Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“AGAMA DAN MASYARAKAT DALAM PANDANGAN KAUM FUNGSIONALIS”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama

Dosen pengampu: Lisa Lidya,S.Pd.,SH.,MH

Disusun oleh:
Muhammad Fadli (312021073)

Dewi Pandu Kusuma Ningrum (3120210025)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

TAHUN AJARAN 2023 M / 1444 H


KATA PENGANTAR

‫ِبْس ِم ِهّٰللا الَّرْح َم ا ِن الَّرِح ْيِم‬

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Alhamdullilahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT shalawat beserta salam terc
urahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, dan pengi
kutnya, yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan. D
alam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Sosiologi Aggama dengan materi “AGAMA
DAN MASYARAKAT DALAM PANDANGAN KAUM FUNGSIONALIS”. Dalam pembu
atan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dar
i cara penulisan, maupun isinya.
Dalam proses penyusunan makalah ini kami ingin mengucapkan terimakasih yang seb
anyak-banyaknya kepada ibu Lisa Lidya,S.Pd.,SH.,MH, selaku dosen pengampu mata kuliah
Sosiologi Agama. Selanjutnya, kami masih memerlukan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Karena sesungguhnya tiada yang sempurna di
dunia ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT semata.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, Maret 2023

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

BAB 1.......................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN........................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1

1.3 Manfaat Penulisan..........................................................................................2

BAB 2.......................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN...........................................................................................................3

2.1 Agama dan Masyarakat..................................................................................3

2.2 Aliran Fungsionalis.........................................................................................4

2.3 Pandangan Kaum Fungsional Tentang Agama Dan Masyarakat.....................6

BAB 3........................................................................................................................ 12

PENUTUP................................................................................................................. 12

3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................13

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Emile Durkheim mengatakan bahwa agama merupakan sebuah sistem yang terpadu yan
g terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai
umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita mel
alui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya. Adapun fungsionalis
me merupakan teori yang menekankan bahwa unsur-unsur di dalam suatu masyarakat atau k
ebudayaan itu saling bergantung dan menjadi kesatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau
ajaran yang menekankan manfaat kepraktisan atau hubungan fungsional.
Istilah suatu fungsi menunjuk pada sumbangan yang diberikan agama, atau lemb
aga sosial yang lain, untuk mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan
berjalan terus-menerus. Perhatian kita adalah peranan yang telah dan masih dimainkan oleh
agama dalm rangka mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat.
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang masyarakat se
bagai suatu lembaga social yang berada dalam keseimbangan; yang memolakan kegiatan ma
nusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat pera
n serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga yang komplek ini secara keseluruhan merupa
kan sistim social yang sedemikian rupa dimana setiap bagian (masing-masing unsur kelemb
agaan itu) saling tergantung dengan semua bagian yang lain, sehingga perubahan salah satu
bagian akan mempengaruhi bagian yang lain pada akhirnya mempengaruhi kondisi system k
eseluruhan. Dalam pengertian ini, agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yan
g telah terlembaga. Karena itu lahirlah masalah, sejauh mana sumbangan masing-masing ko
mpleks kelembagaan ini dalam mempertahankan system social.
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusaan masalah yang akan dibahas ialah pandangan kaum fungsional tentang aga
ma dan masyarakat mengenai;

1. Apa itu Agama dan masyarakat,


2. Apa fungsi yang diperankan agama dalam rangka memelihara kelanggengan hidup ma
syarakat,

1
3. Bagaimana pandangan kaum fungsionalis?

1.3 Manfaat Penulisan


1. Memberi pengetahuan dan wawasan bagi pembaca dan penulis
2. Mengetahui apa itu agama dan masyarakat beserta fungsinya dan bagaimana pandang
an kaum fungsionalis terhadap agama dan masyarakat

