Anda di halaman 1dari 28

AGAMA DAN BUDAYA BANTEN

Dosen Pengampu : H. Ikhsanudin Juhri, Lc., MA.

Oleh :
Hendra Setiawan
4443180067

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya serta memberikan nikmat sehat kepada penulis, sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Agama dan Budaya Banten”. Makalah ini membahas
tentang pengertian Agama, Islam dan identitas Banten, Banten dan Agama bukan
Islam serta kemajmukan masyarakat banten
Penulis mengucapkan terima kasih kepada H. Ikhsanudin Juhri, Lc., MA. selaku
dosen mata kuliah studi kebantenan yang telah memberikan kesempatan untuk
mengerjakan tugas ini. Begitu pula ucapan terimakasih kepada teman-teman yang
turut memberikan dukungan.
Demi tersusunnya hasil karya yang lebih baik maka kami bersedia menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Akhirnya, dengan
terselesaikannya makalah ini, semoga dapat menambah pengetahuan bagi pembaca
dan menjadi amal ibadah yang baik bagi kami. Amin.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb.

Serang, Maret 2019


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab 1 Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

Bab 2 Pembahasan

A. Pengertian Agama

B. Islam dan Identitas Banten

C. Banten dan Agama Bukan Islam

D. Kemajemukan Masyarakat Banten

Bab 3 Penutup

A. Kesimpulan

B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling barat
di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat, namun menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan
keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya
berada di Kota Serang.

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah system yang


mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya.

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan system budaya


dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan atau perintah
dari kehidupan. Kebanyakan agama meliki narasi symbol dan sejarah suci yang
dimaksudkan untuk menjelaskan maksa hidup dan atau menjelaskanusul
kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat
manusia, orang memperoleh molaritas, etika, hokum agama atau gaya hidup yang
disukai.

Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia ada yang mendefinisikan


sebagai semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Karya manusia
menghasilkan teknologi dan kedudayaan kebendaan, sedangkan rasa mewujudkan
segala norma dan nilai untuk mengatur kehidupan dan selanjutnya cipta
merupakan kemampuan berpikir kemampuan mental yang menghasilkan filsafat
dan ilmu pengetahuan.
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang berbeda. Agama selalu
dikatakan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa penguasa Alam Semesta beserta
segala isinya. Sedangkan kebudayaan adalah produk manusia. Penggabungan kata
agama dan kebudayaan akan melahirkan agama kebudayaan dan kebudayaan
beragama.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian agama?


2. Bagaimana islam dan identitas Banten?
3. Bagaimana Banten dan Agama bukan islam?
4. Bagaimana kemajemukan masyarakat di Banten
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem


budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan
sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau
menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka
tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum
agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar
4.200 agama di dunia.

Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan,


definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-
tempat suci, dan kitab suci. Praktik agama juga dapat mencakup ritual, khotbah,
peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta,
trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni,
tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari kebudayaan manusia. Agama juga
mungkin mengandung mitologi.

Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem


kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas. Namun, dalam kata-kata
Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah
"sesuatu yang nyata sosial". Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama
adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012
melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak
beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada
keyakinan agama dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-
laki. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip
agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip
agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur.

Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi.


Definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat
dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan
nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang
mengatur

kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai
agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan


keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di
luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar
biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan
bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama
dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa,
Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada


Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: menerima segala kepastian yang
menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, dan menaati segenap
ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.

Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada


Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia,
penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung
ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi,
agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas
lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita
makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya
ditentukan oleh aturan/tata cara agama.

Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama


yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak
atau belum diakui secara resmi disebut “religi”.

Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur


hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia
dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu
sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh
suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi
tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.
Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran
tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk
hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi
bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.

Fungsi Agama

1. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok

2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan, makhlukh hidup, dan
serta hubungan manusia dengan manusia.

3. Merupakan tuntunan tentang prinsip benar atau salah

4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan

5. Pedoman perasaan keyakinan

6. Pedoman dalam membentuk nilai-nilai kehidupan

7. Pengungkapan estetika (keindahan)

8. Pedoman rekreasi dan hiburan

9. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

B. Islam dan Identitas Banten

Secara historis, kata Banten (Bantam) apabila dikaitkan dengan nama


sebuah tempat, pada mulanya merupakan sebuah kota pelabuhan yang telah ada
sejak abad ke lima dan menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Tarumanegara.
Salah satu prasasti yang menyebutkan tentang keberadaan kerajaan
Tarumanegara adalah Prasasti Cidanghiyang atau yang lebih dikenal sebagai
prasasti Lebak yang ditemukan pada tahun 1947 di kampung Lebak di tepi
sungai Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang. Sedangkan rujukan tertulis
pertama yang menyebut “Banten” sebagai sebuah tempat ditemukan pada naskah
Sunda kuno Bujangga Manik yang menyebutkan nama-nama tempat di Banten
dan sekitarnya sebagai berikut Tanggeran Labuhan Ratu, Ti kaler alas
Panyawung, Tanggerang na alas Banten….[2] Banten pada saat itu telah menjadi
kawasan perdagangan yang sangat penting dengan komoditi utamanya berupa
lada dan beras sehingga menjadikannya sebagai daerah yang mencapai
kemakmuran ekonomi masyarakatnya yang tinggi. Pada perkembangan
selanjutnya terdapat dua tempat yang bernama Banten di Kota Serang, yaitu 1.
Banten Girang yang terletak di Desa Sempu, Kelurahan Cipare, Kecamatan
Serang dan 2. Banten Lama yang terletak di Kecamatan Kasemen.

