Anda di halaman 1dari 16

AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT

Mokhamad Zusril (20101026)


Semester 4
Prodi Studi Agama-agama
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri

PENDAHULUAN
Alasan penulis memberikan tulisan ini dengan judul Agama Dan Perubahan Sosial Dalam
Masyarakat ini karna berdasarkan fakta yang terjadi pada saat ini bahwa ada banyak penyebab
perubahan sosial, antara lain: ilmu pengetahuan, kemajuan, teknologi, komunikasi dan
transportasi, urbanisasi, dan sebagainya. Bahkan, perubahan yang melanda masyarakat dunia saat
Ini adalah hal yang wajar dan wajar, karena perubahan dalam Masyarakat sudah ada sejak zaman
dahulu. Tapi saat ini, Perubahan ini terjadi begitu cepat sehingga membingungkan orang yang
menghadapinya. Soekanto (2010) mendefinisikan perubahan sosial sebagai: semua perubahan
dalam institusi sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk
nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Perubahan itu
juga terjadi tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi: pertambahan atau
pengurangan jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru, konflik dalam masyarakat dan
pemberontakan atau revolusi. Pertanyaan adalah bagaimana perubahan sosial dalam masyarakat
dapat terjadi? dan apa peran agama dalam perubahan sosial ini? Kedua hal tersebut akan
dijelaskan pada tulisan berikut ini.
FAKTA SOSIAL KEAGAMAAN
Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai sistem nilai yang
menciptakan norma-norma tertentu. Norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersikap dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan agamanya. Agama sangat penting dalam
kehidupan manusia. Agama begitu penting dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau
tidak, manusia sangat membutuhkan agama. Jika kita melihat dari sudut pandang sosiologis,
menurut E.K. Nottingham bahwa secara empiris, fungsi agama dalam masyarakat meliputi: (1)
faktor yang mengintegrasikan masyarakat; (2) faktor-faktor yang menyebabkan disintegrasi
masyarakat; (3) faktor yang dapat melestarikan nilai-nilai sosial; dan (4) faktor-faktor yang dapat

1
berperan kreatif, inovatif, dan bahkan revolusioner. Ditinjau dari fungsi agama bagi kehidupan
masyarakat, Nottingham membagi masyarakat menjadi tiga jenis. Tipe pertama adalah
masyarakat terbelakang dan memiliki nilai-nilai sakral. Pada tipe ini, setiap komunitas menganut
agama yang sama, oleh karena itu keanggotaan dalam komunitas dan kelompok agama adalah
sama. Kedua, masyarakat pra-industri yang sedang berkembang, dalam masyarakat ini organisasi
keagamaan telah dipisahkan dari organisasi sosial. Organisasi keagamaan adalah organisasi
formal yang memiliki staf profesional sendiri. Nilai-nilai religi berfokus terutama pada integrasi
perilaku individu dan pembentukan citra pribadinya. Ketiga, masyarakat industri sekuler.
Organisasi keagamaan terfragmentasi dan plural, ikatan antara organisasi keagamaan dan
pemerintahan duniawi sama sekali tidak ada. Agama cenderung dinilai sebagai bagian dari
kehidupan manusia yang berhubungan dengan akhirat, sedangkan pemerintahan berkaitan
dengan kehidupan duniawi (dalam Ishomuddin, 2002: 53). Apapun bentuk ikatan keagamaan dan
masyarakat, baik dalam bentuk organisasi maupun fungsi keagamaan, jelas bahwa dalam setiap
masyarakat, agama tetap memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Agama sebagai panutan
masyarakat, nampaknya masih berfungsi sebagai pedoman yang dijadikan sebagai sumber untuk
mengatur norma-norma kehidupan. Sosiolog seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim
memandang munculnya agama secara positif seiring dengan perkembangan masyarakat. Agama
bagi mereka bukanlah masalah individu tetapi representasi kolektif masyarakat. Mereka
menekankan bahwa agama pada dasarnya adalah tindakan kolektif masyarakat dalam bentuk
ritual, upacara keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat berperan positif
dalam pembentukan atau kemunculan agama. Tidak mungkin agama dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Ishomuddin (2002:54) menjelaskan, dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat meliputi:
1. Fungsi Pendidikan Pemeluk agama berpendapat bahwa ajaran agama yang dianutnya
memberikan ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis memiliki fungsi
memerintahkan dan melarang. Kedua unsur tersebut memiliki latar belakang yang mengarahkan
tuntunan agar pemeluknya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik sesuai dengan ajaran
agamanya masing-masing.
2. Fungsi Penyelamatan Di mana pun manusia berada, dia selalu ingin dirinya aman.
Keselamatan yang diajarkan oleh agama adalah keselamatan yang mencakup bidang yang luas.
Keselamatan yang diberikan agama kepada pemeluknya adalah keselamatan yang meliputi dua

