Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Budaya Suku Toraja


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Lintas Budaya
yang diampuu oleh Lusy Asa Akhrani, S.Psi. M.Si

Disusun oleh:
Grace Eka

145120307111033

Tri Eka Dewi .P

145120307111052

Choirunisa Shofyani 145120307111021


Yeni Ardyaningrum 145120307111022
Fahri Kamuli

145120307111031

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

Aluk Todolo
Kebudayaan sangat mempengaruhi segenap tingkah laku dan perkembangan proses
mental bagi masyarakat yang termasuk dalam kelompok atau suku yang menganut
kebudayaan tertentu. Maka dari itu, erat kaitannya bagaimana cabang ilmu psikologi
dapat mengkaji beberapa fenomena yang dianut oleh beberapa kelompok masyarakat.
Dalam makalah ini menguak kebudayaan adat dari suku Toraja, Sulawesi Selatan. Dengan
kekentalan adat yang menonjol sebagai bentuk aliran Aluk Todolo (kepercayaan nenek
moyang). Suku Toraja sangat terkenal dengan adatnya yang kental dan mistis, membuat
sejarah yang fenomenal dari bumi belahan Sulawesi. Terletak di Kabupaten Tana Toraja,
sekitar 7-8 jam jalur darat dari ibukota Sulawesi Selatan yaitu Makassar. Diadopsi dari
bahasa Bugis, Toraja yang berarti orang yang berdiam di negri atas (Nooy-Palm. 1975).
Suku Toraja menganut aliran Aluk Todolo, yang merupakan kepercayaan yang kini
disebut Aluk Todolo ( Aluk = Agama atau Aturan, Todolo = Leluhur) artinya Agama
Leluhur atau Agama purba.

Aluk Rambu Solo


Rambu Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan
keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada
mendiang yang telah pergi dan dilakukan pada tengah hari. Tujuan diadakannya upacara
rambu solo adalah untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal
dunia menuju alam roh,yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di
sebuah tempat peristirahatan.
Upacara Aluk Rambu Solo bertujuan Untuk menghormati dan mengantarkan arwah
orang yang meninggal dunia menuju alam roh, bersama para leluruh mereka yang
bertempat di puya. Upacara ini sebagai penyempurnaan, karena orang baru yang
dianggap benar-benar wafat setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum,
maka orang yang wafat hanya di anggap sebagai orang yang sakit atau lemah,
sehingga ia di perlakukan seperti halnya ketika masih hidup, yaitu dibaringkan di tempat
tidur dan di beri makanan dan minuman, bahkan di ajak berbicara. Selain itu, orang
toraja arwahnya mencapai tingkatan dewa (to-membali puang) untuk kemudian menjadi
dewa pelindung (deata) ( Mohammad Natsir Sitonda, 2007).

Secara garis besar upacara pemakaman terbagi kedalam 2 prosesi, yaitu Prosesi
Pemakaman (Rante) dan Pertunjukan Kesenian. Prosesi-prosesi tersebut tidak
dilangsungkan secara terpisah, namun saling melengkapi dalam keseluruhan upacara
pemakaman. Prosesi Pemakaman atau Rante tersusun dari acara-acara yang berurutan.
Prosesi Pemakaman (Rante) ini diadakan di lapangan yang terletak di tengah kompleks
Rumah Adat Tongkonan, antara lain:
1
2

MaTudan Mebalun, yaitu proses pembungkusan jasad


MaRoto, yaitu proses menghias peti jenazah dengan menggunakan benang emas dan

benang perak.
MaPopengkalo Alang, yaitu proses perarakan jasad yang telah dibungkus ke sebuah

lumbung untuk disemayamkan.


MaPalao atau MaPasonglo, yaitu proses perarakan jasad dari area Rumah
Tongkonan ke kompleks pemakaman yang disebut Lakkian.

Jenazah diarak dari


rumah tongkonan ke
tempat pemakaman
(MaPalao)

Proses menghias
peti jenazah (Ma

Prosesi yang kedua adalah Pertunjukan Kesenian. Prosesi ini dilaksanakan tidak
hanya untuk memeriahkan tetapi juga sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi orang
yang sudah meninggal. Dalam Prosesi Pertunjukan kesenian dapat disaksikan pula antara
lain:
1
2
3
4
5
6

Perarakan kerbau yang akan menjadi kurban


Pertunjukan beberapa musik daerah, yaitu PaPompang, PaDali-dali, dan Unnosong.
Pertunjukan beberapa tarian adat, antara lain MaBadong
Pertunjukan Adu Kerbau, sebelum kerbau-kerbau tersebut dikurbankan.
Penyembelihan kerbau sebagai hewan kurban.
MaPalao atau MaPasonglo, yaitu proses perarakan jasad dari area Rumah
Tongkonan ke kompleks pemakaman yang disebut Lakkian.