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Agama dan Masyarakat


Menurut Talcot Parsons, agama merupakan suatu komitmen terhadap perilaku. Agama t
idak hanya berkembang dengan ide saja, tetapi merupakan suatu sistem berperilaku yang me
ndasar. Agama berfungsi mengintegrasikan perilaku masyarakat, baik perilaku lahiriah mau
pun simbolik. Agama menuntut terbentuknya moral sosial yang langsung berasal dari Tuhan.
Agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau amalan.
Emile Durkheim mengatakan, bahwa agama merupakan sumber kebudayaan yang sang
at tinggi. Masyarakat dan kebudayaan merupakan dwi tunggal yang sukar dibedakan. Di dal
amnya tersimpul sejumlah pengetahuan yang terpadu dengan kepercayaan dan nilai, yang m
enentukan perilaku anggota masyarakat. Dengan kata lain, di dalam kebudayaan tersimpul s
uatu simbol maknawi (symbolic system of meaning). Dilihat dari terminologi kebudayaan, a
gama merupakan cultural universal, artinya agama terdapat di setiap daerah kebudayaan. Sal
ah satu prinsip teori fungsional adalah segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap deng
an sendirinya.
Bronislow Malinowski menegaskan, bahwa kebutuhan dasar manusia harus dipenuhi ag
ar tidak terjadi ketimpangan sosial. Namun di dalam kehidupan manusia senantiasa terdapat
konflik antara rencana dan kenyataan. Menurutnya agama berperan memberikan peluang ke
pada manusia bahwa ada sumber kekuatan dan harapan yang lebih besar dari yang dimiliki
oleh manusia sendiri. Adanya kasus kematian yang membingungkan dan sukar diatasi manu
sia, menurut Malinowski merupakan sumber utama dari lahirnya kepercayaan agama.
Robert K. Merton mengatakan adanya dua fungsi yang diperankan oleh agama:
1. Fungsi manifest, yaitu fungsi yang disadari dan disengaja. Misalnya kebutuhan meny
embah Tuhan, melaksanakan ibadah dll.
2. Fungsi latin, yaitu fungsi yang tersembunyi, tidak disadari dan tidak disengaja. Misal
nya memenuhi kebutuhan manusia.
Fungsi agama dilihat dari pemenuhan sebagian atau seluruh kebutuhan manusia:
1. Inklusifitas, memandang agama sebagai aturan Tuhan yang sempurna untuk menjadi
pedoman hidup manusia di dunia dan akhirat.

3
2. Eksklusifitas, agama dipandang hanya berkaitan dengan masalah-masalah akhirat.
Menurut Brown, agama juga berfungsi untuk mencegah perilaku yang menyimpang. Pa
da kebanyakan masyarakat, di samping sangsi formal sebagai kontrol masyarakat, agama be
rperan juga sebagai pengendali masyarakat. Pada masyarakat-masyarakat yang bersahaja, ba
hkan penyimpangan terhadap norma-norma agama merupakan hal yang tabu. Keadaan yang
sama juga berlaku bagi orang yang taat beragama, yaitu pantang baginya untuk melanggar n
orma-norma agamanya.
Menurut Keith A. Roberts, fungsi agama ada tiga, yaitu: 1. Fungsi maknawi, memberik
an makna kepada perilaku setiap orang, yaitu mentransendensikan pengalaman setiap orang.
2. Fungsi identitas, memberikan kepada pemeluknya identitas sebagai orang yang beragama
yang sekaligus akan mengokohkan kepribadiannya. Pada saat yang sama dengan menyadari
identitasnya seorang individu akan bersikap dan berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya
(menidentifikasikan dengan komunitas agamanya) 3. Fungsi struktural, agama berfungsi me
mpertinggi stabilitas sosial (memperkecil terjadinya penyimpangan-penyimpangan), mempe
rkuat stratifikaksi sosial (adanya pengelompokkan sosial berdasarkan status yang dimiliki at
au berkaitan dengan agama), dan mendukung perubahan sosial (adanya perubahan yang did
asarkan pada agama).
Sedangkan, Menurut Greely, ada kemungkinan secara kronologis fungsi identitas mend
ahului fungsi maknawi. Tetapi menurut Lofland, fungsi maknawi adalah primer dan fungsi i
dentitas biasanya secara kronologis mendahuluinya.
2.2 Aliran Fungsionalis

Fungsionalisme ialah teori filsafat yang menganggap fenomena mental dalam kesatuan
dinamis sebagai suatu sistem dari fungsi untuk pemuasan kebutuhan yang sifatnya biologis. F
ungsionalisme adalah sebuah pemikiran yang tidak menolak substansi imaterial, tetapi menya
takan bahwa pada akhirnya semua substansi bersifat material. Fungsionalisme melihat masya
rakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainn
ya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam persp
ektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuh
i agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. 1

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Fungsionalisme#:~:text=Fungsionalisme%20adalah%20sebuah%20pemikiran%2
0yang,saling%20berhubungan%20satu%20dengan%20lainnya.

