Tingkat 1
Suku dayak adalah suku asli yang mendiami pedalaman pulau Kalimantan. Suku Dayak
sendiri memiliki 6 rumpun1. Rumpun-rumpun ini dibagi lagi menjadi 405 sub suku. Meskipun
berjumlah ratusan, terdapat ciri-ciri budaya yang khas, seperti: rumah panjang, senjata tradisional
yaitu mandau, seni tari dan alat musik sape’ nya. Banyaknya sub suku ini membuat penulis kesulitan
mencari sumber untuk mendalami tradisi kematian suku dayak penulis sendiri. Namun berkat
perkembangan teknologi, penulis dapat menghubungi kerabat di kampung untuk menjadi narasumber.
Jika di satu kampung ada orang yang meninggal dunia, maka tetua adat akan membunyikan
gong sebanyak 3 kali sebagai isyarat bahwa ada orang yang meninggal. Kemudian diutus satu orang,
dari kalangan mana saja, untuk memberitahukan kepada seluruh warga di kampung. Warga yang
sudah mendapat pemberitahuan itu berduyun-duyun pergi menuju ke rumah keluarga yang
anggotanya meninggal. Ini sebagai bentuk bela rasa dan empati warga terhadap peristiwa duka yang
dialami oleh keluarga tersebut. Bahkan, jika sangat berempati, ada yang sampai menginap di rumah
tersebut selama 7 hari. Tindakan menginap ini bernama manto.
Mayat dari orang meninggal tersebut akan diletakkan pada sisi samping pintu yang ada di
depan rumah menuju keluar. Kepala si yang meninggal diarahkan ke jalanan. Pihak keluarga akan
menyiapkan makanan bagi tamu-tamu yang datang dan dibantu oleh tetangga sekitar. Dalam memberi
pelayanan kepada tamu ada pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin. Anak-anak gadis dan
perempuan bertugas untuk menyiapkan makanan untuk tamu-tamu, sedangkan yang laki-laki
menyediakan permainan tradisional yaitu ambur atau bercerita dengan mereka. Hal ini dibuat hingga
perayaan hari ketujuh setelah pemakaman.
Sebelum dimakamkan mayat akan dimandikan terlebih dahulu. Mayat dimandikan oleh
seluruh anggota keluarga, mulai dari orang tua saudara kandung, istri/suami, anak, dan cucu. Dalam
prosesi pemandian mayat ini, pihak keluarga akan melakukan basampakng, yang berarti berbicara.
Maksudnya ialah agar ‘yang meninggal’ tersebut mengizinkan tubuhnya untuk dimandikan. Setelah
itu mayat akan diberi pakaian. Pemakaian pakaian ini hanya boleh dilakukan oleh istri/suami dan
saudara-saudara kandungnya saja. Anak dan cucu-cucunya tidak diizinkan atau pamali.
Untuk yang menggali kubur dipilih orang-orang khusus atau yang sudah terbiasa. Orang yang
menggali kubur tidak dapat serta merta menggali tanah begitu saja. Mereka harus melakukan
basampakng terlebih dahulu. Mereka meminta izin kepada tanah bahwa mereka akan menggali tanah
Orang Dayak Ahe percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Hal ini pula yang
dipercayai Gereja Katolik. Bahkan bagi iman katolik, kematian adalah perubahan hidup. Kehidupan
yang dulunya fana diubah menjadi baka, dari duniawi kepada yang rohani. Meskipun demikian bagi
orang dayak, tidak jelas kemana roh orang meninggal itu akan pergi. Apakah ke surga atau ke tempat
lain? Untuk hal ini perlu ditelusuri secara lebih mendalam. Dalam terang iman katolik, jiwa orang
meninggal akan melangkah menuju Allah 2. Kematian dalam kekristenan memiliki arti yang positif.
Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasul Paulus: “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah
keuntungan”(Flp.1:21). Dia juga menegaskan bahwa jika kita mati dalam Kristus, kita akan hidup
dengan Kristus pula(bdk. 2Tim. 2:11). Kematian bagi orang kristen selalu dikaitkan dengan dengan
Kristus. Sebab Kristus sendiri telah mengalami kematian. Namun, kematian itu sendiri diubah oleh
Kristus. Kematian pada akhirnya bukan akhir dari kehidupan, melainkan sebuah cara untuk bersatu
dalam Kebangkitan Kristus. Dalam arti tertentu kematian menjadi berkat 3.
