Anda di halaman 1dari 7

TRADISI DAN MAKNA UPACARA PEMAKAMAN MASYARAKAT ACEH

Tiarnita Maria Sarjani Br. Siregar, S. Pd., M. Hum.


Dwi Mas Arsita
Maulida Fitria Br. Ginting
Meisya Najla Sihotang
Patricia lumban Gaol
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Abstract

Keyword

I. PENDAHULUAN
Setiap daerah di Indonesia tentunya memiliki budaya dan suku yang berbeda-beda yang
tentunya ada di setiap daerah masing-masing dengan keunikan tersendiri yang dilestarikan
dari generasi ke generasi, meskipun zaman terus berkembang dari masa ke masa. Salah satu
tradisi yang masih dilakukan di Indonesia yaitu tradisi kematian. Hal ini juga terjadi di
kalangan penduduk masyarakat Aceh.

Adat dan budaya Aceh memang sangatlah unik dan beragam. Salah satunya seperti upacara
adat Aceh yang masih bertahan di tengah-tengah masyarakat Aceh sampai saat ini. Walaupun
memang sudah ada beberapa tradisi yang ditinggalkan dan hanya dilakukan di tempat-tempat
tertentu saja oleh penduduknya di Aceh.

Budaya Aceh memang sangat terkenal dengan upacara adat dan budayanya yang sakral.
Misalnya upacara adat untuk kelahiran hingga upacara adat untuk kematian.

Kematian merupakan salah satu tahap dalam siklus kehidupan orang yang tentu akan dialami
serta dirasakan oleh semua orang. Tiap orang yang mempunyai jiwa tentu akan mati sebab
kematian ialah pengalaman orang yang bersifat umum. Tidak ada satu orang pun, baik
dahulu, saat ini, ataupun yang akan datang, yang bisa menjauhi kematian. Kematian
merupakan keniscayaan yang tentu tiba pada tiap orang orang di mana pun serta kapan pun.
Hampir tiap orang yakin kalau cepat ataupun lambat kematian akan menghampiri. Tidak
terdapat keragu-raguan serta tidak terdapat perbandingan agama di antara orang terkait
kematian sebab kematian merupakan kejadian biasa yang terjadi di tiap adat serta di tiap era.
Yang berbeda hanyalah bagaimana reaksi orang kepada datangnya kematian yang diakibatkan
oleh perbandingan agama, adat, serta kebiasaan khalayak.
Sebagian besar orang dalam beraneka ragam kultur memandang kematian sebagai suatu yang
amat menyeramkan serta menakutkan. Tetapi beberapa yang berpendapat kematian sebagai
sesuatu kejadian alami yang akan dilewati oleh tiap makhluk hidup, tidak terkecuali orang.
sehingga tidak perlu dikhawatirkan.

Aceh merupakan wilayah yang sedang lekat akan bermacam adat- istiadat yang sedang
berkembang di masyarakat, Salah satunya merupakan adat-istiadat ataupun budaya yang
dijalani warga sesudah meninggal, kegiatan khanduri dilaksanakan oleh pihak keluarga yang
umumnya dilaksanakan pada malam awal kematian hingga dengan malam ketujuh kematian,
kemudian hari ke 40, 100, serta 1000 hingga dengan haul tiap tahun buat mengenang
kepergian orang tua.

Terdapat banyak adat istiadat yang di jalani, bagus dari pihak keluarga yang di tinggalkan
atau masyarakat yang timbul ke tempat itu. Pada malam awal biasanya pihak keluarga dan
warga dusun melakukan pembacaan doa yakni shamadiyah atau tahlilan, dan biasanya dikala
saat sebelum tahlilan dimulai pihak keluarga dan warga membiarkan pembakaran kemenyan,
yang sehabis itu setelah di bakar kemenyan itu diserahkan pada teungku atau yang mengetuai
aktivitas tahlilan, setelah itu kemudian aktivitas tahlilan itu diawali.

Adat istiadat dipandang sangat berarti dalam kehidupan bermasyarakat sebab tradisi atau
kebiasaan yang dijalani oleh ahlul bagian ataupun warga itu bisa membagikan faedah pada
orang yang telah wafat. Sehingga muncul istilah Agama hana adat tabeu, adat hana agama
bateni (agama tanpa adat hambar, adat tanpa agama batal) perihal semacam ini bila
dihubungkan pada permasalahan ini, ialah permasalahan yang mendasar pada budaya-budaya
yang dipakai di adat istiadat serta erat dengan tingkatan keimanan.

