Menurut Koentjaraningrat
Pengertian kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan
dan hasil yang harus didapatkannya dengan belajar dan semua itu t
ersusun dalam kehidupan masyarakat.
• Upacara Adat Tiwah pada umumnya dilaksanakan setiap lima tahun sekali s
elama tujuh hari dan tidak hanya dilakukan pada satu almarhum/ah saja tet
api bisa lebih dari satu almarhum/ah. Menurut Alfirdaus Andak, pada zaman
dahulu Upacara Adat Tiwah disertai dengan adat Mengayau (memenggal k
epala), yaitu apabila ada anggota Suku Dayak yang meninggal dunia maka
anggota keluarga yang masih hidup memiliki kewajiban untuk pergi mendap
atkan kepala manusia. Adat Mengayau dilakukan tidak lain adalah untuk ke
perluan atau syarat karena orang Dayak percaya bahwa melalui Upacara A
dat Tiwah, roh dari orang yang dipenggal (hasil Mengayau) akan menjadi h
amba atau budak dari anggota keluarganya yang telah meninggal di surga.
• Namun menurut Kertodipoero (1963) dalam Tamiang, I.N.G.T.W.J. (2006) s
eiring dengan perkembangan zaman terjadilah perubahan di berbagai sekto
r kehidupan masyarakat Dayak dan adat Mengayau sudah disepakati untuk
tidak dilaksanakan lagi. Melalui Perjanjian Tumbang Anoi yang dilaksanaka
n pada tahun 1894, adat Mengayau disepakati bersama oleh suku-suku Da
yak yang ada di Kalimantan untuk dihentikan dan tidak dilaksananakan lagi.
Kemudian disepakati pula agar darah manusia ditiadakan dalam upacara-u
pacara keagamaan termasuk Upacara Adat Tiwah dan sebagai gantinya ma
ka dipergunakanlah darah binatang.
• Sebelum prosesi Upacara Adat Tiwah dilaksanakan, terdapat beb
erapa persiapan yakni mempersiapkan Balai Nyahu (rumah pang
gung), mendirikan Balai Nyahu (rumah panggung), menyediakan
binatang sebagai kurban dalam Upacara Adat Tiwah, mempersia
pkan Sangkairaya (tempat sentral Upacara Adat Tiwah), mencari
kayu untuk Patung Sapundu dan Pandang Bawui (kandang Babi)
Masar Sababulu (meraut kulit bambu), dan mempersiapkan peral
atan pendukung lainnya.
• Setelah persiapan telah selesai dan syarat telah tersedia, maka di
mulailah prosesi Upacara Adat Tiwah yang dimana pada hari pert
ama memanggil para Basir (rohaniawan) untuk melaksanakan up
acara ini. Pada hari kedua, dilaksanakan Menenung yakni meman
ggil roh-roh yang ditugaskan oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan
Yang Maha Kuasa) untuk memberi petunjuk serta menjaga masy
arakat secara keseluruhan dari gangguan roh-roh jahat. Pada hari
ketiga hingga ketujuh dilaksanakan Mampunduk Sahur, dimana
orang Balian memulai kegiatan mereka sesuai jadwal (Talatah) Up
acara Adat Tiwah yang telah disepakati.
• Pada hari ketujuh dilaksanakan Nalampas, yakni ini para penyelenggara
Upacara Adat Tiwah berangkat ke makam dimana anggota keluarga mer
eka dimakamkan dan tulang belulang mereka diangkat dari liang kubur.
Pada saat pengangkatan kembali tulang belulang almarhum/ah tersebut
tidak boleh ada yang tertinggal. Menurut Makur, pada saat Nalampas ku
buran almarhum/ah yang akan diangkat tulangnya ditaburi beras putih, k
uning dan merah oleh seorang rohaniawan (Basir).
• Kemudian rohaniawan tersebut menebas mandau (senjata khas Kalima
ntan) ke tanah, dimana almarhum/ah disemayamkan. Setelah menebas
mandau tersebut, maka makam tersebut mulai digali oleh orang-orang y
ang sudah ditugaskan untuk menggali. Dan setelah Raung (peti mati) dit
emukan, maka Raung tersebut dibuka dan tulang belulang tersebut dia
mbil kemudian dibersihkan atau dicuci dengan air sabun. Setelah bersih,
maka tulang tersebut dimasukkan kedalam Sandungyang disediakan ter
lebih dahulu oleh keluarga yang melakukan Upacara. Didalam Sandung
hanya boleh di isi dengan satu tulang orang saja terkecuali jika semasa
hidupnya mereka adalah suami istri.
Landasan Masyarakat Muslim Suku Dayak melaksanakan
Upacara Adat Tiwah
• masyarakat muslim Suku Dayak yang melaksanakan Upacara Adat Tiwah p
ada umumnya dilandasi oleh faktor keturunan. Walaupun tidak semua pula
keluarga mengikuti Upacara Adat Tiwah karena adanya perbedaan ideologi
atau pemahaman, namun mereka tetap diwajibkan membayar iuran keluarg
a untuk pelaksanaan Upacara Adat Tiwah. Kadang-kadang ada pula faktor
pemaksaan yang dilakukan oleh pihak keluarga yang non-Muslim untuk mel
aksanakan acara tersebut. Namun terlepas dari faktor-faktor tersebut, bagi
Suku Dayak Upacara Adat Tiwah merupakan suatu budaya dan kewajiban
kepada nenek moyang, sehingga pelaksanaan Upacara Adat Tiwah seakan
-akan juga merupakanhal yang wajar dalam kehidupan masyarakat muslim
Suku Dayak.
• Masyarakat muslim Suku Dayak menganggap Upacara Adat Tiwah sama s
eperti acara Haul, banyak masyarakat Muslim yang berkunjung ke lokasi ac
ara, ada yang hadir sebagai tamu undangan dan ada juga yang hadir hany
a sebagai penonton Namun, pelaksanaan Upacara Adat Tiwah tidak pernah
mengganggu kenyamanan masyarakat Muslim untuk beibadah. Semisal pa
da saat gerantung (gong yang dipukul keras dibunyikan terus-menerus) dib
unyikan, akan dihentikan apabila terdengar adzan berbunyi, sehingga kada
ng-kadang Upacara Adat Tiwah tiba-tiba langsung sepi dengan seketika, ka
rena banyak penonton atau tamu yang menjalankan ibadahnya, khususnya
melaksanakan ibadah sholat. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Upac
ara Adat Tiwah pada masyarakat Muslim Suku Dayak adalah sesuatu yang
dilakukan sebagai warisan nenek moyang yang tidak dapat dirubah lagi.
KESIMPULAN dan SOLUSI