Saat ini, jika kita mendengar kata “Banten” mungkin nama itu akan
selalu kita hubungkan dengan nama sebuah provinsi baru bernama Banten yang
terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 [tentang
Pembentukan Provinsi Banten (PPB)] pada tanggal 17 Oktober 2000. Pada awal
terbentuknya sebagai sebuah provinsi, Banten terdiri dari empat kabupaten dan
dua kota yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Pada tahun 2007,
Kota Serang memisahkan diri dari Kabupaten Serang dan sejak tanggal 29
Oktober 2008, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) juga terpisah dari Kabupaten
Tangerang. Dengan demikian, wilayah Banten kini terdiri atas empat kabupaten
(Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang, dan
Kabupaten Lebak), dan empat kota (Kota Serang, Kota Tangerang, Kota
Tangerang Selatan, dan Kota Cilegon). Kecuali Kabupaten Pandeglang dan
Kabupaten Lebak berada dikawasan Banten bagian Selatan, yang lainnya
termasuk dalam kawasan Banten bagian Utara. Secara keseluruhan luas wilayah
Provinsi Banten adalah 8.800,83 km2 (Biro Humas Provinsi Banten, 2005:5)[3].
Dengan terbentuknya sebagai provinsi, sebenarnya tidak terdapat wilayah
kabupaten maupun kota yang menggunakan nama “Banten”. Namun secara
administratif berdasarkan ketetapan UU No 23 Tahun 2000 terdapat sebuah
provinsi bernama Banten.
Banten di abad ke lima merupakan daerah kekuasaan kerajaan Tarumanegara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara akibat serangan kerajaan Sriwijaya,
Banten menjadi wilayah kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut naskah Wangsakerta,
kerajaan Sunda (669-1579 M) didirikan oleh Caka Sunda dan beribukota di
Pakuan (Bogor). Dalam naskah kuno primer Bujangga Manik disebutkan bahwa
batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci-Pamali (sungai Pamali, sekarang
disebut kali Brebes) dan Ci-Serayu (kali Serayu) yang berada di provinsi Jawa
Tengah. [4] Tome Pires dalam catatan perjalanannya Suma Oriental (1512-1515)
menyebutkan bahwa Banten menjadi salah satu pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa
(Jakarta), dan Cimanuk. Meskipun Banten pada saat itu dikenal sebagai
pelabuhan utama, namun posisi Banten pada saat itu tidak berada di pesisir
melainkan berada sepuluh kilometer kearah daratan, tepatnya diatas sungai
Banten (Ci-Banten) sehingga dikenal dengan nama Banten Girang (Banten
dihulu sungai).[5] Sebagai kawasan pelabuhan dan perdagangan yang maju
menyebabkan Banten tumbuh menjadi kawasan pemukiman yang ramai.
Berdasarkan riset yang dilakukan di Banten Girang pada tahun 1988 dalam
program Franco-Indonesian excavations [6], ditemukan bahwa telah ada
pemukiman serta Banten telah dikelilingi oleh benteng sebagai bentuk
pertahanan.

Pada masa ini, mayoritas penduduk Banten adalah kelompok etnis Sunda.
Sampai dengan abad ke-16, kelompok etnis Sunda ini belum memeluk Islam.
Seperti dalam catatan Tome Pires, daerah-daerah di Jawa Barat belum menjadi
muslim dan bahkan sangat resisten terhadap Islam.[7] Penduduknya beragama
Hindu maupun kepercayaan Sunda Wiwitan yang berarti Sunda asli, Sunda
permulaan atau Sunda sejati. Sunda Wiwitan merupakan sebuah kepercayaan
pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur. Kepercayaan ini telah ada
sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam. Salah satu kelompok penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan di Banten adalah warga Kanekes (dikenal sebagai
orang Baduy) yang mendiami wilayah Pegunungan Kanekes di daerah Lebak,
Banten selatan. Kemungkinan penyebutan Baduy, mempunyai konotasi negatif
yang mengasosiasikan dengan orang Arab Badwi, sebuah kelompok masyarakat
pengembara padang pasir di tanah Arab yang dipandang rendah peradabannya
[8], sehingga istilah yang lazim digunakan untuk menamai mereka adalah
orang(urang) Kanekes.

Pemukiman orang Kanekes ini disebut Desa Kanekes yang termasuk daerah
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Orang Kanekes hingga kini
dipercayai oleh sebagian besar masyarakat Banten sebagai penduduk asli Banten.
Namun dikalangan orang Sunda, orang Kanekes juga dipercaya sebagai inti
Sunda, bahwa tidak ada bedanya mereka dengan orang Sunda lainnya. Mereka
berbicara bahasa Sunda yang dapat dipahami oleh orang Sunda lainnya, seperti
halnya mereka memahami bahasa Sunda yang digunakan oleh orang Sunda
lainnya. Yang membedakan orang Kanekes dengan orang Sunda lainnya adalah
sistem dan pola hidupnya atau dengan kata lain kebudayaannya.[9] Berhubung
kehidupan orang Kanekes yang cenderung menutup diri hingga sekarang,
kebudayaan orang Kanekes sangat sedikit mendapat pengaruh dari kebudayaan
luar. Sehubungan dengan hal tersebut, dibandingkan dengan masyarakat Sunda
lainnya, orang Kanekes masih banyak menyimpan unsur, pola dan sistem
masyarakat dan kebudayaan Sunda lama.