II. ASPEK BUDAYA TENTANG KEMATIAN


Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki begitu banyak adat dalam kehidupan
sehari-harinya, tidak terkecuali berkaitan dengan kematian. Dalam adat kematian di Aceh,
sangat banyak tradisi yang berkaitan dengannya dan dilaksanakan oleh warga masyarakat.
Tradisi tersebut dimulai sejak hari pertama hingga keetnpat puluh dan dilanjutkan pada hari
keseratus. Bahkan di daerah tertentu, upacara berkaitan dengan kematian ini berlangsung
dalam hitungan tahunan.
Seperti yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya, bahwa adat di Aceh pada umumnya
sangat dipengaruhi oleh kebiasaan dalam agama Islam, baik itu berupa hal wajib ataupun
sunah. Dalam urusan kematian tersebut, hal utama yang akan dilakukan oleh masyarakat
Aceh ialah memandikan, mengkafani, menyalatkan dan menguburkan mayat, selanjutnya
dilakukan beberapa kali kanuri dengan maksud-maksud tertentu yang akan penulis uraikan
nantinya.
Manusia tidak tahu kapan mereka akan kembali kepada Yang Maha Kuasa, ada yang
meninggal karena kecelakaan dan sesuatu hal lainnya. Maka ada pula karena sakit yang
ditanggung baik sebentar bahkan yang sudah bertahun-tahun lamanya. Maka seperti yang kita
ketahui, pada masyarakat Aceh sangat kental dengan kekhasan dan menjujung tinggi nilai
sosial maupun agama. Sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat Aceh apabila seseorang
sedang mengalami sakit parah maka para kerabat diberitahukan supaya dapat menjenguknya
sebelum ia meninggal. Apabila tidak diberitahu akan terjadi ketidakarmonisan dalam
hubungan keluarga yang mengalami musibah.
Apabila orang sakit mengalami sakaratul maut, ahli famili yang duduk di sekelilingnya akan
melakukan geupeuintat1 (mengantarkan), yaitu membisikkan ucapan Lailahailallah, pada
orang yang mengalami sakaratul maut tersebut. Hal ini dilakukan oleh masyarakat Aceh,
selain memudahkan jalan bagi seseorang untuk menghadapi mautnya, juga ia akan meninggal
sebagai orang muslim dan masuk surga. Maka bagi masyarakat Aceh selain memandikan,
mengkafani, menyalati dan menguburkan, geupeuintat merupakan hal yang telah dianggap
wajib dan paling utama sebelum keempat tahapan tersebut.
Selanjutnya, salah satu dari keluarganya datang kepada masyarakat untuk memberitahukan
bahwa seorang dari keluarganya telah meninggal dunia. Pertama kali diberitahukan kepada
teungku imum di kampung, kemudian kepada kerabat baik yang dekat maupun yang jauh.
Pemberitahuan kepada masyarakat kampung dilakukan oleh teungku imum atau orang lain
dengan memukul taktok (tambur) sesuai dengan irama dan jumlah pukulan tambur sampai 7
ronde pertama sebanyak tiga kali sampai dengan pukulan ketujuh. Selanjutnya informasi
meninggalnya seseorang disampaikan dari mulut ke mulut, dari tetangga ke tetangga
sehingga masyarakat kampong mengetahuinya.
Setelah masyarakat mengetahui salah seorang warganya meninggal dunia, mereka datang ke
rumah duka (jak keumeunjong). Selanjutnya, segala sesuatu aktivitas yang berkaitan dengan
proses ibadah yang berkaitan dengan kematian mulai diambil alih oleh teungku meunasah
dan dangeuchik. Tuan rumah hanya mempersiapkan material yang dibutuhkan pada kegiatan
itu. Persiapan-persiapan yang dibutuhkan terutama kain kafan, papan, keurenda, kikisan kayu
cendana, keumeunyan, kapur barus, minyak wangi dan jenis bunga-bunga harum. Hal ini
dimaksudkan agar mayat tersebut menjadi wangi dan harum, ketika akan menghadap Sang
Pencipta. Acara memandikan mayat, pembuatan keurenda dan penyiapan kain kafan sering
dilakukan serentak dengan cara pembagian tugas pada warga gampong. Masyarakat Aceh
berkeyakinan bahwa mempercepat penguburan mayat lebih utama.
a. Mandi Jenazah
Orang yang telah meninggal dibaringkan di atas kasur dan diselimuti dengan kain batik
panjang sebelum dimandikan. Sebagai perbandingan, pada masyarakat aneuk jamee, di
sisi tempat mayat dibaringkan, akan dibakar keumeunyan sebagai penghormatan kepada
arwah. Prosesi pembakaran keumeunyan tersebut dibakar hingga hari ketujuh. Ketika
semua kebutuhan untuk memandikan jenazah telah tersedia dan semua kerabat keluarga
dekat yang meninggal sudah tiba di rumah, mayat sudah siap untuk dimandikan.
Pekerjaan ini biasanya dipimpin oleh teungku meunasah atau orang yang mengerti
masalah memandikan jenazah. Pemandian dilakukan sesuai dengan syari'at Islam. Acara
memandikan jenazah biasanya dilakukan di rumah berduka. Setelah persiapan
memandikan mayat disiapkan, maka teungku membaca do' a sambil meremas-remas air
ramuan yang disebut dengan air sembilan. Kemudian air diambil dengan baskom lalu
dituangkan oleh teungku kepada mayat dengan sangat perlahan-lahan, agar tubuh mayat
tidak terasa sakit.

