Anda di halaman 1dari 12

PSIKOLOGI AGAMA

Kelompok 12
Kelas A

Aggota Kelompok :
1. Ahmad faktur Rohman (2201010004)
2. Rizka sarofah (2201011073)

Problema Dan Jiwa Keagamaan

A. Problema Dan Jiwa Keagamaan

Problema merupakan suatu masalah atau sesuatu yang keluar dari yang
seharusrnya terjadi sesuai kenyataan. Jiwa keagamaan merupakan kemauan atau
keinginan keagamaan. Jadi dapat ditarik kesimpulan, problema dan jiwa
keagamaan merupakan persoalan didalam beragama atau sesuatau penyimpangan
yang tejadi dalam sikap keagamaan.1

Manusia tidak dapat dipisahkan dari agama secara psikologis, hal tersebut
terbukti dari tingkah laku serta sikap keagamaan dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Pengaruh psikologis bagi kehidupan pribadi dapat menjadi penyebab
terbentuknya pola tingkah laku serta keyakinan sebagai pewujudan dari dari hal
tersebut. Dalam kehidupan sosial, tingkah laku dan keyakinan dapat memacu
manusia untuk membentuk norma serta pranata agama untuk pedoman sekaligus
sarana kehidupan keagamaan di kehidupan bermasyarakat.

Penyimpangan sikap beragama biasanya timbul jika sikap seseorang atau


kelompok terhadap keyakinan dan kepercayaan kepada agama yang dianutnya
terjadi perubahan. Sebenarnya sikap penyimpangan tersebut tidak selamanya
berdampak negative, namun dapat juga berdampak positif. Contoh dari dampak

1
Siti Nahriyah, “Psikologi Agama ‘Problema dan Keagamaan,’” 2016, 3.
positif yaitu seperti kisah Shidarta Gautama yang meninggalkan agama Hindu dan
dialah yang menjadi pendahulu dari terbentuknya agama Budha.

Namun penyimpangan agama akan lebih banyak mengarah kepada dampak


negative seperti sikap kurabg toleransi, fanatisme, ataupun banya sikap-sikap
menyimpang lainnya. Sebagai salah satu contohnya yaitu fanatik yang dapat
mengakibatkan ribadi atau kelompok menganggap jika agama yang dianutnyalah
yang paling benar.

Sikap agama yang menyimpang akan berpengaruh pada semua hal yang
berhubungan dengan keagamaan tersebut. Banyak terjadi dimasyarakat
munculnya aliran-aliran agama yang menjadi beda dengan tradisi keagamaan yang
ada. Diantara masyarakat tersebur bila aliran tersebut bermanfaan baginya maka ia
akan menerima, namun jika tidak ada manfaat baginya ia akan menolak. Dari
sudut tradisi keagamaan yang berlaku, maka sikap masyarakat ini digolongkan
pada penyimpangan terhadap keagamaan.2

B. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku

Untuk memulai pembahasan mengenai sikap keagamaan, mari terlebih dahulu


kita pahami apa itu sikap. Secara umum, sikap dilihat sebagai respons terhadap
objek tertentu, didasarkan pada pemahaman, penalaran, dan penghayatan individu.
Sikap dapat terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, bukanlah sifat
bawaan, dan tergantung pada objek tertentu. Prof. Dr. Ma`rat menyatakan bahwa
sikap adalah hasil belajar yang diperoleh dari interaksi dan pengalaman
berkelanjutan dengan lingkungan, bergantung pada situasi dan waktu. Oleh karena
itu, sikap dapat sesuai atau tidak sesuai dengan saat dan situasi tertentu, bersifat
relatif dalam sejarah hidup individu.

Pemaparan di atas mengindikasikan bahwa sikap merupakan cara bertindak


positif atau negatif terhadap suatu objek dengan komponen yang melibatkan

2
Nairazi AZ, SHI, MA, “Resensi Judul Buku ‘Psikologo Agama’ Karangan Prof. DR. H. Jalaluddin,”
Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam III, no. 01 (2018): 62.
kognisi, afeksi, serta konotasi. Dapat disimpulkan, sikap adalah hasil keterkaitan
kompleks dari unsur-unsur tersebut.