2
alam, yaitu dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan ini, agama mengajarkan
pemeluknya melalui: pengenalan terhadap hal-hal yang sakral berupa keimanan kepada Tuhan.
3. Berfungsi sebagai Pendamaian Melalui agama seseorang yang bersalah/berdosa dapat
mencapai kedamaian batin melalui bimbingan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera
hilang dari benaknya jika seorang pelanggar telah menebus dosanya melalui pertobatan,
penyucian atau penebusan dosa.
4. Berfungsi sebagai Kontrol Sosial Ajaran agama dianggap oleh pemeluknya sebagai norma,
sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai kontrol sosial secara individu maupun
kelompok karena: pertama, agama dalam suatu lembaga, merupakan norma bagi pemeluknya,
kedua, agama secara dogmatis (pengajaran) memiliki fungsi kritis. itu adalah kenabian. wahyu,
kenabian).
5. Fungsi Menumbuhkan Rasa Solidaritas Pemeluk agama yang sama secara psikologis pemeluk
agama yang sama akan merasa memiliki kesamaan dan satu kesatuan; iman dan kepercayaan.
Rasa persatuan ini akan menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok dan individu, bahkan
terkadang mampu menumbuhkan rasa persaudaraan yang kuat.
6. Fungsi Transformatif Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian
seseorang/kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Kehidupan baru yang dia terima berdasarkan ajaran agama yang dianutnya terkadang bisa
berubah kesetiaannya pada adat atau norma kehidupan yang dianutnya sebelumnya.
7. Fungsi Kreatif Ajaran agama mendorong dan mengajak pemeluknya untuk bekerja secara
produktif tidak hanya untuk kepentingan sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain.
Pemeluk agama tidak hanya disuruh bekerja secara teratur dalam pola kehidupan yang sama,
tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru.
8. Fungsi Sublimatif Ajaran agama menyucikan semua usaha manusia, tidak hanya yang bersifat
ukhrawi, tetapi juga yang bersifat duniawi.
Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma agama jika dilakukan
dengan niat yang ikhlas, karena bagi Allah itu ibadah.
Jika kita melihatnya dari perspektif fungsionalis, kita melihat masyarakat sebagai jaringan
kelompok yang bekerja bersama secara terorganisir yang bekerja dengan cara yang agak teratur
menurut seperangkat aturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat
dipandang sebagai sistem yang stabil dengan kecenderungan untuk memelihara sistem kerja

3
yang serasi dan seimbang. Talcott Parsons (1937), Kingslay Davis (1937), dan Robert K. Merton
(1957) adalah karakter utama dari perspektif ini. Perspektif ini mengungkapkan pandangan
bahwa setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus, karena
dipandang fungsional. Pada dasarnya, prinsip-prinsip utama dari perspektif ini adalah sebagai
berikut: (1) Masyarakat adalah sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
terkait dan saling bergantung, dan masing-masing bagian ini secara signifikan mempengaruhi
bagian lainnya. (2) Setiap bagian dari masyarakat ada karena bagian tersebut memiliki fungsi
penting dalam menjaga keberadaan dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; Oleh karena
itu, keberadaan bagian tertentu dari masyarakat dapat dijelaskan jika fungsinya bagi masyarakat
secara keseluruhan dapat diidentifikasi. (3) Semua komunitas memiliki mekanisme untuk
mengintegrasikan diri, yaitu mekanisme yang dapat merekatkan; bagian penting dari mekanisme
ini adalah komitmen anggota masyarakat terhadap seperangkat keyakinan dan nilai yang sama.
(4) Masyarakat cenderung mengarah pada keadaan keseimbangan, dan gangguan di satu bagian
cenderung menyebabkan penyesuaian di bagian lain untuk mencapai harmoni atau stabilitas. (5)
Perubahan sosial merupakan suatu peristiwa yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi jika
terjadi, maka perubahan tersebut pada umumnya akan membawa akibat yang menguntungkan
masyarakat secara keseluruhan (Nazsir: 2009:10). Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip
dasar di atas, pandangan ini berpandangan bahwa segala sesuatu yang tidak berjalan akan hilang
dengan sendirinya. Karena agama dari dulu hingga sekarang masih ada, jelaslah bahwa agama
memiliki fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi dalam masyarakat. Oleh karena itu,
perspektif fungsionalis lebih menitikberatkan perhatian pada pengamatan fenomena keagamaan
pada kontribusi fungsional agama yang diberikan kepada sistem sosial. Melalui perspektif ini,
pembahasan tentang agama akan berkisar pada persoalan fungsi agama dalam meningkatkan
kohesi masyarakat dan mengendalikan perilaku individu. Kontribusi terpenting bagi
fungsionalisme adalah salah satu dari The Elementary Forms of The Religious Life karya
Durkheim. Ia berpendapat bahwa agama dalam suku yang sangat primitif merupakan kekuatan
integrasi yang sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pentingnya peran nilai dalam sistem sosial.
Durkheim mendefinisikan nilai sebagai "konsep kebaikan yang diterima secara umum" atau
keyakinan yang mengesahkan keberadaan dan pentingnya struktur sosial tertentu dan jenis
perilaku tertentu yang ada di dalam struktur tersebut. Sebagai lembaga yang efektif dalam
mengembangkan nilai-nilai bersama, agama merupakan alat integrasi yang baik. Sistem

