Anda di halaman 1dari 5

UTS Pengantar Ilmu Antropologi – Kelas F

Nama : Tania Putri Khairunnisa


NPM : 2006530085
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi : Kriminologi

Akulturasi Budaya Islam dan Jawa dalam Upacara Tahlilan

A. Tahlilan: Upacara Kematian Islam

Tahlilan merupakan upacara selamatan atas kematian seseorang yang


dilakukan dengan pembacaan zikir dan doa-doa tahlil. Tahlil sendiri merupakan
kalimat doa atau pujian dalam agama Islam yang berarti “Tidak ada Tuhan selain
Allah”. Dalam Tahlilan, secara garis besar, pembacaan doa bersama dilakukan
oleh anggota keluarga, tetangga sekitar, hingga rekan-rekan dari orang yang
meninggal dunia tersebut. Biasanya, acara ini dilakukan di kediaman pihak yang
berduka selama beberapa hari tertentu setelah penguburan jenazah.
Meskipun kental dengan nilai-nilai Islam, upacara Tahlilan bukan
merupakan bagian ajaran Islam sesungguhnya. Pengiriman doa bagi orang yang
telah meninggal memang diajarkan dalam Islam, tetapi tidak dengan penentuan
hari-hari diberlakukannya upacara tersebut, sebab hal ini adalah adaptasi budaya
dari masa sebelum datangnya Islam ke Indonesia 1. Sejarah kemunculan Tahlilan
sangat berkaitan dengan proses Islamisasi di tanah Jawa. Ketika Wali Songo
datang untuk menyebarkan ajaran Islam, masyarakat Jawa dulu masih dipengaruhi
oleh kepercayaan animisme, dinamisme, serta ajaran Hindu.
Di masa tersebut, upacara kematian merupakan bagian dari ritual selamatan
yang dilakukan untuk menghormati roh nenek moyang yang sudah mati. Untuk
melaksanakan ritual tersebut, orang-orang akan berkumpul dan menyediakan
sesaji bagi roh gaib yang mereka yakini sebagai penolak malapetaka. Karenanya,
dalam upaya Islamisasi yang dilakukan para Wali Songo, diambil pula tradisi-
tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat tersebut untuk memudahkan ajaran

1
Ridin Sofwan, “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual” dalam
Darori Amin (Ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, 2002, h. 128.
Islam diterima, serta menghindari adanya culture shock. Dengan begitu, bentuk
upacara kematian tersebut berubah menjadi Tahlilan. Hingga kini, Tahlilan yang
merupakan hasil akulturasi ajaran Islam dengan budaya Jawa itu pun masih
menjadi tradisi yang berlangsung di banyak daerah di Indonesia. Sementara itu,
akulturasi menurut Kottak (2015) adalah pertukaran corak budaya yang
berlangsung dengan adanya kontak langsung secara terus-menerus antara
kelompok tertentu.

B. Upacara Tahlilan pada Masyarakat Kini

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode observasi-partisipasi. Di