4
Penganut paham ini memandang setiap elemen masyarakat memberikan fungsi terhada
p elemen masyarakat lainnya. Perubahan yang muncul di suatu bagian masyarakat akan meni
mbulkan perubahan pada bagian yang lain pula. Perubahan dianggap mengacaukan keseimba
ngan masyarakat. Proses pengacauan itu berhenti pada saat perubahan tersebut telah diintegra
sikan kedalam kebudayaan (menjadi cara hidup masyarakat). Oleh sebab itu menurut paham i
ni unsur kebudayaan baru yang memiliki fungsi bagi masyarakat akan diterima, sebaliknya ya
ng disfungsional akan ditolak.2

Adapun Fungsionalisme struktural, yaitu sebuah teori sosiologi yang diciptakan oleh E
mile Durkheim yang berfokus kepada peran struktur sosial dalam menentukan dan memperta
hankan kohesi sosial atau tatanan sosial.3 Struktur dianggap sebagai tubuh masyarakat, semen
tara itu fungsi merupakan peran institusi sosial dalam sebuah organ atau tubuh masyarakat. 4

Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi atau guna
dari elemen-elemen konstituen; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi um
um yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan isi bagian masyarakat ini sebagai "orga
n" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" (tubuh) secara wajar. 5 Dalam arti yang pa
ling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan (sebisa mungkin) denga
n setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil d
an kohesif."

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaru
hnya dalam ilmu sosial pada abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fun
gsional yaitu Auguste Comte, Émile Durkheim dan Herbert Spencer. Pemikiran fungsionalis
me struktural sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat seba
gai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan. Ketergantu

2
Nur Djazifah (2012). Proses perubahan sosial di Masyarakat (PDF). Lembaga Penelitian dan Pen
gabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarat. hlm. 7-8.

3
Introduction to Sociological Theory, Theorists, Concepts, and their Applicability to the Twenty-First Century,
Michele Dillon. WILEY Blackwel (2014). p.113. ISBN ISBN 978-1-118-47192-0

4
Kisah Sosiologi - Pemikiran yang Mengubah Dunia dan Relasi Manusia, Kevin Nobel Kurniawan. Yayasan Pu
staka Obor Indonesia, Jakarta (2020). p.17. ISBN 978-602-433-909-8

5
John, U (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the TFC. Routledge. hlm. 23. ISBN 9
78-0-415-19089-3.

5
ngan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan
hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan fungsionalisme struktural ini juga
bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Émile Durkheim, di m
ana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte d
engan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert
Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organism
e, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, di
mana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminologi organismik ters
ebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan di mana di dalam
nya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai f
ungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interde
pendensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan me
rusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teor
i Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Mal
inowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional mo
dern.

2.3 Pandangan Kaum Fungsional Tentang Agama Dan Masyarakat

Perspektif fungsional adalah salah satu perspektif utama dalam kajian Sosiologi. Perspe
ktif ini berusaha menjelaskan bahwa masyarakat merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri
atas bagian-bagian yang berhubungan dan saling bekerja sama satu sama lain (Henslin, 2007a
16). Dengan kata lain, masyarakat dapat dikatakan sebagai sebuah bagian dari struktur yang
membentuk keseluruhan struktur sosial itu sendiri. Adapun struktur sosial merupakan keselur
uhan jaringan dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Sementara itu, unsur-un
sur sosial yang ada di dalam masyarakat meliputi lima aspek, yaitu: kelompok sosial, kebuda
yaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, dan kekuasaan-wewenang (Soekanto, 1993: 111).

Agama dalam perspektif ini diposisikan sebagai bagian dari unsur sosial yang ada di dal
am masyarakat. Secara spesifik, agama dalam perspektif ini dapat dimaknai sebagai suatu sist
em makna. Artinya, agama dapat memengaruhi struktur sosial lain dalam masyarakat, seperti

6
sistem pendidikan, politik, budaya, dan sebagainya. Selain itu, agama dalam perspektif ini jug
a dimaknai sebagai suatu lembaga sosial di masyarakat. Sebagai suatu lembaga, agama memil
iki fungsi-fungsi tertentu agar menciptakan masyarakat yang teratur dan terarah.

