Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SOSIOLOGI AGAMA
TENTANG PELEMBAGAAN AGAMA

DI SUSUN
OLEH:
NAMA: WAHIDIN
NIM: 1963040011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI (S1)


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan anugerahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan benar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama yang diberikan oleh
Bapak Andi Dody May Putra Agustan, S.Sos, M.Pd. dengan makalah yang berjudul “Kelembagaan
Agama”.
Kami menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini masih terbatas dan jauh dri kata sempurna, hal
ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan para pembaca untuk dapat memberikan masukan yang bersifat membangun sehingga
kami bisa memperbaiki baik dari segi bentuk dan isinya, sehingga kedepannya makalah ini dapat
menjadi lebih baik.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengerian Lembaga Agama
B. Unsur-unsur Lembaga Agama
C. Fungsi-fungsi Lembaga Agama
D. Macam dan Contoh Lembaga Agama
E. Pemujaan
F. Tampilnya Pola-pola Kepercayaan
G. Rasionalisasi Pola-pola Keagamaan
H. Tampilnya Organisasi Keagamaan
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan jumlah
umat Islam Indonesia merupakan yang terbanyak diantara negara–negara didunia sekarang ini. Secara
umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama dan mempercayai adanya Tuhan.
Dalam prakteknya sekarang ini tidak mencerminkan masyarakat yang beragama. Kehidupan
keberagamaan masyarakat Indonesia yang agamis, tidak tercermin dalam kehidupan
sosialnya.Kehidupan masyarakat yang modern sekarang ini, ditandai dengan ketersediaan berbagai
fasilitas hidup yang memungkinkan manusia memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi, untuk
mencapai kebutuhan utamanya dengan mudah, peran agama tetap diperlukan.Pengabaian terhadap
tuntunan agama dalam kehidupan modernakan berakibat munculnya malapetaka bagi umat manusia
secara meluas sebab manusia modern tanpa bimbingan agama akan bebas mengikuti kecenderungan
nafsu serta keinginan mereka, sekalipun harus mengorbankan hak dan kepentingan pihak lain.
Masyarakat perkotaan yang modern cenderung mengabaikan arti pentingnya agama dalam mengisi
sendi-sendi kehidupannya. Lembaga-lembaga agama kurang memberikan kontribusi secara langsung
kepada masyarakat terutama terhadap kesalehan sosialnya. Perspektif sosiologis, memandang agama
sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku tertentu. Berkaitan dengan pengalaman
manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Setiap perilaku yang diperankannya akan terkait
dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan
oleh kekuatandari dalam yang didasarkan pada nilai–nilai ajaran agama yang menginternalisasi
sebelumnya. Wach lebih jauh beranggapan bahwa keagamaan yang bersifat subjektif, dapat di
objektifkan dalam berbagai macamungkapan.
Di kehidupan bermasyarakat, lembaga agama tentu memiliki peran yang sangat penting. Ironisnya,
peran lembaga agama tersebut sering tidak kita sadari. Untuk itu penting bagi kita mempelajari
sedikit banyak mengenai lembaga agama di Indonesia ini. Lembaga keagamaan adalah organisasi
yang dibentuk oleh umat beragama denganmaksud untuk memajukan kepentingan keagamaan umat
yang bersangkutan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup keagamaan masing-masing umat beragama tepatnya iyalah
lembaga keagamaan di Indonesiaa.
Lembaga-lembaga keagamaan perlu diupayakan untuk membina rasa pemeluknyadalam rangka
meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat yang taqwaakan melahirkan manusia-
manusia yang baik dan beriman sehingga tercipta warga negarayang tahu hak dan kewajibannya baik
sebagai makhluk individu mapun makhluk sosial. Keberadaan lembaga-lembaga keagamaan
memberikan rasa aman bagi setiap warga negaradan umat beragama agar dapat beribadah kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa diliputi rasaketakutan kepada pihak lain. Setiap umat beragama dapat
selalu meningkatkan danmengembangkana diri dalam mempelajari dan memahami serta
melaksanakan agama yangdianutnya dalam rangka meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Apabila ketentraman menjalankan ibadah sudah baik, dengan sendirinya
kepentinganumum akan tercipta, tidak akan terjadi kegaduhan, keributan, dan saling menyalahkan.
Selanjutnya keamanan, kedamaian dan ketenangan dalam masyarakat akan terbina dengan baik.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang di bahas dalam makalah ini yaitu:
1. Menjelaskan fungsi-fungsi pelembagaan agama
2. Menjelaskan macam-macam pelembagaan agama
3. Menjelaskan apa saja bentuk pemujaan dalam agama
4. Menjelaskan pola-pola keagamaan serta kepercayaan

TUJUAN PEMBAHASAN
Agar si pembaca dapat memahami mengenai tentang pelembagaan agama, serta mengetahui apa-
apa saja macam-macam pelembagaan agama yang ada di pelembagaan agama yang ada di
indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lembaga Agama
Lembaga agama adalah lembaga yang mengatur kehidupan atau tingkah laku manusia yang
berkaitan dalam hidup beragama. Selain itu lembaga agama adalah suatu organisasi yang
dibentuk oleh umat beragama dengan maksud memajukan kepentingan hidup beragama yang
ada didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun pengertian lain dari
lembaga agama adalah praktek keagamaan dan sistem keyakinan dalam masyarakat yang telah
dibakukan dan dirumuskan.
Menurut Emile Durkheim lembaga agama adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat
praktek yang berhubungan dengan agama, kepercayaan dan hal-hal suci yang berguna untuk
mempersatukan umat.
Sedangkan menurut Bruce J lembaga agama adalah lembaga yang bertujuan untuk mengatur
kehidupan manusia dalam beragama. Fungsinya untuk pencarian identitas moral, memberikan
tafsiran dan penjelasan serta meningkatkan solidaritas kelompok.
Secara umum, lembaga agama adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan
maksud untuk memajukan suatu kepentingan hidup beragama yang ada didalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Unsur-unsur Lembaga Agama


Kepercayaan
Setiap agama pasti memiliki kepecayaan seperti percaya kepada Tuhan, nabi-nabi, dan kitab.
Simbol
Setiap agama mengenal berbagai lambang atau simbol, baik itu berupa pakaian, ucapan,
tulisan maupun tindakan.
Praktek
Setiap ajaran agama yang ada memiliki praktek keagamaan seperti sholat, kebaktian, puasa,
semedi, dan lain sebagainya.
Pemeluk
Agama memiliki sejumlah pemeluk/ pengikut.
Pengalaman keagamaan
Setiap pemeluk agama memiliki beberapa bentuk pengalaman keagamaan

C. Fungsi-fungsi Lembaga Agama


 Untuk Sebagai pedoman hidup
 Sebagai Sumber kebenaran
 Sebagai pengatur tata cara hubungan antara manusia dengan manusia dengan Tuhan
 Sebagai Tuntunan prinsip benar dan salah
 Sebagai pedoman pengungkapan suatu perasaan persaudaraan didalam sebuah agama yang
diwajibkan berbuat baik terhadap sesama manusia.
 Sebagai pedoman keyakinan manusia yang melakukan perbuatan baik yang harus selalu
disertai dengan sebuah keyakinan bahwa perbuatannya ialah kewajiban dari Tuhan dan
yakin perbuatannya itu akan mendapatkan suatu pahala, meskipun perbuatnnya sekecil
apapun.
 Sebagai pedoman Keberadaan yang pada hakikatnya makhluk hidup didunia ini
merupakan ciptaan tuhan.
 Sebagai pengungkapan perasaan suatu nilai estetika manusia yang cenderung menyukai
keindahan karena keindahan merupakan bagian dari jiwa manusia.
 Sebagai pedoman buat rekreasi dan hiburan. Dalam mencari suatu kepuasan batin yang
melalui rekreasi dan hiburan, tidak melanggar suatu kaidah-kaidah agama.

D. Macam dan Contoh Lembaga Agama


Macam-macam lembaga
Agama Islam
Agama Kristen Protestan
Agama Katolik
Agama Hindu
Agama Buddha
Agama Kong Hu Cu

Contoh lembaga agama


Islam : Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kristen : Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)
Katolik : Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
Hindu : Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Buddha : Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
Khonghucu : Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin)
Adapun Masing-masing Penjelasan dari lembaga-lembaga agama di atas
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi
ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan
mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran
utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar

Hubungan dengan pihak eksternal


Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta
tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan
masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-
organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom
dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian
dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam
mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis
Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-
struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi
memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman
umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi
ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin
hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang
dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.
Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa
organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi
bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama
antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia
ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi
Seluruh Alam).
PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia)
PGI (bahasa Inggris: Council of Churches in Indonesia (CCI); dulu disebut “Dewan Gereja-
gereja di Indonesia” – DGI didirikan pada 25 Mei 1950 di Jakarta sebagai perwujudan dari
kerinduan umat Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai Tubuh
Kristus yang terpecah-pecah. Karena itu, PGI menyatakan bahwa tujuan pembentukannya
adalah “mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.”
Peranan PGI
Untuk mengatur, dan menjadi wadah perlindungan hukum bagi Gereja-Gereja di Indonesia.
KWI (Konferensi Waligereja Indonesia)
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI atau Kawali) adalah organisasi Gereja Katolik yang
beranggotakan para Uskup di Indonesia dan bertujuan menggalang persatuan dan kerja sama
dalam tugas pastoral memimpin umat Katolik Indonesia.
Masing-masing Uskup adalah otonom dan KWI tidak berada di atas maupun membawahi para
Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang
menjadi anggota KWI adalah para Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang
sudah pensiun. KWI bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup.
Pada 2006 anggota KWI berjumlah 36 orang, sesuai dengan jumlah keuskupan di Indonesia
(35 keuskupan) ditambah seorang uskup dari Ambon (Ambon memiliki 2 uskup).
PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)
Parisada Hindu Dharma Indonesia (disingkat PHDI) adalah majelis organisasi umat Hindu
Indonesia yang mengurusi kepentingan keagamaan maupun sosial.
PHDI yang awalnya bernama Parisada Hindu Dharma Bali ini didirikan di pada tahun 1959
untuk memperjuangkan agar agama Hindu menjadi agama yang diakui di Indonesia. Pada
tahun 1964, nama organisasi ini diubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, yang
mencerminkan upaya-upaya selanjutnya untuk mendefinisikan Hindu tidak hanya sebagai
kepentingan Bali tetapi juga nasional. Pengurus Pusat PHDI berkedudukan di Jakarta.
WALUBI
Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) adalah wadah kebersamaan organisasi umat
Buddha Indonesia yang terdiri dari Majelis-Majelis Agama Buddha, Lembaga Keagamaan
Buddha, Dewan Sangha, Badan Kehormatan dan Wadah Kemasyarakatan yang bernapaskan
Agama Buddha.
Matakin
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah organisasi
yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada
tahun 1955.
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga keagamaannya di
Nusantara atau Indonesia sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bersamaan dengan
kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa ke tanah air. Mengingat sejak zaman
Sam Kok yang berlangsung sekitar abad ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah
satu di antara Tiga Agama Besar di China waktu itu; lebih-lebih sejak zaman dinasti Han, atau
tepatnya tahun 136 sebelum Masehi telah dijadikan Agama Negara.
Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah berlangsung berabad-abad lamanya,
Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819. Di Surabaya didirikan
tempat ibadah Agama Khonghucu yang disebut mula-mula : Boen Tjhiang Soe, kemudian
dipugar kembali dan disebut sebagai Boen Bio pada tahun 1906. Sampai dengan sekarang
Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan 131, Surabaya masih terpelihara dengan baik
dibawah asuhan Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) “Boen Bio” Surabaya.
Di Solo didirikan Khong Kauw Hwee sebagai Lembaga Agama Khonghucu pada tahun 1918.
Pada tahun 1923 telah diadakan Kongres pertama Khong Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat
Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat.
Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain
membahas tentang Tata Agama Khonghucu agar seragam di seluruh kepulauan Nusantara.