mana penulis pernah memiliki pengalaman menjadi jamaah dalam upacara
Tahlilan sekaligus menjalankan proses-prosesnya. Dalam tradisi Tahlilan yang
dijalankan keluarga penulis, begitu selesai proses penguburan jenazah, para
pelayat akan diminta kembali lagi pada malam harinya, kira-kira pukul 19.30
(setelah waktu ibadah Isya). Di antara waktu tersebut, keluarga yang bersangkutan
akan menyiapkan acara selamatan, misalnya merapikan rumah, menyusun
perlengkapan acara (penerangan, kursi, karpet, buku doa-doa tahlil, dll.),
menyiapkan konsumsi, dan sebagainya. Biasanya, para tetangga sekitar atau
kerabat dekat sering kali datang lebih dulu dari waktu acara dimulai untuk ikut
membantu persiapan acara Tahlilan.
Setelahnya, ketika acara dimulai, Tahlilan akan dibuka dengan penyambutan
singkat yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Surat Yasin dan puji-
pujian sesuai dengan kepercayaan Islam. Dalam pelaksanaannya, jamaah Tahlilan
akan duduk bersama dan berkumpul dalam satu atau beberapa ruangan di rumah
duka. Namun, apabila rumah tersebut tidak cukup untuk menampung jamaah,
maka akan disediakan kursi di jalan di luar rumah untuk digunakan. Dengan ini,
warga yang tinggal di sekitar rumah duka biasanya menutup jalan tersebut dan
menandakannya dengan bendera kuning bertuliskan nama orang yang meninggal
dunia.
Ketika segala rangkaian acara selesai, maka para jamaah akan dibagikan
makanan yang biasanya berupa nasi dengan lauk, air mineral, buah, serta camilan
ringan yang dibungkus menjadi satu. Para jamaah boleh kembali ke rumah
masing-masing atau berbincang terlebih dahulu dengan satu sama lain. Kadang
ada pula jamaah yang menyempatkan diri membantu keluarga yang berduka untuk
membereskan perlengkapan Tahlilan malam itu. Kemudian, mereka akan bersiap
kembali untuk melakukan upacara Tahlilan pada malam-malam berikutnya.
Pelaksanaan Tahlilan di lingkup keluarga penulis berlangsung selama
beberapa hari, yakni tujuh hari pertama setelah kepergian, kemudian hari keempat
puluh, hari keseratus, satu tahun setelah kematian, dan seribu hari setelah
kematian. Namun, ada penegasan bahwa hari pertama (setelah penguburan), hari
ketiga, dan hari ketujuh setelah kematian adalah hari yang “terpenting”, sehingga
pada hari-hari tersebut, jamaah yang mengunjungi rumah duka akan lebih banyak
dibandingkan hari Tahlilan lainnya.
Hal ini termasuk ke dalam adaptasi dari ajaran upacara adat kematian Jawa
di masa pra-Islam2 yang dipengaruhi kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat
kala itu, yakni tergolong sebagai berikut; 1) Geblag atau selamatan setelah
penguburan, 2) Nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian, 3) Mitung
dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian, 4) Matangpuluh dina atau
selamatan setelah empat puluh hari kematian, 5) Nyatus dina atau selamatan
setelah seratus hari kematian, 6) Mendhak sepisan atau selamatan setelah satu
tahun kematian, 7) Mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian,
serta 8) Nyewu atau selamatan setelah seribu hari kematian. Penekanan pada hari
tertentu ini merupakan bagian dari tradisi Hindu-Jawa yang kemudian
digabungkan dengan ajaran Islam.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, meskipun telah menempuh arus
globalisasi dan modernisasi yang mampu menghilangkan kebudayaan dan
tradisi, upacara Tahlilan tetap bertahan. Masyarakat Islam di beberapa daerah di
Indonesia masih melaksanakannya meski dengan rangkaian acara yang boleh jadi
berbeda. Berdasarkan pengalaman penulis mendatangi upacara Tahlilan di
berbagai tempat, ada keluarga yang hanya melaksanakan Tahlilan di hari pertama,
ada yang menyelenggarakan di hari pertama, ketiga, dan ketujuh, tetapi ada pula

2
Suwardi, Sinkretisme dan Simbolisme Tradisi Selamatan Kematian di Desa Purwosari, Kulon
Progo, 2012, hlm. 162-163.
yang melaksanakannya penuh selama seminggu, seperti yang dijalankan keluarga
penulis sendiri.

C. Akulturasi dan Nilai Budaya dalam Upacara Tahlilan

Keberagaman yang lekat dengan masyarakat Indonesia memang membuka


kesempatan luas bagi terjadinya sintesis budaya. Melalui adanya adaptasi antara
kepercayaan Hindu-Jawa dengan Islam, membentuk suatu akulturasi yang pada
akhirnya menghasilkan budaya baru. Upacara selamatan bagi kematian seseorang
dengan sesaji kepada roh nenek moyang telah bertransformasi dan menyesuaikan
bentuk dengan ajaran Islam.
Tahlilan masih berlangsung hingga masa kini, namun bukan tanpa alasan.
Hal-hal kecil seperti gotong royong¸ kebersamaan, dan religiositas yang
terkandung dalam upacara Tahlilan itulah yang mendorong lestarinya budaya
tersebut. Kebersamaan yang tertanam kuat sebagai nilai di masyarakat membuat
mereka terdorong untuk menghadiri acara Tahlilan sebagai bentuk dukungan dan
hiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Bersama pula mereka saling membantu
menyiapkan dan membagi tugas dalam penyelenggaraannya. Di samping itu,
masyarakat juga menganggap upacara Tahlilan sebagai suatu bentuk ibadah dan
ritual spiritual, meski akar dari upacara ini sendiri merupakan gabungan dari
berbagai ajaran agama dan kebudayaan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Kottak, C. P. (2015). Cultural Anthropology: Appreciating Cultural


Diversity, Sixteenth Edition. New York: McGraw-Hill Education.
BIBLIOGRAPHY Sofwan, R. (2002). Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek
Kepercayaan dan Ritual. Dalam D. Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta: Gama Media.
Suwardi. (2012). Sinkretisme dan Simbolisme Tradisi Selamatan Kematian
di Desa Purwosari, Kulon Progo. Yogyakarta: Ikatan Penerbit
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai