Oleh :
Hendra Setiawan
4443180067
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya serta memberikan nikmat sehat kepada penulis, sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Agama dan Budaya Banten”. Makalah ini membahas
tentang pengertian Agama, Islam dan identitas Banten, Banten dan Agama bukan
Islam serta kemajmukan masyarakat banten
Penulis mengucapkan terima kasih kepada H. Ikhsanudin Juhri, Lc., MA. selaku
dosen mata kuliah studi kebantenan yang telah memberikan kesempatan untuk
mengerjakan tugas ini. Begitu pula ucapan terimakasih kepada teman-teman yang
turut memberikan dukungan.
Demi tersusunnya hasil karya yang lebih baik maka kami bersedia menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Akhirnya, dengan
terselesaikannya makalah ini, semoga dapat menambah pengetahuan bagi pembaca
dan menjadi amal ibadah yang baik bagi kami. Amin.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb.
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab 2 Pembahasan
A. Pengertian Agama
Bab 3 Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling barat
di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat, namun menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan
keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya
berada di Kota Serang.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama
kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai
agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Fungsi Agama
2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan, makhlukh hidup, dan
serta hubungan manusia dengan manusia.
Saat ini, jika kita mendengar kata “Banten” mungkin nama itu akan
selalu kita hubungkan dengan nama sebuah provinsi baru bernama Banten yang
terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 [tentang
Pembentukan Provinsi Banten (PPB)] pada tanggal 17 Oktober 2000. Pada awal
terbentuknya sebagai sebuah provinsi, Banten terdiri dari empat kabupaten dan
dua kota yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Pada tahun 2007,
Kota Serang memisahkan diri dari Kabupaten Serang dan sejak tanggal 29
Oktober 2008, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) juga terpisah dari Kabupaten
Tangerang. Dengan demikian, wilayah Banten kini terdiri atas empat kabupaten
(Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang, dan
Kabupaten Lebak), dan empat kota (Kota Serang, Kota Tangerang, Kota
Tangerang Selatan, dan Kota Cilegon). Kecuali Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Lebak berada dikawasan Banten bagian Selatan, yang lainnya
termasuk dalam kawasan Banten bagian Utara. Secara keseluruhan luas wilayah
Provinsi Banten adalah 8.800,83 km2 (Biro Humas Provinsi Banten, 2005:5)[3].
Dengan terbentuknya sebagai provinsi, sebenarnya tidak terdapat wilayah
kabupaten maupun kota yang menggunakan nama “Banten”. Namun secara
administratif berdasarkan ketetapan UU No 23 Tahun 2000 terdapat sebuah
provinsi bernama Banten.
Banten di abad ke lima merupakan daerah kekuasaan kerajaan Tarumanegara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara akibat serangan kerajaan Sriwijaya,
Banten menjadi wilayah kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut naskah Wangsakerta,
kerajaan Sunda (669-1579 M) didirikan oleh Caka Sunda dan beribukota di
Pakuan (Bogor). Dalam naskah kuno primer Bujangga Manik disebutkan bahwa
batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci-Pamali (sungai Pamali, sekarang
disebut kali Brebes) dan Ci-Serayu (kali Serayu) yang berada di provinsi Jawa
Tengah. [4] Tome Pires dalam catatan perjalanannya Suma Oriental (1512-1515)
menyebutkan bahwa Banten menjadi salah satu pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa
(Jakarta), dan Cimanuk. Meskipun Banten pada saat itu dikenal sebagai
pelabuhan utama, namun posisi Banten pada saat itu tidak berada di pesisir
melainkan berada sepuluh kilometer kearah daratan, tepatnya diatas sungai
Banten (Ci-Banten) sehingga dikenal dengan nama Banten Girang (Banten
dihulu sungai).[5] Sebagai kawasan pelabuhan dan perdagangan yang maju
menyebabkan Banten tumbuh menjadi kawasan pemukiman yang ramai.
Berdasarkan riset yang dilakukan di Banten Girang pada tahun 1988 dalam
program Franco-Indonesian excavations [6], ditemukan bahwa telah ada
pemukiman serta Banten telah dikelilingi oleh benteng sebagai bentuk
pertahanan.
Pada masa ini, mayoritas penduduk Banten adalah kelompok etnis Sunda.
Sampai dengan abad ke-16, kelompok etnis Sunda ini belum memeluk Islam.
Seperti dalam catatan Tome Pires, daerah-daerah di Jawa Barat belum menjadi
muslim dan bahkan sangat resisten terhadap Islam.[7] Penduduknya beragama
Hindu maupun kepercayaan Sunda Wiwitan yang berarti Sunda asli, Sunda
permulaan atau Sunda sejati. Sunda Wiwitan merupakan sebuah kepercayaan
pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur. Kepercayaan ini telah ada
sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam. Salah satu kelompok penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan di Banten adalah warga Kanekes (dikenal sebagai
orang Baduy) yang mendiami wilayah Pegunungan Kanekes di daerah Lebak,
Banten selatan. Kemungkinan penyebutan Baduy, mempunyai konotasi negatif
yang mengasosiasikan dengan orang Arab Badwi, sebuah kelompok masyarakat
pengembara padang pasir di tanah Arab yang dipandang rendah peradabannya
[8], sehingga istilah yang lazim digunakan untuk menamai mereka adalah
orang(urang) Kanekes.
Pemukiman orang Kanekes ini disebut Desa Kanekes yang termasuk daerah
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Orang Kanekes hingga kini
dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Banten sebagai penduduk asli Banten.
Namun dikalangan orang Sunda, orang Kanekes juga dipercaya sebagai inti
Sunda, bahwa tidak ada bedanya mereka dengan orang Sunda lainnya. Mereka
berbicara bahasa Sunda yang dapat dipahami oleh orang Sunda lainnya, seperti
halnya mereka memahami bahasa Sunda yang digunakan oleh orang Sunda
lainnya. Yang membedakan orang Kanekes dengan orang Sunda lainnya adalah
sistem dan pola hidupnya atau dengan kata lain kebudayaannya.[9] Berhubung
kehidupan orang Kanekes yang cenderung menutup diri hingga sekarang,
kebudayaan orang Kanekes sangat sedikit mendapat pengaruh dari kebudayaan
luar. Sehubungan dengan hal tersebut, dibandingkan dengan masyarakat Sunda
lainnya, orang Kanekes masih banyak menyimpan unsur, pola dan sistem
masyarakat dan kebudayaan Sunda lama.
Keberadaan orang Kanekes yang diyakini sebagai inti masyarakat Sunda dan
juga sebagai penduduk asli Banten itu, hingga kini masih menimbulkan
perbedaan pendapat, terutama tentang asal usul orang Kanekes. Terdapat tiga
pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa
orang Kanekes itu pada mulanya merupakan kelompok pelarian dari Kerajaan
Sunda Pajajaran. Ketika ibu kota kerajaan, yaitu Pakuan diserbu oleh kerajaan
Demak, sebagian pembesar dan penduduknya berhasil meloloskan diri dari
kepungan. Mereka melarikan diri ke Pegunungan Kendeng untuk bersembunyi
dan membentuk tempat pemukiman baru yang kini dikenal sebagai Desa
Kanekes.[10] Kedua, berdasarkan tradisi lisan orang Kanekes dan data
kepurbakalaan yang ada di wilayah Banten dapat ditarik kesimpulan bahwa
orang Kanekes itu berasal dari masyarakat pengungsi yang terdesak oleh gerakan
perluasan wilayah kekuasaan dan pengislaman dari Kesultanan Banten.
Banten dibawah Kesultanan Demak yang saat itu dihuni oleh sekitar
30.000-40.000 jiwa telah tumbuh sebagai kawasan perniagaan internasional
dimana pelabuhan Banten dikunjungi oleh kapal niaga India,China,Philipina,
Persia, Arab, Syria, Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, Spanyol serta
Portugis.[15] Tetapi Reid memperkirakan bahwa populasi penduduk di wilayah
Banten antara tahun 1672-1674 sudah mencapai sekitar 80.000-100.000 jiwa.
Sedangkan di Surosowan (ibukota Banten Lama) pada tahun 1696 tercatat
bermukim 31.848 jiwa.[16] Kondisi demografis ini menggambarkan bahwa di
masa lalu kota Pelabuhan Banten sudah amat ramai dengan tingkat perniagaan
yang semakin mantap dengan hadirnya kapal-kapal niaga dari Cina dengan bobot
kapal rata-rata berukuran 300 ton-an dan membawa dagangan senilai 300.000
real. Pada tahun 1598 terdapat catatan ekspor lada dari Banten dengan perahu
Cina sebanyak 18.000 karung (5 jung), perahu Gujarat 3.000 karung dan perahu
Belanda sebanyak 9.000 karung lada.
Pengaruh Islam hingga saat ini masih melekat kuat di Banten. Salah satu
bentuk pengaruh Islam tampak pada kesenian masyarakat di Banten yang
kemudian dijadikan sebagai identitas local, seperti debus surosowan, rudat,
pencak silat, syaman, terbang gede, ketimpring, baca syeh, panjang maulud,
mawalan, mawaris, dan buka pintu. Bentuk-bentuk kesenian tersebut juga
menunjukkan bahwa pengaruh agama Islam pada prakteknya telah disesuaikan
dengan budaya lokal Banten. Selain munculnya budaya baru dengan corak Islam
di Banten, pada masa kesultanan Banten inilah muncul dua kelompok sosial
yang perannya yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Banten masih
sangat diakui hingga saat ini, yakni : (1) Kelompok Kyai; dan (2) Kelompok
Jawara.
Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang
dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan
Lampung. Perbauran yang begitu intens menyebabkan penduduk Banten
memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan
amasyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang
Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Diantara yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tak
terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Islam melakukan penetrasi yang sangat
dalam pada masyarakat banten. Adalah Banten yang kini merupakan salah satu
provinsi di Indonesia, Setelah pisah dari provinsi Jawa Barat tahun 2000.
Tuntutan yang serupa sebenarnya telah dua kali di lakukan, yakni tahun 1963
dan tahun 1970, namun selalu mengalami kegagalan.
1. Hindu
Kultur dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan Budha, yang kemudian
menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan
Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa
kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad
ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal
sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh. Berbicara
tentang agama yang di usung oleh negeri Dewata. Pemilik sungai Gangga
(India) berupa agama Hindu. Tidak lah dipungkiri bahwa Agama Hindu sudah
nampak di permukaan Nusantara/Banten semenjak islam belum masuk di
Bumi Nusantara. Lebih lanjut kita berbicara Hindu di wilayah Banten itu tidak
terlepas dengan prasasti ataupun Arca-arca peninggalan zaman dahulu
sehingga tidak di elakkan lagi bahwa di Banten pernah tumbuh berkembang
agama Hindu. Sendi-sendi religi masa silam pra Hindu di seputar lereng dan
suku Gunung Pulasari, Gunung Karang dan Gunung Aseupan. Ketiga gunung
tersebut memiliki nilai keramat bagi masyarakat Banten. Sebab Pucuk Umum,
Ratu-pandita “Hindu” sebagai penganut agama Hindu kala itu menandakan
sungguh Banten telah dihuni orang-orang yang beragama Hindu.
2. Sunda Wiwitan
4. Kristen Protestan
5. Kristen Katolik
2. Bahasa
Kekhasan budaya masyarakat Banten antara lain seni bela diri Pencak
Silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman (Dzikir Saman), Tari Topeng, Dog-
dog, Angklung Gubrag, Rampak Bedug, Tari Walijamaliha, Tari Silat
Pandeglang, Palingtung, Lojor, Beluk, dan lainnya.
Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur, antara lain
Masjid Agung Banten, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak
peninggalan lainnya.
4. Kuliner
5. Agama
6. Batik banten
Corak dan motif Batik Banten adalah iluminasi dari ragam hias yang
telah dikaji Pemerintah provinsi Banten dalam rangka menemukan kembali
ornamen motif pada bangunan rumah adat di Banten, Ragam hias ini hasil
ekskavasi yang direkontruksi oleh Arkeologi Nasional dan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia sejak tahun 1976. Ragam hias tersebut telah menjadi
keputusan Gubernur Banten Tahun 2003.
Motif Pasepen: Pasepen adalah nama tempat tata ruang Istana tempat Sultan
Maulana Hasanuddin melakukan meditasi di Kesultanan Banten.
Motif Sebakingking: Sebakingking adalah nama gelar Panembahan Sultan
Maulana Hasanuddin dalam penyebaran Agama lslam.
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah tentang agama dan budaya Banten yaitu agama
adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan
dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Dan
Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia ada yang mendefinisikan sebagai
semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Begitu pula hal nya dengan agama dan
budaya yang ada di daerah Banten tersebut kita dapat mengenal dan mempelajarinya
dari identitas, agama, kebiasaan dan budaya yang ada di dalamnya agar lebih luas
pengetahuan kita yang tinggal di daerah Banten tersebut.
B. Saran
Kita sebagai penerus bangsa harus selalu mengedepankan soal agama dan
budaya yang kita miliki agar terwujudnya nilai nilai budaya dan bangsa. Dan,
Semoga dengan saya membuat makalah tentang agama dan budaya Banten itu kita
semua dapat mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang Banten. Sehingga dapat
melestarika budaya dari Banten tersebut.
Daftar Pustaka
Guillot, Claude., Hasan M. Ambary dan Jacques Dumarcay., 1990, The Sultanate of
Banten, Jakarta : Gramedia Book Publishing Division.
Hidayat Syarif., 2007, Shadow State?Business and Politics in The Province of Banten,
“Renegotiating Boundaries”Local Politics in Post Suharto Indonesia, Leiden: KITLV
Press.
Lubis, Nina H., 2003. “Banten dalam Pergumulan Sejarah”, Jakarta: LP3ES.
Palmer, Spencer J., et al. Religions of the World: a Latter-day Saint [Mormon] View.
2nd general ed., tev. and enl. Provo, Utah: Brigham Young University, 1997. xv, 294
p., ill. ISBN 0-8425-2350-2.