Adapun anggota keluarga yang berhak memandikan jenazah adalah anggota kaum
kerabat ditambah dengan teungku. Apabila yang meninggal seorang Perempuan maka
yang memandikan mayat itu semuanya perempuan, dan juga dibolehkan kepada suami.

b. Mengkafani

Setelah selesai dimandikan, jenazah langsung dibawa ke tempat pengafanan yang telah
disiapkan.Tempat itu merupakan tempat khusus, biasanya diletakkan di atas tika seuke
(tikar pandan), yang merupakan kekhasan dari rakyat Aceh. Di atas tikar tersebut
terdapat perlengkapan seperti kain kafan yang sudah dipotong sesuai dengan syari' at
Islam dan ramuan-ramuan. Bagi orang yang mampu, kain kafan dipersiapkan sampai
tujuh lapisan dan bagi orang yang biasa dipersiapkan tiga lapis saja.Kafan itu terdiri atas
baju, celana, dan kain pinggang, kemudian ditambah tiga buah bantal yang diisi dengan
daun belimbing atau kapas. Bantal diletakkan di kepala, pinggang dan bagian lutut.

c. Shalat Jenazah

Setelah mayat selesai dibungkus dengan kain kafan, selanjutnya mayat itu dimasukkan
ke dalam keureunda dan ditutupi dengan dengan kain batik panjang, lalu peti mayat itu
diusung bersama-sama ke meunasah atau mesjid untuk dishalatkan. Apabila jauh dari
meunasah atau mesjid, jenazah dishalatkan di rumah duka. Anggota yang mengusung
keureunda biasanya terdiri kaum kerabat dari orang meninggal dan juga dibantu oleh
orang gampong. Ketika diusung ke meunasah, keranda berisi jenazah berada di depan
sementara para pelayat mengikuti dari belakang.

Shalat jenazah dipimpin oleh teungku imum, diikuti oleh jama'ah. Walaupun demikian,
biasanya teungku akan bertanya terlebih dahulu kepada pihak keluarga yang meninggal
yang bersedia menjadi imam shalat. Jika yang meninggal adalah orang tua, maka yang
diutamakan menjadi imam shalat jenazah adalah anak kandungnya.

d. Penguburan

Setelah pelaksanaan shalat berarti jenazah sudah siap untuk dikuburkan, maka
pelaksanaannya hams segera dilakukan. Dari tempat pelaksanaan shalat, mayat diusung
kembali ke tempat penguburan. Orang yang mengusung terdiri atas keluarga yang
meninggal dan warga gampong yang ikut membantu sejak proses memandikan hingga
menshalati mayat. Biasanya yang mengusung pada bagian 20 kepala dan kaki dilakukan
oleh pihak keluarga, kemudian dibantu oleh warga gampong.

Kuburan sebelumnya telah digali terlebih dulu oleh orang-orang gampong. Mereka yang
menggali kuburan ialah para pemuda gampong setempat. Bagi laki-laki, kedalaman
lubang kuburannya yaitu 1,25 m dan bagi perempuan yaitu 1,8m. Setelah selesai
dikuburkan, kuburan disirami dengan air wangian bunga-bungaan sebanyak tiga kali dari
bagian kepala sampai bagian kaki oleh teungku. Di bagian kepala dan kaki kuburan
ditanami pohon pudeng atau nawah. Selanjutnya dibentang tikar di bagian kepala
kuburan sebagai tempat duduk teungku un tuk melakukan talkin .

