Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA


KEAGAMAAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Psikologi agama

Dosen Pengampu : Drs.ujon Sujono,M.Pd,.MH

Di susun oleh:

Rosidah wulandarwati

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM K.H ABDUL KABIER (STAIKHA)

TAHUN PELAJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya MAKALAH
PSIKOLOGI AGAMA tentang “ Gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan"Dengan adanya
MAKALAH ini kita dapat mengetahui bagaimana pembahasannya.

Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Psikologi Agama . Dalam penulisan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun
materi, mengingat kemampuan yang dimiliki kami. Serta kami mengucapkan banyak terima
kasih untuk pihak-pihak yang telah membantu kami. Semoga Allah memberikan imbalan yang
setimpal kepada mereka yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Serang, Desember 2022

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama menyangkut kehidupan batin manusia. oleh karena itu, kesadarn agama dan pengalaman
agama seseorang lebih menggmbarkan sisi- sisi batin kehidupan yang ada kaitannya dengan
sesuatu yang sakaral. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang
yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agma.
Pada dasarnya sikap jiwa keagamaan berasal dari dua faktor, yaitu faktor intrn mengatakan
bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki
potensi untuk beragama, seperti naluri, akal, dan perasaan. Dan faktor ekstrn terdorong beragama
karena pengaruh dari luar dirinya, seperti rasa takut ataupun bersalah. Faktor-faktor inilah yang
menciptakan tata cara pemujaan yang disebut agama.

Dengan demikian, pada makalah ini akan membahas berbagai gangguan yang dapat
mempengaruhi perkembangannya, baik pengaruh yang bersumber dari dalam diri seseorang
maupun dari luar.

BAB ll

PEMBAHASAN
A. Gangguan Dalam Perkembangan Jiwa Keagamaan

Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan
agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap
keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.

Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor
intern dan dari faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah
homo religius (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama.
Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan
manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya. Namun, pendukung
teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.

Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari faktor
ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa
takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt). Faktor-faktor inilah yang
menurut pendukungteori tersebut kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara
pemujaan dan dikenal dengan nama agama.

Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan
bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur bawaan yang siap pakai. Jiwa
keagamaan juga mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya.
Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat
mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri
seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.

1. Fakor intern

Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain
adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
a. Faktor Hereditas

Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara
turun-temurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif
dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu
berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Rasul saw. Menyatakan bahwa daging
dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya
menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan
sikap

Selain itu Rasul saw. Juga menganjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam
membina rumah tangga, sebab menurut beliau keturunan berpengaruh. Benih berasal dari
keturunan tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya. Karenanya menurut
Rasul saw. Selanjutnya: “Hati-hatilah dengan Hadra Al-Diman yaitu wanita cantik dari
lingkungan yang jelek.” (Sayid Mujtaba dan Musawi Lari, 1977: 93). Perbuatan yang buruk dan
tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt)
dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri
pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut
mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas. Sebab, dari
berbagai kasus pelaku zina sebagian besar memiliki latar belakang keturunan dengan kasus
serupa.

b. Tingkat Usia

Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak
dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya
konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka
lebih mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannyahingga usia baya pun masih terjadi
konversi agama.

Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan
antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu
saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun
tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahanan agama pada
tingkat usia yang berbeda.

c. Kepribadian

Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan
pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang
membentuk kepribadian (Arno F. Wittig, 1977:238). Adanya kedua unsur yang membentuk
kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih
ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh
lingkungan.

Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk
berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh (Crijns dan Reksosiswojo:234). Sebaliknya,
dilihat dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari
pengaruh lingkungan masing-masing.

Dari pendekatan tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat
tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur-
unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah
karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm relatif bersifat permanen.

Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang.
Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan
termasuk jiwa keagamaan.

d. Kondisi Kejiwaan

Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model
pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan
Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam
ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal.
Selanjutnyua, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi
jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi
sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada
dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh
stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.

2. Factor ekstern

Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari
lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga,
yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.

a. Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-
anggotanya terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan
lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase
sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.

Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam
sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan
tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Ada semacam rangkaian ketentuan
yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir,
mengaqiqah, memberi nama yang baik, mengajarlkan membaca Alqur’an, mrmbiasakan salat
serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor
yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.

b. Lingkungan Institusional

Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa
institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan
organisasi.

Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu
perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu

1) kurikulum dan anak

2) hubungan guru dan murid

3) hubungan antar anak.

dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok
tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat
dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok itu
secara umumtersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan,
disiplin, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan. Perlakuan
dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program
pendidikan di sekolah.

c. Lingkungan Masyarakat

Kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai yang didukung warganya.
Karena itu, setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan
nilai-nilai yang ada. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang
terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif
bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan
nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam
pembentukan jiwa keagamaan warganya.

3. Fanatisme dan Ketaatan

Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa seseorang, yaitu
fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui
asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.

David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus
melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga
tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taqlid keagamaan tersebut
dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik.
Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan
beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk
menampilkan arahan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

4. Cara Mengatasi Gangguan Jiwa Beragama

Proses perbaikan manusia selain memperbaiki organisasi tubuh dengan perintah syari’ah dalam
makan-minum yang halal, baik, cukup dan tidak berlebihan, maka perlu pula memperbaiki aspek
ilmu, pemahaman, dan kesadaran melalui serangkaian upaya da’wah (penyampaian secara
sistematis dan kontinyu mana yang benar dan mana yang batil), tazkiyah (pembersihan Syubhat,
musyrik, khurafat, dalam pikiran sehingga virus-virus pemikiran, dan kesesatan cara berpikir
dan pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pendidikan (tarbiyah)
yang lebih sistematik, maka kesalehan individu, kesalehan masyarakat dan kesalehan sistem
bernegara menjadi bagian terintegrasi untuk melahirkan manusia sempurna.

e. Fatalisme

Dalam kenyataan, umumnya nilai-nilai ajaran agama sering “dimanipulasi” hingga melahirkan
pemeluk yang fatalis (berserah kepada nasib). Informasi wahyu dan risalah kerasulan direduksi
maknanya menjadi sebaliknya, sampai-sampai para pemeluknya terbentuk menjadi kelompok
yang nrimo. Mereka dibiasakan untuk menerima keadaan sebagai “gambaran nasib” yang sudah
ditentukan dari “atas”.

Secara psikologis, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya fanalisme, yakni:
1) Pemahaman agama yang keliru

Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat
pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu terbuka peluang
timbulnya “salah tafsir” dalam memahami pesan-pesan dalam kitab suci maupun risalah rasul.

2) Otoritas Agamawan

Dalam komunitas agama selalu ada pemimpin agamayang jadi panutan masyarakat pemeluknya.
Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai sukses diri pribadi ini harus senantiasa
dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi.

Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritas yang berlebihan, pemimpin
agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat
untuk “menyihir” pengikutnya. Kata-kata yang dikeluarkan harus dianggap sebagai fatwa yang
bila dilanggar akan berakibat buruk. Sebaliknya “disuburkan” pula janji-janji “surgawi” yang
muluk sebagai ganjaran yang diperuntukkan kepada mereka yang patuh dan taat. Pemimpin
agama berusaha menciptakan situasi psikologis pengikutnya hingga terbentuknya sikap penurut.

BAB ll

PENUTUP

Kesimpulan

A. Gangguan-Gangguan Dalam Perkrmbangan Jiwa Keagamaan

1. Factor intern

a. Faktor Hereditas

b. Tingkat Usia
c. Kepribadiaa

d. Kondisi Kejiwaan

2. Factor ekstern

a. Lingkungan Keluarga

b. Lingkungan Institusional

c. Lingkungan Masyarakat

3. Fanatisme dan Ketaatan

4. Cara Mengatasi Gangguan Jiwa Beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Yadi. Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah. Bandung: PT Refika
Aditama. 2007.

Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono. Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami. Bandung:
PT. Refika Aditama. 2006.

Berbulan bulan bertahan Sanjan hente kontekan


Saling kabar seperluna Bari lewat dunia maya

Hubungan hente di umbar Disosmed hente di sebar

Bertahan te hoyong bubar Sanajan hubungan hambar

Tapi pas hampir sataun Abdi ngdadak ngalamun

Tos lami abdi bersabar Cinta nu di jaga bubar

Reff#

Kusabab pas hiji mangsa Tepat di sosial media

Ibu rama ti anjena Terangen ngajalin cinta

Akhirna ikhlas te ikhlas Hubungan nu kami kandas

Manah abdi jadi dadas Anjena hoyong di lepas

Reff#

Abdi jadi sering bengong Perih batin hente bohong

Neme abdi ngenal cinta Tapi perih pas akhirna

Sanajan berat kacida Ngelepasken nu dicinta

Turutken pun ibu rama Mugi anjen bahagia

Anda mungkin juga menyukai