4
pendidikan umum pada masyarakat modern memiliki fungsi yang sama dengan agama pada
masyarakat tradisional karena mentransmisikan nilai-nilai masyarakat (dalam Ishomuddin,
2002:38). Jadi aliran fungsionalisme melihat agama dari fungsinya. Agama dipandang sebagai
lembaga lain yang mengemban tugas atau fungsi agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik,
baik secara lokal, regional, maupun nasional. Maka dalam tinjauannya yang penting adalah
efektifitas dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat keberadaan dan fungsi
agama, cita-cita masyarakat yang adil, perdamaian (jasmani dan rohani) dapat terwujud.
PEMBAHASAN
1. Perubahan Sosial (Definisi, Bentuk, Sumber Dan faktor yang mempengaruhi)
Perubahan ide dan nilai secara singkat akan menyebabkan perubahan hubungan sosial, dan
sebaliknya perubahan pola hubungan sosial akan menyebabkan perubahan nilai dan norma.
Secara teori, banyak ahli yang berkontribusi dalam menjelaskan pengertian perubahan sosial,
antara lain William F. Ogburn, Kingsley Davis, MaxIver, Gilin and Gilin, Samuel Koenig dan
Selo Soemadrjan. Sosiolog yang membatasi pengertian perubahan sosial (Soekanto, 2010:261-
263) antara lain; Pertama, William F. Ogburn menyatakan bahwa ruang lingkup perubahan
sosial meliputi unsur kebudayaan baik material maupun immaterial, yang menekankan besarnya
pengaruh unsur-unsur besar kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial. Kedua,
Kingsley Davis mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur
dan fungsi masyarakat. Misalnya, munculnya organisasi buruh dalam masyarakat kapitalis telah
menyebabkan perubahan dalam hubungan antara pekerja dan pengusaha dan pada gilirannya
menyebabkan perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Ketiga, MacIver mengatakan
bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan
keseimbangan hubungan sosial. Keempat, Gilin dan Gilin mendefinisikan perubahan sosial
sebagai variasi cara hidup yang diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, budaya
material, komposisi penduduk, ideologi, atau karena difusi atau penemuan-penemuan baru
dalam masyarakat. Kelima, Samuel Koening mengatakan bahwa perubahan sosial adalah
modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia, baik yang terjadi karena
sebab internal maupun eksternal. Keenam, Selo Soemardjan, mendefinisikan perubahan pranata
sosial dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk nilai, sikap, dan
pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ahli di atas, hampir terdapat kesamaan dalam memberikan konsep

5
perubahan sosial, hanya saja William F. Ogburn lebih suka memberikan pengertian tertentu, dan
tidak memberikan definisi tentang perubahan sosial. Tetapi lebih kepada ruang lingkup
perubahan sosial. Sementara itu, Selo Soemardjan menegaskan dalam definisinya bahwa pranata
sosial adalah perangkat dasar manusia, yang kemudian mempengaruhi aspek-aspek lain dari
struktur masyarakat. Kemudian jika dilihat dari bentuknya, perubahan sosial dibedakan dalam
beberapa bentuk, antara lain: pertama, perubahan lambat dan perubahan cepat. Perubahan
lambat adalah perubahan yang memakan waktu lama dengan keberhasilan kecil yang saling
mengikuti. Hal ini terjadi karena adanya upaya masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kebutuhan, dan kondisi baru yang muncul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Sedangkan
perubahan yang cepat adalah perubahan yang terjadi pada fondasi dasar kehidupan masyarakat,
seperti sistem keluarga, hubungan antara pekerja dan pengusaha dan sebagainya. Kedua,
perubahan kecil dan perubahan besar. Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada
unsur-unsur struktur sosial yang tidak berdampak langsung atau signifikan bagi masyarakat,
sedangkan perubahan besar akan berdampak besar bagi masyarakat. Ketiga, perubahan yang
diinginkan (direncanakan) dan perubahan yang tidak diinginkan (tidak direncanakan).
Perubahan yang diinginkan (direncanakan) adalah perubahan yang direncanakan atau
diperkirakan sebelumnya oleh pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan dalam masyarakat.
Sedangkan perubahan yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan adalah perubahan yang
terjadi secara tidak terduga. Berlangsung di luar kendali masyarakat dan dapat menimbulkan
akibat sosial yang tidak terduga (Soekanto, 2010:269). Apa sumber yang menyebabkan
terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat? Soekanto (2010:275) menjelaskan secara garis
besar faktor-faktor tersebut dapat dibedakan sebagai sumber perubahan sosial yang berasal dari
dalam masyarakat atau internal dan dari luar masyarakat itu sendiri atau eksternal.
1. Faktor Internal
a. Perubahan kependudukan
Perubahan jumlah penduduk yang mungkin lebih sering kita ketahui adalah tentang
pertambahan penduduk, namun sebenarnya faktor penduduk lebih dari sekedar
pertambahan jumlah penduduk. Perubahan penduduk dapat berkaitan dengan
perubahan komposisi penduduk, persebaran penduduk termasuk perubahan jumlah,
yang kesemuanya dapat mempengaruhi budaya dan struktur sosial masyarakat.
Komposisi penduduk berkaitan dengan pembagian penduduk antara lain

