Anda di halaman 1dari 8

KLIPING

Ritual Kematian Pada


Masyarakat Sumba yang
Menganut Agama Marapu

Nama: Putri Aprilly Wariso


NIM: 01501200157
GB/GK: 5/21
Agama Marapu

Agama Marapu adalah "agama asli" yang masih hidup dan dianut oleh orang
Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Marapu adalah istilah orang sumba
untuk menyebut roh leluhur yang sudah meninggal. Dalam sistem religi orang Sumba
roh orang yang sudah meninggal/leluhur masih senantiasa memiliki hubungan dan
mempengaruhi hidup manusia. Roh tersebut bersemayam dalam berbagai tempat
misalnya di hutan, ladang, kampung dan rumah. Tempat-tempat bersemayamnya
marapu biasanya akan diberi tanda misalnya dengan tumpukan batu. Tanda berupa
beberapa batu yang ditumpuk disebut dengan katoda.

Katoda dapat dijumpai di ladang, kebun, dan dalam perkampungan, bahkan di


dalam rumah. Di dalam rumah katoda diletakkan di bagian atas langit-langit rumah
sekaligus sebagai loteng utuk menyimpan benda-benda berharga. Marapu bukanlah
tuhan, melainkan arwah leluhur yang memiliki peran sebagai mediator yang
menghubungkan manusia dengan tuhan. Sumba. Arwah marapu inilah yang akan
menyampaikan doa-doa dan permohonan manusia agar disampaikan kepada tuhan.
Penghormatan terhadap roh leluhur ini dimulai ketika ada orang yang meninggal.
Ritual Kematian
1. Pa hadangu ( membangunkan )
Upacara kematian dan pemakaman menurut adat Sumba berkaitan erat dengan
adat kebiasaan menurut aliran kepercayaan Marapu. Oleh karena itu jenasahnya harus
di simpan secara tunduk, menyerupai keadaan semulah ketika dia masih di dalam
kandungan.
Mayat akan di mandikan dengan air kelapa kemudian dibungkus dengan kain
tenun hingga menutup semua bagian tubuhnya. Pada jaman dahulu, setelah di lilit
dengan berlais – lapis kain sumba kalau dia laki – laki atau dengan sarung Sumba
kalau dia perempuan. Jenazah diletakkan dalam posisi duduk di atas kursi dari kulit
kerbau (keka manulangu) atau di atas kursi dari bamboo yang sekaligus berfungsi
sebagai tandu untuk mengangkat jenasah ke tempat pemakaman. Jenazah diletakkan
di bagian dalam rumah, dekat pintu masuk. Sekelompok pemuda berkumpul di balai-
balai depan rumah sambil menabuh gamelan secara bergantian. “Membangunkan”
berarti membuat rohnya berada kembali di dalam tubuh atau jenasahnya sehingga
dapat mulai di beri sirih pinang dan makanan. Sebenarnya sejak saat itu sudah mulai di
siapkan Hamba pengiring (pahapanggangu ). Pada hari itu di potong seekor kuda
sebagai korban. Dagingnya tidak di makan hanya di berikan kepada anjing dan babi.
Sejak saat itu pula di adakan penjagaan mayat (“pa wala” = mete) dan gong mulai di
buyikan siang dan malam sebagai tanda berduka.

2. Membuat kuburan

Acara penguburan baru dilakukan setelah proses


penyiapan batu kubur selesai atau setelah seluruh keluarga yang meninggal terutama
anak sudah datang. Pada masa yang lalu, sebelum upacara pemakaman, keluarga “si
mati” harus terlebih dahulu mempersiapkan kuburnya. Kubur asli orang Sumba (na kahali
manda mbata, na uma manda mabu) terdiri dari lubang bulat. Yang setelah jenasah
diturunkan, ditutup lebih dahulu dengan batu bulat kecil (disebut ―ana daluna‖), lalu di
tutupi dengan batu yang lebih besar. Sesudah itu baru dilindunggi dengan batu besar
yang di topang oleh empat batang batu sebagai kakinya. Kuburan seperti ini namanya
“reti ma pawiti” ( kuburan yang berkaki ), biasanya hanya untuk orang – orang
bangssawan saja, karena biayanya mahal. Rakyat biasa kuburnya cukup di tutup dengan
batu besar saja. Untuk membangun kubur besar yang berkaki,
masih di perlukan upacara tarik batu kubur (ruruhu watu ).
\

Tergantung tempatnya batu itu di dapat,maka upacara ini bisa memakan waktu
berhari-hari bahkan bulan baru sampai ke kampung, bisa juga hanya satu hari.

Peti kubur batu akan digunakan untuk memakamkan beberapa mayat. Dalam satu
peti kubur dapat digunakan untuk memakamkan jenasah yang memiliki hubungan
kerabat dengan jarak 1 generasi yaitu antara nenek/kakek dengan cucunya. Aturan
peletakkan ini dimaksudkan agar roh cucu dapat melayani roh kakek/ neneknya.
Seorang anak tidak boleh dimakamkan dalam satu peti kubur yang sama dengan orang
tuanya karena biasanya hubungan anak dengan orang tua bisa mengalami situasi yang
tidak harmonis. Orang akan merasa lebih sayang dengan cucu dari pada anaknya,
seorang cucu juga akan lebih menghormati kakak/neneknya daripada orangtuanya.

3. Dundangu ( Mengundang )
Tergantung pada masyarakat inti, apakah pemakaman dilakukan dalam waktu
dekat atau dalam waktu yang lama (dua sampai enam bulan, atau tahunan, bahkan
puluhan tahun ). Kalau masih sangat lama baru di kuburkan, maka mayat dapat di
simpan dulu di salah satu kamar di rumah ( puhi la kurungu ) ataupun di kuburkan
sementara dengan belum di upacarakan (dengi tera ).
Selama jenasah belum dimakamkan, keluarga selalu menjaga di samping
jenasah. Jenasah akan dilayani sebagaimana layaknya ketika masih hidup dengan
menyediakan sirih pinang dan makanan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk
penghormatan pada roh marapu agar tidak marah, karena bila tidak disediakan
makanan dan dilayani secara baik akan mengakibatkkan kemarahan dan berakibat fatal
bagi keluarga yang masih hidup.
Sejak mayat sudah di simpan, maka -menjaga mayat (pawala, atau biasa di sebut
mete ), dan bunyi -bunyi gong serta nyanyian-nyanyian di hentikan. Bila sudah saatnya
mayat akan di makamkan, maka diadakan lagi upacara “pa wala” atau mete diadakan
kembali. Kalau yang meninggal adalah seorang bangsawan dan masih beragama
marapu, maka “pa hapanggangu” ( merias hamba pengiring dan menjadi penjaga
jenasah ) di adakan lagi dan pada malam- malam sebelum pemakaman di adakan
upacara melagukan nyanyian-nyanyian kuno (yo yela) oleh tua-tua adat.
Setelah ada keputusan tentang waktu dan jumlah dan siapa- siapa keluarga yang
akan di undang, maka di tetapkanlah beberapa wunang yang akan di utus untuk
menyampaikan undangan tersebut secara adat.

4. Lodu Taningu

Keluarga yang jauh biasanya sudah datang sehari sebelum sehari pemakaman.
Para tamu disambut dengan tata cara adat sumba timur dengan pelayanan pertama
pemberian sirih - pinang. Masing – masing kelompok undangan menyampaikan
pernyataan tibanya sebagaimana undangan yang telah di sampaikaan oleh utusaan
pengundang, melalui juru bicara (wunang) mereka sendiri kepada juru bicara/ wunang
tuan rumah, sambil menyerahkan pembawaannya.
Selama suasana berkabung orang-orang akan berdatangan dengan membawa
kain tenun, hewan ternak seperti babi, anjing atau kerbau. Setiap malam keluarga dan
tetangga berdatangan untuk mete, yaitu datang ke rumah duka untuk menyatakan rasa
belasungkawa. Kain tenun yang dibawa para tamu akan diselimutkan ke badan
jenasah, Sedangkan hewan yang dibawa akan disembelih untuk memberikan jamuan
kepadatamu-tamu yang datang.
Berlangsungnya acara kematian ini dapat menjadi ukuran tentang status sosial
dan seberapa penting keluarga orang yang meninggal ini di dalam masyarakat.
Masyarakat Sumba mengenal adanya 3 pelapisan social yaitu kaum bangsawan
(marabba) orang merdeka (kabihu), dan hamba (ata).
Tanduk kerbau dan rahang babi yang sudah disembelih akan digantungkan di
depan pintu masuk atau di teras rumah. Sehingga dengan melihat panjangnya tanduk
serta jumlah rahang yang digantungkan akan menunjukkan status sesorang. Semakin
panjang tanduk kerbau yang dipasang, semakin banyak rahang babi yang
digantungkan maka akan semakin tinggi status seseorang.

5. Taningu ( menguburkan )
Jenasah dibawa ke ke desa induk (paraingu) yaitu desa yang dianggap sebagai
asal usul nenek moyang. Jenasah dipikul dengan tandu sambil diiringi irama gong yang
ditabuh sepanjang perjalanan. Sanak keluarga dan tetanggai kut dalam iring-iringan
rombongan, termasuk juga kerbau dan babi yang akan dikorbankan. Hewan-hewan
dihias dengan daun-daunan dan janur kuning. Lokasi pemakaman terletak di tangah-
tengah lokasi pemukiman
Mayat dimasukan ke dalam liang lahat lalu ditutup dengan batu pipih kecil (
disebut ana dalu ) lalu ditutup dengan batu besar, apakah berkaki atau tidak. Batu ini di
sudut-sudutnya dipasang batang batu tegak, yang biasanya disebut panji atau penji.
Apabila jenazah dikemas di dalam keka manulangu, maka harus dikeluarkan dari
tempatnya lalu dimasukan ke dalam lubang sedangkan keka manulangu dibuang ke
atas pohon besar di luar kampung. Lalu orang- orang yang “marimba” jenasah tadi
membasuh tangannya dengan air kelapa.
Setelah jenasah dimasukkan ke dalam peti kubur, kerbau yang akan dikorbankan
dibawa mendekat ke tempat pemakaman. Setelah kerbau terjungkal kehabisan darah,
beramai-ramai dikuliti kemudian dagingnya akan dipotong-potong lalu dibagikan kepada
semua orang yang berada di tempat itu.
Selesai pemakaman, seorang wunang dari keluarga akan naik di atas batu kubur
atau di tempat yang tinggi untuk berbicara menyampaikan isi hati keluarga dan
beberapa pengumuman. Tamu yang datang dari jauh atau pun dekat yang telah
diundang secara adat, masih ditahan. Wunang atau juru bicara akan menyampaikan
ucapan terima kasih dan mengumumkan siapa - siapa saja yang masih ditahan.

6. Warungu Handuka
Beberapa hari kemudian semua keluarga dekat dan tetangga simati diundang lagi
untuk bersama- sama mengikuti penutupan “masa berkabung”atau di sebut juga padita
wai mata (mengangkat air mata). Ucapan terima kasih ini di tandai juga dengan
membagikan sisa -sisa pembawaan kepada orang mati, berupa kamba kepada pihak la
yea (ana kawini) atau mamuli, lulu amahu atau kuda kepada phak yera (pihak paman).
Barang – barang yang dibagikan ini disebut rihi yubuhu dan rihi dangangu, artinya
barang -barang yang sisa dari urusan. Selain ini maka pawala dan bunyi gong
dihentikan.

7. Palundungu (penyelesaian)
Upacara ini merupakan yang terakhir, di mana “arwah si mati dihantar ke alam
bersyah” (ke negeridewa atau kahyangan). Dalam acara ini arwah si mati berangkat
bersama – sama dengan arwah leluhur lainnya di negeri Marapu.

Anda mungkin juga menyukai