Anda di halaman 1dari 8

Nama: Rahelia Tirani Banten

BAB I

Sosiologi agama adalahbagian dari sosiologi umum atau versibarat yang mempelajari
suatu ilmu buudya empiris,profan dan positif yang dimana menuju kepada pengetahuan
umum, yang jernih dan pastidari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok
keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan. Defenisi lain dari sosiologi agama
adalah suatu cabang Sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis
yang guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan juga masyarakat umum. Sosiologi ialah ilmu pengetahuan yang
mempelajari masyarakat secara empiris untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang secara
umum. Sosiologi agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya yang langsung
dan sosiologi agama mempelajari langsung sudut pandang pe,bentukan kepribadian pemeluk-
pemeluknya yang dimana ikut serta mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis
kebudayaan mewarnai dasar dan haluan negara yang mempengaruhi terbentuknya partai-
partai politik dan golongan nonpolitik yang memainkan peranan dalam munculnya strata atau
lapisan sosial dalam lahirnya organisasi-organisasi seberapa jauh agama ikut mempengaruhi
proses sosial, sekularisasi, fanatisme, bentrokn dan lain sebagainya. Sosiologi agama
menempuh cara yang sama dengan Sosiologi Umum untuk mencpai maksudnya, yaitu
dengan adanya observasi, interview, dan juga angket mengenai masalah-masalah keagamaan
yang dianggap penting dan sanggup memberikan data-data yang dibutuhkan.
Sosiologi Agama merupakan cabang dan juga bagian verikal dari sosiologi umum,
sosioologi agama membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah
sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial nonkeagamaan.
Di Prancis Gabriel Le Bras yang merupakan perintis dan pendorong dari sosiologi agama
yang dalam arti sebagai gereja di Eropa Selatan pada saat itu. Tanggapan gereja yng
positif itu membangkitakan semangat lebih besar kepada para peminat yang menyadari
betapa pentingnya penelitian untuk kepentingan pastoral. Di Jerman Joachim Wach1931)
dan Gustave Mensching(1944) yang dua-duanya masih bermutu sejarah agama daripada
Sosiologi Agama dan mereka memnberikan petunjul-petunjuk tentang cara-cara efesien
dalam mempelajari nasakah sosio-agama. Penelitian Sosiologi Gereja dari kalangan
Protestan digiatkan oleh T.Rendtorff yang dimana dia yang memimpin penelitian praktek
agama dari jemaat protestan di kota-kota besar pada tahun 1959 , yang dimna
dititikberatkan perhatian oleh seorang penelitih akan problematik, metodik dan
peristilahan-peristilahan yang haru dipegang teguh dalam kerja penelitian.
Sosiologi Agama tidak metupakan satu esatuan yang beragam, namun terdapat
bermacam-macam aliran sesuai dengan macam aliran Sosiologi Umum yang mereka ikuti.
Jenis-jenis aliran Sosiologi Agama adalah sebagai berkut:
1. Aliarn Klasik yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama dari
abad ke-20, dan bagi mereka kedudukan Sosiologi agama sangat dekat dengan
sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap
masyarakat, kebudayaan, dan agama sebagi proyek manusia dan memiliki tujuan
yaitu hendak mengungkapkan ploa-pola sosial dasar peranannya dalam
menciptakan masyarakat.
2. Aliran Positivisme dimana aliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivis
dan mengajarkan masyarakat sama dengan benda-benda ilmiah dan mereka
menibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat yang kualitatif
dengan metode pengukuran eksak dan menarik kesimpulan yang dibuktikan
dengan fakta-fakta.
3. Aliran Teosi Konflik dalam pandangan ahli sosiologi aliran ini masyarakat yang
baik atau sehat adalah masyarakat yang hidup dalam situasi konfiktual.
4. Aliran fungsionalisme, dimana pendukungnya berolak dari pendirian dasar bahwa
masyarakat itu suatu suatu sistem perimbangan dimana setiap kelompok
memnerikan sumbangannya yang khas melalui peranannya masing-masing yang
telah ditetukan demi lestarinya sistem perimbangan sebagai keseluruhannya.

BAB II

Defenisi Agama menurut sosiologi adalah defenisi yang empiris. Agama dipandang
sebagai suatu institusi yang lain yang mengembang tugas atau fungi agar masyarakat
berfungsi dengan baik. Agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-
penganut yang berporos pada kekutan-kekuatan nonempiris yang dioercayainya dan
didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas
umumnya. Imam ialah kekuatan batin dengan mana manusia menanggapi sesuatu yang
bermakna entah itu kekuatan gaib entah Roh Tertinggi (Tuhan). Ada tiga kawasan agama
adalah kawasan pitih,kawasan hijau dn kawasan gelap. Kita mempercayakan fungsi edukatif
kepada agama yang mencakup tugas mengjar dan membiming. Agama merasa ikut
bertanggung jawab atas adanbya norma-norma susila yang baik yang beralukan atas
masyarakat manusia umumnya. Masyarakat agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada
dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk untuk
ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Fungsi agama bagi masyarakat adalah agama
meneguhkan kaidah-kaida asusila dari adat yang di pandang baik bagi kehidupan moral
warga masyarakat, agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral yang
dianggap baik dari serbuan destruktif dari agama baru dan sistem hukum negara modern. Dari
pengalaman dapat dikatakan bahwa dari kedudukan atauas status sosial yang berbeda-beda
dan fungsi yang berbeda-beda pula maka sejajar pendidikan dan keahlian untuk lapisan yang
satu dengan yang lain , muncul kebutuhan yang berbeda-beda, gaya dan pandangan hidup
yang berbeda, cara berfikir dan motivasi yang berbeda dalam menanggapi dan menghayati
tuntunan agama. Sosiologi tidak berhak memberikan evaluasi tentang moralitas tingkah laku
pemeluk agama, karena tugasnya hanya bersifat konstatatif atau menyaksikan, sebagaimana
halnya tentang larangan yang diajarkan agama tertentu berpengaruh atas proses sosial atau
jalannya kehidupan masyarakat demikian pula ajaran moral yang bersifat deterministis
berpengaruh pada cara berfikir dan pola tingkah laku penganut yang bersangkutan. Dengan
sudut pandang yng baru yakni positivisme sabagau kontruksi pemikiran manusia mengenai
perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk
memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran tertentu dan mulai
merealisasikan gagasannya dengan mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian
kepada masyarakat.

BAB III

Masalah masuk atau pindah agama menjadi masalah yng menarik karena hal itu
menyangkut perubahan batin yang mendasar dari orang atau kelompok yang bersangkutan.
Dan setelah kita mengetahui faktor-faktor yang dianggap berperan atau berpengruh atas
konversi religius, yang sekarang ini kita akan mengkaji lebih lanjt akan fenomena masuknbya
agama sebagai suatu proses atau penglaman yang berjaalan relatif lama.Seseorang mengalami
prosses pertobatan tidak tinggal diam,melainkan dia dorong oleh kiinginan untuk mencari
komunitas keagamaan yang dianggap sanggup memberikan jawaban meredakan batinnya.
Persoalan akan menjadi lebih jelas, jika dirumuskan demikian yang pertama-tama diterim
sebagai proses hipotesis, bahwa kohesi kelompok dibentuk oleh dua kekuatan, yaitu kekuatan
intern, kekuatan ekstern. Seseorang akan merasa termasuk anggota suatu kelompok ketika ia
berpartisipasi dalam kegiatan dan tingkah laku kelompok, kesadaran akan kengotaannya itu
tergantung dari intensitas keterlibatannya dalam kegiatan itu.Semakin tinggi kesadaran
seorang anggota religius mengenai ketergantungan anggota satu dengn anggota lain, semakin
kuat pula rasa kesatuan atau kohesi dengan kelompok religiusnya. Mengenai ketahan sikap
agama para etnolog dan psikosoiolog sependapat bahwa nilai-nilai dari spritual kelompok
atau individu mempunyai ciri lhas yang berupa stabilitas sosio-budaya, dan bahwa selama
perubahan orientasi religius pundidapati adanya stabilitas yang terang baik didalam psikologi
maupun dalam kebudayaan. Dalam bidang kepribadian adanya stabilitas dapat diamati dalam
sikap yang disadari atau tidk disadari seseorang, sehingga dalam bidang ini peneliti
mengatakan bahwa pengkajiannya untuk menyampaikan beebrapa keterangan umum tentang
stabilitas sikap dan juga pendapat. Dalam masyarkat modern dewasa ini pertanggungjawaban
seorang warga negara dilaksanakan lewat mekanisme demokrasi, seperti lembaga MPR,
DPR, dan lembaga-lembaga yang lain.