Kaum fungsionalis, memandang sumbangan agama terhadap masyarakat, karena manus


ia membuthkan referensi transendental, sesuatu yang berada di luar dunia empirik. Kebutuha
n itu sebagai konsekuensi dari tiga karakteristik eksistensi manusia:

1. Eksistensi manusia ditandai oleh rasa ketidakpastian dalam menghadapi alam.


2. Kamampuan manusia untuk mengendalikan alam sangat terbatas, sehingga timbul k
onflik antara keinginan dan ketidakberdayaan.
3. Manusia adalah makhluk sosial dengan segala alokasi kelangkaan fasilitas, yang me
nyebabkan perbedaan distribusi barang, nilai, dan norma hidup.6

Dalam pandangan fungsionalisme klasik, Emile Durkheim menjelaskan pengertian aga


ma sebagai sebuah sistem terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik ya
ng berhubungan dengan hal-hal yang diangggap sakral, yaitu hal-hal yang dipisahkan dan dil
arang—kepercayaan dan perilaku yang mempersatukan semua umatnya menjadi suatu komun
itas moral yang berdasarkan nilai-nilai bersama, yang disebut sebagai “Gereja”, dan semua or
ang taat padanya (Durkheim, 1992: 76; Ritzer dan Goodman, 2016: 104-105; Aldridge dalam
Scott, 2013: 221; Suyanto dan Narwoko, 2015: 246-247; Sunarto, 2004: 67).

Berdasarkan definisi tersebut, Durkheim lebih menitikberatkan agama sebagai suatu sis
tem sosial di masyarakat, yang mengatur segala hal yang dianggap sakral, maupun yang berk
aitan dengan nilai-nilai moralitas dalam masyarakat. Agama menurut pandangan Durkheim m
emiliki fungsi untuk dapat menumbuhkan kesadaran kolektif di dalam masyarakat tersebut. A
gama dapat mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada dengan berpedoman de
ngan hal-hal sakral tersebut (Scharf, 2004: 107).

Dari pandangan Durkheim mengenai fungsi sosial agama pada masyarakat, beberapa to
koh sosiolog modern kemudian mengembangkan kembali fungsi-fungsi agama yang ada di m
asyarakat, seperti John Milton Yinger, Peter L. Berger, Thomas Luckmann, dan Thomas O’D

6
Ajat Sudrajat, “SOSIOLOGI AGAMA”, http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/pendidikan/Agama+dan+
Masyarakat,+4.pdf.

7
ea. Dari berbagai pemikiran tokoh tersebut, secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi
tiga fungsi besar, yaitu: fungsi solidaritas sosial, fungsi pengendalian sosial, dan fungsi pegan
gan hidup. Adapun ketiga fungsi tersebut akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikut ini.

Pertama, fungsi solidaritas sosial. Fungsi ini merupakan pengembangan fungsi agama
menurut Durkheim. Agama dapat menopang persatuan dan membentuk solidaritas di tengah
masyarakat (Scharf, 2004: 107). Argumentasi tersebut kemudian diperkuat oleh J. M. Yinger.
Yinger bahkan dapat menyimpulkan bahwa setiap masyarakat memiliki kecenderungan untuk
menemukan tema-tema agama yang dapat mempersatukan. Tema-tema tersebut dapat dilihat
dari sejarah pengalaman manusia yang mampu mendirikan benteng pertahanan keagamaan da
lam mengatasi keputusasaan maupun frustrasi (Yinger dalam Scharf, 2004: 111-112). Begitu
pula dengan pendapat Peter L. Berger yang memaknai agama sebagai sistem makna yang dio
bjektivasikan secara sosial dalam masyarakat (Berger dalam Scharf, 2004: 113). Hasil dari ob
jektivasi tersebut dapat memperkuat solidaritas sosial yang dibangun pada masyarakat. Seme
ntara itu, Thomas Luckmann lebih menitikberatkan bagaimana proses pelembagaan agama da
lam membentuk ikatan sosial di dalam masyarakat (Luckmann dalam Scharf, 2004: 119).

