Anda di halaman 1dari 3

Tradisi Rambu Solo

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten
Mamasa. Wilayah sekitaran Teluk Tonkin, yang terletak antara Vietnam utara dan Cina
selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk
To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama
Hindu Dharma. Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, To Riaja, yang berarti "orang yang
berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun
1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Suku Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Asal usul Tana Toraja berasal dari kata Tana yang berarti tanah, kawasan atau
tempat tinggal. Orang Toraja lebih senang menyebut diri sesuai dalam kosakata lokalnya
sebagai “Toraya". Berarti keturunan Raja, "Orang-orang hebat" atau "manusia Mulia".
Sementara masyarakat di daerah selatan (dataran rendah) menyebut penduduk yang tinggal
di daerah utara ini sebagai "Riaja", merujuk pada “Orang yang mendiami daerah
pegunungan”. Toraja Utara merupakan pemekaran pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja,
yang resmi berdiri sejak 26 November 2008. Kabupaten ini beribukotakan Rantepao, yang
berjarak ± 329 km dari Makassar dan dapat ditempuh melalui perjalanan darat sepanjang
329 km ke arah utara.

Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan
Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah
upacara atas rumah adat yang baru direnovasi. Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja
percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal tersebut akan
memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal
hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan
seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam
sesajian lainnya.

Ritual pemakaman Suku Toraja disebut dengan Rambu Solo. Rambu Solo bertujuan
untuk mengantarkan arwah seseorang yang telah meninggal ke alam roh. Masyarakat Toraja
menganggap orang yang sudah meninggal telah benar-benar meninggal jika seluruh
kebutuhan prosesi upacara Rambu Solo terpenuhi. Jika belum, maka orang meninggal
tersebut akan diperlakukan layaknya orang sakit, sehingga harus disediakan makanan,
minuman, dan dibaringkan di tempat tidur. Secara harfiah, Rambu Solo diartikan sinar yang
arahnya ke bawah. Dengan demikian, Rambu Solo diartikan sebagai upacara yang dilakukan
saat matahari terbenam. Istilah lain Rambu Solo adalah Auk Rampe Matampu, ritus-ritus di
sebelah barat, sebab sesudah pukul 12 matahari berada di sebelah barat. Oleh karena itu
ritus-ritus persembahan dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan, rumah adat Toraja.
Upacara rambu solo di Tana Toraja memerlukan biaya yang sangat besar (mahal).Upacara
rambu solo’ berasal dari kepercayaan Aluk Todolo. Istilah aluk rambu solo’ terbangun dari
tiga kata, yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap atau sinar), dan turun. Dengan demikian, aluk
rambu solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari
mulai turun (terbenam).

Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat
serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan.
Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan
disimpan di rumah leluhur atau tongkonan. Puncak upacara Rambu Solo biasanya
berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh
Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan
orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara. Dalam
kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat
jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.

Upacara rambu solo di Tana Toraja memerlukan biaya yang sangat besar (mahal).
Biaya yang tinggi tersebut disebabkan oleh banyaknya kerbau dan babi yang dikorbankan,
dan lamanya upacara dilaksanakan. Biaya yang besar dalam upacara rambu solo adalah
untuk melakukan pengorbanan utama berupa penyembelihan kerbau belang atau tedong
bonga. Selain mengorbankan kerbau belang, upacara rambu solo juga mengorbankan
kerbau biasa dan babi yang jumlanya mencapai ratusan ekor bahkan ribuan ekor. Sehingga
keseluruhan biayanya dapat mencapai milyaran rupiah. Akibatnya banyak masyarakat
disana melakukan upacara dalam beberapa bulan atau beberapa tahun, bahkan bertahun
setelah seseorang meninggal.

Bila golongan Rapasan (golongan Bangsawan) meninggal dunia maka jumlah kerbau yang
akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding dengan masyarakat yang bukan
keturunan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau biasa berkisar dari 24 sampai
dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan masyarakat golongan Tana’bassi (golongan menengah)
diharuskan menyembelih 8 kerbau ditambah dengan 50 ekor babi. Lama upacara sekitar 3-7 hari.
Tapi sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan ditebing atau ditempat tinggi.
Maka dari itu tidak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di atas rumah atau di atas
tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum dapat menyiapkan hewan
kurban.

Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil di mana anak-anak yang sudah
menikah meninggalkan orangtua mereka dan memulai hidup baru di tempat lain. Meski
anak mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya tetapi mereka semua merupakan satu
keluarga besar yang tinggal di satu rumah leluhur (tongkonan). Tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah
penting dalam kehidupan spiritual Suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.

Mengarak mayat merupakan sistem pengetahuan dalam tradisi Rambu Solo karena
merupakan peristiwa yang nyata dan sudah dilakukan secara turun-temurun di Toraja. Mayat yang
ada di dalam peti akan diarak dan dibawa ke tempat terakhirnya agar segera menghadap ke
Tuhannya. Mayat itu nantinya akan dikuburkan ke tebing. Rambu Solo memiliki beberapa sistem
simbol yang dapat diketahui melalui peristiwa yang terjadi dalam tradisi tersebut. Sistem simbol
yang terdapat pada Rambu Solo adalah simbol dalam ritual, simbol nyanyian, simbol bangsawan,
simbol arwah, simbol melayat dan simbol kerbau. Ritual dalam Rambu Solo terdiri atas
Mappassulu', Mangriu' Batu, Ma'popengkaloa, Ma'pasonglo, Mantanu Tedong, dan Mappasilaga
Tedong.

Sangat banyak tradisi unik di negara kita Indonesia termasuk Tradisi Rambu Solo yang
berasal dari suku Toraja. Tradisi yang masih dilaksanakan masyarakat Toraja secara turun
temurun dari nenek moyang mereka. Memang tidaklah mudah untuk melaksanakan tradisi itu,
apalagi harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Bagi masyarakat dengan ekonomi yang
terbilang rendah haruslah rela bila mayat keluarga mereka belum terkubur apabila uang mereka
belum memadai. Namun, dengan segara peraturan dari tradisi tersebut kita tidak sepantasnya
melanggarnya tetapi haruslah menjaga dan melestarikan keunikan ini untuk keberagaman di
Indonesia.

Nama-nama Kelompok:
1. Fnesia Sinaga
2. Grace Sitorus
3. Chyntia Situmorang (tidak aktif)
4. Denrio Tambunan (tidak aktif)

Anda mungkin juga menyukai