BAB IV

Para ahli sosiologi dengan [pertimbangan metodisnya dalam mempelajari fenomena


sosial masyarakat yang demikian luas terbiasa membuat pembagian fiktif sasaran itu didalam
kategori-kategori tertentu. Jikalau agama dihadapi sebagai kategori sisoal maka lingkup
sasarnnya sudah dipersempit dan tidak memasukkan kategori-kategori lain. Agama
menampilkan diri sebagai peristiwa yang sedang berjalan, didukung oleh sekelompok
manusia suku-suku bangsa, yang mempunyai beragam ciri khas masing-masing, agama lahir
dan dikembangkan dotempat geografis tertentu yang dimana tidak dapat dipisahkan dengan
ras atau bangsa yang memeluknya. Kebudayaan menurut pandangan sosiologi adalah
keseluruhan pola kelakuan lahir dan batin yang memungkinkan hubungan sosial antara
anggota-anggota masyarakat. Agama sebagai suatu sistem sosial didalam kandungannya
merangkum suatu kompleks pola kelakuan lahir dan batin yang ditaati oleh penganut-
penganutny atau pemeluk-pemeluknya. Sosiologi Agama menghadapi kenytaan konkret
agama sebagai institusi sosial , maka wajib memberikan penerangan yang masuk akal dengan
caranya sendiri mengapa hal yang demikian itu terjadi. Institusi sosial adalah suatu bentuk
organisasi yang terusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-
relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sangsi hukm agar
guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Institusi religius adalah suatu bentuk
organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-
relasi yang terarah dan juga mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi
hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris.
Mitologi ialah bentuk primodial atau awal mula dari ungkapan intelektual kepercayaan dan
tindakan keagamaan, mitologi merupakan kerangka dari tradisi zaman prasejarah mengenai
dewa-dewa kafir, terutama mengenai agama dan pandangan hidup dari bangsa-bangsa bahari.
Setiap agama yang menydari ditugaskan oleh pendirinya untuk meneruskan karisma yang
diperoleh kepada semua bangsa dan menginginkan supaya tugas itu dilaksanakan secara
teratur tertib dan agama yang demikian itu tidak luput dari tuntutan sosiologis, agama
bahari(adat) undur pimpinan sama dengan pimpinan kepala adat, atau kepala suku, atau
dalam diri seorang dukun, seorang kyai dan sebagainya. Semua agama yang jumlah
penganutnya bertambah besar dan wilayahnya bertambah luas memiliki tertip hukum, tugas
keagaman yang harus dilaksanakan dari masa ke masa adalah pewartaan, ajaran agama,
perayaan pesta keagamaan, penggembalaan umat, yamg dimana tugas ini tidak dapat
diserahkan kepada sembarangan orang untuk dilaksanakan menurut selera sendiri. Hukum
gereja adalah keseluruhan hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh Allah dn/atau Gereja
untuk mengatur kehidupan anggota-anggota Gereja demi tercapainya tujuan yang ditetapkan
oleh Kristus. Dalam setiap agama terdapat serangakian jabatan yang eksistensinya tidak dapat
ditiadakan demi berfungsi baiknya agama itu, jabatan dalam agama tidak dapat dilepas dari
pelayanan-pelayanan yang harus diakukan untuk memnuhi kebutuhan jemaat.

BAB V

Kenyataan konkrit yang menunjukkan bahwa situasi dan kondisi masyarakat sudah
berubah, namun keadaan agama tetap sama dapat dijumpai dalam sejarah dari zaman ke
zaman. Jika agama mau mempertahankan kemurnian asli (otentik) pendirinya sepanjang
zaman dari masa ke masa dalam pagar-pagar kepranataan yang tak tertembus oleh pengaruh
pemikiran baru maka karisma itu tidak akan tidak aka tersentuh dan tidak akan berkembang.
Agama dihadapkan pula dengan pilihan yang suslit berkenaan dengan masalah kekuasaan dan
kepemimpinan yang memilih kepemimpinan karismatis ataukah kepemimpinan rasional, dan
di dalam agama terdapat unsur kekuasaan dan pimpinan pada tingkat universal dan tingkat
sektoral kerohanian. Dilemma lain yang dihadapi oleh agaam adalah yang berkenaan dengan
masalah uniformitas dan pluriformitas agama, jika agama mau menitik beratkan
perkembangannya dalam bentuk kesatuan(uniformitas)n yang absolut, maka hal ini akan
menimbulkan dan de faktor memang telah menimbulkn begitu banyak kesulitan dalam tubuh
agama itu sendiri, keamaan dan kesatuan isi ajaran atau doktrin agama memang menjadi
tuntutan mutlak dari setiap agama. Sekularisasi merupakan suatu gerakan sosil yang
diarahkan kepada terwujudnya oronomi dunia dan nilai duniawi dengan mengikutsertakan
agama dan nilai-nilai kegamaan, jadi sekularisasi merupakan hal yang wajar, karena berakar
atas pertimbangan yang wajar. Agama membenarkan atau menyalahkan tindakan seseorang
melalui suatu kompleks peraturan yang sudah lazim disebut sebagai hukum agama, atau
kaidah-kaidah agama, atau pranata-pranata keagamaan. Krisi kewibawaan pada umumnya
tidak lain merupakan suatu bentuk proses sekularisai menuju tercapainya otonomi atau
kedaulatan manusia dengan melawan kekuasaan yang dipandang tidak adil. Manusia sekular
dalam artian baik tidak dapat menerima kekuasan absolut yang dapat dijumpai baik dalam
pemerintahan politik maupun keagamaan. Fungsi kekuasan bersifat komplementer tau hanya
melengkapi saja. Proses pendewasaan umat beragama(awamisasi) itu menghadapi hambatan-
hambatan yang datang dari strutur dan sistem kekuasaan agama yang mengikuti pola
pemerintahan absolut dan foedal-tradisional.

BAB VI

Anda mungkin juga menyukai