Keberadaan orang Kanekes yang diyakini sebagai inti masyarakat Sunda dan
juga sebagai penduduk asli Banten itu, hingga kini masih menimbulkan
perbedaan pendapat, terutama tentang asal usul orang Kanekes. Terdapat tiga
pendapat mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa
orang Kanekes itu pada mulanya merupakan kelompok pelarian dari Kerajaan
Sunda Pajajaran. Ketika ibu kota kerajaan, yaitu Pakuan diserbu oleh kerajaan
Demak, sebagian pembesar dan penduduknya berhasil meloloskan diri dari
kepungan. Mereka melarikan diri ke Pegunungan Kendeng untuk bersembunyi
dan membentuk tempat pemukiman baru yang kini dikenal sebagai Desa
Kanekes.[10] Kedua, berdasarkan tradisi lisan orang Kanekes dan data
kepurbakalaan yang ada di wilayah Banten dapat ditarik kesimpulan bahwa
orang Kanekes itu berasal dari masyarakat pengungsi yang terdesak oleh gerakan
perluasan wilayah kekuasaan dan pengislaman dari Kesultanan Banten.

Kelompok tersebut menganut agama Hindu dan semula menetap di sekitar


Gunung Pulosari. Mereka berhasil ditundukkan oleh Kesultanan Banten.
Sebagian dari mereka berkenan masuk Islam, sebagian lagi melarikan diri kearah
selatan. [11] Terdapat persamaan antara kedua pendapat diatas, yaitu bahwa
orang Kanekes berasal dari kelompok masyarakat pengungsi yang terdesak oleh
perluasan wilayah kekuasaan dan gerakan pengislaman. Hanya bedanya,
pendapat pertama mengatakan bahwa para pengungsi itu berasal dari daerah
timur (Pakuan, Bogor), sedangkan pendapat kedua menyatakan mereka berasal
dari utara yaitu daerah pertapaan Hindu di sekitar Gunung Pulosari. Selain
itu,yang pertama mengatakan para pengungsi terdiri dari pembesar dan rakyat
Kerajaan Sunda Pajajaran, sementara yang kedua sepertinya berasal dari
masyarakat biasa. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam pendapat yang
pertama,kerajaan Islam yang mendesak mereka adalah kerajaan Demak,
sementara pada pendapat yang kedua, kerajaan Islam itu adalah Kesultanan
Banten. Ketiga, pendapat berdasarkan pengakuan orang Kanekes sendiri.
Menurut mereka, sejak semula, leluhur mereka hidup di daerah yang mereka
tinggali sekarang yaitu Desa Kanekes. Leluhur mereka tidak berasal dari mana-
mana dan bukan pula berasal dari para pengungsi. Jika dikaitkan dengan
pendapat pertama dan kedua, bisa saja penjelasan orang Kanekes itu adalah
karena waktu itu mereka memang harus menyembunyikan identitas mereka dari
kejaran musuh-musuh mereka.

Orang Kanekes berkumpul dalam suatu kesatuan pemukiman yang disebut


babakan yang setara dengan “kampung”. Pada tahun 1984 orang Kanekes
berjumlah 4.587 orang, dan terdiri atas 2.297 orang laki-laki dan 2.290 orang
perempuan. Mereka tersebar di 30 kampung dan ditampung dalam 1.079 rumah.
[12] Hasil sensus penduduk tahun 2000 mencatat bahwa orang Kanekes
berjumlah 7.317 orang yang terdiri atas 3.776 orang laki-laki dan 3.641 orang
perempuan, dan tersebar dalam 52 perkampungan.[13] Perlu diketahui bahwa
ada kemungkinan orang Kanekes pada sensus penduduk tahun 2000
dikelompokan pada kelompok etnis “Lainnya”, yang berbeda dengan kelompok
Sunda Priangan yang lebih mengacu pada etnis Sunda di Jawa Barat (Priangan).
Untuk lebih jelasnya dibawah terdapat tabel mengenai perkembangan penduduk
orang Kanekes dari tahun 1817 sampai dengan tahun 2000.

Pengaruh eksternal mulai memasuki Banten pada abad ke-16 ketika


Portugis mulai memasuki Nusantara untuk perdagangan lada; salah satunya
dengan Banten. Pada masa ini, Islam di bawah Kerajaan Demak juga mulai
menyebarkan Islam di Banten dengan menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran
pada tahun 1527. Sultan Demak atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati
atau juga dikenal sebagai Pangeran Pucuk Umun menjadi penguasa baru di
Banten yang akhirnya mengangkat Hasanuddin, anaknya sebagai Raja Banten.
Hasanudin memindahkan ibukota kerajaan yang semula berada diatas sungai Ci-
Banten ke daerah pesisir (muara sungai Ci-Banten) dengan membawa kursi raja
dari Banten Girang ke Istana Surosowan sebagai penanda bahwa Banten
sekarang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Demak. Perubahan kekuasaan ini
membawa dampak yang cukup berarti di kehidupan masyarakat Banten terutama
dalam hal keagamaan. Runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran semakin
memperkuat posisi Islam di kawasan Pantura, khususnya di bagian barat dan
orang-orang Sunda mulai menyakini Islam.

Namun, khusus bagi masyarakat Kanekes tetap diperbolehkan untuk


menganut kepercayaan Sunda Wiwitan tanpa adanya campur tangan Islam. Hal
ini diketahui melalui Babad Banten dimana pada Pupuh 12 terdapat kalimat yang
nampaknya menjadi dasar pijak pendirian Banten Islam dalam membangun
nagari yang kuat. Bunyi pupuh 12 itu adalah : “Gawe kuta baluwarti bata
kalawan kawis”, yang mengandung amanat membangun nagari (masa lampau)
atau provinsi (masa kini), walaupun sesungguhnya adalah untuk membangun
peradaban manusia yang kuat beserta seluruh identitasnya. Simbolisasi dengan
dua realitas (dua dunia) yang ada saat itu, yakni Islam (sebagai pendatang) dan
tradisi lokal (Sunda-Hindu) sebagai pribumi, menjadi sebab mengapa masyarakat
Sunda pedalaman yang berdiam di Kanekes Pegunungan Kendeng,
diperbolehkan tetap memeluk agama Sunda Wiwitan. Pernyataan tunduk mereka
diekspresikan dalam Seba, yaitu penghadapan mereka terhadap Keraton.
Kearifan semacam itulah yang mengantarkan Banten mencapai kegemilangan
selama kurang lebih 150 tahun, sejak masa Sultan Maulana Hasanudin (1526)
hingga Sultan Ageng Tirtayasa (1672). Namun setelah kepemimpinan Sultan
Haji, Banten mengalami keruntuhan, yang bukan sekedar menghapuskan
Kesultanan, tapi juga bermakna hilangnya keseimbangan bata kalawan kawis
sebagai simpul kebudayaan dan peradaban Banten. Paradigma bata kalawan
kawis merupakan kunci kearifan Banten sebagai hasil persentuhan antara Islam
dan tradisi lokal yang menjadi dasar norma dalam merumuskan identitas
kebantenan.

Banten dibawah Kesultanan Demak yang saat itu dihuni oleh sekitar
30.000-40.000 jiwa telah tumbuh sebagai kawasan perniagaan internasional
dimana pelabuhan Banten dikunjungi oleh kapal niaga India,China,Philipina,
Persia, Arab, Syria, Inggris, Belanda, Prancis, Denmark, Spanyol serta
Portugis.[15] Tetapi Reid memperkirakan bahwa populasi penduduk di wilayah
Banten antara tahun 1672-1674 sudah mencapai sekitar 80.000-100.000 jiwa.
Sedangkan di Surosowan (ibukota Banten Lama) pada tahun 1696 tercatat
bermukim 31.848 jiwa.[16] Kondisi demografis ini menggambarkan bahwa di
masa lalu kota Pelabuhan Banten sudah amat ramai dengan tingkat perniagaan
yang semakin mantap dengan hadirnya kapal-kapal niaga dari Cina dengan bobot
kapal rata-rata berukuran 300 ton-an dan membawa dagangan senilai 300.000
real. Pada tahun 1598 terdapat catatan ekspor lada dari Banten dengan perahu
Cina sebanyak 18.000 karung (5 jung), perahu Gujarat 3.000 karung dan perahu
Belanda sebanyak 9.000 karung lada.

Pengaruh Islam hingga saat ini masih melekat kuat di Banten. Salah satu
bentuk pengaruh Islam tampak pada kesenian masyarakat di Banten yang
kemudian dijadikan sebagai identitas local, seperti debus surosowan, rudat,
pencak silat, syaman, terbang gede, ketimpring, baca syeh, panjang maulud,
mawalan, mawaris, dan buka pintu. Bentuk-bentuk kesenian tersebut juga
menunjukkan bahwa pengaruh agama Islam pada prakteknya telah disesuaikan
dengan budaya lokal Banten. Selain munculnya budaya baru dengan corak Islam
di Banten, pada masa kesultanan Banten inilah muncul dua kelompok sosial
yang perannya yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Banten masih
sangat diakui hingga saat ini, yakni : (1) Kelompok Kyai; dan (2) Kelompok
Jawara.

Walaupun peran Kyai dan Jawara dimasa pemerintahan kolonial selalu


bekerja sama, namun saat ini peran resmi Kyai dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sudah hilang (Hidayat, 2007:207). Berbeda dengan asal
usul kata „kyai‟ yang lekat dengan perkembangan Islam, asal-usul kata „jawara‟
pun tidak begitu jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa jawara berarti juara,
yang berarti pemenang, yang ingin dipandang orang yang paling hebat. Sebagian
orang lagi berpendapat bahwa kata „jawara‟ berasal dari kata „jaro‟ yang berarti
seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan didesa, yang
kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu
kepala desa atau lurah di Banten mayoritas adalah para jawara. Para jawara
tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna
sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda.Sekarang ini jawara
tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah. Jawara
adalah murid kyai [18], dimana kyai pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama Islam tetapi juga mengajarkan ilmu persilatan (kanuragan). Hal
ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu berada di daerah-daerah terpencil
dan kurang aman. Dikarenakan tidak adanya faktor keamanan dari Kesultanan
Banten yang tidak mampu menjangkau daerah terpencil yang sangat jauh dari
pusat kekuasaan kesultanan sehingga kyai juga mengajarkan ilmu persilatan.
Murid kyai yang lebih berbakat dalam bidang intelektual, memperdalam ilmu-
ilmu agama Islam pada akhirnya disebut santri. Sedangkan murid kyai yang
memiliki bakat dalam bidang fisik lebih condong kepada persilatan atau ilmu-
ilmu kanuragan,yang kemudian disebut jawara. Karena itu dalam tradisi
kejawaran bahwa seorang jawara yang melawan perintah kiyai itu akan kawalat.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa Banten pernah dikuasai oleh


dua kebudayaan berbeda yaitu kebudayaan Sunda yang menganut Hindu dan
kebudayaan Jawa-Cirebon yang menganut Islam maka tidak mengherankan jika
saat ini masyarakat Banten terbagi atas dua yaitu 1. Urang Banten yang
berbahasa Sunda-Banten (pada daerah Banten Selatan: Kabupaten Lebak dan
Pandeglang) dan 2. Wong Banten yaitu mereka yang berbahasa Jaseng (Jawa-
Serang) yang berada di Kota Serang dan wilayah Banten bagian Utara. Yang
menjadi keunikan dari masyarakat Banten adalah bahwa meskipun mereka
menggunakan dua bahasa yaitu Sunda dan Jawa, namun pada dasarnya Bahasa
Sunda di Banten berbeda dengan Bahasa Sunda di Priangan, dan demikian pula
dengan Bahasa Jawa yang dipakai di Banten jauh berbeda dengan Bahasa Jawa
di keraton Jogjakarta dan Solo, serta daerah-daerah sekitarnya. Bahasa sebagai
suatu penanda identitas di masyarakat Banten tidak hanya dipergunakan dalam
pergaulan sehari-hari tetapi juga telah dituliskan dan disusun menjadi sebuah
kamus Bahasa Jawa-Banten. Selain itu masih ada penerbitan majalah Sunda-
Banten yang masih bertahan hingga sekarang.

C. Banten dan Agama bukan Islam

Jalur Sutra, yang menghubungkan antara India dan Nusantara berdasar


sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman
agama dan kultur didalam negeri dengan pendatang dari India, Cina, Portugal,
Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa
perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Nusantara. Khususnya
Banten yang daerahnya sangat strategis, yakni berada pada jalur pelayaran dan
perdagangan Nusantara, bahkan Internasional dan kesuburan tanahnya, Banten
berhasil mengalahkan negara indukya bahkan dapat menguasasi sebagian
wilayah kekuasaan Pajajaran pertengahan abad 16. Sehingga 'wajar' Banten
terdiri dari beberapa agama yang mewarnai. Ditambah lagi dengan kultur
masyarakat Banten yang sejak dahulu di kenal sebagai orang yang sangat fanatik
dalam hal agama, juga bersifat agresif dalam hal agama.

Penduduk Banten sebagian besar keturunan orang Jawa dan Cirebon yang
dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan
Lampung. Perbauran yang begitu intens menyebabkan penduduk Banten
memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan
amasyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang
Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda, Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Diantara yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tak
terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Islam melakukan penetrasi yang sangat
dalam pada masyarakat banten. Adalah Banten yang kini merupakan salah satu
provinsi di Indonesia, Setelah pisah dari provinsi Jawa Barat tahun 2000.
Tuntutan yang serupa sebenarnya telah dua kali di lakukan, yakni tahun 1963
dan tahun 1970, namun selalu mengalami kegagalan.

Banten terletak di bagian Barat Pulau Jawa yang melingkupi daerah


Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon dan Tengerang, atau hanya lebih
kurang 20% dari keseluruhan wilayah yang pernah di kuasai pada masa Banten
lama yang meliputi, Bogor, karawang, Kerawang Bekasi hingga perbatasan
Cirebon di wilayah Timur dan Lampung masuk kekuasan Banten lama di
wilayah Barat. Disebelah utara terdapat laut Jawa, sebelah Barat terdapat Selat
Sunda dan sebelah selatan terletak samudera Indonesia. sedangkan batas
disebelah Timur terbentang dari Cisadane (Tangerang) sampai pelabuhan Ratu.
Pulau-pulau di sekitarnya yang masih termasuk wilayah Banten adalah Panaitan,
Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang, Pulau Dua, Pulau Deli dan Pulau
Tinjil. Berdasarkan sensus tahun 2000, atau lebih jauh lihat Banten angka Tahun
2000, Bapeda Provinsi & Badan Satatistik Kabupaten Serang. Disebutkan bahwa
jumlah penduduk Banten kini sekitar 8.098.277 orang dengan komposisi 95,89%
beragama Islam, 1,03% beragama Katolik, 1,59% beragama Protestan 0,22%
beragama Hindu, 1,15% beragama Budha, sedangkan sisanya memeluk agama
lokal (Sunda Wiwitan), yakni orang-orang Baduy. Berdasarkan sejarah bahwa
Banten adalah salah satu wilayah yang menjadi bandar besar yang menjadi
persinggahan utama dan penghubung antara pedagang dari berbagai negara,
diantaranya Arab, Parsi, India dan Cina dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sehingga wajar kalau Banten khususnya, Nusantara Umumnya terjajah oleh
agama-agama yang di usung masing-masing negara yang melakukan transaksi
perdagangan.

