2016 (t.t.).
Sahertian, P. A. “Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia,” t.t., Jakarta: Rineka Cipta. (Halaman
18-20).
Sahertian, P. A. “Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia,” t.t., Jakarta: Rineka Cipta. (Halaman
18-20).
Sudadi. “Supervisi Pendidikan (konsep,teori, dan implementasi),” 1 ed. Yogyakarta:
CV. Pustaka Ilmu, 2021.
Sulistyorini, dan Johan Andriesgo. “Supervisi Pendidikan,” 1 ed. Riau: Dotplus,
2021.

17

Anda mungkin juga menyukai