e. Kanuri

Setelah selesai dilakukan penguburan, tahap terakhir dalam upacara kematian adalah
kanuri yang berlangsung di rumah duka, yang dilakukan sejak hari pertama hingga
ketiga, kelima, ketujuh, kesebelas, keempat puluh, keseratus bahkan hingga haul (ulang
tahun) si mayat. Kanuri pada hari ketiga, kelima dan ketujuh dari kematian, biasanya
dilaksanakan sedikit lebih besar dari kanuri sebelum itu (adanya penyembelihan kambing
atau kerbau), karena pada waktu itu diadakannya baca Al-Qur' an, tahlil, samadiah, dan
do'a di rumah duka. Pada hari keempat puluh atau keempat puluh empat, disebut juga
dengan kanuri pula batee (menanam batu nisan).

III. ASPEK PSIKOLOGIS TENTANG KEMATIAN


Psikologi sebagai cabang ilmu yang mempelajari pikiran, emosi, dan perilaku manusia,
termasuk dalam konteks menghadapi kematian. Kematian, sebagai peristiwa yang signifikan,
memiliki dampak yang besar pada individu. Sebagian melihatnya sebagai tragedi, sementara
yang lain menganggapnya sebagai bagian alami dari kehidupan.

Menurut teori Kubler-Roos (1969), ada lima aspek tahapan emosional yang dialami
seseorang menjelang kematian. Tahap pertama adalah penolakan, di mana individu menolak
fakta bahwa kematian akan terjadi. Namun, penolakan ini biasanya bersifat sementara dan
kemudian digantikan dengan penerimaan saat individu dihadapkan pada realitas kematian.
Tahap kedua adalah kemarahan, di mana individu merasakan emosi marah dan frustrasi
terhadap situasi yang tidak dapat diubah. Tahap ketiga adalah tawar-menawar, di mana
individu berusaha untuk menunda atau menghindari kematian dengan berbagai cara. Tahap
keempat adalah depresi, di mana individu merasa sedih dan putus asa menghadapi kenyataan
akan kematian. Pada tahap ini, mereka mungkin menarik diri dan menghabiskan waktu untuk
berduka. Tahap terakhir adalah penerimaan, di mana individu akhirnya menerima takdirnya
dan merasa damai dengan situasi tersebut. Pada tahap ini, mereka bisa merasa bebas dari rasa
sakit dan penderitaan fisik, dan menerima bahwa kematian adalah bagian dari siklus
kehidupan manusia.

Aspek kecemasan terhadap kematian, dalam penelitian ini, meliputi aspek psikologis yang
terdiri dari reaksi kognitif, yaitu respons dalam pikiran individu ketika menghadapi situasi
yang berhubungan dengan kematian, reaksi afektif, yaitu respon emosional yang timbul saat
individu dihadapkan pada masalah-masalah kematian, dan reaksi perilaku, yaitu tindakan
yang dilakukan individu saat merasa terancam oleh kematian. Aspek fisiologis melibatkan
gejala fisik yang muncul ketika individu merasa cemas karena masalah-masalah kematian.
Spielberger (Purboningsih, 2004) mengemukakan penyebab kecemasan meliputi pengaruh
stimulus internal atau eksternal. Stimulus eksternal adalah stimulus yang berasal dari luar diri
lanjut usia seperti pengaruh lingkungan. Stimulus internal adalah stimulus yang berasal dari
dalam diri dan ditimbulkan sendiri oleh lanjut usia ketika memikirkan atau berusaha
mengantisipasi suatu situasi berbahaya, hal serupa dapat terjadi ketika lanjut usia
mempersepsikan kematian sebagai sesuatu yang berbahaya dan mengancam bagi dirinya.
Ketika stimulus-stimulus seperti ini dinilai secara kognitif oleh lanjut usia sebagai hal yang
berbahaya atau mengancam maka indvidu tersebut akan
mengalami kecemasan sesaat.

Hambly (Subandi, 1998), menyatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi


kecemasan, yaitu; sikap pribadi, jenis kelamin, status ekonomi, dukungan sosial, religiusitas
dan kersiapan diri. Salah satu faktor kecemasan yang akan diurai secara lebih lanjut dalam
penelitian ini menyangkut sikap pribadi. Sikap pribadi yaitu cara pandang seseorang dalam
memahami sebuah keadaan (Hambly dalam Subandi, 1998).