1. Hindu

Kultur dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi,
bersamaan waktunya dengan kedatangan Budha, yang kemudian
menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan
Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa
kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad
ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal
sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh. Berbicara
tentang agama yang di usung oleh negeri Dewata. Pemilik sungai Gangga
(India) berupa agama Hindu. Tidak lah dipungkiri bahwa Agama Hindu sudah
nampak di permukaan Nusantara/Banten semenjak islam belum masuk di
Bumi Nusantara. Lebih lanjut kita berbicara Hindu di wilayah Banten itu tidak
terlepas dengan prasasti ataupun Arca-arca peninggalan zaman dahulu
sehingga tidak di elakkan lagi bahwa di Banten pernah tumbuh berkembang
agama Hindu. Sendi-sendi religi masa silam pra Hindu di seputar lereng dan
suku Gunung Pulasari, Gunung Karang dan Gunung Aseupan. Ketiga gunung
tersebut memiliki nilai keramat bagi masyarakat Banten. Sebab Pucuk Umum,
Ratu-pandita “Hindu” sebagai penganut agama Hindu kala itu menandakan
sungguh Banten telah dihuni orang-orang yang beragama Hindu.

2. Sunda Wiwitan

Di kawasan Provinsi Banten, masih terdapat gejala religi “agama masa


silam”, dan masih di anut oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri
“Sunda Wiwitan” (Sunda awal). Menurut adat dan kepercayaan, orang-orang
Baduy mewakili suatu zaman peradaban Pasundan yang telah silam.
Meskipun kita jauh dari pengetahuan yang pasti tentang satu dan lainnya
mengenai pandangan mereka dan melihat keterasingannya yang ketat yang
mereka lakukan, sejauh ini dapat disimpulkan bahwa itu bukan penganut
ajaran Ciwa atau Wisnu, bukan penganut suatu sekte Hindu ataupun Budha.
Walaupun kurang terdapat keterangan terinci, namun berdasarkan berbagai
pengamatan dan laporan resmi Djajadiningrat serta pengamatan Pennings
(1902), Van Tricht mengemukakan tentang agama Sunda sebagai kepercayaan
orang Banduy. Agama ini merupakan agama tua yang di peluk oleh penghuni
wilayah Jawa Barat (sekarang) yang permulaan penyebaran agamanya sedikit
sekali di pengaruhi oleh agama Hndu. Mengenai jejak religi masa silam
seperti itu berdasarkan sebagaimana berikut : sesuai dengan kehidupan
leluhurnya yang masih biasa berpindah-pindah tiap habis musim panen, watak
agama yang diwarisinya lebih sederhana dalam arti : praktis, akrab dengan
alam dan lebih mengutamakan isi daripada bentuk. Praktis sehingga dapat di
laksanakan di manapun mereka berada. Akrab dengan alam sehingga lebih
mengutamakan keheningan mutlak daripada kehirukpirukan Massa. Lebih
mementingkan isi ukuran kesungguhan dan kekhidmatan tidak di dasarkan
kepada nilai-nilai materil benda-benda upacaranya melainkan dalam hati dan
tingkah laku.
3. Budha

Mungkin tidaklah berlebihan bahwa Bumi Nusantara adalah Bumi yang


paling banyak macam-macam agama yang ikut mewarnai Bumi Nusantara.
Entah berapa jumlahnya yang pasti agama Budha pun turut serta menghiasi
Nusantara. Tentang agama ini, lagi-lagi dengan melihat historis tentang Bumi
Nusantara yang sudah dari dulu menjadi persinggahan utama dan penghubung
pedagang dari berbagai negara. Peziarah Buddha, yang melakukan ritual
keagamaan mereka di Borobudur Buddha merupakan agama tertua kedua di
Nusantara, tiba pada sekitar abad keenam Masehi. Sejarah Buddha di
Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha
telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra,
Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan Buddha telah dimulai dengan aktivitas
perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutera antara
India dan Nusantara. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Bumi Nusantara,
mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah
Kerajaan Buddha yang lebih awal. Begitupun Banten walaupun Budha
Kurang menguasai Banten akan tetapi masih banyak di temui acra-arca
walaupun tidak sebesar Candi Borobudur dll, akan tetapi setidaknya sedikit
menjelaskan Budha pernah mewarnai Banten.

4. Kristen Protestan

Kristen Protestan berkembang di Nusantara selama masa kolonial Belanda


(VOC), pada sekitar abad ke 16 M. Kebijakan VOC yang mengutuk paham
Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham
Protestan di Nusantara. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad
ke 20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa
wilayah di Nusantara, seperti di wilayah Barat Papua dan lebih sedikit di
kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, semua
orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-
Tuhan, dan karenanya tidak menerima secara seimbang hak-hak sebagai
warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu
pertumbuhan anggota, sebagian besar dari mereka merasa gelisah atas cita-
cita politik partai Islam.

5. Kristen Katolik

Kristen Katolik tiba di Nusantara saat kedatangan bangsa Portugis yang


berdagang rempah-rempah. Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan
untuk menyebarkan paham Katolik Roma di Nusantara, dimulai dari
kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor
misionaris Kristen, Francis Xavier, mengunjungi pulau itu dan membaptis
beberapa ribu penduduk lokal. Selama masa VOC, banyak praktisi paham
Katolik Roma yang jatuh, dalam hal kaitan kebijakan VOC yang mengutuk
agama itu. Yang paling tampak adalah di Flores dan Timor Timur, dimana
VOC berpusat. Lebih dari itu, para imam Katolik Roma telah dikirim ke
penjara atau dihukum dan digantikan oleh para imam Protestan dari Belanda.
Seorang imam Katolik Roma telah dieksekusi karena merayakan misa kudus
di suatu penjara semasa Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai gubernur
Hindia Belanda. Dan alhamdulillah Katolik di Banten sedikit.