E. Pemujaan
Secara sosiologis sesungguhnya kebanyakan dari gerakan-gerakan keagamaan baru–termasuk
agama-agama yang kini menjadi mainstream-pada awalnya merupakan kelompok kecil yang
memberontak terhadap tatanan keagamaan dan politik yang telah mapan. Gerakan keagamaan
baru biasanya bertendensi untuk menunjukkan diri mereka secara atraktif terhadap masyarakat
yang menganggap mereka marginal ataupun melakukan perlawanan terhadap masyarakat
yang dominan beserta sistem nilainya.
Sebagai konsekuensi kemudian ketegangan (tension) antara gerakan keagamaan baru itu
dengan masyarakat luas menjadi hal yang biasa dan tidak bisa dihindari.Secara teologis dan
ritual, belakangan maraknya gerakan keagamaan baru disinyalir justru menjauhkan dari
substansi ajaran dan praktek agama secara autentik. Dalam kontek ini, justru bermunculannya
gerakan-gerakan keagamaan baru tersebut malah semakin berkembang ajaran dan praktek-
praktek keagamaan yang bersifat heresy (bid‘ah dan sempalan) secara masif dan ekstrem.
Secara empiris, kemunculan gerakan-gerakan keagamaan baru saat ini telah menarik beberapa
gerakan organisasi Islam yang sudah mapan, baik yang bersifat tradisionalis maupun
modernis-reformis dalam menyikapi dan bahkan mengantisipasinya. Untuk konteks Indonesia
misalnya penyikapan dari organisasi Islam yang mewakili gerakan tradisonalis, yang biasanya
disematkan kepada organisasi keagamaan Nahdathul Ulama dan yang mewakili modernis-
reformis biasanya disematkan kepada organisasi keagamaan Muhammdiyah. Pemetaan aliran
gerakan yang disematkan kepada Nahdathul Ulama dan Muhammadiyah tersebut sebenarnya
sudah banyak yang mempertanyakannya tetapi tetap saja beberapa cendikiawan masih
mempertahankannya hanya untuk kepentingan membedakannya secara distingtif.
Pemujaan dimulai sejak manusia dilahirkan dengan akal yang dimilikinya. Manusia telah
berfikir kritis tentang alam dan kejadiannya. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengagumi
dan bersyukur kepada Sang Pencipta. Dalam mencari bentuk-bentuk pemujaan dapat berupa
ibadah sebagai media komunikasi antara manusia dengan Tuhan, membangun tempat ibadah
yang sebaik-baiknya, mencipta lagu, puisi, novel, film, dan sebagainya yang bertema
mencintai Sang Pencipta.
Pemujaan adalah salah satu menefestasi cinta manusia kepada tuhannya yang diwujudka
dalam bentuk komunikasi ritual. Pemujaan kepada tuhan adalah inti, nilai dan makna
kehidupan yang sebenarnya. Apa sebab itu terjadi adalah karena tuhan menciptakan alam
semesta. Seperti dalamsurat Al-Furqon ayat 59 yang menyatakan,” Yang menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia barsemayam
di atas araysy,(Dia-lah) yang maha pengasih, maka tanyakanlah(tentang allah) kepada orang
yang lebih mengetahui (muhammad)”. Dalam kehidupan manusia terdapat berbagai cara
pemujaan sesuai dengan agama,kepercayaan, kondisi dan situasi .
Pemujaan-pemujaan itu sebenarnya karena manusia ingin berkomunikasi dengan tuhannya.
Hal ini manusia mohon ampun atas segala dosanya, mohon perlindungan, mohon dilimpahkan
kebijaksanaan, agar ditunjukkan jalan yang benar, mohon ditambahkan segala kekurangan
yang ada padanya, dan lain-lain.
Bila setiap hari sekian kali manusia memuja kebesaran dan selalu mohon apa yang kita
inginkan. Dan tuhan selalu mengabulkan permintaan umatnya sesuai kebutuhannya, maka
wajarlah cinta manusia kepada tuhan adalah cinta mutlak ( cinta hakiki). Cinta yang tak dapat
ditawar-tawar lagi , alangkah besar dosa kita , apabila kita tidak mencintainya meskipun
hanya sekejap.
Adapun beberapa contoh pemujaan sebagai berikut:
· Puja memuja sesama antar manusia
Dalam hal kaitan ini yang dimaksud puja memuja sesama antar manusia adalah pada hal layak
umumnya mungkin saja pemujaan dalam hal mengagumi disertai dengan rasa jatuh cinta yang
menyebabkan perubahan sikap, perilaku, atau tutur kata layaknya seperti orang yang sedang
jatuh cinta terhadap seseorang yang dia puja. Atau bisa saja seseorang yang biasa saja memuja
seorang figur idola yang sangat mengesankan baginya.
· Puja seorang manusia terhadap alam
Manusia memuja alam mungkin maksudnya agar alam lebih beriskap ramah dan bersahabat
dengan manusia. Agar alam dapat bersahabat, maka diperlakukan pemujaan oleh manusia
melalui perbuatan ritual. Kadar ritualnya senantiasa di tentukan oleh kesempurnaan dalam
satu cara pemujaan, lengkap dengan peralatan yang berfungsi sebagai simbol. Setiap simbol
selalu mewakili berbagai aspek dari aktifitas tingkah laku manusia. Walaupun demikian alam
tak pernah mengingkari janji setelah ditaklukkan, dikurasi, dikuasai, digarap habis-habisan.
Alam beraksi menjatuhkan sanksi atau sebuah teguran dengan berbagai bentuk (banjir,
gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi) dan setelah itu manusia sendirilah yang meratapi
nasibnya.
· Puja manusia terhadap benda
Pada hakekatnya benda (materi) sangat di butuhkan dalam kehidupan manusia, sepanjang
benda itu mungkin saja bukan merupakan tujuan akhir. Pemujaan manusia terhadap benda
secara berlebihan pasti akan mengundang kejanggalan. Karena bisa saja benda beralih fungsi
yang tadinya peranannya sebagai alat perpaduan hidup berubah menjadi sesuatu yang dipuja,
dipertuhan, atau disembah - sembah. untuk contoh adalah ada saja dari dulu hingga kini yang
masih memuja atau menyembah patung atau berhala atau apapun benda yang dianggap
manusia itu sebagai pujaannya atau bisa saja mungkin sebagai Tuhannya.
· Puja manusia terhadap dewa
Hal ini kaitannya termasuk dalam lingkup keyakinan berkepercayaan (agama). Namun
demikian keyakinan berkepercayaan seperti itu tak perlu diganggu gugat, bahkan sebaliknya
harus di hargai karena keyakinan berkepercayaan sebagaimana di maksud adalah milik orang
lain dan merupakan hak mereka untuk memiliki atau memeluk suatu kepercayaan.
· Puja manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Pemujaan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa pelaksanaannya berbeda-beda sesuai
dengan agama yang diyakini oleh setiap kelompok masyarakat. Contohnya dikalangan
masyarakat yang beragama islam khususnya, pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
diatur berdasarkan dengan syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan diperjelas teknis serta
cara pelaksanaannya melalui hadits Rasulullah. Bahkan dengan kekhususan pemujaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dan semata-mata untuk dipuji hanya Allah.
. Pemujaan terhadap leluhur
Pemujaan terhadap leluhur atau nenek moyang timbul karena adanya kedudukan tokoh yang
menonjol dan menimbulkan penghormatan kepada tokoh setelah ia meninggal. Gejala sosial
yang menonjol setelah tokoh meninggal dunia dimulai dari prosesi penguburan, pembuatan
bangunan symbol berupa bermacam-macam bangunan megalitik.
Salah satu contohnya yaitu pada penduduk Tionghoa yang masih menjalankan budaya dan
tradisi pemujaan leluhur hingga saat ini. Pemujaan terhadap leluhur dijalankan untuk
menolong seseorang mengingat kembali asal-usulnya, dan dipandang sebagai perwujudan dari
bakti anak terhadap orang tua atau leluhurnya. Contoh lain yaitu dalam pelaksanaan upacara
pemakaman di Toraja yaitu Rambu Solo’, upacara ini merupakan bentuk pemujaan terhadap
arwah nenek moyang dan para leluhur mereka.
. Pemujaan terhadap materi
Pemujaan terhadap materi termasuk dalam kepercayaan dinamisme, dimana kepercayaan ini
percaya bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Kekuatan gaib yang dipercaya
itu berasal dari benda-benda seperti keris, patung, gunung, pohon besar, danlain-lain.
. Pemujaan terhadap hewan yang dianggap suci
Pemujaan terhadap hewan yang dianggap suci ini termasuk dalam kepercayaan toteisme yang
percaya bahwa hewan tertentu dianggap suci dan dipuja karena memiliki kekuatan
supranatural. Hewan yang dianggap suci antara lain sapi, ular, dan harimau. Seperti halnya
pada penganit agama hindu yang melakukan pemujaan terhadap lembu yang dianggap sacral
bagi umat hindu dan keharusan untuk tidak memakan dagingnya adalah nilai-nilai moral yang
bersumber pada fakta tersebut.

F. Tampilnya Pola-Pola Kepercayaan


Putusan MK tersebut menjamin aliran kepercayaan di Indonesia selain agama Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu, yang sebelumnya dianggap
sebagai "agama resmi" di Indonesia.
Terdapat banyak sekali aliran kepercayaan di berbagai daerah di Indonesia, misalnya
kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat adat Dayak, Sunda Wiwitan dari Jawa Barat, dan
lain sebagainya. Dalam kajian antropologi dasar, istilah kepercayaan biasanya membahas
mengenai kepercayaan-kepercayaan yang dianut manusia di zaman pra-aksara (pra-sejarah)
atau masa ketika manusia belum mengenal tulisan. Namun, kepercayaan juga berkaitan
dengan kepercayaan agama, seperti kepercayaan politeisme yang meyakini banyak Tuhan,
hingga monoteisme yang meyakini keesaan Tuhan. Berikut jenis-jenis kepercayaan;

1. Animisme
Animisme artinya kepercayaan bahwa manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan memiliki
jiwa atau roh tertentu. Kepercayaan animisme memuja roh, termasuk roh orang yang sudah
meninggal, ada juga yang menyembah pohon atau binatang yang sebenarnya bukan benda
atau materinya, melainkan jiwa atau roh yang ada dalam pohon atau binatang tersebut.

2. Dinamisme
Kepercayaan dinamisme menganggap bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib.
Dalam antropologi, kekuatan gaib yang diyakini penganut dinamisme itu istilahnya adalah
mana. Karena itulah, kepercayaan dinamisme juga dikenal sebagai manaisme. Kekuatan gaib
nan sakti itu, dalam pandangan dinamisme, berpengaruh pada hidup manusia. Pengaruhnya
dapat berdampak buruk atau bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai misal, aliran
dinamisme meyakini bahwa batu akik, keris, kain tertentu memiliki kekuatan sakti yang
ampuh untuk digunakan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Baca juga: Arti Kearifan
Lokal di Indonesia: Nilai, Dimensi, Contoh, & Fungsi Bentuk Perubahan Sosial Masyarakat:
Revolusi, Evolusi, Kebudayaan Mengenal Apa Itu Budaya, Adat dan Kelompok Etnis.

3. Totemisme
Totemisme berasal dari kata Ojibwa dari Suku Algonkin, Amerika Utara. Arti totem dapat
berupa burung, ikan, binatang, atau tumbuhan tertentu. Totemisme meyakini bahwa ada daya
atau sifat keilahian pada benda-benda tertentu, selain manusia. Kepercayaan ini menganggap
bahwa hewan atau tumbuhan tertentu dapat memberi pengaruh, baik itu pengaruh baik atau
dampak buruk bagi penganutnya. Lazimnya, penganut totemisme menganggap keramat hewan
atau tumbuhan yang dipercaya sebagai totem, serta dilarang membunuh atau memakan hewan
atau tumbuhan tersebut.

4. Politeisme Dalam bahasa Yunani,


Politeisme artinya banyak Tuhan. Dalam hal ini, politeisme meyakini bahwa Tuhan tidak esa,
tidak tunggal, serta lebih dari satu. Biasanya, politeisme dianggap sebagai kepercayaan
terhadap keberadaan dewa-dewi yang memiliki tugas-tugas tertentu untuk mengatur urusan
semesta. Baca juga: Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Lokasi, & Pusat Pengajaran Buddha Sejarah
Kerajaan Samudera Pasai: Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan Sejarah Kerajaan Kristen di
Indonesia: Larantuka, Siau, dan Manado Namun, sebenarnya, segala kepercayaan yang
meyakini bahwa terdapat beberapa Tuhan yang mengatur urusan dunia, terkhusus perkara
manusia, dianggap sebagai politeisme. Dalam aliran politeisme juga diyakini bahwa dewa-
dewi tertentu lebih unggul daripada dewa lainnya. Misalnya, Dewa Zeus dianggap lebih hebat
daripada Dewa Hermes, Dewi Afrodit, dan lain sebagainya.

5. Panteisme
Aliran panteisme meyakini bahwa alam semesta adalah Tuhan. Kepercayaan ini menafikan
keyakinan bahwa Tuhan menciptakan alam atau kehadirannya di luar alam. Penganut
panteisme berpendapat bahwa Tuhan itu melingkupi segalanya melalui alam semesta ini.

6. Monoteisme
Berkebalikan dengan politeisme yang meyakini banyak Tuhan, kepercayaan monoteisme
berpendapat bahwa hanya ada satu Tuhan, yang esa, atau tunggal. Agama Islam, Yahudi, dan
Kristen tergolong agama monoteis.