IV. ASPEK SOSIAL TENTANG KEMATIAN


Manusia mengalami kematian karena Kematian adalah peringatan bahwa manusia adalah
makhluk yang lemah dan tak berdaya, ia diciptakan berawal dan pasti akan berakhir.
Kematian juga menjadi peringatan atau nasihat bagi orang-orang yang masih hidup untuk
kemudian mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan bekal amal ibadah.

Ada juga yang beranggapan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya, memandang bahwa
kehidupan manusia hanya di dunia, maka setelah kematian tiba maka kehidupan akan
berakhir. Selain itu kematian bukan akhir dari kehidupan, setelah manusia meninggal mereka
akan dibangkitkan kembali di alam akhirat untuk mempertanggung jawabkan semua
perbuatan yang telah manusia lakukan semasa mereka hidup di dunia baik itu perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Mereka juga beranggapan bahwa kehidupan dunia adalah
kehidupan yang sementara sedangkan alam akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi atau
kehidupan yang sesungguhnya, maksud dari kehidupan yang sesungguhnya di akhirat adalah
kehidupan setelah mati.

Berbicara tentang kematian juga ada beberapa aspek yang dapat kita tinjau mengingat
kembali apa sebenarnya yang dimaksud dengan kematian,dan kehilangan ada beberapa aspek
yang dapat mempengaruhi seseorang atau sekelompok terhadap kejadian yang menimpa
dirinya terlebih lagi respon yang dapat kita lihat pada masyarakat, keluarga,teman dan
kelompok lainnya. Manusia sebagai makhluk sosial yang tentu saja harus berbaur dan
bersosialisasi dan ketika kehadirannya sudah tidak ada lagi di tengah masyarakat, kelompok,
keluarga dan teman maka akan ada timbul perasaan kehilangan atai mungkin mereka yang
merasakan kehilangan itu membuat cara baru agar semuanya tetap berjalan tanpa adanya
individu tersebut.
Kehilangan orang yang berharga dalam hidup kita adalah sebuah pengalaman unik dan tentu
saja membuat kita tertekan dan stres. Kebanyakan orang yang mengalami kehilangan
biasanya sangat bersedih selama beberapa minggu hingga waktu-waktu tertentu. Selain
merasa sedih, biasanya juga ada kerinduan yang intens, pikiran yang mengganggu,
mengalami berbagai emosi disforik seperti gelisah, resah dan kecemasan. Perasaan marah,
kesakitan, penolakan untuk menerima situasi yang menyakitkan ini rumit karena bersamaan
dengan kerinduan yang intens .

Kehilangan orang yang berharga karena kematian biasanya juga disebut dengan kedukaan.
Berduka itu adalah respon atau reaksi emosional yang berhubungan dengan kehilangan.
Ketika kita mengalami kehilangan, perasaan dan emosi kita mungkin kalut dan sangat sakit
sehingga sulit untuk menerima kenyataan bahwa orang tersebut telah tiada. Namun,
sebenarnya kita perlu sadari bahwa kematian adalah bagian dari hidup kita, kematian
memberikan makna bahwa kita ada, karena itu mengingatkan kita betapa berharganya hidup
yang kita jalani. Kesadaran ini akan sangat menolong kita untuk bisa melewati kesedihan dan
kedukaan yang kita alami.

kedukaan atau kehilangan seseorang baik itu orang terdekat kita seperti
ayah ,ibu ,kakek,nenek ,abang ,adik atau keluarga jauh seperti paman dan bibi juga
memberikan pandangan sosial yang berbeda di masyarakat, contohnya jika seseorang anak
kehilangan orang tuanya empati masyarakat terhadap anak yang kehilangan orang tuanya itu
jauh lebih besar dari pada anak yang hanya kehilangan atau berduka karena kerabat jauh .
Kehilangan orangtua akan membuat sedih seorang anak. Kehilangan orangtua dapat membuat
kecerdasan emosional anak terganggu, dimana anak tidak memiliki kemampuan untuk
memotivisi dirinya, anak sibuk dengan kenangan orang tuanya yang telah meninggal,
sehingga anak susah untuk bangkit dari kesedihannya. Berbeda sekali ketika sang anak hanya
kehilangan kerabat jauh . Menurut penulis berdasarkan penelitian dan pandangan di
masyarakat terkait aspek sosial dan pandangan masyarakat tergantung pada siapa orangnya
dan seberapa dekat hubungan mereka . Selain itu dukungan yang diberikan juga berbeda
masyarakat juga memiliki respon yang berbeda bagaimana cara mereka untuk memberikan
dukungan kepada orang yang berduka.

Anda mungkin juga menyukai