Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT

KAJIAN SOSIAL BUDAYA RAMBU SOLO' DALAM


PANDANGAN FILSAFAT MODERN

Nama : Melti Pakkun

NIRM : 2220207694

Kelas :A

PASTORAL KONSELING
INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI TORAJA (IAKN TORAJA)
TAHUN AJARAN 2022/2023
Abstrak

Rambu Solo' is a traditional ceremony for the death of the Tana Toraja people which aims to
honor and convey the spirits of those who have passed away to the spirit realm. The spirit realm
referred to here is returning to eternity with their ancestors in a resting place. The resting place is
called Puya. refers to the social strata of the deceased. The richer and more powerful a person is,
the more expensive the funeral costs will be. The Rambu solo ceremony is some of the results of
this culture. The ceremony is carried out by the Toraja people who adhere to and are still
influenced by the aluk todolo belief because according to the aluk todolo belief, a person who
has just given birth, builds a house (tongkonan), harvests must carry out the rambutan tuka
ceremony as a form of gratitude.

Bab I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Di Indonesia banyak suku bangsa dari barat hingga timur,namun dari sekian banyak
suku bangsa di Indonesia ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik.
Yaitu pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat Tanah Toraja. Suku Tanah Toraja
adalah suku yang menetap dipegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya di perkirakan sekitar 650.000 jiwa,dengan 450.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tanah Toraja.

Tana Toraja adalah salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang dahulunya terkenal
dengan menetap di daerah pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, kebanyakan dari
suku Toraja ini beragama Kristen, ada juga masyarakat yang beragama Islam, dan masih
banyak masyarakat yang mempunyai kepercayaan animisme asli Toraja yaitu Aluk To
Dolo. Kata Toraja sendiri diambil dari Bahasa Bugis, yaitu Riaja, yang memiliki arti
"orang yang tinggal di negeri atas”. Suku Toraja sangat terkenal dengan ritual
pemakamannya. Ritual pemakaman Toraja merupakan ritual sosial yang sangat penting,
biasanya, ritual ini hanya bisa dihadiri beberapa ratus orang, dan berlangsung hanya
beberapa hari. Ritual ini biasa disebut juga dengan Rambu Solo'. Masyarakat Toraja
mempercayai bahwa jika tidak melakukan upacara pemakaman, maka jenazah yang
sudah dikebumikan akan meninggalkan kemalangan kepada orang-orang yang
ditinggalkan. Jenazah yang sudah meninggal juga akan dianggap seperti orang hidup
dengan keadaan sakit. Karena itu mereka masih memberikan sesajian kepada jenazah
yang belum munculnya rasionalisme lewat pemikiran Descartes, seorang filsuf terkemuka
pada zaman Modern

B. rumusan Masalah

Bagai mana pandangan filsafat moderen mengenai rambut solo'

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini iyalah untuk mengetahui adat kebudayaan toraja
mengenai rambut solo' dalam konteks filsafat modern

Bab II

Pembahasan

Rambu Solo' adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk
menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh. Alam roh
yang dimaksud di sini adalah kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah
tempat peristirahatan. Tempat peristirahatan itu disebut dengan Puya. mengacu pada strata sosial
orang yang meninggal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Upacara tertinggi biasa dilaksanakan dua kali dengan
rentang waktu sekurang-kurangnya setahun. Upacara pertama disebut Aluk Pia dan upacara
kedua disebut Rante. Aluk Pia bertempat di sekitar Tongkonan keluarga yang berduka,
sedangkan upacara Rante biasa dilaksanakan di sebuah lapangan khusus karena upacara puncak
prosesi pemakaman.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Upacara Rambu Solo' memiliki tingkatan yang bermacam-macam. Menurut
Tangdilintin (2009) Istilah aluk rambu solo' terbangun dari tiga kata, yaitu aluk (keyakinan),
rambu (asap atau sinar), dan turun. Dengan demikian, aluk rambu solo' dapat diartikan sebagai
upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun (terbenam). Sebutan lain
untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu'. Aluk artinya keyakinan atau aturan, rampe
artinya sebelah atau bagian, dan matampu' artinya barat. Jadi, makna aluk rampe matampu
'adalah upacara yang dilaksanakan di sebelah barat dari rumah atau tongkonan.1

Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Toraja dilandasi oleh kepercayaan atau
keyakinan leluhur mereka. Kepercayaan, aturan ataupun keyakinan leluhur tersebut adalah "Alok
Todolo". Aluk todolo merupakan kepercayaan dan pemujaan kepada arwah leluhur. Berdasarkan
Lullulangi (2007) dalam bahasa Toraja, Aluk artinya Kepercayaan atau agama dan Todolo'
artinya nenek moyang atau leluhur. Aluk todolo menurut penganutnya diturunkan oleh Puang
Matua kemudian diajarkan secara turun temurun kepada anak cucunya. Menurut Demmalino
(2007) penganut kepercayaan aluk todolo meyakini bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Puang
Matua, pencipta manusia pertama dan alam dengan segala isinya dan sering pula disebut Totu
Mampata yang artinya menciptakan manusia. Dalam rangka penciptaan hidup bersama dan
teratur, Puang Matua menurunkan Aluk Todolo dengan persyaratan hukumanya yang disebut
Pemali. Aturan tersebutlah yang menjadi pegangan dan pijakan yang memengaruhi sendi
kehidupan masyarakat suku Toraja.

Kehidupan keseharian suku toraja yang menganut dan mengaktualisasikan kepercayan aluk
todolo menghasilkan kebudayaan yang identikal. Upacara Rambu solo' merupakan beberapa
hasil dari kebudayaan tersebut. Upacara tersebut dilaksanakan oleh masyarakat suku Toraja yang
menganut dan masih terpengaruh kepercayaan aluk todolo sebab menurut keyakinan aluk todolo,
seseorang yang baru saja melahirkan, membangun rumah (tongkonan), panen harus
melaksanakan upacara rambu tuka sebagai wujud syukur. Selain itu, masyarakat Toraja yang
menganut ajaran aluk todolo meyakini bahwa orang meninggal belum dianggap "mati betul" tapi
dianggap sebagai orang sakit dan dinamakan to' makula' (to' = orang dan makula' = sakit)
sehingga orang mati itu masih tetap saja disajikan makanan dan minum dengan nampan dan
cangkir pada setiap kali orang makan sama seperti sewaktu masih kecil (Said, 2004) 2

1
Robi Panggarra,Upacara Rambu Solo’ Ditana Toraja:Memahami Bentuk Kerukunan Ditengah Situasi Konfli.
(2015)Hlm 8-12

2
Aluk Rambu Solo’:Rambu soli’ persepsi orang Kristen tentang rambu solo’. Hal 190
Bentuk upacara Rambu Solo'yang dilaksanakan di Tana Toraja disesuaikan dengan
kedudukan sosial masyarakatnya. Oleh ka- rena itu, upacara Rambu Solo' di Tana Toraja dibagi
ke dalam empat tingkatan, dan setiap tingkatannya memiliki beberapa bentuk. Hal itu dijelaskan
oleh L.T. Tangdilintin sebagai berikut.

1. Upacara Disilli'

Upacara Disilli' adalah upacara pemakaman yang paling rendah di dalam Aluk Todolo, yang
diperuntukkan bagi strata yang paling rendah atau anak-anak yang belum memunyai gigi.

a. Dipasilamun Toninna, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan bagi anak-anak yang
meninggal pada waktu lahir. Anak itu akan dikuburkan dengan plasentanya, sebagai pemakaman
bersejarah.

b. Didedekan Palungan, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang meninggal, tanpa ada
binatang yang dikorbankan. Hal itu diganti dengan mengetuk/memukul tempat makan babi saja.

c. Dipasilamun Tallok Manuk, yaitu upacara pemakaman bagi orang yang meninggal, yang
dikuburkan bersama dengan telur ayam, pada malam hari. Pemakaman itu tanpa pemotongan
binatang korban.

d. Dibai Tungga, yaitu upcara pemakaman yang dilakukan dengan cara mengantar jenazah ke
kuburan pada malam hari dan disertai dengan pemotongan seekor babi.

2. Upacara Dipasangbongi

Upacara Dipasangbongi adalah upacara pemakaman yang hanya berlangsung selama satu
malam. Upacara itu dilaksanakan bagi kelompok tana' karurung (rakyat merdeka/biasa). Namun,
upacara itu bisa saja dilakukan oleh orang dari tana' bulaan dan bassi jika secara ekonomi mereka
tidak mampu.

a. Dibai Apa, yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan hanya mengorbankan babi
empat ekor.

b. Ditedong Tungga', yaitu upacara pemakaman selama satu malam dengan kerbau satu ekor,
tetapi babi tidak ditentukan banyaknya.
c. Diisi, yaitu upacara pemakaman bagi anak yang belum memiliki gigi. Anak itu dapat diberi
gigi emas atau besi, lalu dipotongkan kerbau seekor. Upacaranya berlangsung selama satu
malam, lalu besoknya dikuburkan. Upacara itu biasanya dilakukan oleh orang yang berasal dari
kelompok bangsawan tinggi dan menengah.

d. Matangke Patomali, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama satu malam dan
diberi kerbau dua ekor sebagai korban. Upacara itu juga disebut "To Ditanduk Bulaan".

3. Upacara Dipasangbongi

Dalam upacara Dibatang atau Didoya Tedong, setiap hari kerbau satu ekor ditambatkan pada
sebuah patok dan dijaga oleh orang sepanjang malam tanpa tidur. Selama upacara itu
berlangsung, setiap hari ada pemotongan kerbau satu ekor. Upacara itu diperuntukkan bagi
bangsawan menengah (tana' bassi), tetapi juga bisa dipakai untuk kaum bangsawan tinggi (tana'
bulaan) yang tidak mampu membuat upacara Tana' Bulaan.

Upacara itu dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut.

a. Dipatallung Bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 3 hari 3 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tiga ekor dan babi secukupnya. Pada upacara itu
dibuat pondok-pondok di halaman tongkonan yang ditempati oleh seluruh keluarga selama
upacara berlangsung.

b. Dipalimang Bongi, yaitu upacara pemakaman yang berlangsung selama 5 hari 5 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya lima ekor dan babi secukupnya. Pada upacara itu,
selain membangun pondok di halaman tongkonan, dibuatkan juga pondok upacara di tempat
yang dinamakan "rante" 12

c. Dipapitung Bongi adalah upacara pemakaman yang berlangsung selama 7 hari 7 malam
dengan korban kerbau sekurang-kurangnya tujuh ekor dan babi secukupnya. Walau pun upacara
itu berlangsung 7 hari, ada satu hari yang digunakan untuk beristirahat meskipun acara korban
terus berlangsung. Hari itu dikenal dengan istilah "Allo Torro" (hari istirahat). Tambahan dalam
upacara itu adalah pembuatan "duba-duba", yaitu tempat pengusung mayat yang dibentuk seperti
rumah adat Toraja. Pada upacara Dipatallung Bongi dan Dipalimang Bongi, hal itu tidak dibuat,
kecuali "saringan", yaitu tempat pengusung mayat tanpa tutup, yang menyerupai rumah adat
Toraja.

4. Upacara Rapasan

Upacara Rapasan adalah upacara pemakaman yang dikhususkan bagi kaum bangsawan tinggi
(tana' bulaan). Dalam upacara jenis Rapasan, upacara dilaksanakan sebanyak dua kali.

Upacara itu dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.

a. Upacara Rapasan Diongan atau Didandan Tana' (artinya di bawah atau menurut syarat
minimal). Dalam upacara itu korban kerbau sekurang-kurangnya sembilan ekor, dan babi
sebanyak yang dibutuhkan/sebanyak-banyaknya. Karena upacara Rapasan dilaksanakan
sebanyak dua kali, upacara pertama dilaksanakan selama tiga hari di halaman tongkonan, dan
upacara kedua dilaksanakan di rante. Upacara pertama disebut sebagai Aluk Pia atau Aluk
Banua, yang berlangsung sekurang-kurangnya 3 hari di halaman tongkonan, sedangkan upacara
kedua disebut Aluk Palao atau Aluk Rante karena pelaksanaannya berlangsung di rante dan
dapat dilangsungkan selama yang diinginkan oleh keluarga. Jumlah kerbau yang dikorbankan
dalam upacara pertama itu sama dengan jumlah yang dikorbankan dalam upacara kedua
meskipun kadang-kadang dilebihkan satu atau dua ekor pada upacara kedua.

b. Upacara Rapasan Sundun atau Doan (upacara sempurna/atas). Upacara itu diperuntukkan bagi
bangsawan tinggi yang kaya atau para pemangku adat. Dalam upacara itu dibutuhkan korban
kerbau sekurang-kurangnya 24 ekor, dengan jumlah babi yang tidak terbatas untuk dua kali
pesta. Upacaranya berlangsung seperti upacara Rapasan Diongan.

c. Upacara Rapasan Sapu Randanan (secara literal diartikan 'serata dengan tepi sungai')
berlangsung dengan korban kerbau yang melimpah (ada yang mengatakan di atas 24, 30, bahkan
di atas 100 ekor.) Pada upacara itu, selain menyiapkan duba-duba (tempat pengusung mayat
yang mirip dengan rumah tongkonan), disiapkan juga tau-tau, yaitu patung orang yang
meninggal, yang diarak bersama dengan mayat ketika akan dilaksanakan Aluk Palao atau Aluk
Rante.3

3
Fajar Nogroho, Kebudayaan Masyarakat toraja,(Surabaya;Perpustakaasn Nasional,2015)Hlm 22-23
Bab III

Kesespulan

Rambu Solo' adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk
menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh. Alam roh
yang dimaksud di sini adalah kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah
tempat peristirahatan. Tempat peristirahatan itu disebut dengan Puya. mengacu pada strata sosial
orang yang meninggal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Upacara Rambu solo' merupakan beberapa hasil dari
kebudayaan tersebut. Upacara tersebut dilaksanakan oleh masyarakat suku Toraja yang
menganut dan masih terpengaruh kepercayaan aluk todolo sebab menurut keyakinan aluk todolo,
seseorang yang baru saja melahirkan, membangun rumah (tongkonan), panen harus
melaksanakan upacara rambu tuka sebagai wujud syukur.

DAFTAR PUSTAKA

Panggarra Robi, Upacara Rambu Solo’ Ditana Toraja:Memahami Bentuk Kerukunan Ditengah
Situasi Konfli. (2015)

Aluk Rambu Solo’:Rambu soli’ persepsi orang Kristen tentang rambu solo’.

Nogroho Fajar, Kebudayaan Masyarakat toraja,(Surabaya;Perpustakaasn Nasional,2015)

Anda mungkin juga menyukai