6
berdasarkan umur, jenis kelamin, suku, jenis pekerjaan, kelas sosial dan variabel
lainnya.
b. Penemuan
Sebuah penemuan yang dapat menjadi sumber perubahan sosial, suka tidak suka,
kita harus memahami sebuah konsep penting, yaitu inovasi. Proses sosial dan
budaya utama yang terjadi dalam waktu singkat adalah inovasi. Inovasi dibagi
menjadi penemuan dan penemuan, yang keduanya bukan tindakan tunggal tetapi
transmisi dari serangkaian elemen. Artinya semakin banyak unsur budaya yang
dihasilkan oleh para penemunya, maka semakin besar pula rangkaian penemuan
dan penemuannya. Misalnya penemuan kaca akan membuat sederet penemuan baru
seperti lensa, perhiasan, botol, bola lampu dan lain-lain.
c. Konflik di masyarakat
Konflik dan perubahan sosial merupakan suatu proses yang akan terjadi secara
alami dan terus menerus, tetapi tidak dapat kita artikan bahwa setiap perubahan
sosial yang muncul selalu didahului oleh konflik. Konflik atau konflik dalam
masyarakat dapat menimbulkan perubahan yang dianggap membawa kebaikan atau
bahkan membawa bencana. Perjuangan antara generasi muda dan tua tentang nilai-
nilai baru juga bisa membawa perubahan.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal, yaitu sumber perubahan sosial ini berasal dari luar masyarakat yang
bersangkutan. Faktor eksternal tersebut antara lain: lingkungan, dan pengaruh budaya lain. Suatu
proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan selalu berkaitan dengan faktor-faktor
pendorong yang dapat mempercepat terjadinya perubahan, serta faktor-faktor penghambat yang
dapat memperlambat atau bahkan menghambat terjadinya perubahan sosial itu sendiri. Faktor
pendorong dan penghambat akan selalu ada pada setiap masyarakat tanpa terkecuali, baik dalam
masyarakat yang masih menganut sistem nilai tradisional atau bahkan masyarakat modern, hanya
mungkin bentuknya akan berbeda-beda tergantung pada kondisi masyarakat yang bersangkutan.
1. Faktor Pendorong
Faktor pendorong terjadinya perubahan sosial merupakan faktor yang dapat mempercepat
terjadinya suatu perubahan atau bahkan membuat perubahan tersebut cepat diterima oleh suatu

7
masyarakat. Faktor pendorong tersebut dapat berupa kontak dengan budaya lain, sistem
masyarakat yang terbuka, populasi yang heterogen dan orientasi masyarakat ke masa depan.
2. Faktor Penghambat
Faktor penghambat adalah faktor yang cenderung menghambat terjadinya suatu
perubahan dalam masyarakat atau memperlambat proses penerimaan masyarakat terhadap suatu
perubahan yang dapat dikategorikan sebagai faktor penghambat. Faktor penghambat tersebut
antara lain masyarakat yang tertutup, adanya kepentingan tertentu, prasangka terhadap hal baru,
adat istiadat dan lain-lain.