Dalam upacara kematian orang Dayak Ahe, terlihat jelas hubungan relasi antara ‘yang mati’
dengan keluarga. Unsur-unsur kekeluargaan ini begitu kuat dan menyentuh. Seperti dalam Pemandian
Mayat yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga inti dan Upacara Batato’ dimana yang
meninggal disuapi oleh pihak keluarga. Maknanya mungkin belum tersirat dengan jelas, sebab
narasumbernya sendiri bukanlah orang yang mengurusi upacara adat tersebut. Namun, dapat diartikan
bahwa tubuh orang yang meninggal tersebut dihormati, sehingga keluarga melakukan pelayanan
terakhir untuknya. Juga ada harapan dari keluarga bahwa jiwa orang yang meninggal tersebut dapat
sampai ke ‘tujuan’. Penyuapan kepada yang meninggal, pemberian uang logam, penyampaian nasihat
agar berjalan lurus, adalah bentuk doa dari keluarga agar jiwa orang meninggal tersebut selamat.
Tradisi Katolik juga mendoakan arwah orang yang meninggal. Antara orang hidup dan mati,
ada persekutuan yang terjalin. Jiwa-jiwa orang meninggal masih membutuhkan doa dari orang yang
masih hidup. Apalagi jika jiwa tersebut berada di Api Penyucian. Maka Gereja menganjurkan untuk
mendoakan mereka yang berada di Api Penyucian. Agar dosa-dosa mereka diampuni dan disucikan,
supaya dapat masuk kedalam Kerajaan Allah.
Tidak semua upacara kematian Suku Dayak Ahe mengandung arti dan makna yang sesuai
dengan terang iman katolik. Ada sebagian yang tidak selaras dengan apa yang dipercayai oleh orang
katolik. Hal ini dapat ditemukan dalam prosesi memberikan uang logam sebagai bekal, membuang
pakaian orang meninggal agar arwahnya tidak mencari pakaian lagi, dan menyediakan makanan untuk
arwah orang mati. Kematian adalah perubahan hidup dari yang duniawi ke yang rohani 4. Maka dari
itu benda-benda duniawi tidak dibutuhkan lagi untuk roh, sebab sudah terpisah dunianya. Kemudian
kebiasaan melangkahi peti, menggigit besi dan melewati asap, sebagai simbol perpisahan dan
menolak bala, tidak pernah ditemukan di dalam tradisi katolik. Juga ada ritual, yang bagi kebanyakan
orang adalah tahayul, tidak mencerminkan iman kekristenan. Seperti melepaskan ayam di kuburan
pada perayaan hari ketiga dan menghempaskan anak ayam ke lutut orang mayat hingga mati. Maksud
dan tujuan ritual ini belum begitu jelas serta cenderung menyesatkan, bagi perspektif iman katolik.
Tradisi kematian Suku Dayak Ahe yang disajikan ini merupakan ritual adat yang masih asli.
Ritual inilah yang masih hidup di tengah-tengah orang dayak, khususnya generasi tuanya. Belum ada
pengaruh dari agama apapun baik katolik maupun protestan. Di tempatnya sendiri, ritual ini sudah
agak jarang dibuat. Penyebabnya adalah pengaruh Protestanisme yang sangat kuat. Segala bentuk
upacara seperti ini dianggap kafir. Selain itu pengaruh iman katolik belum kuat. Inkulturas pun belum
sepenuhnya diterapkan.
Harapan dari penulis ialah diperdalamnya studi khusus tentang tradisi kematian Suku Dayak
Ahe ini, serta mengaitkannya dalam terang iman kekristenan. Supaya tradisi ini dapat terus ada dan
tidak hilang begitu saja oleh karena selalu dianggap kafir. Agaknya perlu juga pendalaman akan nilai
dan makna filosofis yang terkandung di dalam tradisi tersebut.