Berdasarkan paparan di atas, kita dapat melihat bagaimana sikap berhubungan


dengan pola tingkah laku seseorang. Terdapat tiga unsur psikologis, yakni kognisi,
afeksi, dan konotasi, untuk memastikan sikap kepada suatu objek, baik itu dalam
bentuk aktual maupun absurd. Kognisi dengan pemikiran terhadap objek, afeksi
terkait dengan perasaan terhadap objek, dan konotasi menyangkut kesanggupan
untuk beraksi terhadap objek. Kesimpulannya, sikap yang ditampilkan oleh
seseorang merupakan perolehan dari tahapan berpikir dan merasa sebagai respons
kepasa suatu objek.3

Sikap terbentuk lewat pengalaman, hasil pembelajaran, dan hubungan satu


sama lainnya. Hubungan antara sikap dan tingkah laku melibatkan motif sebagai
faktor kunci. Motif ini mendasari sikap dan mendorong perilaku positif atau
negatif yang dapat diamati dalam tingkah laku seseorang atau kelompok. Pada
tahapan tertentu, motif membentuk predisposisi pada diri seseorang. Banyak ahli
pendidikan menekankan tugas penting orang tua untuk membentuk dasar jiwa
keagamaan. Pengenalan ajaran keagamaan sejak usia dini dianggap memengaruhi
pengalaman dan kesadaran agama pada anak.

C. Sikap Agama Yang Menyimpang

Menurut pandangan psikologi agama, mencakup norna-norma ajaran suatu


agama yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi menganutnya guna bertingkah
laku dan bersikap. Pencapai nilai-nilai luhur yang merujuk pada terbentuknya
hubungan dan kepribadian sosial dalam usaha mematuhi ketaatan merupakan
acuan dari norma-norma tersebut. Sikap keagamaan merupakan kecenderungan
untuk mematuhi semua aturan yang dimaksud.

Sikap agama yang menyimpang bisa terjadi karena sikap sosoerang atau
kelompok mengalami perubahan kepada kepercayaan atau keyakinan yang
dianutnya. Penyimpangan tersebut berhubungan dengan terjadinya perubahan

3
Jalaliddin, Psikologi Agama (PT. Raja Grafindo Persada, 2012).
sikap tidak selamanya selalu negatif namun juga positif. Sikap keagamaan yang
melenceng dari tradisi dan cenderung keliru dapat menjadi pemicu terbentuknya
pemikiran dan gerakan pembaharuan. Sikap keagamaan yang bersifat menentang
termasuk dalam kategori penyimpangan agama.

Masalah yang terkait dengan keagamaan umumnya berkaitan dengan


keyakinan dan kepercayaan. Keyakinan merupakan suatu tingkat pikir di mana
manusia menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai
pelengkap dalam proses berpikir, mencapai kebenaran, serta menggambarkan
realitas di luar jangkauan pemikiran manusia. Sementara itu, kepercayaan
mencerminkan tingkat pemikiran manusia dalam mengalami proses berpikir yang
memungkinkan pembebasan dari unsur-unsur di luar pemikirannya. Kepercayaan
dan keyakinan bersifat abstrak, sehingga sulit untuk dibuktikan secara empiris
terkait kebenarannya.4

Penyimpangan sikap beragama bisa terjadi apabila penyimpangan yang ada


pada kedua tangkat pikir, sehingga bisa memberi kepercayaan dan keyakinan baru
pada seseorang atau kelompok. Jika tingkat pikir tersebut sudah mencapai tingkat
kepercayaan dan keyakinan yang tidak searah dengan ajara agama makan tentu
akan terjadi penyimpangan sikap keagamaan. Kecenderungan pola motif yang
bersifat emosional yang lebih kuat daripada rasional menjadi dasaran dari
penyimpangan sikap keagamaan.

Sebagai contoh seseorang yang melakukan kasus korupsi, orang tersebut datap
dikategorikan sebagai orang yang tidak memiliki moral. Korupsi adalah tidakan
yang sangat buruk, busuk, bejat, ketudak jujuran, serta menimpang dari kesucian.
Korupsi adalah tindakan yang menguntungkan diri pribadi namun merugikan
orang lain.

