Anda di halaman 1dari 9

ADAT TORAJA

Menelusuri 7 adat Toraja yang eksotis dan masih lestari hingga kini.

Suku Toraja adalah sebuah kelompok etnis yang mendiami pegunungan bagian utara Provinsi
Sulawesi Selatan. Dengan populasi sekitar 1 juta jiwa, sekitar 500 ribu di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.

Kini, mayoritas masyarakat Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian yang lain
memeluk agama Islam, dan kepercayaan asli nenek moyang Suku Toraja yang dikenal
dengan Aluk Todolo. Sejak tahun 1970, Aluk Todolo telah menjadi agama yang diakui negara
sebagai bagian dari sekte Hindu-Bali.

Menyoal kebudayaan, Suku Toraja terkenal dengan berbagai ritual pemakaman, rumah
adat tongkonan, dan ukiran kayunya. Namun di sini kita akan membahas khusus kebiasaan
dan tradisi adat Toraja yang menyangkut soal ritual pemakaman, perayaan, dan yang
sejenisnya.

Pada tulisan ini, telah kita rangkum 7 kebiasaan adat Toraja dengan pembahasan paling
lengkap, menarik, dan ringan. Inilah 7 ragam adat Toraja, ragam kebudayaan yang khas dan
masih terawat.

1. Upacara Rambu Tuka’ Toraja

Rambu Tuka’. Secara harfiah, kata rambu tuka’ berasal dari bahasa Toraja yang berarti “asap
yang naik ke atas”. Artinya, asap persembahan yang naik ke langit sebelum matahari
mencapai zenit. Bisa dibilang, Rambu Tuka’ adalah semacam acara syukuran khas Tana
Toraja.

Rambu Tuka’ juga sering disebut dengan aluk rampe matallo, ritus-ritus bagian timur.
Persembahan-persembahan tersebut ditujukan kepada para dewa, atau para leluhur yang telah
menjadi dewa, yang dipercaya kini mendiami langit bagian timur laut.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam upacara Rambu Tuka’ dimaknai sebagai bentuk rasa syukur
dan permohonan untuk memperoleh berkat dan segala kebutuhan hidup di dunia. Beberapa
ritus tersebut di antaranya ada: Ma’bua’, Merok, Mangrara Banua Sura’, dan Rampanan
Kapa’.

Ma’bua’ adalah acara syukuran atas rumah atau berkah yang diperoleh, yang pelaksanaannya
melibatkan rumpun keluarga. Sementara Merok juga merupakan acara syukuran atas rumah
baru atau berkah yang diperoleh, namun pelaksanaannya melibatkan lebih banyak orang,
bukan hanya terbatas rumpun keluarga.

Sedangkan Mangrara Banua Sura’ adalah acara syukuran atas rumah baru yang hanya
dilakukan dalam lingkup keluarga penghuni rumah tersebut. Sementara Rampanan Kapa’
adalah acara pesta pernikahan adat Tana Toraja.

Upacara Rambut Tuka’ ini biasa dilakukan pada pagi hari atau sebelum siang tiba, yang
bertempat di sebelah timur tongkonan (rumah adat Toraja). Hal ini berbeda dengan Rambu
Solo’ (poin berikutnya) yang dilaksanakan pada siang hari dan bertempat di sebelah barat
tongkonan.

Pada pelaksanaan upacara Rambu Tuka’ ini, akan dilengkapi dengan berbagai pertunjukan
berupa tari-tarian dan kesenian musik khas Tana Toraja. Hal ini juga yang membedakan
Rambu Tuka’ dengan Rambu Solo’, pertunjukan-pertunjukan ini tidak diadakan pada upacara
Rambu Solo’.

2. Upacara Pemakaman Toraja Rambu Solo’


Rambu Solo’ /idntimes.com

Berkebalikan dengan Rambu Tuka’, dalam bahasa Toraja, kata rambu solo’ berarti “asap
yang turun ke bawah”. Artinya, ritus-ritus yang dilaksanakan dipersembahkan untuk orang
mati. Atau bisa juga dibilang, Rambu Solo’ adalah upacara kematian adat Toraja.

