Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL

KEBUDAYAAN SUKU TORAJA


Artikel ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia

Dosen Pengampu : Yustiani, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Cahyani Wiranti 21140001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

STKIP PGRI BANDAR LAMPUNG

2022/2023
Suku Toraja adalah sebuah suku bangsa yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Mayoritas suku Toraja memeluk Kekristenan, sementara sebagian
menganut Islam dan kepercayaan Animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kebudayaan Suku Toraja (Sulawesi Selatan)

A. Adat Istiadat Suku Toraja


1. Tradisi Tinggo Tedong

Kegiatan ini merupakan rangkaian pemakaman yang dilakukan oleh masyarakat


Toraja dengan menyembelih kerbau. Menurut kepercayaan umum, kerbau adalah hewan
suci dan gunung arwah yang akan membawanya ke alam baka.

2. Tradisi Sisemba
Tradisi Sisemba atau pertarungan kaki antar anak-anak maupun orang dewasa di Tana
Toraja sebagai bentuk perayaan panen. Tradisi ini biasanya dilakukan di lapangan dan
mempertemukan dua kubu dari dua desa yang berbeda. Setiap kubu akan saling
berpegangan dengan kelompoknya dan bergerak maju untuk melakukan tendangan
kepada lawan. Tenang saja, permainan ini diawasi langsung oleh seorang wasit.

3. Tradisi Rambu Solo

Salah satu tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah Rambu Solo
atau ritual pemakaman untuk orang wafat. Tradisi ini memiliki tujuan untuk
mengantarkan arwah menuju kehidupan setelah kehidupan didunia dengan
serangkaian doa dan ritual.
Dalam tradisi Rambu Solo akan diadakan pertunjukan seni, adu kerbau hingga
kemudian jenazah diantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.
4. Tradisi Silaga Tedong

Silaga Tedong merupakan permainan adu kerbau yang masih dilakukan suku
Toraja hingga saat ini. Permainan adu kerbau ini biasanya dilakukan ketika ada
keluarga yang meninggal bertujuan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan
serta pelayat yang hadir.
Silaga Tedong masih merupakan rangkaian acara Rambu Solo. Keseruan dari
Tradisi ini adalah adu kerbau dilakukan di tanah lapang dan becek. Selain itu kerbau
yang digunakan juga merupakan kerbau jenis tertentu dengan harga mahal.

B. Rumah Adat Suku Toraja

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan
dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan
dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena
itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangkan
hubungan mereka dengan leluhur mereka.
Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang
digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota
keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan
anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan
yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

C. Pakaian Adat Suku Toraja

1. Seppa Talung Buku (Pakaian Pria

Masyarakat adat Suku Toraja di Sulawesi Selatan menamakan pakaian laki laki
mereka sebagai Seppa Talung Buku. Satu set baju tradisional dengan kisaran panjang
celana sampai lutut menjadi ciri khasnya. Rangkaian aksesoris yang melengkapi pakaian
ini terdiri dari Gayang (keris), sebuah selempang, Lipa’ (sarung tradisional), Kandaure
(kalung tradisional), sabuk, kain penutup kepala, dan lainnya. Warna-warna untuk motif
tradisional pada baju ini meliputi kuning, merah, atau putih. Penggunan Seppa Tallung
dilakukan untuk upacara adat Rampanan Kapa’, Rambu Solo’, atau sebagai busana bagi
para penari.

2. Pokko/Rawang Boko (Pakaian Wanita)

Maka perempuan Toraja memiliki baju Pokko’. Desain lengan pada pakaian ini
ukurannya pendek, dengan ciri ciri berupa dominasi yang mencolok dari warna-warna
merah, hijau, hitam, kuning, dan putih. Pengenaan Baju Pokko juga dilakukan bersama
beberapa perhiasan, aksesoris, hingga manik-manik yang membuatnya menarik.
Misalnya manik-manik bahu dan dada, anting, ikat pinggang dan kepala bermotif khas
Toraja atau disebut Kandaure, kalung, serta gelang. Seppa Tallung Buku, Baju Pokko’
pun dikenakan pada upacara adat Rampanan Kapa’ (upacara pernikahan) atau Rambu
Solo’ (upacara adat pemakaman), juga sebagai busana bagi para penari dalam Tari
Ma’gellu dan Pa’gellu.

3. Kandore

Para wanita Toraja juga punya Kandore yang sama-sama diperuntukkan mereka.
Melihat foto di atas, hiasan untuk baju adat ini meliputi manik-manik yang dirangkai
menjadi kalung sebagai penghias dada, ikat kepala dan pinggang, serta gelang.

4. Maa’

Pakaian ini dipakai biasanya untuk acara khusus yang menggelar berbagai jenis tarian
adat, sebagai upaya untuk tetap menjunjung tinggi kebudayaan serta adat istiadat
setempat. Contohnya Manimbong yang ditarikan oleh pria, para penarinya mengenakan
Maa’ sebagai pakaiannya, ditambah ikat kepala serta parang antik.
D. Upacara Adat Suku Toraja
1. Upacara Rambu Tuka’ Toraja

Rambu Tuka’ adalah semacam acara syukuran khas Tana Toraja. Persembahan-
persembahan tersebut ditujukan kepada para dewa, atau para leluhur yang telah menjadi
dewa, yang dipercaya kini mendiami langit bagian timur laut.
Dalam upacara Rambu Tuka’ dimaknai sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan
untuk memperoleh berkat dan segala kebutuhan hidup di dunia. Upacara Rambut Tuka’
ini biasa dilakukan pada pagi hari atau sebelum siang tiba, yang bertempat di sebelah
timur tongkonan (rumah adat Toraja).

2. Upacara Pemakaman Toraja Rambu Solo’

Rambu Solo’ adalah upacara kematian adat Toraja. Upacara ini dilaksanakan setelah
pukul 12 siang. Tidak ada undangan khusus seperti acara syukuran, setiap warga
menyadari rasa solidaritas dalam persekutuan masyarakat Toraja. Nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara ini hanya dapat dihayati dengan benar dan eksistensial oleh
orang Toraja.
Jenazah biasanya akan disimpan dalam rumah dan dibalut dengan kain kafan sampai
tiba pelaksanaan upacara Rambu Solo’. Bagi keluarga kaya raya atau bangsawan, upacara
dapat dilaksanakan dalam waktu singkat. Namun bagi keluarga yang tidak memiliki
cukup dana, mereka akan terus menabung sampai cukup untuk mengadakan upacara
Rambu Solo’. Untuk melaksanakan upacara ini, pihak keluarga juga harus
mempersiapkan persembahan berupa kerbau. Bagi masyarakat Toraja, kerbau yang
dikorbankan akan mengantar arwah menuju tempat peristirahatannya di puya. Semakin
banyak kerbau yang dikorbankan, maka semakin cepat pula arwah tersebut diantar
menuju puya. Jumlah kerbau yang dikorbankan inilah, salah satu yang membuat biaya
pelaksanaan Rambu Solo’ menjadi sangat mahal. Pihak keluarga dengan tingkat ekonomi
menengah bahkan biasa mengorbankan hingga 10 ekor kerbau. Sedangkan keluarga kaya
atau bangsawan bisa mengorbankan hingga ratusan ekor.

3. Ritual Adat Ma’nene

Ritual Ma’nene adalah kegiatan membersihkan jasad para leluhur yang telah ratusan
tahun meninggal dunia. Meskipun memang sudah tidak banyak yang melakukan ritual
ini, namun ada beberapa daerah di Tana Toraja yang masih melakukannya. Pelaksanaan
ritual Ma’nene dimulai dengan para anggota keluarga mendatangi patane(kuburan) untuk
mengambil jasad dari anggota keluarga mereka yang telah meninggal.
Setelah dikeluarkan dari kuburan, jasad tersebut kemudian dibersihkan. Pakaian lama
yang dikenakan jasad dilepas, lalu diganti dengan pakaian yang baru. Setelah pakaian
yang baru dikenakan, jasad tersebut lalu dibungkus dan dikembalikan lagi ke patane.
Biasanya, ritual Ma’nene’ ini dilakukan secara serempak satu keluarga, atau bahkan
satu desa, sehingga acara ini akan berlangsung cukup lama. Setelah seluruh rangkaian
prosesi dilakukan, ritual ini lalu ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di
tongkonan untuk melakukan ibadah bersama. Ritual Ma’nene biasanya dilakukan setelah
masa panen, atau kira-kira pada akhir bulan Agustus. Hal ini karena pada masa-masa itu,
biasanya para anggota keluarga yang merantau ke luar daerah akan pulang ke kampung
halamannya, sehingga seluruh anggota keluarga dapat hadir untuk melakukan prosesi
ritual bersama. Ritual Ma’nene mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar
anggota keluarga bagi masyarakat Toraja, termasuk bagi sanak saudara yang telah lebih
dulu meninggal dunia.
4. Liang Batu Toraja

Liang Batu, atau kuburan batu Toraja adalah tradisi menguburkan jenazah pada liang
batu yang dipahat di tebing yang tinggi. Tradisi ini juga dinilai berguna untuk menghemat
lahan pertanian daerah Toraja agar tidak habis untuk lahan pemakaman.

5. Pemakaman Bayi Passiliran

Pada umumnya, jenazah orang dewasa Suku Toraja dimakamkan di sebuah goa, batu,
atau tebing yang dilubangi. Hal itu berbeda dengan pemakaman seorang bayi yang telah
meninggal pada masyarakat Suku Toraja. Bukan di goa, tebing, atau sebuah batu, tempat
pemakaman seorang bayi di Tana Toraja adalah di sebuah pohon besar. Pemakaman
khusus bayi ini oleh masyarakat setempat biasa disebut dengan Passiliran.
Pohon yang digunakan sebagai tempat pemakaman bayi tersebut adalah jenis pohon
tarra yang telah berumur ratusan tahun. Tarra merupakan jenis pohon yang mengandung
banyak getah putih. Oleh masyarakat setempat getah tersebut dapat menjadi pengganti
ASI bagi bayi-bayi yang telah meninggal.
Pohon tarra ini juga hanya ditemukan di rerimbunan hutan Desa Kambira, Tana
Toraja, Sulawesi Selatan. Jenazah bayi tersebut dikubur ke dalam pohon yang telah
dilubangi dan ditutup dengan ijuk. Dalam satu pohon, bisa menampung hingga puluhan
jenazah bayi.
Adapun syarat-syarat bayi yang berhak dimakamkan dalam pohon ini adalah bayi
yang masih berusia di bawah 6 bulan, belum tumbuh gigi susu, belum bisa berjalan, dan
masih menyusu pada sang ibu. Menurut kepercayaan setempat, bayi dengan ciri-ciri
tersebut dianggap masih bersih dan suci. Sementara pemakaman di dalam pohon ini
dimaksudkan untuk melindungi roh-roh bayi yang masih suci ini dari pengaruh roh jahat.
Atau bisa juga dikatakan, pohon tarra adalah sebuah rahim atau rumah baru bagi bayi
yang telah meninggal dan tak sempat menikmati hidup bersama orang tuanya.
Jenazah bayi yang dikubur ke dalam pohon tersebut adalah jenazah yang benar-benar
masih utuh dan tidak ditutup atau dibungkus dengan apapun. Namun uniknya, tidak
tercium sedikitpun aroma anyir atau amis jenazah yang keluar dari pohon-pohon tersebut,
meskipun telah disemayamkan banyak bayi di dalamnya.

E. Kuliner Suku Toraja


1. Pantollo pamarrassan

Di Jawa, bumbu utama rawon dikenal dengan bumbu kluwak hitam, sementara di
Toraja, bumbu tersebut dikenal dengan pangi. Bumbu pangi ini kemudian dicampurkan
ke bale (ikan mas atau tongkol), daging duku (babi), ayam, kerbau, maupun lendong
(belut). Cara memasak Pantollo ini dapat disesuaikan dengan bahan daging yang
digunakan baik digoreng ataupun dipanggang.

2. Pa ‘piong

Pa’piong adalah makanan khas Toraja yang dimasak dengan bambu yang kemudian
dibakar dan dihidangkan dengan sayur. Sayur yang biasa menemani Pa’piong adalah
daun mayana, sayur bulunangko, atau burak yaitu pohon pisang yang masih muda.
Bumbu pa’piong ini adalah serai, daun bawang, merica, lombok katokkon alias cabe
asli Toraja, dan berbagai rempah khas kuliner Toraja lainnya. Kuliner khas Toraja satu
ini memiliki beberapa pilihan isian sesuai dengan selera, baik manuk (ayam), bale (ikan),
bo’bo (nasi), atau daging babi. Selain itu, ada juga pa’piong burak yang merupakan
pa’piong daging babi yang tampilannya mirip pepes.

3. Tu’tuk Utan

Tutuk artinya ditumbuk, dan Utan artinya sayuran, artinya Tu’tuk Utan adalah daun
singkong yang dihaluskan dengan cara ditumbuk. Sayuran tersebut kemudian dimasak
dengan daging dan dicampur dengan cabai dan parutan kelapa. Kuliner khas Toraja ini
disantap dalam bentuk kering, tanpa kuah. Tu’tuk Utan biasanya disantap dengan nasi
putih hangat.

F. Alat Musik Suku Toraja


1. Passuling

Serupa dengan suling dan dibawakan saat menyambut rombongan tamu pada
acara kedukaan atau untuk menghibur diri di malam hari terutama di daerah
pedesaan.
2. Pa’pompang

Terdiri dari suling bambu dan bambu besar. Alat musik ini sering dibawakan anak
kecil pada upacara adat maupun perayaan hari nasional.

G. Senjata Tradisional

Kanta adalah sebuah perisai tradisional yang digunakan oleh Suku Toraja. Senjata ini
agak meruncing ke bagian bawah dan atas. Kanta dihiasi dengan rambut kambing yang
dicat putih, hitam dan merah, yang digarap dengan jumbai horizontal dan dilapisi dengan
cangkang kecil atau tulang putih. Jambul rambut putih, merah dan hitam ini dipasang
pada baris yang saling tumpang tindih.
H. Tarian Adat Suku Toraja

Tari Pa’gellu adalah tari sukacita yang biasa dipentaskan pada upacara adat
di Toraja, Sulawesi Selatan. Tarian ini memiliki sifat yang riang gembira. Nama
Pa’gellu atau ma’gellu dalam bahasa setempat berarti menari-nari dengan riang gembira
dengan tangan dan badan bergoyang dengan gemulai, meliuk-liuk lenggak-lenggok.
Dalam tarian pa’gellu tidak ada batasan jumlah penari dan baik perempuan maupun
laki-laki dapat mengikuti tarian ini. Tari pa’gellu biasanya dimeriahkan pada saat dan
upacara rambu tuka (upacara kegembiraan), penyambutan tamu, pesta pernikahan,
dan ma’bua (upacara peresmian rumah Tongkonan). Pada pementasan tari pa’gellu, ada
satu hal yang menarik yaitu kegiatan ma’toding (kewajiban memberikan sejumlah uang
kepada para penari dengan disisipkan di sa’pi’ atau hiasan kepala mereka)

Anda mungkin juga menyukai