Pada pendekatn psikologis, seseorang yang melakukan tindak pidana koropsi


merupakan sosokyang tidak memiliki nurani serta kepekaan sosial, seperangkat

4
Anshori, H. M. Hafi, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1991).
inderanya sudah kehilangan fungsi serta tertutupnya nirani. Selain itu, korupsi
banyak berdampak buruk, salah satu dampaknya yaitu:

1. Memperbesar suatu masalah.


2. Hilangnya martabat pemerintah yang dapat membahayakan kestabilan
politik
3. hilanhnya kedisisplinan sosial.
Kasus korupsi seringkali dikaitkan dengan sikap keagamaan yang
menyimpang. Menurut perspektif psikologis, pelaku korupsi sering memiliki
kepribadian ganda. Di satu sisi, mereka merasa memiliki moral dan menghargai
nilai-nilai agama yang dianutnya. Namun, di sisi lain, mereka membangun diri
sebagai individu yang lepas dari keterikatan nilai-nilai luhur tersebut, sehingga
merasa bahwa tindak pidana korupsi adalah hal yang dapat diterima dan wajar
dilakukan.
1. Aliran Klenik

Dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan


terhadap hal-hal yang bersifat rahasia dan tidak masuk akal. Permasalahan ini
terhubung dengan aspek gaib yang umumnya diterima dalam bentuk keyakinan
yang lebih bersifat emosional daripada rasional bagi para penganut agama.
Tidak jarang, hal tersebut dimanipulasi demi kepentingan pihak tertentu.

2. Konflik Agama

Agama memiliki potensi ganda sebagai perekat sosial dan sekaligus dapat
menjadi sumber perpecahan. Keyakinan agama, sebagai bentuk kehidupan batin
yang berkaitan dengan nilai, menunjukkan realitas abstrak yang menjadi
pendorong dan prinsip pedoman hidup, dengan nilai tertinggi pada ajaran agama
adalah Tuhan.

Konflik agama seringkali terkait dengan sikap keagamaan yang


menyimpang. Ini bisa disebabkan oleh pemahaman dangkal tentang ajaran
agama, di mana tidak semua penganut agama dapat memahaminya sepenuhnya.
Masyarakat yang lebih cenderung mengutamakan emosi dan nalar dapat
membuka peluang bagi pengaruh negatif yang mengatasnamakan agama dari
luar.

Sikap fanatisme, yang merupakan ketaatan berlebihan dalam beragama,


dapat menyebabkan kritik dan penyelewengan terhadap penganut agama lain.
Doktrin agama yang kaku dapat menyebabkan pemahaman yang sempit,
mengurangi sikap toleransi, dan mengganggu hubungan antarumat beragama.

Simbol-simbol keagamaan dianggap suci dan harus dipertahankan, namun


penyalahgunaan simbol-simbol tersebut dapat menimbulkan anggapan
pelecehan terhadap agama, memicu kerawanan dan potensi konflik.

Tokoh agama memiliki peran sentral dalam masyarakat, dihormati, dan


perkataan serta peraturan mereka dianggap sebagai fatwa yang harus diikuti.
Sejarah agama seringkali menyimpan permasalahan tertentu yang bisa memicu
konflik dan semangat balas dendam antar penganut agama yang berbeda di
masa depan.

3. Terorisme dan Agama

Terorisme sebenarnya tidak memiliki hubungan intrinsik dengan agama,


namun belakangan ini muncul banyak pandangan yang mencoba mengaitkan
terorisme dengan keagamaan. Banyak pendapat mengenai terorisme yang sulit
untuk dihindari. Terorisme seringkali dihubungkan dengan fundamentalisme,
khususnya dalam konteks Islam. Negara-negara Barat dan Muslim menganggap
fundamentalisme Islam sebagai ancaman. Dalam konteks agama,
fundamentalisme merujuk pada usaha mempertahankan keyakinan dasar suatu
agama. Selain fundamentalisme, terdapat juga radikalisme, yaitu pandangan
yang menginginkan perubahan sosial atau politik secara tegas dan drastis.
Radikalisme juga dianggap sebagai gerakan yang ekstrem, sering dikaitkan
dengan sosok yang mendasari tindakan terorisme.

4. Mitos-Mitos Keagamaan
Ajaran agama mengandung nilai-nilai luhur, tetapi nilai-nilai tersebut
terkadang disalahgunakan oleh kelompok tertentu dan disampaikan dalam
bentuk mitos. Pemikiran mitologis cenderung menolak sejarah dan peradaban
modern. Ada dua bentuk pemikiran mitologis paradoksal: pertama, radikalisme-
escapist, yang berusaha melepaskan diri dari kehidupan dunia dan hidup secara
pertapa untuk membebaskan diri dari kenikmatan dunia. Kedua, radikalisme-
teologis, yang membangun komunitas eksklusif sehingga tokoh seperti Saburo
Sakai tidak diakui sebagai pahlawan.