Kedua, fungsi pengendalian sosial. Fungsi ini merupakan fungsi lanjutan dari fungsi s
olidaritas sosial. Suatu pengendalian sosial dapat berjalan dengan baik apabila solidaritas sosi
al pada masyarakat sudah terbentuk sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi sebuah benteng
perilaku anomie dalam masyarakat tersebut. Menurut Thomas O’Dea, bentuk pengendalian s
osial dalam sebuah agama dilakukan dengan sakralisasi norma-norma sosial. Dalam agama, n
orma-norma sosial yang mengatur kehidupan manusia tersebut dikaitkan dengan hal yang suc
i/sakral, sehingga agama dapat memperkuat legitimasinya di dalam masyarakat dan terjadi pe
nyesuaian identitas diri dalam masyarakat (O’Dea, 1994: 26-27; Scharf, 2004: 120).

Ketiga, fungsi pegangan hidup. Jika kedua fungsi sebelumnya lebih bersifat makro, m
aka fungsi berikut ini lebih bersifat mikro karena menyentuh ranah individual dalam beragam
a. Agama dalam hal ini dapat menjadi pegangan hidup setiap individu yang sedang menghada
pi masalah atau kesulitan dalam hidup. Sehingga, agama dapat memunculkan sikap optimism
e dan kesadaran bagi setiap individu tersebut. Argumentasi tersebut kemudian diperkuat oleh
Thomas O’Dea dan Yinger. Setiap manusia membutuhkan dukungan moral di saat menghada
pi kesulitan. Agama dalam hal ini menyediakan sarana emosional penting yang membantu in
dividu menghadapi kesulitan tersebut dengan menopang nilai dan norma yang sudah dibentuk,

8
serta memperkuat nilai-nilai moralitas yang tertanam di dalam individu tersebut (O’Dea, 199
4: 26; Yinger dalam Scharf, 2004: 108). Selain itu, agama juga dapat melibatkan individu dal
am proses belajar, maupun proses pendewasaan individu (O’Dea, 1994: 28-29).

Teori fungsional memandang sumbangan agama terhadap masyarakat dan kebudayaan


berdasarkan atas karakteristik pentingnya, yakni transendensi pengalaman sehari-harinya dala
m lingkungan alam. Teori fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai hasil dari t
iga karakteristik dasar eksistensi manusia. Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpast
ian, hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia di luar jangkauannya.
Dengan kata lain eksistensi manusia, ditandai oleh ketikpastian. Kedua, kesanggupan manusi
a untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi kondisi hidupnya, walaupun kesanggupan t
ersebut kian meningkat, pada dasarnya terbatas. Pada titik dasar tertentu, kondisi manusia dal
am kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh ketidakberdayaannya. K
etiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi ya
ng teratur dari berbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran.

Teori fungsional menumbuhkan perhatian kita pada sumbangan fungsional agama yang
jangkauan dan keyakinannya bahwa manusia berkepentingan pada sesuatu yang di luar jangk
auan itu telah memberikan suatu pandangan realitas supra-empiris menyeluruh yang lebih lua
s. Konteks realitas ini, kekecewaan dan frustasi yang dibebankan oleh ketidakpastian dan keti
dakmungkinan dan oleh tatanan masyarakat manusia yang telah terlembaga, akan terlihat dala
m berbagai pengertian yang ultima sebagai bermakna dan ini memungkinkan penerimaan dan
penyesuain dengannya. Apa lagi dengan memperlihatkan norma dan peraturan masyarakat se
bagai bagian dari tatanan etis supra-empiris yang lebih besar, telah ditetapkan dan disucikan o
leh kepercayaan dan praktek beragama, maka agama dalam hal ini telah mendorong penguata
n pelaksanaannya, bila ternyata tindakan umat bertentangan dengan keinginan atau kepenting
an undang-undang atau norma tersebut.

Teori fungsional memandang masyarakat sebagai suatu lembaga social yang berada dal
am keseimbangan; yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut
bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga
yang komplek ini secara keseluruhan merupakan sistim social yang sedemikian rupa dimana s
etiap bagian (masing-masing unsur kelembagaan itu) saling tergantung dengan semua bagian
yang lain, sehingga perubahan salah satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain pada a

9
khirnya mempengaruhi kondisi system keseluruhan. Dalam pengertian ini, agama merupakan
salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga. Karena itu lahirlah masalah, sejau
h mana sumbangan masing-masing kompleks kelembagaan ini dalam mempertahankan syste
m social.