2. Agama dan Pandangan Sosiologis


Agama pada dasarnya dapat diartikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan
mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Istilah Agama dalam bahasa Sansekerta
terdiri dari kosakata "a" yang berarti "tidak" dan "gama" yang berarti kacau. Jadi jika kedua kata
tersebut digabungkan maka berarti agama tidak kacau. Hal ini mengandung makna bahwa agama
merupakan peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau balau. Dalam bahasa
latin, agama disebut dengan “religeo” kata ini berasal dari akar kata “religere” yang berarti
mengikat. Secara umum kajian agama dibagi menjadi dua yaitu teologis dan sosiologis, agama
dalam teologi berkaitan dengan klaim tentang kebenaran mutlak ajaran suatu agama dan dengan
misi untuk mempertahankan doktrin agama. Intinya iman adalah keyakinan mutlak terhadap
kebenaran ajaran agama yang dianutnya. Sedangkan agama dalam sosiologi memandang agama
sebagai institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang memiliki fungsi sosial tertentu.
Agama dalam pengertian sosiologis merupakan fenomena sosial yang umum dan dimiliki oleh
semua orang di dunia ini tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek kehidupan sosial dan
bagian dari sistem sosial suatu masyarakat di samping unsur-unsur lainnya. Berdasarkan kajian
para sosiolog, agama merupakan pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
individu atau kelompok. Keduanya memiliki hubungan saling mempengaruhi dan saling
ketergantungan dengan segala faktor yang turut membentuk struktur sosial masyarakat manapun.
Dilihat dari kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua aspek pembeda dalam
manifestasinya, yaitu sebagai berikut: Pertama, aspek psikologis, yaitu suatu keadaan atau
keadaan subjektif dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan. oleh penganut

8
agama. Kondisi ini biasa disebut dengan kondisi beragama, yaitu kondisi taat dan patuh kepada
yang disembah. Kedua, aspek objektif, yaitu aspek eksternal yang disebut juga peristiwa objektif,
dimensi empiris agama. Situasi ini muncul ketika agama diungkapkan oleh pemeluknya dalam
berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan (Kahmad, 2002: 14-15).
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan
definisi evaluatif tentang agama. Ia memberikan definisi menggambarkan apa adanya,
mengungkapkan apa yang dipahami dan dialami oleh pemeluknya. Beberapa ahli memberikan
pengertian agama: Guyau berpendapat bahwa agama adalah keterikatan sekelompok orang
kepada Tuhan. Sedangkan Cicero berpendapat bahwa agama adalah panutan yang
menghubungkan manusia dengan Tuhan. Herbert Spencer berpendapat bahwa faktor utama
dalam agama adalah keyakinan akan adanya kekuasaan yang tidak terbatas, atau kekuasaan yang
tidak dapat batas waktu atau tempat yang ditentukan. E.B. Agama Taylor adalah kepercayaan
akan keberadaan makhluk spiritual. Max Muller berpendapat bahwa agama pada hakikatnya
adalah menyatakan apa yang dapat digambarkan. Menurutnya, mengenal Tuhan adalah
kesempurnaan mutlak tanpa batas, atau cinta kepada Tuhan yang hakiki. Emile Burnaof
berpendapat bahwa agama adalah praktik nalar yang membuat manusia mengakui keberadaan
kekuatan Tertinggi; Juga amalan hati manusia yang tawajjuh untuk memohon rahmat kekuatan
itu (dalam Kahmad, 2002:16-17). Dalam referensi lain, Emile Durkheim, pelopor sosiologi
agama di Prancis, mengatakan bahwa agama adalah sumber dari semua budaya yang sangat
tinggi, Max Weber berpendapat bagi orang-orang, agama telah memberikan jawaban tertinggi
untuk masalah makna, sedangkan Karl Marx mengatakan agama adalah candu masyarakat.
Senada dengan pendapat di atas, Ishomuddin (2002:32) memaparkan kembali definisi agama dari
perspektif ilmuwan sosial, antara lain: pertama, ada dua jenis definisi agama yang berbeda secara
mendasar yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial. Dimensi inklusif menekankan bahwa
agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik yang diorganisir di sekitar hal-hal yang
dikatakan sakral atau yang berorientasi pada kepentingan utama manusia. Definisi eksklusif lebih
membatasi dan membatasi pengertian agama pada kepercayaan dan praktik yang mendalilkan
kekuatan supernatural yang beroperasi di dunia ini. Kedua, agama adalah fenomena evolusioner
dalam pengertian yang sama dengan komponen masyarakat manusia lainnya. Dan masih banyak
lagi definisi agama yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial. Namun untuk memperjelas
batas-batas agama, perlu ditegaskan kembali bahwa pemahaman sosiologis agama diambil dari