D. Kemajemukan Masyarakat Banten

1. Asal usul Banten

Asal usul suku Banten erat kaitannya dengan sejarah berdirinya


Kesultanan Banten, berbeda dengan Suku Cirebon yang bukan merupakan
bagian dari Suku Sunda maupun Suku Jawa (melainkan hasil percampuran
dari dua budaya besar, yaitu Sunda dan Jawa), Suku Banten bersama Urang
Kanekes (Baduy) pada dasarnya adalah sub-etnik dari Suku Sunda yang
mendiami bekas wilayah Kesultanan Banten (wilayah Karesidenan Banten
setelah Kesultanan Banten dihapuskan dan dianeksasi oleh pemerintah Hindia
Belanda).

Hanya saja setelah dibentuknya Provinsi Banten, kemudian sebagian


orang menerjemahkan Bantenese sebagai kesatuan etnik dengan budaya dan
bahasa tersendiri, Budaya dan Bahasa Banten.Tanah Banten kaya akan adat
dan budaya, salah satu yang dominan adalah adat dan budaya suku Banten
yang menjadi mayoritas di Provinsi Banten.

2. Bahasa

Orang-orang Banten menggunakan Bahasa Banten yang masih


dikategorikan sebagai Bahasa Sunda bagian barat, yang pada tingkatan bahasa
Sunda modern dikelompokkan sebagai bahasa kasar. Perbedaan tata bahasa
antara Bahasa Banten dan Bahasa Sunda dikarenakan wilayah Banten tidak
pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal
tingkatan halus dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram. Bahasa
ini biasa dituturkan terutama di wilayah Banten bagian selatan, seperti
Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

3. Budaya dan Kesenian

Kekhasan budaya masyarakat Banten antara lain seni bela diri Pencak
Silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman (Dzikir Saman), Tari Topeng, Dog-
dog, Angklung Gubrag, Rampak Bedug, Tari Walijamaliha, Tari Silat
Pandeglang, Palingtung, Lojor, Beluk, dan lainnya.
Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur, antara lain
Masjid Agung Banten, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak
peninggalan lainnya.

4. Kuliner

Kuliner khas Banten diantaranya adalah Sate Bandeng, Rabeg Banten,


Pasung Beureum, Ketan Bintul, Nasi Belut, Kue Cucur, Angeun Lada, Balok
Menes, Sate Bebek Cibeber, Emping Menes, dan lainnya.

5. Agama

Secara umum, mereka yang mengaku sebagai etnis Banten merupakan


pemeluk agama Islam yang tidak bisa lepas dari budaya keislaman yang
sangat kental, hal tersebut erat kaitannya dengan sejarah Banten sebagai salah
satu Kerajaan Islam terbesar di pulau Jawa. Selain itu kesenian-kesenian di
Wilayah Banten juga menggambarkan aktivitas keislaman masyarakatnya,
seperti kesenian Rampak Bedug dari Pandeglang[12]. Meskipun begitu,
provinsi Banten merupakan masyarakat multietnis yang terdiri dari berbagai
suku bangsa dan agama[5], pemeluk agama lain dari suku-suku pendatang
lainnya dapat hidup berdampingan secara damai di wilayah ini, seperti
masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang, dan Masyarakat adat Baduy
(Sunda Wiwitan) di wilayah Kanekes, Leuwidamar, Lebak.

6. Batik banten

Corak dan motif Batik Banten adalah iluminasi dari ragam hias yang
telah dikaji Pemerintah provinsi Banten dalam rangka menemukan kembali
ornamen motif pada bangunan rumah adat di Banten, Ragam hias ini hasil
ekskavasi yang direkontruksi oleh Arkeologi Nasional dan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia sejak tahun 1976. Ragam hias tersebut telah menjadi
keputusan Gubernur Banten Tahun 2003.

Sejak dipatenkan tahun 2003, Batik Banten telah mengalami proses


panjang hingga akhirnya diakui di seluruh dunia. Batik Banten dipatenkan
setelah ada kajian di Malaysia dan Singapura yang diikuti 62 negara dan
mendapatkan predikat terbaik sedunia. Bahkan Batik Banten menjadi batik
pertama yang punya hak paten di UNESCO.

Batik Baten memiliki identitas tell story (motifnya bercerita) dan


kekhasan tersendiri ketimbang batik lain. Beberapa motifnya diadopsi dari
benda-benda sejarah (artefak). Di setiap motif terdapat warna abu-abu yang
konon menjadi cermin masyarakat Banten. Semua batiknya mengandung
muatan filosofi.

Nama-nama motif Batik Banten diambil dari nama toponim desa-desa


kuna, nama gelar bangsawan/sultan dan nama tataruang istana kerajaan
Banten. Pada corakpun identik dengan cerita sejarah yang mengandung
filosofi (penuh arti) pada motifnya dengan bermakna intelektual bagi
pemakai bahan dan busana Batik Banten.

Filosofi di Motif Batik Banten

 Motif Surosowan: Surosowan adalah nama tata ruang tempat Menghadap


raja/sultan Kesultanan Banten.

 Motif Pasulamam: Pasulaman adalah nama tempat para Pengrajin sulaman di


lingkungan Kesultanan Banten.

 Motif Pasepen: Pasepen adalah nama tempat tata ruang Istana tempat Sultan
Maulana Hasanuddin melakukan meditasi di Kesultanan Banten.
 Motif Sebakingking: Sebakingking adalah nama gelar Panembahan Sultan
Maulana Hasanuddin dalam penyebaran Agama lslam.

 Motif Srimanganti: Srimanganti adalah nama tempat di mana Selasar yang


menghungkan pendopo Kesultanan Banten untuk raja/sultan menanti.

 Motif Pejantren: Pejantren adalah nama tempat para pengrajin tenunan di


wilayah Banten.

 Motif Panjunan: Panjunan adalah nama sebuah perkampungan tempat


pengrajin gerabah dan keramik di wilayah Kesultanan Banten.

 Motif Singayaksa: Singayaksa adalah nama sebuah tempat di mana Sultan


Maulana Hasanuddin Salat Istikharah, memohon petunjuk Allah dalam
mendirikan keraton.

 Motif Wamilahan: Wamilahan adalah nama sebuah perkampungan tempat


pengrajin pembelah bambu dan tikar di lingkungan Istana.

 Motif Panembahan: Panembahan adalah nama Gelar Sultan Maulana


Hasanuddin dalam penataan negara pada kejayaan keraton Kesultanan Banten.

 Motif Pancaniti: Pancaniti adalah nama tempat/bangsal di mana Sultan


Maulana Hasanuddin menyaksikan para prajuritnya berlatih di lapangan.

 Motif Pamaranggen: Pamaranggen adalah nama tempat di mana para


pengrajin dan asesoris keris di lingkungan Kesultanan Banten.

 Motif Langenmaita: Langenmaita adalah nama tempat berlabuhnya


kebahagiaan dalam mengarungi samudra cinta dengan kapal pesiar/dermaga.

 Motif Mandalikan: Mandalikan adalah nama gelar yang diberikan kepada


Pangeran Arya Mandalika dalam penyebaran Agama lslam.
 Motif Memoloan: Memoloan adalah nama sebuah kontruksi bangunan atap
menara mesjid dan pendopo Kesultanan Banten.

 Motif Kesatriaan: Kesatriaan adalah nama Sebuah perkampungan tempat


belajar agama di pesantren lingkungan Kesultanan Banten.

 Motif Kawangsan: Kawangsan adalah nama gelar yang diberikan kepada


Pangeran Wangsa dalam penyebaran Agama lslam.

 Motif Kapurban: Kapurban adalah nama gelar yang diberikan kepada


Pangeran Purba dalam penyebaran Agama Islam.

 Motif Kaibon: Kaibonan adalah nama sebuah bangunan pagar yang


mengelilingi Keraton Istana Banten.

 Motif Datulaya: Datulaya dalah nama tempat tinggal Sultan Maulana


Hasanuddin/tata ruang keluarga di Kesultanan Banten.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah tentang agama dan budaya Banten yaitu agama
adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan
dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Dan
Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia ada yang mendefinisikan sebagai
semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Begitu pula hal nya dengan agama dan
budaya yang ada di daerah Banten tersebut kita dapat mengenal dan mempelajarinya
dari identitas, agama, kebiasaan dan budaya yang ada di dalamnya agar lebih luas
pengetahuan kita yang tinggal di daerah Banten tersebut.

B. Saran

Kita sebagai penerus bangsa harus selalu mengedepankan soal agama dan
budaya yang kita miliki agar terwujudnya nilai nilai budaya dan bangsa. Dan,
Semoga dengan saya membuat makalah tentang agama dan budaya Banten itu kita
semua dapat mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang Banten. Sehingga dapat
melestarika budaya dari Banten tersebut.
Daftar Pustaka

Guillot, Claude., Hasan M. Ambary dan Jacques Dumarcay., 1990, The Sultanate of
Banten, Jakarta : Gramedia Book Publishing Division.

Hidayat Syarif., 2007, Shadow State?Business and Politics in The Province of Banten,
“Renegotiating Boundaries”Local Politics in Post Suharto Indonesia, Leiden: KITLV
Press.

Halwany Michrob, 1992, Pengembangan Industri Keramik di Banten.

Halwany Michrob, 1992, Katalogus Koleksi Data Arkeologi Baten.

Ismanto, Gandung dkk., 2005, Banten: Melangkah Menuju Kemandirian Kemajuan


dan Kesejahteraan, Banten: Biro Humas Sekretariat Daerah Provinsi Banten.

Kartodirjo, Sartono.1988. “Berkunjung ke Banten Satu Abad yang Lalu (1879-1888),


dalam Hasan Muarif Ambari dan Halwany Michrob, Geger Cilegon 1888: Peranan
Pejuang Banten Melawan Penjajah Belanda. Serang: Panitia Hari Jadi ke 462
Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Serang.

Lubis, Nina H., 2003. “Banten dalam Pergumulan Sejarah”, Jakarta: LP3ES.

McKinnon, Andrew M. (2002), "Sociological Definitions, Language Games and the


'Essence' of Religion". Method & theory in the study of religion, vol 14, no. 1,
pp. 61–83.

Palmer, Spencer J., et al. Religions of the World: a Latter-day Saint [Mormon] View.
2nd general ed., tev. and enl. Provo, Utah: Brigham Young University, 1997. xv, 294
p., ill. ISBN 0-8425-2350-2.

Anda mungkin juga menyukai