Rambu Solo’ juga biasa disebut dengan aluk rampe matampu, ritus-ritus di sebelah barat.
Upacara ini dilaksanakan setelah pukul 12 siang, dimana matahari sedang berada di sebelah
barat dan tengah bergerak menurun. Acara ini juga dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.

Tidak ada undangan khusus seperti acara syukuran, setiap warga menyadari rasa solidaritas
dalam persekutuan masyarakat Toraja. Nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ini hanya
dapat dihayati dengan benar dan eksistensial oleh orang Toraja.

Menurut kepercayaan masyarakat Toraja, orang yang meninggal dunia sebenarnya belum
mendapatkan kesempurnaan sampai diupacarakan dengan Rambu Solo’. Jasad orang tersebut
akan tetap dianggap hidup sehingga diberlakukan seperti keluarga yang sedang sakit.

Jenazah biasanya akan disimpan dalam rumah dan dibalut dengan kain kafan sampai tiba
pelaksanaan upacara Rambu Solo’. Bagi keluarga kaya raya atau bangsawan, upacara dapat
dilaksanakan dalam waktu singkat. Namun bagi keluarga yang tidak memiliki cukup dana,
mereka akan terus menabung sampai cukup untuk mengadakan upacara Rambu Solo’.

Untuk melaksanakan upacara ini, pihak keluarga juga harus mempersiapkan persembahan
berupa kerbau. Bagi masyarakat Toraja, kerbau yang dikorbankan akan mengantar arwah
menuju tempat peristirahatannya di puya. Semakin banyak kerbau yang dikorbankan, maka
semakin cepat pula arwah tersebut diantar menuju puya.

Jumlah kerbau yang dikorbankan inilah, salah satu yang membuat biaya pelaksanaan Rambu
Solo’ menjadi sangat mahal. Pihak keluarga dengan tingkat ekonomi menengah bahkan biasa
mengorbankan hingga 10 ekor kerbau. Sedangkan keluarga kaya atau bangsawan bisa
mengorbankan hingga ratusan ekor.

Kerbau yang digunakan sebagai pengorbanan pun bukan jenis kerbau sembarangan.
Masyarakat Tana Toraja biasa menggunakan kerbau bule yang memiliki harga sangat mahal.
Maka biaya miliyaran rupiah untuk upacara kematian bagi masyarakat Toraja dapat dibilang
adalah angka yang wajar.

 
3. Ma’tinggoro Tedong

Matinggoro Tedong /wikipedia.org

Masih berkaitan dengan upacara kematian Rambu Solo’, Ma’tinggoro Tedong adalah tradisi
menyembelih kerbau dengan sekali tebas menggunakan parang. Penyembelihan ini dilakukan
pada rangkaian upacara Rambu Solo’ seperti pembahasan pada poin sebelumnya.

Ma’tinggoro Tedong ini umumnya hanya dilakukan oleh orang yang memang sudah
berpengalaman dan handal dalam melakukannya. Karena penyembelihan dengan cara sekali
tebas tersebut tentu membutuhkan teknik dan pengetahuan khusus yang harus dimiliki
penyembelih.

Sebelum disembelih, kaki kerbau harus diikatkan pada sebuah pohon atau sebatang kayu
yang ditancapkan ke tanah dengan kuat. Dalam beberapa kasus, kerbau yang yang disembelih
tersebut tidak mati dengan satu tebasan, sehingga harus ditebas lebih dari satu kali.

Jika dilihat dari caranya menyembelih, tradisi ini memang banyak menuai kontroversi bagi
masyarakat di luar daerah Toraja. Namun bagi masyarakat Tana Toraja, cara ini sudah
menjadi tradisi leluhur yang diwariskan secara turun temurun dan tidak mungkin
ditinggalkan.

Mungkin tradisi ini masih dianggap aneh dan kejam di luar sana, apalagi zaman sudah
modern dan ilmu pengetahuan sudah berkembang pesat. Namun bagi masyarakat Toraja,
tradisi ini akan terus dilakukan karena mungkin mengandung maksud dan tujuan tertentu.
4. Tradisi Adu Kaki Sisemba

Sisemba /Antara Foto

Sisemba adalah sebuah tradisi permainan adu kaki yang ada di Tana Toraja. Tradisi ini biasa
diadakan selepas panen oleh masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang
melimpah.

Selain itu, tradisi Sisemba juga dimaksudkan untuk meningkatkan semangat masyarakat agar
memperoleh hasil panen yang lebih melimpah pada musim panen berikutnya.

Permainan adu kaki ini biasanya hanya diikuti oleh kaum laki-laki, dari anak-anak hingga
dewasa. Dengan berpasang-pasangan, masing-masing pasangan saling berpegangan tangan
dan berusaha menjatuhkan lawannya.

Meskipun tidak ada peraturan tertentu, namun biasanya ada seorang tokoh adat yang berdiri
di tengah antara dua kubu untuk melerai jika dirasa berlebihan atau melanggar “aturan”.
Kedua kubu juga dituntut untuk selalu menjaga sportivitas.

Selama permainan Sisemba berlangsung, mungkin akan terjadi hal-hal yang terkesan anarkis
yang dilakukan oleh masing-masing kubu untuk menjatuhkan lawannya. Namun begitu
permainan Sisemba selesai, para peserta dan lawan-lawannya akan bergaul seperti biasa tanpa
menyimpan rasa dendam.

Sementara kaum lelaki mengikuti permainan Sisemba ini, kaum perempuannya akan datang
dengan membawa makanan khas Toraja berupa nasi bambu, atau yang biasa disebut
dengan piong.
Makanan ini akan menjadi menu utama dalam pesta makan bersama setelah permainan
Sisemba selesai. Pesta makan bersama ini biasa disebut dengan Ma’piong.

5. Ritual Adat Ma’nene

Manene
/indoflashlight.org

Selain Rambu Solo’, ada satu lagi tradisi Tana Toraja yang berkaitan dengan kematian, yaitu
yang biasa disebut dengan Ma’nene. Ritual Ma’nene adalah kegiatan membersihkan jasad
para leluhur yang telah ratusan tahun meninggal dunia.

Meskipun memang sudah tidak banyak yang melakukan ritual ini, namun ada beberapa
daerah di Tana Toraja yang masih melakukannya, seperti Desa Pangala dan Baruppu’ yang
masih melakukannya secara rutin setiap tahun.

Pelaksanaan ritual Ma’nene dimulai dengan para anggota keluarga mendatangi patane untuk
mengambil jasad dari anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Patane sendiri adalah
sebuah rumah kuburan keluarga, salah satu bentuk kuburan paling modern di antara jenis
kuburan yang ada di Toraja.

Setelah dikeluarkan dari kuburan, jasad tersebut kemudian dibersihkan. Pakaian lama yang
dikenakan jasad dilepas, lalu diganti dengan pakaian yang baru. Setelah pakaian yang baru
dikenakan, jasad tersebut lalu dibungkus dan dikembalikan lagi ke patane.

Biasanya, ritual Ma’nene’ ini dilakukan secara serempak satu keluarga, atau bahkan satu
desa, sehingga acara ini akan berlangsung cukup lama. Setelah seluruh rangkaian prosesi
dilakukan, ritual ini lalu ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di tongkonan untuk
melakukan ibadah bersama.

Ritual Ma’nene biasanya dilakukan setelah masa panen, atau kira-kira pada akhir bulan
Agustus. Hal ini karena pada masa-masa itu, biasanya para anggota keluarga yang merantau
ke luar daerah akan pulang ke kampung halamannya, sehingga seluruh anggota keluarga
dapat hadir untuk melakukan prosesi ritual bersama.

Ritual Ma’nene bukan hanya sekadar membersihkan jasad dan memakaikannya pakaian baru,
namun juga mengandung makna yang lebih dalam. Ritual Ma’nene mencerminkan betapa
pentingnya hubungan antar anggota keluarga bagi masyarakat Toraja, termasuk bagi sanak
saudara yang telah lebih dulu meninggal dunia.

Masyarakat Toraja menunjukkan hubungan antar anggota keluarga yang tak terputus,
meskipun telah dipisahkan oleh kematian. Ritual ini juga berguna untuk memperkenalkan
anak-cucu mereka dengan para leluhurnya.

6. Liang Batu Toraja

Liang Batu /lokadata.id

Liang Batu, atau kuburan batu Toraja, adalah tradisi menguburkan jenazah pada liang batu
yang dipahat di tebing yang tinggi. Tradisi ini biasa dilakukan oleh masyarakat yang
menganut agama lama Suku Toraja, yaitu Aluk Todolo.

Dalam agama Aluk Todolo, diyakini bahwa orang mati yang dikuburkan di tempat yang
tinggi akan meringankan perjalanannya ke nirwana atau puya. Di sisi lain, tradisi ini juga
dinilai berguna untuk menghemat lahan pertanian daerah Toraja agar tidak habis untuk lahan
pemakaman.
7. Pemakaman Bayi Passiliran

Passiliran
/masadena.com

Prosesi pemakaman pada masyarakat Suku Toraja memang berbeda dan menjadi salah satu
ciri khas tersendiri yang menarik untuk ditelusuri. Pada umumnya, jenazah orang dewasa
Suku Toraja dimakamkan di sebuah goa, batu, atau tebing yang dilubangi.

Hal itu berbeda dengan pemakaman seorang bayi yang telah meninggal pada masyarakat
Suku Toraja. Bukan di goa, tebing, atau sebuah batu, tempat pemakaman seorang bayi di
Tana Toraja adalah di sebuah pohon besar. Pemakaman khusus bayi ini oleh masyarakat
setempat biasa disebut dengan Passiliran.

Pohon yang digunakan sebagai tempat pemakaman bayi tersebut adalah jenis pohon tarra
yang telah berumur ratusan tahun. Tarra merupakan jenis pohon yang mengandung banyak
getah putih. Oleh masyarakat setempat, getah tersebut dapat menjadi pengganti ASI bagi
bayi-bayi yang telah meninggal.

Pohon tarra ini juga hanya ditemukan di rerimbunan hutan Desa Kambira, Tana Toraja,
Sulawesi Selatan. Jenazah bayi tersebut dikubur ke dalam pohon yang telah dilubangi dan
ditutup dengan ijuk. Dalam satu pohon, bisa menampung hingga puluhan jenazah bayi.

Adapun syarat-syarat bayi yang berhak dimakamkan dalam pohon ini adalah bayi yang masih
berusia di bawah 6 bulan, belum tumbuh gigi susu, belum bisa berjalan, dan masih menyusu
pada sang ibu.

Menurut kepercayaan setempat, bayi dengan ciri-ciri tersebut dianggap masih bersih dan suci.
Sementara pemakaman di dalam pohon ini dimaksudkan untuk melindungi roh-roh bayi yang
masih suci ini dari pengaruh roh jahat.

Atau bisa juga dikatakan, pohon tarra adalah sebuah rahim atau rumah baru bagi bayi yang
telah meninggal dan tak sempat menikmati hidup bersama orang tuanya.
Masyarakat Kambira percaya, menyemayamkan bayi yang telah meninggal ke dalam pohon
tersebut dapat menyelamatkan generasi berikutnya. Artinya, ritual tersebut dipercaya dapat
mencegah kematian bayi di kemudian hari.

Jenazah bayi yang dikubur ke dalam pohon tersebut adalah jenazah yang benar-benar masih
utuh dan tidak ditutup atau dibungkus dengan apapun. Namun uniknya, tidak tercium
sedikitpun aroma anyir atau amis jenazah yang keluar dari pohon-pohon tersebut, meskipun
telah disemayamkan banyak bayi di dalamnya.

Oleh masyarakat Toraja, hal tersebut diyakini bahwa pohon tarra adalah wujud yang
menghidupi. Jenazah-jenazah bayi yang dikubur dalam “rahim” pohon tarra akan menyatu
berkat bantuan getah pohon yang dihasilkan. Maka setelah 20 tahun, pohon akan kembali
mulus dan dapat ditempati oleh jenazah bayi yang lain.

Anda mungkin juga menyukai