9
pengalaman-pengalaman konkrit seputar agama yang dikumpulkan baik dari masa lalu maupun
dari peristiwa-peristiwa saat ini. Dengan demikian agama menurut sosiologi adalah definisi
empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi evaluatif tentang agama (judging), ia hanya
mampu memberikan definisi deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa
yang dipahami dan dialami oleh penganutnya.
3. Fungsi Agama Dalam Kehidupan Masyarakat
Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai sistem nilai yang
menciptakan norma-norma tertentu. Norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersikap dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan agamanya. Agama sangat penting dalam
kehidupan manusia. Agama begitu penting dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau
tidak, manusia sangat membutuhkan agama. Jika kita melihat dari sudut pandang sosiologis,
menurut E.K. Nottingham bahwa secara empiris, fungsi agama dalam masyarakat meliputi: (1)
faktor yang mengintegrasikan masyarakat; (2) faktor-faktor yang menyebabkan disintegrasi
masyarakat; (3) faktor yang dapat melestarikan nilai-nilai sosial; dan (4) faktor-faktor yang dapat
berperan kreatif, inovatif, dan bahkan revolusioner. Ditinjau dari fungsi agama bagi kehidupan
masyarakat, Nottingham membagi masyarakat menjadi tiga jenis. Tipe pertama adalah
masyarakat terbelakang dan memiliki nilai-nilai sakral. Pada tipe ini, setiap komunitas menganut
agama yang sama, oleh karena itu keanggotaan dalam komunitas dan kelompok agama adalah
sama. Kedua, masyarakat pra-industri yang sedang berkembang, dalam masyarakat ini organisasi
keagamaan telah dipisahkan dari organisasi sosial. Organisasi keagamaan adalah organisasi
formal yang memiliki staf profesional sendiri. Nilai-nilai religi berfokus terutama pada integrasi
perilaku individu dan pembentukan citra pribadinya. Ketiga, masyarakat industri sekuler.
Organisasi keagamaan terfragmentasi dan plural, ikatan antara organisasi keagamaan dan
pemerintahan duniawi sama sekali tidak ada. Agama cenderung dinilai sebagai bagian dari
kehidupan manusia yang berhubungan dengan akhirat, sedangkan pemerintahan berkaitan
dengan kehidupan duniawi (dalam Ishomuddin, 2002: 53). Apapun bentuk ikatan keagamaan dan
masyarakat, baik dalam bentuk organisasi maupun fungsi keagamaan, jelas bahwa dalam setiap
masyarakat, agama tetap memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat. Agama sebagai panutan
masyarakat, nampaknya masih berfungsi sebagai pedoman yang dijadikan sebagai sumber untuk
mengatur norma-norma kehidupan.

10
Sosiolog seperti Robertson Smith dan Emile Durkheim memandang munculnya
agama secara positif seiring dengan perkembangan masyarakat. Agama bagi mereka
bukanlah masalah individu tetapi representasi kolektif masyarakat. Mereka
menekankan bahwa agama pada dasarnya adalah tindakan kolektif masyarakat dalam
bentuk ritual, upacara keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
masyarakat berperan positif dalam pembentukan atau kemunculan agama. Agama
tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama sendiri sangat
dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ishomuddin (2002:54) menjelaskan,
dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat meliputi:
1. Fungsi Pendidikan
Pemeluk agama berpendapat bahwa ajaran agama yang dianutnya memberikan ajaran
yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis memiliki fungsi memerintahkan dan melarang.
Kedua unsur tersebut memiliki latar belakang yang mengarahkan tuntunan agar pemeluknya
menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
2. Fungsi Penyelamatan
Di mana pun manusia berada, dia selalu ingin dirinya aman. Keselamatan yang diajarkan
oleh agama adalah keselamatan yang mencakup bidang yang luas. Keselamatan yang diberikan
agama kepada pemeluknya adalah keselamatan yang meliputi dua alam, yaitu dunia dan akhirat.
Dalam mencapai keselamatan ini, agama mengajarkan pemeluknya melalui: pengenalan terhadap
hal-hal yang sakral berupa keimanan kepada Tuhan.
3. Berfungsi sebagai Pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah/berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui
bimbingan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera hilang dari benaknya jika seorang
pelanggar telah menebus dosanya melalui pertobatan, penyucian atau penebusan dosa.
4. Fungsi social Kontrol
Ajaran agama oleh pemeluknya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama
dapat berfungsi sebagai kontrol sosial secara individu maupun kelompok karena: pertama, agama
dalam suatu lembaga, merupakan norma bagi pemeluknya, kedua, agama secara dogmatis
(pengajaran) memiliki fungsi kritis. itu adalah kenabian. wahyu, kenabian).
5. Fungsi Menumbuhkan Rasa Solidaritas

11
Pemeluk agama yang sama secara psikologis pemeluk agama yang sama akan merasa
memiliki kesamaan dan satu kesatuan; iman dan kepercayaan. Rasa persatuan ini akan
menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok dan individu, bahkan terkadang mampu
menumbuhkan rasa persaudaraan yang kuat.
6. Fungsi Transformatif
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang/kelompok menjadi
kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan baru yang dia terima
berdasarkan ajaran agama yang dianutnya terkadang mampu mengubah kesetiaannya pada adat
atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.
7. Fungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak pemeluknya untuk bekerja secara produktif tidak
hanya untuk kepentingan sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Pemeluk agama tidak
hanya disuruh bekerja secara teratur dalam pola kehidupan yang sama, tetapi juga dituntut untuk
melakukan inovasi dan penemuan baru.
8. Fungsi Sublimatif Ajaran agama menyucikan semua usaha manusia, tidak hanya yang
bersifat ukhrawi, tetapi juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak
bertentangan dengan norma agama jika dilakukan dengan niat yang ikhlas, karena bagi Allah itu
ibadah.