G. Rasional Pola-Pola Keagamaan


Tiap-tiap tingkat perkembangan rasionalitas manusia ditandai dengan bentuk-bentuk sosial
yang berbeda. Tingkat perkembangan magis ditandai dengan adaptasi individu atas norma-
norma dan kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia. Menurut sistem kepercayaan
magis, manusia dikelilingi oleh kekuatankekuatan supranatural yang belum disistematisasikan
sehingga kekuatan-kekuatan itu bisa bersifat konstruktif atau destruktif terhadap manusia.
Magis memanipulasi kekuatan- kekuatan ini secara sistematik dalam rangka mencapai tujuan-
tujuan praktis yang spesifik, seperti sistematisasi kekuatan- kekuatan alam untuk mewujudkan
kekayaan, kesehatan, keselamatan, dijauhkan dari gangguan setan, dan lain-lain. Sedangkan
tingkat perkembangan agama, keberadaan norma-normanya telah diinternalisasi dan
disistematisasi.
Norma- norma yang telah sistematis itu kemudian menjadi guide dalam perilaku sosial tiap-
tiap pemeluknya. Selain itu, norma-norma itu juga menjadi sumber interpretasi atas realitas
yang ada di dunia. Bahkan, perubahan sosial yang terjadi juga dapat diinterpretasikan lewat
normanorma tersebut. Ada pun dalam dunia modern, ilmu pengetahuan telah mendominasi
hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan hanya
mencurahkan kepentingan material dan kegiatan praktis sehari-hari. Dalam hal ini, Weber
juga melihat sisi pesimis dari dominasi ilmu terhadap kehidupan manusia, yaitu merebaknya
sekulerisme, materialisme, dan menurunnya peran agama sebagai rujukan memahami dunia.
Namun, menurut Weber dalam kehidupan modern masih tersisa adanya idealisme etik (ethical
ideal) yang telah diinternalisasi oleh masyarakat pada masa perkembangan dan dominasi
agama yang lalu dan menjadi personality guide bagi setiap individu. Idealisme etik ini
cenderung akan menghindarkan individu jatuh pada tingkat tindakan pragmatis yang buta.
Pada tahap perkembangan sosial ini, agama cenderung tertekan menjadi bidang kehidupan
privat.
Teologi rasional Perkembangan teologi rasional dihubungkan dengan perubahan- perubahan
batin atau internal yang terjadi di dalam organisasi keagamaan, di mana lapisan kependetaan
profesional sangat dibedakan dari lapisan anggota biasa. Walaupun mitos tidak tertutup bagi
logika, dan pandangan mitos bisa dirasionalisasikan, namun gerak maju dari mitos menuju
logos ini biasanya menunggu perkembangan kelompok kependetaan. Perkembangan penuh
rasionalisasi metafisik dan etika keagamaan membutuhkan lembaga kependetaan yang bebas
dan terlatih serta profesional, secara permanen dipenuhi dengan pemujaan dan dengan
masalah praktis yang terdapat dalam perawatan jiwa. Berkembang sebagai bagian dari
rasionalisasi pemikiran dan dapat dijumpai di semua agama di dunia ini dalam berbagai
bentuk. Ia mencerminkan kesungguhan.
Proses rasionalisasi merupakan suatu istilah yang berasal dari Emmanual Kant dalam bukunya
Essay on Universal History. Pikiran manusia dengan cepat telah mengalami rasionalisasi, baik
dalam arti formal sehubungan dengan konsistensinya dan sifat sistematisnya, maupun 8 dalam
arti substansi dalam menyisihkan unsur-unsur fantasi dan mitosnya. Durkheim mengatakan
bahwa agama mati perlawanan dalam dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi
modern. Mereka yang berpengaruh budaya modern lebih memiliki pola pikir yang rasional
dan ilmiah sehingga mempengaruhi pola kepercayaan mereka terhadap hal hal yang sakral
dianggap irasional dan jauh dari kata ini adanya. Perubahan Intelektualitas masyarakat dari
irasional ke rasional mempengaruh perubahan fungsi sosial di dalam masyarakat.