Pemikiran mitologis agama dapat menjadi dasar bagi gerakan yang


menggunakan teror sebagai alat untuk mencapai tujuannya. Upaya mencegah
munculnya gerakan ini dapat diantisipasi melalui pendidikan. Pendidikan yang
memadai dapat melindungi individu dari pengaruh negatif yang berasal dari
mitos keagamaan.

5. Fatalisme.

Nilai-nilai ajaran yang sering dimanipulasi dapat menjadi penyebab


lahirnya masyarakat yang fatalistik. Mereka cenderung menerima keadaan
sebagai nasib yang sudah ditentukan dari atas. Ketentuan dan takdir Tuhan
dianggap sebagai hal yang tidak boleh dipertanyakan. Sikap pasrah ini, jika
berujung pada kesalahan fatalisme, dapat dianggap sebagai sikap keagamaan
yang menyimpang. Sikap ini mengabaikan fungsi dan peran agama secara
normal. Seharusnya, agama menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi, di
mana akal manusia dapat membantu membangun peradaban melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.5

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan Yang


Menyimpang

Pada umumnya, perubahan sikap keagamaan menandakan permulaan dari


munculnya siakap agama yang menyimpang dalam individu, kelompok, atau
5
Nairazi AZ, SHI, MA, “Resensi Judul Buku ‘Psikologo Agama’ Karangan Prof. DR. H. Jalaluddin,”
71.
masyarakat. Perubahan sikap ini berasal dari pembelajaran atau kondisi
lingkungan. Meskipun sulit, sikap bisa diubah. Beberapa faktor penyebab
perubahan sikap melibatkan berbagai hal, seperti:

1. Terdapat kemampuan lingkungan untuk merekayasa onjek, hingga bisa


menarik perhatian, memberi pengertian serta akhirnya bisa diterima dan
dijadikan untuk terbentuknya sikap baru.
2. Perubahan agama dapat terjadi ketika seseorang menyadari bahwa tindakan
atau keyakinan keagamaan yang mereka anut sebelumnya dianggap salah
atau keliru. Dalam situasi ini, individu tersebut mungkin memilih untuk
konsisten dengan pemahaman baru mereka, mengakibatkan perubahan arah
dari sikap keagamaan sebelumnya yang dianggap keliru. Proses ini
seringkali melibatkan refleksi, penyesuaian nilai, dan penerimaan paradigma
baru dalam keyakinan agamanya.
3. Penyimpangan dalam sikap keagamaan bisa dipicu oleh pengaruh status
sosial, di mana individu yang mengubah sikapnya mungkin cenderung
menyimpang dari nilai dan norma sebelumnya. Motivasinya mungkin terkait
dengan harapan untuk meningkatkan status sosialnya melalui perubahan
keyakinan agamanya.
4. Penyimpangan dalam sikap keagamaan bisa terjadi jika seseorang, terutama
yang memiliki pengaruh besar, menunjukkan sikap yang dianggap
menyimpang. Jika ternyata sikap tersebut dianggap sangat positif untuk
kemaslahatan masyarakat, maka mungkin terjadi integritas sosial di mana
orang-orang akan cenderung mengadopsi sikap yang sama, meskipun
menyadari bahwa itu merupakan perubahan dari sikap sebelumnya.
Sikap memiliki peran dalam memotivasi tingkah laku, baik secara terbuka
maupun tersembunyi. Sikap memengaruhi respons seseorang terhadap suatu
objek, baik secara nyata maupun terselubung. Dikarenakan sikap dipengaruhi oleh
pembelajaran dan lingkungan, perubahan sikap mungkin terjadi meskipun sulit
dilakukan. Hubungan erat antara perubahan sikap dan keagamaan yang
menyimpang dapat dijelaskan melalui berbagai teori psikologis.
a. Teori stimulus dan respons menganggap manusia merupakan organisme
yang menghubungkan perubahan sikap dengan proses belajar. Mengikuti
teori ini, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perubahan sikap, yakni
perhatian. Saat seseorang atau kelompok memberikan perhatian kepada
suatu objek, memahaminya, serta menerima objek tersebut, maka dapat
terjadi perubahan sikap.
b. Teori pertimbangan sosial menyatakan bahwa perubahan sikap dipengaruhi
faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup reaksi sosial, posisi
sosial, serta proses belajar sosial. Sementara faktor eksternal melibatkan
komunikasi, penguatan, dan harapan yang diinginkan. mengikuti teori ini,
keputusan sosial yang muncul dari interaksi antara faktor internal dan
eksternal menjadi penentu perubahan sikap.
c. Teori konsistensi menyatakan jika perubahan sikap banyak dipengaruhi oleh
faktor internal yang bertujuan guna mencapai keseimbangan antara sikap
dan tindakan.
Secara umum, faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya sikap keagamaan
yang menyimpang terdapat dua kategori: faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal termasuk:
1. Kepribadian, menurut psikologi tipe kepribadian tertentu dapat
mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang.
2. Faktor bawaan, terdapat pengarahan bahwa urutan kelahiran dapat
memengaruhi penyimpangan agama. Anak pertama dan anak terakhir
umumnya tak menghadapi tekanan batin, sementara anak-anak yang lahir
pada urutan kedua seringkali menghadapi stres emosional. Keadaan ini juga
berperan dalam terjadinya penyimpangan agama.

Faktor ekstern, di antaranya:

1. Faktor keluarga, seperti konflik, ketidakharmonisan, perbedaan agama,


kesepian, kurang mendapat penerimaan dari kerabat, dan lain sebagainya.
2. Faktor lingkungan tempat tinggal, ketika seseorang merasa terasing atau
terbuang dari lingkungannya, mereka dapat merasa hidup dalam
kesendirian.
3. Perubahan status, terutama jika terjadi dengan tiba-tiba, bisa berpengaruh
besar pada terbentuknya penyimpangan agama. Contohnya, seperti
perceraian, dikeluarkan dari sekolah atau kelompok, pekerjaan yang
berubah, dan sebagainya.
4. Kemiskinan, orang-orang yang kurang berpengetahuan dan kekurangan
ekonomi condong mencari penghiburan dalam agama yang menawarkan
janji kehidupan dunia dan akhirat yang lebih baik secara cepat.6

6
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip
Psikologi. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 286-289..
Kesimpulan
Bahwa sikap keagamaan dan perubahan sikap tersebut sangat kompleks dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Problema dan jiwa keagamaan menjadi elemen
penting dalam membentuk sikap seseorang terhadap keyakinan dan kepercayaan
agamanya. Penyimpangan sikap keagamaan, baik yang bersifat positif maupun
negatif, dapat terjadi akibat perubahan keyakinan, pengaruh lingkungan, dan motif
emosional. Sikap keagamaan tercermin dalam pola tingkah laku seseorang, yang
dipengaruhi oleh kognisi, afeksi, dan konotasi.

Kehidupan sosial juga turut membentuk norma dan pranata agama sebagai
pedoman dalam masyarakat. Namun, terdapat kasus penyimpangan seperti
fanatisme atau kurang toleran, yang dapat memicu konflik dalam masyarakat.
Sikap agama yang menyimpang dapat muncul akibat perubahan keyakinan dan
pandangan terhadap ajaran agama. Seseorang atau kelompok bisa mengadopsi
sikap yang menyimpang sebagai bentuk pebaharuan atau karena motif emosional
yang kuat. Contoh konkret dari penyimpangan agama adalah tindak pidana
korupsi, yang dapat dikaitkan dengan kehilangan nurani dan kepekaan sosial.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada sikap keagamaan yang menyimpang


melibatkan aspek internal seperti kepribadian dan pembawaan, serta aspek
eksternal seperti lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, perubahan
status, dan kemiskinan. Perubahan sikap keagamaan dapat dipahami melalui teori-
teori psikologis seperti teori stimulus dan respons, teori pertimbangan sosial, dan
teori konsistensi. Keseluruhan, pemahaman mengenai sikap keagamaan dan
penyimpangan sikap tersebut memberikan wawasan tentang kompleksitas
interaksi individu dengan lingkungannya serta faktor-faktor yang membentuk pola
pikir dan tingkah laku keagamaan.
Daftar Pustaka

Anshori, H. M. Hafi, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama Surabaya: Usaha Nasional,


1991.

Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan


Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Jalaliddin, Psikologi Agama (PT. Raja Grafindo Persada, 2012).

Nairazi AZ, SHI, MA, “Resensi Judul Buku ‘Psikologo Agama’ Karangan Prof.
DR. H. Jalaluddin,”

Siti Nahriyah, “Psikologi Agama ‘Problema dan Keagamaan,’” 2016.

Anda mungkin juga menyukai