4. Peran Agama Dalam Perubahan Sosial


Pembangunan masyarakat sebagai perubahan sosial yang terencana melibatkan banyak
elemen sosial, termasuk pemeluk agama, baik sebagai subjek maupun objek. Keterlibatan
pemeluk agama ini dapat dalam proses perencanaan, pelaksanaan atau pemanfaatan hasil
pembangunan, baik yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga pemerintah maupun oleh
masyarakat itu sendiri. Banyak kajian yang dilakukan mengenai ajaran agama dalam
memberikan dorongan kepada pemeluknya untuk berpartisipasi dalam proses perubahan dan
memberikan motivasi untuk proses aktif dalam pembangunan masyarakat. Pendiri agama,
pemuka agama, pemeluk dan pemeluk agama seringkali berasal dari latar belakang sosial yang
berbeda, dari kondisi sosial yang berbeda inilah yang menyebabkan munculnya dan
menyebarnya gagasan dan nilai yang pada akhirnya dapat mempengaruhi tindakan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, masyarakat tidak hanya merupakan bagian dari

12
struktur sosial, tetapi juga merupakan proses sosial yang kompleks, sehingga hubungan antara
nilai dan tujuan masyarakat hanya relatif stabil pada saat tertentu. Jadi ini menyebabkan
perubahan dalam masyarakat yang selalu lambat tetapi kumulatif, sementara beberapa perubahan
lain mungkin terjadi lebih cepat, begitu cepat sehingga dapat mengganggu struktur yang ada dan
matang. Perusakan bentuk-bentuk sosial dan budaya yang sudah mapan secara otomatis akan
mengakibatkan munculnya bentuk-bentuk baru yang merupakan proses yang berkesinambungan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat terkena dampak
perubahan sosial tersebut. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi agama dapat beradaptasi
dan di sisi lain dapat berfungsi sebagai alat legitimasi bagi proses perubahan yang terjadi di
sekitar kehidupan pemeluknya. Pembicaraan tentang peran agama di sini juga dapat dilihat
dalam dua hal, yaitu agama sebagai faktor integratif dan faktor disintegratif bagi masyarakat.
Peran agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan
ikatan bersama, baik di antara anggota beberapa komunitas maupun dalam kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Hal ini karena nilai-nilai yang mendasari sistem kewajiban
sosial secara bersama-sama didukung oleh kelompok agama sehingga agama menjamin
konsensus dalam masyarakat. Peran agama sebagai faktor disintegratif adalah bahwa meskipun
agama berperan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan mempertahankan
eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat berperan sebagai kekuatan
yang membubarkan, memecah belah dan bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat.
Hal ini merupakan konsekuensi betapa kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya
sendiri, sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan keberadaan pemeluk agama lain.
Jadi sebenarnya disintegrasi itu terjadi karena faktor manusia atau pemeluk agama, jika kita
merujuk pada Al-Qur'an menurut Kahmad (2002:146) menjelaskan, faktor konflik sebenarnya
berawal dari manusia, misalnya dalam Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan dalam
diri sendiri. manusia yang selalu berusaha menarik diri untuk menyimpang dari nilai dan norma
ketuhanan. Sejalan dengan perspektif teori konflik yang menyatakan bahwa masyarakat akan
menjadi lahan konflik. Dalam konteks perubahan sosial, yang diinginkan oleh ajaran agama
adalah perubahan yang memiliki dan mengutamakan nilai-nilai, yaitu perubahan dari sesuatu
yang buruk menjadi baik atau baik menjadi lebih baik. Secara sosiologis, munculnya semangat
perubahan sosial di Indonesia biasanya lebih terfokus pada pengembangan dinamika sosial,
meskipun pada gilirannya hampir semua aspek juga dapat memicu arah perubahan itu sendiri.