Tari Kematian (MaBadong)

Adu Kerbau sebelum kerbau dikurbankan

Ritual Rambu Solo pada intinya adalah Meaya, yakni memindahkan/mengarak


jenazah dari tongkonan ke Liang (kuburan) yang berupa gua di tebing batu yang tersebar
di sepanjang wilayah Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara . Dalam kepercayaan Aluk
Todolo, semakin tinggi (gua tebing batu) tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat
rohnya untuk sampai menuju nirwana/Puya, dunia arwah/akhirat yang berada di sebelah
selatan wilayah Tana Toraja.
Selain gua di tebing, masyarakat modern juga menguburkannya di rumah kayu
dengan ukiran batu ditengahnya yang digunakan sebagai tempat pemakaman ini disebut
Patane. Patane digunakan untuk 1 rumpun keluarga, jadi bukan hanya untuk 1 orang
saja, itulah alasan mengapa patane ini dibuat sangat besar. Patane ini kondisinya tertutup,
sehingga masyarakat yang berkunjung hanya dapat melihat dari dinding yang megah.
Patane tidak bisa sembarangan dibuka, ia hanya dibuka saat ada jenazah yang akan
dikubur. Di luar kondisi untuk memakamkan, Patane hanya dibuka pada waktu-waktu
khusus dan harus setelah masa panen.
Gambar Patane

Bagi sebagian kecil masyarakat suku Toraja-khususnya di kawasan Baruppu, Toraja


Utara-meyakini bahwa jenazah itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerabat dan
saudaranya yang masih hidup. Itu sebabnya di kawasan ini, sebagian keluarga sangat
memperhatikan jenazah keluarganya setiap 3 tahun sekali untuk dibersihkan. Tradisi
membersihkan jenazah ini disebut Manene. Ritual Ma'nene dilakukan khusus oleh
masyarakat Baruppu, di pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'nene dilakukan setiap 3 tahun
sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus, hal ini dikarenakan upacara Ma'nene
hanya boleh dilaksanakan setelah panen. Musim panen yakni jatuh pada bulan Agustus.

Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja dibuka dan
dikeluarkan dari peti, untuk didandani. Uniknya, jasad mayat ini masih tetap utuh.
Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur mereka masih hidup dan
mengawasi keturunannya dari tempat yang lain. Sebelum dibuka dan di angkat dari
peti, para tetua yang biasa dikenal dengan nama Tominaa, membacakan doa-doa
dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan
dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih.
Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali
dibaringkan di dalam peti tadi. Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan
dari peti akan dibersihkan dan didandani layaknya pergi ke sebuah pesta meriah.

Jenazah dibaringkan di peti jenazah setelah dibersihkan dan dipakaikan pakaian yang baru.

Seorang anggota keluarga yang hendak mengeluarkan jenazah leluhurnya untuk dibersihkan
dan dipakaikan pakaian baru.

Aluk Rambu Tuka (Mangrara Banua)


Pada malam hari sebelum puncak acara, dilakukan upacara Merok merupakan upacara
mendoakan kerbau yang akan dikurbankan yang disebut Disurak yang dilakukan oleh
pemuka adat. Kemudian pagi harinya dilakukan penombakkan pada kerbau tersebut atau
disebut Dirok. Kemudian pagi hari dimulai dengan pengangkatan Bate sebagai simbol
kemakmuran yang ditempatkan disebelah Tongkonan yang berbentuk hiasan tinggi terbuat
daru bamboo dan dihiasi oleh kain warna-warni. Satu kerbau, dan puluhan babi menjadi
kurban dalam upacara ini. Babi-babi yang akan dikorbankan diarak menggunakan Lettoan
yaitu rumah arak-arakkan untuk babi. Kemudian babi diarak dengan tradisi yang biasa
dilakukan pada upacara Mangrara Banua.
Suasana kebersamaan terlihat oleh keluarga besar mengundang penduduk sekitar
untuk ikut memeriahkan upacara ini. Pemuka adat harus memperhatikan dan membantu
prosesi upacara agar sesuai dengan adat yang memang dilakukan secara turun-temurun.
Ketika kesalahan tahapan atau teknis dalam upacara, atau prosesi upacara tidak sesuai
dengan kasta yang dimiliki sanak keluarga, maka munculah tanggapan negatif dari
masyarakat dan menjatuhkan harkat dan martabat keluarga tersebut.

Gambar Batte di samping Rumah Tongkonan.


Gambar Lettoan (arak-arakkan babi)

Makanan Khas
Selain memiliki budaya yang khas, Tana Minang (Toraja) juga memiliki makanan
khas yang hanya ada pada saat upacara- upacara adat, baik itu pernikahan maupun upacara
kematian di Toraja. Makanan khas tersebut dikenal dengan nama papiong. Papiong adalah
makanan sejenis lemang, yaitu makanan yang dibakar menggunakan bambu. Papiong
dimasak dengan mengunakan bambu biasa menggunakan sayur bulunangko (mayana) dan
bisa juga menggunakan Burak (pohon pisang) yang masih muda. Makanan ini terbungkus
bambu dengan bahan dasar beras dan daging. Bambu yang digunakan berukuran kecil,
dengan panjang 40 sampai 50 centimeter, dan jika bambu agak besar panjangnya hanya 35
sampai 45 centimeter.
Cara pembuatan makanan Papiong adalah dibakar selama 45 menit sampai satu jam.
Beras yang digunakan adalah beras ketan dicampur santan. Keharuman Papiong bisa
ditambah dengan jahe. Papiong biasanya disajikan di acara adat Rambu Tuka', Rambu
Solo', dan syukuran rumah atau Ma'rara Banua. Pada saat pesta panen pun pa'piong adalah
makanan paling banyak disediakan.

PENUTUP

KESIMPULAN
Upacara adat bagi masyarakat yang masih kental menjunjung tinggi adat istiadat,
sangat mematuhi tradisi masyarakat setempat yang telah dianut secara turun-temurun.
Dengan demikian, adanya kecondongan masyarakat untuk menemukan berbagai cara untuk
tetap melestarikan budaya mereka. Dengan tidak mengenyampingkan perkembangan global,
masyarakat suku asli Toraja tetap pada pendirian mereka untuk melestarikan apa yang
menjadi potensi besar untuk memajukkan dan mempopulerkan tradisi turun-temurun. Dengan
kepercayaan akan tradisi yang kuat, upacara-upacara yang dilakukansebagai jembatan untuk
mengapresiasikan budaya leluhur.
Adanya beberapa elemen yang terkait dalam budaya ini. Elemen tradisionalitas
mampu bertahan karena dalam praktik kepercayaan, ada komponen konformitas. Perilaku
individu dapat diatur dengan menggunakan tolok ukur lingkungan sekitarnya. Ini sejalan
dengan teori vicarious conditioning oleh Albert Bandura (1977), yang menyatakan melalui
penelitian bahwa pengaturan perilaku individu akan tercapai dengan lebih efektif dan efisien
dengan menggunakan conditioning pada model. Dengan masyarakat yang merasa
mendapatkan reward secara spiritual saat menjalankan kepercayaan mereka, ditambah faktor
social appropriateness dalam pelaksanaan budaya tersebut. Elemen kolektivitas, upacaraupacra dilakukan dengan mengundang masyarakat sekitar dan dengan memperhatikan
keguyuban yang menjadi tolak ukur adat Aluk Todolo. elemen stigmatis dalam teknis upacara
juga terkait dengan adanya konformitas, karena kegagalan dalam teknis upacara akan dapat
dinilai sebagai perilaku nonkonformis (terhadap budaya yang ada) dan menimbulkan reaksi
negatif dari masyarakat.
Dengan anggapan akan jatuhnya harkat dan martabat kasta paling tinggi menjadikan
tolak ukur atau punishment keluarga besar, maka dari itu masyarakat suku Toraja masih tetap
menyelenggarakan upacara-upacara adat seperti Rambu Solo dan Rambu Tuka . Upacaraupacara adat pun harus dilakukan sesuai kasta keluarga agar tidak mengakibatkan
kesalahpahaman.

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, Albert. 1971. Social Learning Theory. Sranford University: Amerika.


http://www.jku.at/org/content/e54521/e54528/e54529/e178059/Bandura_SocialLearni
ngTheory_ger.pdf, diunduh pada hari Sabtu, 26 Desember 2015 pukul 02.51.
Saleh, Ikrar Muhammad, dkk. 2013. Rambu Solo and Buffalo at Tana Toraja of South
Sulawesi.

Universitas

Hassanudin:

journal.unhas.ac.id/index.php/pbic/article/download/981/854,

Makassar.
diunduh

pada

Minggu, 27 Desember 2015 pukul 15.24.


Sitonda, Nasir Mohammad, 2007. Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka Refleksi.
Tangdilintin, L.T. Upacara Pemakaman Adat Toraja. Toraja, 1980.
Marampa, A.T. 2003. Mengenal Toraja. Toraja: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya.

hari

Anda mungkin juga menyukai