Teori fungsional menyediakan suatu jalur atau jalan masuk yang bermanfaat untuk me
mahami agama sebagai fenomena social yang universal. Ini mencuatkan perhatian kita pada a
spek-aspek strategis semua agama; kerangka transendensi dan arti penting fungsionalnya terh
adap kebudayaan, masyarakat dan kepribadian manusia. Agama memberi kebudayaan sebaga
i tempat berpijak yang berada di luar pembuktian empiris atau tidak terbukti, atas dasar mana
makna yang tertinggi dipostulatkan.

Agama memberikan sumbangan pada sistem social dalam arti pada titik kritis, pada saat
manusia menghadapi ketidakpastian dan ketidakberdayaan, agama menawarkan jawaban terh
adap masalah makna. Ia juga menyediakan sarana untuk menyesuaikan diri dengan frustrasi k
arena kecewa, apakah itu berasal dari kondisi manusia ataupun dari susunan kelembagaan ma
syarakat. Fungsi agama bagi kepribadian manusia ialah menyediakan dasar pokok yang menj
amin usaha dan kehidupan yang menyeluruh, dan menawarkan jalan keluar bagi pengungkap
an kebutuhan dan rasa haru serta penawar bagi emosi manusia. Sebaliknya agama mendukun
g disiplin manusia melalui pemuasan norma dan nilai-nilai masyarkat, yang karena itu memai
nkan peran mensosialisir individu dan dalam mempertahankan stabilitas social.

Sama halnya dengan pendekatan fungsional ialah sarana “konsepsi” dalam memahami
hubungan antara agama dengan masyarakat pendekatannya terhadap studi agama yang seteng
ah-setengah dan tak lengkap. Banyak masalah agama yang cukup berarti tidak diajukan dan ti
dak dijawab. Pendekatan fungsional juga cenderung menitik beratkan fungsi konservatif aga
ma dan mengabaikan sifat kreatif dan revolusionernya yang potensial. Kasus inilah khususny
a yang dijumpai bila masalah fungsional didekati dalam konteks analisa system social, ketim
bang dari sudut analisa tindakan (action analisis) seperti pendekatan parsons. Dalam konteks
sistem social, teori fungsional menunjukkan bahwa agama merupakan kebutuhan fungsional
di semua masyarakat dan karenanya kelompok-kelompok di masyarakat yang menentang aga
ma jelas “keliru”. Jadi teori fungsional sengaja memasuki distorsi “apologetic”, walaupun ke
yakinan praktisnya tidak demikian.

10
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulnkan bahwasannya;
1. Emile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yan
g terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita
sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan k
eimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesucian
nya. Sedangkan fungsionalisme merupakan teori yang menekankan bahwa unsur-un
sur di dalam suatu masyarakat atau kebudayaan itu saling bergantung dan menjadi k
esatuan yang berfungsi sebagai doktrin atau ajaran yang menekankan manfaat kepra
ktisan atau hubungan fungsional.
2. Teori fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai hasil dari tiga kar
akteristik dasar eksistensi manusia. Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakp
astian, Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan untuk mempengaru
hi kondisi hidupnya, Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan suatu masyar
akat merupakan suatu alokasi yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjar
an.

11
3. Dari sudut pandang teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan d
engan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidak
berdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kon
disi manusia.
4. Fungsi agama dapat kita lihat dari sudut pandang empiris, praktik, dan sosiologi
s.

Jadi, seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk me
ngatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang seb
agai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ireneus Mario Muljadi. “Agama dalam Perspektif Fungsionalisme”. 7 Januari 2018. htt
ps://sosiomagis.wordpress.com/2018/01/07/agama-dalam-perspektif-fungsionalisme/

“Sosiologi Agama”. Kamis, Maret 10, 2016. https://www.bonarsitumorang.com/2016/0


3/pemahaman-tentang-sosioogi-agama.html

“Agama dan Masyarakat Pendekatan Fungsionalisme (Makalah)”. Selaasa, April 21, 20


15. https://hindualukta.blogspot.com/2015/04/agama-dan-masyarakat-pendekatan.html

Ajat Sudrajat. “Sosioloi Agama”. http://staffnew.uny.ac.id/upload/131862252/pendidik


an/Agama+dan+Masyarakat,+4.pdf

M. Yusuf Wibisono. Sosiologi Agama. UIN Sunan Gunung jati Bandung. November 20
20

12

Anda mungkin juga menyukai