13
Bahkan sebagian sosiolog sepakat, bahwa perubahan di segala bidang merupakan keniscayaan
yang tidak bisa ditawar-tawar dan ditunda-tunda, meski dalam proses perjalanannya, kendala
yang tidak mudah ditemui. Ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam menyatukan
persepsi kehidupan masyarakat. Kehadiran agama secara fungsional sebagai “perekat sosial”,
memupuk solidaritas sosial, menciptakan kedamaian, membawa keselamatan, mengubah
kehidupan seseorang menjadi kehidupan yang lebih baik, memotivasi kerja dan seperangkat
peran, yang kesemuanya itu dalam rangka memelihara kehidupan sosial. stabilitas. Kedekatan
antara agama dan masyarakat tersebut berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk
memobilisasi masyarakat untuk perubahan sosial. Menurut Ishomuddin (2002:102) agama pada
suatu waktu dapat berfungsi sebagai penggerak perubahan dan pada waktu lain dapat berfungsi
sebagai penjaga status quo. Perbedaan posisi terhadap status quo dapat dijelaskan dengan melihat
lokasi sosial agama. Ada tiga kriteria yang dapat menggambarkan letak agama dalam
masyarakat. Dengan tiga kriteria ini akan memungkinkan untuk menentukan apakah agama akan
mendorong atau menghambat perubahan? Akankah agama berpihak pada status quo atau
menentangnya? Tiga kriteria tersebut adalah: pertama, pemisahan agama dari elemen masyarakat
lainnya. Jika agama, dalam hal nilai-nilai agama, tersebar dengan baik di semua institusi sosial
lainnya, kecil kemungkinannya hal itu akan mendorong perubahan sosial. Hal ini dapat
dimaklumi karena sasaran sebenarnya dari agama adalah difusi nilai-nilai dan cita-cita agama ke
dalam tatanan sosial. Ketika hal ini tercapai, agama akan cenderung berjalan di tempat dan
mempertahankan kondisi ini. Di sisi lain, jika agama terpojok dan hanya menjadi bagian
tersendiri dari masyarakat, maka agama akan mendorong perubahan ke arah difusi nilai-nilai
agama dalam masyarakat. Jika pemuka agama mendorong dan bahkan menjadi aktor perubahan
sosial, berarti agama telah dipisahkan dari masyarakat modern. Semakin jauh jarak, semakin kuat
agama mendorong perubahan sosial.
Kriteria kedua adalah posisi agama sebagai motivator aktivitas masyarakat. Dalam
masyarakat terdapat suatu bentuk kepercayaan yang berfungsi sebagai motivator untuk
bertindak. Weber, misalnya, menggambarkan motivasi masyarakat baru untuk melakukan
berbagai tindakan ekonomi untuk mencapai kemakmuran duniawi berdasarkan iman
Kristen. Menurutnya, motivasi keagamaan menjadi dasar lahirnya semangat
entrepreneurship di kalangan masyarakat Protestan. Dalam kaitannya dengan perubahan
sosial, agama akan menjadi alat yang sangat efektif untuk mendorong perubahan tersebut

14
jika dalam masyarakat tidak ada motif lain yang menyaingi agama sebagai motivator
tindakan. Ketika dorongan-dorongan agama masih melandasi segala aktivitas manusia,
maka pada saat itu agama akan dengan mudah menjadi penggerak perubahan, begitu pula
sebaliknya. Kriteria ketiga adalah kedudukan pemuka agama dalam masyarakat. Ada dua
sisi dari kriteria ini. Sisi pertama, adalah pengakuan kepemimpinan oleh rakyatnya. Sisi
kedua, adalah pengakuan kepemimpinan oleh pemimpin lainnya. Jika pengakuan
kepemimpinan yang diberikan rakyat kepada pemimpin kuat, sedangkan pemimpin lain
lemah, maka hal ini tidak mendorong perubahan sosial. Sebaliknya, jika pengakuan
kepemimpinan seorang pemuka agama dari masyarakat dan pemimpin lainnya lemah,
maka akan menghambat perubahan sosial. Hambatan untuk berubah juga terjadi ketika
kepemimpinan seorang pemimpin agama sangat diakui oleh pemimpin lain tetapi tidak
oleh pengikutnya.

KESIMPULAN
Penulis menyimpulkan bahwa Agama dalam kehidupan berfungsi sebagai sistem nilai
yang mengandung norma-norma. Norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap
dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan agamanya. Dalam konteks perubahan sosial,
agama berperan dalam perubahan sosial dengan memberikan gagasan dan nilai-nilai pembentuk
yang mempengaruhi tindakan manusia dan memotivasi proses aktif dalam pembangunan
masyarakat. Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress), posisi agama juga
memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebar kedamaian
dan cinta kasih antara lain, optimis terhadap masa depan, menegakkan keadilan, dan kemudian
menggunakan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, proses
perubahan sosial tidak lepas dari tanggung jawab seluruh masyarakat, khususnya para pemeluk
agama. Dari perspektif sosiologis, mengubah masyarakat menjadi lebih baik adalah keniscayaan
yang tak terhindarkan. Dengan kata lain, umat beragama, dengan semangat ajarannya, memikul
tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etika, dan spiritual sebagai dasar
pembangunan, untuk menjalani kehidupan yang harmonis.
REFERENSI
-JurnalAgama dan perubahan sosial - Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang

15
-Jurnal Agama dan perubahan sosial – (Tinjauan perspektif sosiologi agama)
-Agama dan Perubahan Sosial …/Middya Boty Istinbath/No.15/Th. XIV/Juni/2015/35-50

16

Anda mungkin juga menyukai