H. Tampilnya Pola-Pola Keagamaan


Fungsi organaisasi keagamaan pada umunya adalah untuk: melestarikan, menafsirkan,
memurnikan, dan mendakwahkan agama. Menurut Milton Yinger, ada empat tipe
kelembagaan dalam Kristen:
a. Eklesia, suatu bentuk organisasi keagamaan yang sama dengan gereja, dibangun oleh
pemerintah, yang merupakan organisasi agama nasional dengan anggota dari semua tingkat
sosial-ekonomi.
b. Denominasi, organisasi ini tidak terlalu terlibat dengan negara, politik dan kebudayaan
seperti gereja, juga tidak menarik diri dari masyarakat seperti sekte. Biasanya terbatas pada
ras, kelas, dan daerah tertentu.
c. Established Sect, organisasi ini lebih inklusif dan tidak menghindar dari kebudayaan
sekuler.
d. Sekte, biasanya merupakan organisasi kecil yang patuh pada ajaran agama dan praktek
ritual tertentu. Mereka menolak kebudayaan sekuler dan cenderung menarik diri dari kehidupa
duniawi.
Ekspresi sosial dari ajaran agama dihidupkan dan dipelihara oleh adanya masyarakat penganut
yang disebut dengan organisasi keagamaan. Joachim Wach menyatakan bahwa: “Tidak ada
agama yang tidak mengembangkan suatu bentuk persekutuan (organisasi) keagamaan”.
Hocking mempertanyakan mengapa homo religius berusaha membentuk suatu organisasi. Dia
menjawabnya dengan mengatakan bahwa “adanya organisasi adalah merupakan suatu
pembenaran (legitimasi) eksperimental yang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya
ataupun mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan.” Thomas F. O’Dea
mengelompokkan organisasi keagamaan pada dua jenis, yaitu: organisasi keagamaan primitif
dan purba, serta organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus. Di dalam masyarakat
primitif dan purba, agama telah meluas secara merata ke berbagai kegiatan dan hubungan
sosial masyarakat. Pada masyarakat ini agama merupakan salah satu aspek kehidupan semua
kelompok sosial. Dari keadaan ini, lama kelamaan tampillah organisasi yang fungsi utamanya
adalah mengelola masalah keagamaan. Organisasi ini umumnya ditemukan pada masyarakat
di mana fungsi diferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan
agama telah berkembang. Organisasi dalam bentuk inilah yang oleh Thomas F. O’Dea disebut
dengan organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus.
Kelembagaan atau organisasi keagamaan menurut Dadang Kahmad semula berasal dari
gerakan keagamaan. Gerakan ini lahir melalui beberapa fase hingga akhirnya menjadi
organisasi keagamaan.7 Organisasi keagamaan menyangkut pemantapan norma-norma
tertentu yang menandai adanya posisipoisisi status dan fungsi peran menjadi perilaku. Norma
merupakan sekumpulan harapan terhadap perilaku. Serangkaian hubungan sosial dapat
terlembaga jika, 1. Sistem status dan peran (role) yang teratur berkemmbang, dan 2. Sistem
status dan peran secara umum diterima oleh masyarakat. Sementara itu Hendropuspito
menyatakan bahwa organisasi keagamaan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif
tetap atas pola-pola kelakuan, peran-peran dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat
individu, mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang
berkenaan dengan dunia supra–empiris. Kalau dalam organisasi non-keagamaan orang
menginginkan tercapainya secara pasti kebutuhan-kebutuhan sosial dasar; maka dalam
organisasi keagamaan orang menginginkan tercapainya kebutuhan dasar yang berkenaan
dengan kepentingan dunia supra-empiris.
Eksistensi organisasi bagi agama memiliki kedudukan yang sangat penting dalam rangka demi
terjaminnya stabilitas dan kontinuitas agama, serta demi tercapainya kepentingan-kepentingan
dasar yang berkenaan dengan dunia-akhirat, yang bagi setiap manusia religius tidak dapat
dibiarkan begitu saja. Selain itu peranan organisasi adalah untuk mencegah terjadinya
perubahan-perubahan hakiki mengenai isi dan penerapannya dari waktu ke waktu, dengan
demikian cita-cita pendirinya dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin manusia. Melalui
organisasi, manusia merasa yakin bahwa tujuan-tujuan yang ingin diraihnya akan terlaksana
dengan lebih baik karena didasari oleh rasa kebersamaan (solidaritas) dan persaudaraan antar
anggotanya. Suatu organisasi menurut Bierens den Haan dalam Astrid S. Susanto,
memperoleh bentuknya dari kesadaran akan keterikatan pada anggota-anggotanya. Lebih
lanjut ia menyatakan: “Kelompok atau organisasi tidak terdiri dari jumlah anggota-
anggotanya saja, melainkan akan suatu kenyataan yang ditentukan oleh datang pergi anggota-
anggotanya….. kenyataan organisasi ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati bersama, oleh
fungsi organisasi sebagaimana disadari anggotanya”.
Pada umumnya, organisasi sosial keagamaan terbentuk karena adanya keinginan yang kuat
dalam suatu kelompok untuk menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan format kehidupan yang
baru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bersamaan dengan itu,
muncullah berbagi pemikiranpemikiran baru, yang kemudian menjadi landasan dalam
kehiduapn organisasi tersebut. Dari pemikiran-pemikiran baru inilah, kemudian berkembang
suatu gaya hidup dan ideologi baru di komunitas-komunitas masyarakat tertentu, yang
kemudian disebut sebagai hasil pemikiran modern. Menurut Benny Ridwan,20 pada intinya,
suatu pemikiran baru dalam kehidupan beragama tidak akan terealisasi tanpa adanya
organisasi keagamaann yang mendukung pemikiran tersebut, serta organisasi keagamaan pun
tidak akan terbentuk tanpa adanya pemikiran-pemikiran baru, dan apabila demikian, maka
kehidupan masyarakat agama tidak akan mampu bertahan dalam kompetisi kehidupan
beragama di masyarakat. Karena untuk menjadi kuat, umat harus bersatu dan terus berusaha
beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia sekitarnya.

BAB III
KESIMPULAN
Lembaga agama merupakan suatu lembaga yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini juga
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ahli, salah satunya yakni Emile Durkheim
beliau menyatakan bahwa agama ialah suatu sistem kepercayaan dan perilaku yang
berhubungan dengan hal-hal yang dianggap sakral dan dilarang. Selain itu, lembaga agama ini
juga dapat mempersatukan seluruh penganutnya menjadi satu komunitas moral yang
berdasarkan nilai-nilai bersama. Adapun agama sebagai suatu kepercayaan yang didalamnya
memuat ajaran dan petunjuk agar penganutnya selamat didunia dan pada kehidupa
selanjutnya.
Ciri_Ciri lembaga agama yakni sebagai berikut:
1.Sebagai pendorong, penggerak, dan pengendali tingahlaku
2.Adalah sistem keyakinan
3.Adalah perwujudan sesuatu yang diyakini sebagai hal gaib
4.Menyatukan umat
5.Memiliki tujuan memuliakan umatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai