Anda di halaman 1dari 26

Nama : Ahmad Fathoni

Nim : 6211131138

Analisis Politik Luar Negeri

BAB 1

PENDAHULUAN

Sulit membuat definisi yang lengkap tentang politik luar negeri. Tetapi secara umum, bias
dikatakan bahwa politik luar negeri merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah
negara atas komunitas politik lainnya dalam hubungan dengan negara dan actor bukan negara
di dunia internasional. Politik luar negeri (selanjutnya disingkat PLN) menjembatani batas
wilayah dalam negeri dan lingkungan internasional. PLN itu bisa berupa hubungan
diplomatic, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi, mencanangkan tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek ( K. J. Holsti, 1983:97 )

Seperti Holsti, definisi yang luas duberikan oleh Christopher Hill yang menyatakan PLN
sebagai ‘jumlah hubungan luar resmi yang dilakukan oleh actor indenpenden ( biasanya
negara ) dalam hubungan internasional’ ( Hill, 2003: 3 ). Definisi yang dianggap klasik dan
detail diberikan oleh Walter Carlsnaes, yaitu ‘tindakan-tindakan yang diarahkan ke tujuan,
kondisi dan actor ( baik pemerintah maupun non-pemerintah) yang berada luar wilayah
territorial mereka dan yang ingin mempengaruhi. Tindakan-tindakan itu diekspresikan dalam
bentuk tujuan-tujuan, komitmen dan/arah yang dinyatakan secara ekplisit, dan yang
dilakukan oleh wakil-wakil pemerintah yang bertindak atas nama negara/komunitas yang
berdaulat’ ( Carlsnaes, 2002: 335).

Berdasarkan definisi-definisi ini, focus utama kajian PLN adalah tindakan untuk
memperhatikan intense ( maksud ), pernyataan dan tindakan actor yang diarahkan pada dunia
eksternal dan respon dari actor-actor lain terhadap intensi, pernyataan dan tindakan ini (
Gerner , 1995: 18). Tidak seperti politik dalam negeri, para pembuat keputusan PLN biasanya
mempunyai sedikit control terhadap situasi, dan pengetahuan mereka juga sangat terbatas.
PLN juga mengimplikasikan tiadanya tindakan yang diambil sebagai bagian dari PLN (
MacDonald, Patman, & Mason-Parker, 2007 : 1 ). Misalnya negara-negara Barat tidak
mengambil tindakan terhadap Israel tetapi sangat concern dengan kekerasan yang dilakukan
oleh negara-negara Arab.

BEBERAPA TERMINOLOGI APLN

Dalam membahas PLN, ada dua jenis terminology penting yang perlu dijelaskan sejak awal
yaitu Teori-teori Hubungan Internasional ( THI ) atau juga kadang-kadang disebut Teori-teori
Politik Internasional ( TPI ) dan Teori-teori Politik Luar Negeri ( TPLN ) yang berisi Analisa
Plotik Luar Negeri ( APLN ) yang didalam bahasa Inggris dikenal sebagai Foreign Policy
Analysis (FPA). Kedua jenis Terminologi ini, yaitu THI ( dan TPI ) dan TPLN ( dan APLN ),
sedikit berbeda. THI lebih luas dari pada TPLN (dan APLN) karena ia membicarakan semua
teori yang berkaitan dengan hubungan internasional dan politik luar negeri, termasuk dari
perspektif realism, liberalism maupun konstruktivisme. Sedangkan TPLN dan APLN
sebenarnya lebih terbatas karena mencul sebagai reaksi terhadap asumsi unitary state dari
realisme pada decade 60-an dan 70-an. Seringkali APLN disebut sebagai sub-disiplin dari
hubungan internasional (HI).

PERDEBATAN METODOLOGI DALAM HI DAN APLN

Metodologi membincangkan masalah keilmuan dari suatu disiplin, kemudian metode


penelitian dan penulisan dalam satu disiplin. Ia bersifat mendalam dan filsofis seperti
menyangkut apa ilmu pengetahuan serta bagaimana cara mendapatkan nya. Dalam setiap
bidang keilmuan selalu ada perdebatan tentang hal ini,. Biasanya dalam bidang keilmuan
yang mapan seperti sains atau ilmu alam dan teknologi, perdebatan metologis jarang terjadi,
yang terjadi hanya perdebatan dan penyempurnaan metode penyelidikan. Mereka terutama
mencari cara penyelidikan atau model-model yang lebih tepat sehingga didapat hasil yang
akurat.

Pada perdebatan pertama, para ilmuan HI berdebat tentang bagaimana metodologi HI yang
paling ilmiah dan dapat memenuhi standar ilmu pengetahuan, terutama tang berlaku pada
konteks tahun 1960-1970-an dimana ilmu social disimisili oleh pendekatan behavioralisme
dalam sains.

Perbedaan diantara meraka adalah dalam hal metode atau cara atau teknik memperoleh
pengetahuan itu. Berbeda dengan perdebatan pertama dalam HI, yaitu antara realism dan
idealisme yang menyangkut isi, teori-teori dan pendekatan untuk memahami fenomena
internasional, perdebatan metodologi ini tidak memperdebatkan isi dari keilmuan HI itu
sendiri. Mereka tidak berdebat tentang paradigma, pendekatam dan teori HI apa yang paling
akurat tetapi tentang bagaimana caranya memperoleh atau merumuskan sebuah teori yang
akurat. Mereka berdebat tentang apa yang layak disebut ilmu dan data apa yang diperlukan,
peran peneliti bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Mereka tidak berdebat tentang
realism versus idealism versus konstruktivisme dan seterusnya.

KRITIK TERHADAP “ UNITARY STATE ACTOR”

APLN lahir dari ketidakpuasan terhadap realisme yang dominan dalam hubungan
internasional setelah Perang Dunia II. Penekanan realism pada negara sebagai actor utama
utuh ( unitary state actor ) yang mengejar kepentingan nasional, kekuasaan, sangat rasional
dan efesien dalam pembuatan keputusan, menjadi sorotan utama ketiakpuasan ini. Negara
(state) yang dianggap kepentingan nasional, padahal dalam realitasnya state berdiri dari
banyak unsure dan keputusan politik luar negeri sangat kompleks karena melibatkan banyak
actor didalam dan juga kadang-kadang di luar negara. Ini artinya tiap unit, apakah individu
atau organisasi yang terlibat dalam keputusan, membawa sebagai kepentingan yang kadang
berlawanan. Dengan kata lain APLN mencoba memecahkan state yang sering diistilahkan
dengan black box atau juga kadang disebut billiard ball.

Menurut Hudson dan Vore ( 1995: 211), dalam praktiknya manusia mempunyai memproses
informasi bukan berdasarkan analisi rasional tetapi dengan cara yang berbeda bila sedang
dalam kondisi stress dan dalam kondisi rutin. Situasi atau lingkungan operasional dari suatu
keputusan dapat di interpretasikan dengan berbagai cara, bergantung pada refrensi sejarah
sebelumnya, kepribadian dan pengalaman sebelumnya dalam menghadapi berbagai situasi
serta keadaan social dan budaya mereka. Agenda-agenda dan kepentingan, seperti untuk
menjaga kesepakatan kelompok atau keinginan untuk melindungan dan memperluas kartu ‘
tawaran ‘ dan jumlah actor yang terlibat, dapat juga mengurangi pemikiran rasional tentang
biaya dan keuntungan. Masih menurut Hudson dan Vore ( 1995: 211 ), factor kognitif lain
seperti emosi dan motivasi ideologi juga memangkas pertimbangan rasional analisi
cost/benefit.

KEMUNCULAN APLN : TIGA GENERASI

Pembagian generasi pertama dan kedua akan diuraikan berikut ini mengikuti tulisan Valarie
Hudson ( Hudson, 2008: 11-29 ), sedangkan perkembangan generasi ketiga merupakan
perkembangan dari hasil pengamatan berdasarkan kemunculan teori-teori kritis dan
posmodernisme.

Menurut Hudson ( Hudson, 2008), generasi pertama ( 1954-1974 ) merupakan peletak dasar
APLN yang menjadi landasan perkembangan analisa selanjutnya. Beberapa konsep dan teori-
teori penting yang muncul dari generasi pertama adalah proses kognitif, orientasi, dan
personalitas pemimpin, dinamika kelompok kecil, proses organisasi, politik birokratik,
budaya dan PLN, kontestasi dalam politik domestic, atribut nasional PLN.

Generasi kedua APLN ( 1974-1993 ) melanjutkan generasi pertama ini dengan penekanan
yang lebih mendalam pada beberapa konsep. Perhatian berikut dari generasi kedua adalah
pada proses organisasi dan politik birokrasi.

Generasi ketiga APLN ( 1993-Sekarang )berkembang belakangan ini dengan kemunculan


teori-teori kritis dan konstruktivis. Penekanan generasi ini tidak lagi terbatas pada negara
tetapi bisa actor-actor non-stte bahkan people to people dan masyarakat ke masyarakat seperti
yang dikembangkan oleh pandangan kosmopolitanisme dan PLN.
BAB II

POLITIK LUAR NEGERI DALAM PANDANGAN REALISME

ASUMSI-ASUMSI UTAMA REALISME

Ada tiga asumsi utama realisme yang sering dikelompokan dalam 3S : statism, survival, self-
helps ( Dunne and Schmidt, 2001: 155-156 ). State adalah actor utama dalam HI yang
anarkis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk survive dan mencapai level subsisten
manusia perlu hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok. State merupakan
pengelompokan manusia ( groupism ) yang paling penting dewasa ini, dan sumber kohesi in-
group yang paling kuat adalah nasionalisme ( Wohlforth, 2008: 32 ).

Menurut Mearsheimer ( Mearsheimer , 2007 ), power didasarkan pada kemampuan militer


yang dikuasai oleh negara.

REALISME KLASIK DAN PLN

Dalam politik internasional, kalau mengikuti realism klasik seperti Morgenthau, negara-
negara masih dianggap memiliki tujuan dan aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada struktur internasional seperti yang
diasumsikan oleh kaum neo-realis.

Holsti ( K.J. Holsti, 1983:99), yang juga digolongkan sebagai pengikut realism klasik
penerus Morgenthau, mengejewantahkan lebih lanjut pandangan diatas dengan menyebutkan
bahwa selain dipengaruhi oleh struktur system internasional, strategi umum PLN suatu
negara juga dihubungkan dengan sifat dan keadaaan domestic dan kebutuhan ekonomi.

Dalam pandangan Holsti ( 1983: 97-98 ), negara sebagai actor ini memiliki tujuan-tujuan,
aspirasi, kebutuhan, sikap, pilihan dan tindakan politik luar negeri yang dipengaruhi atau
terbentuk oleh struktur kekuatan dan distribusi kekuasaan dalam politik internasional. Ia
membagi empat komponen utama dalam PLN yaitu. Orientasi-orientasi poltik luar negeri,
Peran-peran nasional, Tujuan-tujuan dan, Tindakan-tindakan.

Menurut Holsti, orientasi dasar PLN ada tiga. Orientasi pertama disebut isolasi dimana untuk
menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi hubungannya dengan negara lain.
Orientasi jenis kedua ialah nonalignment atau non-blok dan sering juga disamakan dengan
netralitas. Orientasi ketiga disebut Holsti pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi.

Komponen kedua menurut Holsti adalah peranan nasional dan konsepsi tentang peran yang
merupakan turunan dari komponen pertama orientasi PLN.

Komponen ketiga disebut tujuan-tujuan PLN yang mengacu pada komponen kedua dan
pertama dari politik luar negeri.

NEO-REALISME DAN PLN


Bagi noe-relisme, factor distribusi kapabilitas didalam struktur internasional akan
mempengaruhi perilaku atau actor-actor PLN. Para pendukung neo-realisme percaya bahwa
akan sifat manusia yang mendorong perilaku, tetapi system internasional yang anarkis yang
menimbulkan kecemburuan , iri, dengki, ketakutan, kecurigaan, dan ketidakamanan.

Ada macam-macam cara untuk menghadapi dilemma ini. Diantara strategi PLN yang
ditawarkan untuk mengatasi hal ini adalah dengan menciptakan keseimbangan kekuatan atau
balance of power. Setiap negara harus mengupayakan adanya semacam keseimbangan ini
dengan melakukan penyeimbangan terus-menerus. Satu hal yang penting dalam proses
penyeimbangan ini dalam stuktur politik internasional adalah peranan negara-negara besar
yang mempunyai kapabilitas tempur yang kuat. Merekalah sebetulnya yang menentukan
kestabilan dan situasi tiada perang didunia internasional. Sementara negara-negara kecil
lainnya harus menyesuaikan strategi mereka mengikuti struktur dominan ini.

Bagi realis structural atau neo-realis, balance of power akan muncul secara alamiah,
misalnya melalui aliansi. Konsep balance of power memang erat kaitannya dengan aliansi
dan merupakan konsep awal bagi kalangan neo-realis. Tetapi bagi kalangan neo-realis,
pembentukan aliansi adalah sulit karena negara mempertimbangkan untung-rugi,
kekhawatiran keuntungan akan diperoleh lebih oleh rekan aliansi termasuk kekhawatiran
kehilangan otonomi sebagai negara yang berdaulat. Negara-negara lemah yang tidak
mempunyai kemampuan demikian akan melakukan bandvagoning yaitu beraliansi,
berkompromi dan menumpang kekuatan negara yang menjadi sumber ancaman.

Teori balance of power berusaha disempurnakan oleh kalangan neo-realis dengan teori
balance of power threat dari Stephan Walt ( 1987 ). Menurutnya, negara membentuk aliansi
bukan untuk tujuan menyeimbangkan kekuatan saja tetapi juga menyeimbangkan untuk
mampu melawan ancaman-ancaman eksternal ( Walt, 1987:5). Walaupun distribusi kekuatan
internasional memiliki peranan penting dalam pembentukan aliansi, Walt (1987:5)
menekankan perilaku negara. Jadi persepsi tentang ancaman, menurut Walt, tidak hanya
ditentukan oleh kekuatan negara kuat dalam distribusi kekuatan internasional, tetapi juga
mempengaruhi secara cukup kuat oleh kedekatan geografis, kemampuan ofensif, tujuan-
tujuan yang dipahami. Berbeda dengan teorisasi neo-realis sebelumnya yang melihat proses
balancing sebagai otomatis, Walt berpendapat bahwa bila negara dihadapkan dengan
ancaman luar, mereka memiliki dua pilihan, yaitu mereka bisa melakukan balancing melawan
ancaman yang ada, atau mereka melakukan politik bandwagon yaitu melakukan politik
mengalihkan kekuatan dengan beraliansi dengan sumber bahaya.

Konsep balance of power dan aliansi ini misalnya dapat digunakan untuk menjelaskan
mengapa negara-negara pecahan bekas Uni Soviet di Asia Timur bagian Tengah seperti
bergabung NATO ( North Atlantic Treaty Organization ) yang dipimpin oleh AS. Sebagai
negara-negara baru yang bebas dari Uni Soviet, mereka masih mengkhawatirkan ancaman
Rusia yang dianggap mewakili bekas Uni Soviet terhadap mereka. Dengan melihat distribusi
kekuatan kemampuan militer yang ada, mereka kemudian memilih untuk melakukan
balancing dengan bergabung dengan NATO, sehingga mereka akan mempunyai cukup
kekuatan dalam menghadapi ancaman Rusia.
Berdasarkan komposisi dan distribusi kapabilitas kekuatan negara-negara besar dalam
struktur politik internasional, dikenal tiga macam system, yaitu system bipolar, multipolar
dan unipolar. Dalam sistemn bipolar hanya ada dua pihak yang berhadapan, semua
berkonsentrasi didalam konflik itu, sementara didalam system multipolar, yang berhadapan
adalah banyak pihak dan kemungkinan muculnya polar-polar yang baru juga sangat besar.
Kemudian bipolaritas juga cenderung memperkuat equality (kesederajatan) karena kekayaan
dan kekuatan dikembangkan merata di kedua pihak. Tetapi dalam system multipolar,
kekayaan dan kekuatan ini tersebar tidak merata dan karena itu besar kemunkinan untuk terus
munculnya polar-polar (kutub-kutub) lain dalam system itu. Juga dalam system multipolar
lebih sulit melakukan perhitungan karena banyaknya actor utama dan miskalkulasi atau salah
perhitungan lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan system bipolar Mearsheimer ( 2007:
79 )

Struktur internasional yang ketiga adalah unipolar yang oleh banyak pihak sedang terjadi di
dunia sehabis perang dingin. Sistem ini dianggap paling stabil karena hanya ada satu negara
yang super yang dapat mengola konflik di dunia. Tetapi system ini juga memiliki kelemahan
karena dua hal, pertama, karena merasa tidak ada lagi konflik dan ancaman di suatu region,
negara super power ini menarik diri dari kawasan itu. Ini bisa menimbulkan vacuum of power
dan mengundang negara kuat dikawasan itu untuk menerapkan hegemoninya. Kedua, kalau
negara super power ini merasa sangat superior dan dapat mengatur keamanan dunia, ia sering
bertindak sewenang-wenang bahkan dengan melakukan serangan secara unilateral maupun
multilateral untuk ‘menghukum’ negara yang mereka anggap akan mengancam perdamaian
atau lebih tepatnya hegemoni negaranya.

Penjelasan dan preskripsi realisme karena itu berangkat dari pengalaman Barat dan
menyelesaikan ketidakpastian keamanan internasional berdasarkan pengalaman spesifik
negara-negara Barat. Kompleksitas dunia harus dipahami dan diselesaikan dalam konteks dan
strategi negara-negara besar dan itu adalah sebuah struktur obyektif yang harus dipatuhi.

Tetapi dunia adalah kompleks, persoalan-persoalan terlalu banyak untuk dipahami dalam
kerangka berpikir, strategi dan preskripsi realis.

Negara-negara dunia ketiga hidup dalam pengalaman sejarah, konteks dan situasi yang
berbeda. Mereka pun mungkin memiliki aspirasi yang berbeda. Negara-negara asal perspektif
realis dari Barat pun terus mengalami perubahan. Kedaulatan mengalami redefinisi karena
keperluan lintas negara dan kesalingtergantungan yang makin besar. Fenomena Uni Eropa
mengharuskan orang berfikir ulang tentang konsep kedaulatan dan konsep warga negara.
Realisme jelas hanya memahami satu aspek dan ada aspek-aspek lain yang perlu dijelaskan
dengan pandangan-pandangan lain.
BAB III

ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI DALAM PANDANGAN LIBERALISME

PRINSIP DASAR LIBERALISME

Liberalisme merupakan ideologi yang mempunyai pengaruh besar di dunia dan yang
dibincangkan di sini berasal dari pemikiran Barat. Ia menjadi landasan bagi demokrasi dan
system kapitalisme industry yang kini berkembang di dunia.

Ada tiga macam komitmen terhadap hak-hak yang menjadi fondasi liberalism ( M. W.
Doyle, 2008:50 ). Yang pertama disebut ‘ kebebasan negatif’ yang merupakan kebebasan dari
penguasa sewenang-wenang ( arbitraty ). Ini meliputi kebebasan berbicara, kesederajatan
hokum, kebebasan memiliki dan hak milik. Yang kedua adalah hak untuk melindungi dan
memperjuangkan kesempatan bagi kebebasan atau disebut juga ‘kebebasan positif’. Ini
meliputi hak social dan ekonomi, kesamaan dan kesempatan dalam pendidikan dan hak-hak
terhadap system kesehatan dan mendapat pekerjaan. Hak-hak ini penting untuk bisa
mengekspresikan diri dan berpartisipasi secara bermakna. Hak liberal yang ketiga adalah
partisipasi demokrasi dan perwakilan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan dua
hak itu. Itu untuk menjamin individu-individu yg otonom secara moral ini agar bisa tetap
bebas dalam tindakan social mereka.

Berbeda dengan realism yang menekankan aspek ambisi, terutama kehausan akan
kekuasaan, dalam kehidupan negara-negara, liberalism didasarkan pada prinsip-prinsip ideal
kehidupan antarnegara. Berbeda dengan realism yang menyebut power adalah inti dari
hubungan antara bangsa dan perilaku mengejar kekuasaan termasuk dengan perang adalah
rasional, maka liberalism mengatakan bahwa perang adalah melawan hukum alam dan tidak
rasional, suatu cara yang artificial dan bukan produk dari kekhasan sifat manusia.

Kalau perang terjadi, menurut kaum liberal, maka itu disebabkan oleh permintaan yang tidak
demokratis dan militeristik dan untuk kepentingan para penguasa itu sendiri. Perang dimulai
oleh kelas militer untuk memperluas kekuasaan dan kekayaan melalui penaklukan wilayah.
Perang dilakukan untuk kekuasaan dalam member pekerjaan untuk pangeran, negawawan,
tentara, diplomat dan para pembuat senjata dan untuk memperkuat tirani kelompok ini atas
masyarakat. Perang menjadi alasan bagi pemerintah untuk menaikkan pajak, memperluas
aparatur birokrasi, dan meningkatkan control terhadap rakyat. Sementara rakyat sacara alami
adalah cinta damai dan terjebak dalam perang hanya karena tekanan penguasa yang tidak
mewakili mereka. Dalam pandangan kaum liberalis, perang adalah kanker dalam badan
politik, tetapi manusia sendiri diberi kekuatan untuk mengobatinya. Bagi kaum liberal, obat
kanker perang yang paling mujarab sejak abad 18 hingga sekarang adalah sama yaitu
demokrasi dan perdagangan bebas.

Karena kesamaan prinsip antarnegara liberal, yaitu komitmen pada aturan hukum, hak-hak
individu, pemerintahan demokrasi yang dilandasi oleh persetujuan umum menyebabkan
sesama negara demokrasi liberal memiliki kepentingan yang kecil untuk konflik satu dengan
yang lain.

Teori liberal diatas sering disebut democratic peace theory. Para pengusungnya menganggap
bahwa PLN di negara-negara demokrasi liberal dibatasi oleh institusi seperti pendapat umum,
aturan hukum dan pemerintahan berdasarkan perwakilan.

Dalam pandangan hukum liberal, pilihan kerjasama ekonomi juga mengurangkan politik luar
negeri yang bermusuhan dengan negara lain. Organisasi regional bisa mengubah PLN dua
negara yang selalu bermusuhan, seperti antara Perancis dan Jerman yang selalu
menyelesaikan masalah mereka dengan cara militer, menjadi lebih bersahabat.

Walaupun bagi kalangan liberalis, PLN dibuat dalam kondisi anarkis seperti dikatakan kaum
realis, kerjasama tetap mungkin dan ini seringkali dilakukan dan dilembagakan dalam
lembaga-lembaga internasional.

PLN saat ini, menurut Rosecrance ( Rosecrance, 1986 ), sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kesalingtergantungan ekonomi yang pesat. Negara tak dapat lagi egois
menggunakan kekuatan militer atau memaksa negara lain karena khawatir akan hukuman
yang dilakukan negara lain yang merugikan kepentingan ekomoni mereka. Negara dagang
sekarang lebih penting daripada negara militer. PLN yang mempertimbangkan share di pasar
dunia dalam nilai tambah untuk barang-barang dan jasa ini dimulai sejak 1970-an. Negara
tidak bisa lagi sendirian di dunia atau self sufficient. Lapis-lapis kesalingtergantungan
ekonomi di dunia sudah begitu kompleks, sehingga negara yang agresif akan mendapatkan
hukuman dalam komunis internasional ini ( Burchill, 2009:83).

LIBERALISME DAN PLN

Dalam hal PLN, liberalism sering dilihat menekankan aspek domestic atau disebut juga
inside-out approach. Dalam pendekatan inside-out, perilaku negara-negara dapat dijelaskan
dengan memeriksa pengaturan atau perjanjian dari dalam negara ( endogenous arrangements
). Khususnya ini berlaku seperti kaya Doyle, ‘ liberal democracies are uniquely willing to
eschew the use of force in their relations with one another’ ( Demokrasi liberal adalah
keinginan unik untuk menghindari penggunaan kekuatan dalam hubungan mereka dengan
yang lain), suatu pandangan yang menolak argumen realis bahwa sifat anarkis dalam system
internasional berarti negara-negara terperangkap dalam perebutan kekuasaan dan keamanan (
Linklater, 1993:29 )

Berikut ini dijelaskan beberapa tema dalam pandangan liberalisme yang berkaitan dengan
APLN, yaitu hak-hak asasi, pasar bebas, dan globalisasi. Pengaruh konsep-konsep dasar ini
mungkin belum begitu kuat, tetapi hal-hal ini, kini mulai terasa penting dalam perumusan
PLN suatu negara.

HAK-HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi manusia merupakan salah satu prinsip dasar dari liberalism. Menurut kaum liberal,
legitimasi politik dalam negeri bergantung pada penghormatan pada hukum dan hak-hak
asasi rakyatnya. Manusia dianugerahi alasan kemanusiaan dengan hak-hak dasar dan
perlindungan. Hak-hak ini terpatri dalam diri karena dibawa sejak lahir, tidak terpisahkan
karena hak-hak tersebut tidak dapat diambil, dan universal karena penerapannya berlaku
tanpa memandang bangsa, status, gender ataupun ras.

Jadi, tugas kaum liberal adalah mengembangkan dan mempromosikan standar moral
universal yang dapat mengurangi pengejaran kepentingan nasional yang egois. Perjuangan ini
telah berhasil dalam beberapa bidang, seperti hak-hak buruh, penghapusan perbudakan,
partisipasi politik wanita di Barat, perlakuan terhadap orang-orang pedalam dan asli dan
pengakhiran diskriminasi orang kulit putih di Afrika Selatan. Terciptanya instrument dan
lembaga pelindung hukum HAM di dunia internasional merupakan ukuran bagi kaum liberal
seperti Universal Declaration of Human Rights (1948), the International Covenant on Civil
and Political Rights (1966), the International Covenant on Ekonomic, Social and Cultural
Rights (1966), International Labour Organization (ILO) dan the International Courts of
Justice (ICJ).

PERDAGANGAN BEBAS

Prinsip penting lain dari liberalism yang mempengaruhi PLN suatu negara adalah
perdagangan bebas. Menurut kaum liberal, hanya perdagangan bebas yang bisa
memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dan memacu kompetisi yang akan mengarah pada
penggunaan sumber, orang dan modal sangat efisien.

Titik tolak utama dari teori perdagangan bebas adalah teori ‘keuntungan komparatif’ yang
menghendaki negara untuk menspesialisasikan diri pada barang dan jasa yang dapat mereka
buat dengan murah ( factor endowments ), walau tidak mendorong kemandirian negara.
Kepentingan diri dari satu menjadi kepentingan umum semua.

PENGARUH GLOBALISASI

Pandangan lain dari liberalism yang relavan dalam kajian PLN adalah dalam kaitan dengan
globalisasi. Globalisasi dianggap bersesuain dengan liberalism karena dianggap bagian
penting dari fase kapitalisme ( Held, et al., 1999)(Held & McGrew, 2000).

Sebagian kaum liberal mengatakan semakin tidak relavannya batas-batas nasional dalam
pelaksanaan kegiatan PLN terutama ekonomi.

Perkembangan persetujuan perdagangan bebas dan organisasi seperti NAFTA, Asia pacific
Economic Cooperation (APEC) dan WTO serta organisasi internasional yang makin penting
seperti G8 dan G20, the International Monetary Fund (IMF) dan World Bank adalah indikasi
pengaruh neo-liberalisme pada paska perang dingin (Burchill:75). Mereka adalah badan
internasional yang kuat yang membadani perdagangan bebas sebagai ideologinya. Lembaga-
lembaga ini telah membatasi pilihan kebijakan LN berbagai negara terutama negara yang
sedang berkembang. Negara-negara berkembang menilai lembaga-lembaga ini sebagai
penyelamat bagi kesulitan keuangan dan untuk memodernisasi ekonomi mereka.
Dalam bidang ekonomi, terutama keungan ini, PLN negara-negara dunia ketiga hampir
sepenuhnya harus melayani kepentingan global dan kedaulatan sudah hampir tak ada. Ini
dimulai dari volume moda yang besar yang dibebaskan menyusul runtuhnya system Bretton
Woods pada awal 1970-an. Sejak itu hubungan negara dan pasar mengalami transformasi.
Kredit (bonds and loans), investasi (Foreign Direct Investment, FDI) dan uang daripada
komoditas. Peningkatan dalam modal transnasional dan berkurangnya kedaulatan ekonomi
negara ini, menurut (Strange, 1966) (Strange,1998), merupakan realisasi paling dramatis dari
ide ekonomi liberal.
BAB IV

ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI GENERASI PERTAMA

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN DALAM PLN

Cikal bakal APLN dapat ditelusuri dari tulisan Harold dan Margaret Sprout 1957. Pasangan
suami-istri ini berbicara tentang pentingnya factor-faktor environment atau lingkungan atau
setting atau sering disebut juga milieu dalam melihat keputusan yang diambil dan
dilaksanakan oleh suatu negara (Sprout & Sprout 1957:49). Milieu ini berupa posisi
geografis, perkembangan sejarah, kondisi alam dan sumber alam. Lebih umum lagi, ia bisa
meliputi obyek yang dapat dilihat, lingkungan manusia atau bukan, yang tetap atau bergerak,
pola-pola social, termasuk juga lingkungan psikologis tempat keputusan itu dibuat.

Asumsi dasar teori Sprout berangkat dari hipotesis hubungan manusia dengan lingkungan
(man-milieu relationship). Menurut mereka, adala lima macam hubungan pengaruh-
mempengaruhi antara dua hal ini. Pertama adalah environmental determinism dimana
lingkungan mempunyai pengaruh mutlak pada manusia.

Kedua adalah hubungan free-will environmentalism dimana lingkungan ( terutama


lingkungan alam ) mempunyai pengaruh kuat pada manusia.

Tipe hubungan ketiga adalah environmental possibilism yang menganggap hubungan seperti
matriks yang membatasi hasil operasional keputusan.

Tipe hubungan keempat adalah cognitive behavioralism. Disini manusia bereaksi terhadap
lingkungannya sebagaimana ia mempersepsikan dan menginterpretasinya berdasarkan
pengalaman lampau.

Tipe hubungan terakhir adalah environmental probablism. Asumsi dasar tipe ini bahwa setiap
keputusan dijelaskan atau diramalkan berdasarkan kesesuaiannya dengan norma yang bersifat
hipotetik.

TEORI INTERNAL-EKSTERNAL SETTING DARI SNYDER, BRUCK DAN SAPIN

Salah satu pengkaji paling awal teori-teori politik luar negeri lainnya adalah Richard Synder,
H.W. Bruck, dan Burton Sapin yang diterbitkan pada tahun 1962. Jadi , dapat dikatakan
mereka adalah salah satu perintis atau bagian dari generasi pertama analisi politik luar negeri
yang mencoba membuka kotak hitam state yang dalam perspektif realism merupakan actor
utama yang memperjuangkan kepentingan nasional suatu negara tanpa perlu uraian lebih
lanjut.

Tujuan utama Snyder dkk adalah untuk memahami politik internasional melalui pemahaman
terhadap apa yang diputuskan dalam suatu negara.
Ketiga pengarang ini menekankan pentingnya ‘definisi situasi’ (definition of the situation )
yang dibuat oleh para pembuat keputusan. Definisi situasi yang dibuat atau dianggap relavan
oleh pera pembuat keputusan atau unit-unit keputusan yang berpengaruh pada negara X,
dibentuk atau dibangun berkisar pada ‘tindakan-tindakan yang diproyeksikan’ (projected
actions) dan ‘alasan-alasan bagi diambilnya tindakan’ oleh negara X dan juga negara-negara
lain (Synder, et a., 1962:59). Mereka mengatakan :

Karenanya adalah untuk menganalisis actor-actor (para pembuat keputusan resmi) dalam hal-
hal berikut:

(a). Pemilahan dan penghubungan obyek-obyek, kondisi-kondisi dan actor-actor lain


berbagai hal dipersepsikan atau diharapkan dalam suatu konteks relational

(b). Keberadaan, pembuatan atau definisi dari tujuan-yang diinginkan dari situasi

(c). Pengaitan signikansinya terhadap berbagai tindakan yang dihubungkan dengan situasi
mengikuti beberapa criteria pengiraan, dan

(d). Penerapan standards of acceptability yang

1. Mempersempit pilihan persepsi

2. Mempersempit pilihan obyek-obyek yang diinginkan, dan

3. Mempersempit jumlah alternative

(Synder. Et al.,1962:59)

PRE-TEORI DAN TEORI POLITIK LUAR NEGERI DAN ROSENAU

Teoritisi generasi pertama poltik luar negeri berikutnya adalah James N. Rosenau yang
menulis pada tahun 1966. Berbeda dengan Synder dkk yang mencoba mengkombinasikan
banyak factor internal dan eksternal yang bertanggung jawab pada pembuatan keputusan,
Rosenau mencoba lebih disiplin dengan membagi proses pembuatan keputusan dalam
tingkat-tingkat analisis dan para analisis dikehendaki untuk memfokuskan saja pada satu
tingkat analisis yang dianggap paling mempengaruhi politik luar negeri.

Kita akan membahas variable ini satu per satu ( Rosenau, 1966 ). Idiosinkrasi yang juga
kemudian sering disebut factor individual mungkin dapat diartikan sebagai sifat yang unik
dan special dari seorang pemimpin atau pembuat keputusan yang menentukan dan
menerapkan kebijakan diluar negeri

Rangkaian variable yang kedua adalah peranan yang terdiri dari peranan-peranan yang
ditempati oleh para pembuat keputusan yang harus dilakukan tidak peduli factor
ideosinkrasinya seperti apa.
Set variable berikutnya yang biasa mempengaruhi keputusan luar negeri adalah variable
pemerintahan. Ini berkaitan dengan struktur pemerintahan yang bisa mambatasi ataupun
meningkatkan pilihan-pilihan yang dibuat oleh para pembuat keputusan.

Kluster variable keempat adalah aspek diluar pemerintah yang ada dimasyarakat yang
mempengaruhi masalah internasional.

Variable yang terakhir adalah variable-variable system yang meliputi aspek-aspek non-
human dilingkungan eksternal suatu masyarakat atau tindakan-tindakan yang terjadi diluar
negeri yang mengondisikan atau mempengaruhi pilihan yang dibuat para pembuat keputusan.

MODEL-MODEL PEMBUATAN KEPUTUSAN GRAHAMT.ALLISON

MODE AKTOR RASIONAL

Dalam model actor rasional, perilaku negara digambarkan seperti actor individual rasional
dan sempurna yang umumnya diasumsikan memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap
situasi, dan yang mencoba untuk memaksimalkan apa saja nilai dan tujuan berdasarkan
situasi yang ada.

Dengan menggunakan model actor rasional, Allison menjelaskan kasus Krisis Misil Kuba
berikut. Presiden AS Jhon F. Kennedy pada tahun 1961 mengungkaplan bahwa Uni Soviet
memiliki jumlah ICBM yang lebih sedikit daripada yang mereka gembar-gemborkan.
Sebagai respon dari pernyataan ini Presiden Uni Soviet, Nikita Khrushchev, memerintahkan
instalasi misil nuklir jarak dekat di kuba. Jadi, Uni Soviet mengisi ‘kekurangan misil’ yang
disebut AS itu untuk memperkuat posisi dalam perang dingin. Mereka berani melakukan ini
karena dulu Kennedy tidak berhasil mendukung invasi Teluk Babi di Kuba. Berdasarkan
pengalaman ini, mereka percaya bahwa AS tidak akan memberikan respon yang keras.

MODEL ORGANISASI

Kemudian Allison menggunakan model kedua yaitu model organisasi untuk menjelaskan
kasus yang sama ini (Allison, 1971). Dalam model organisasi, para pembuat keputusan
bekerja dalam keterbatasan informasi dan waktu dan tidak mencari suatu pemecahan yang
optimal. Mereka hanya terlibat dalam perilaku untuk sekedar ‘memuaskan’ dan mencoba
untuk menemukan solusi yang memenuhi serangkaian tujuan (minimum) dan meminimalkan
risiko kegagalan. Birokrasi pemerintah mambatasi tindakan dan sering menentukan
keputusan akhir.

Allison menyebutkan beberapa kelemahan prinsip model proses organisasi, yaitu bila
dihadapkan dengan sebuah krisism, para pemimpin tidak melihat secara keseluruhan tetapi
menguraikan permasalahan itu mengikuti garis organisasi yang ada.

MODEL BIROKRATIK POLITIK ATAU POLITIK ISTANA


Allison mengajukan sebuah model ketiga yang memperhitungkan politik yang terjadi
dipemerintahan (istana) (Allison, 1971).

Menurut Allison, model ini adalah model yang paling baik. Tindakan suatu negara paling
baik dipahami sebagai akibat dari politicking dan negosiasi dari para pemimpin top mereka.
Bahkan jika para top leaders ini memiliki kesamaan tujuan, mereka berbeda dalah hal
bagaimana mencapainya karena factor-faktor seperti kepentingan dan latar belakang personal.
Demikian juga hal yang membuat mereka melakukan politicking adalah karena para
pemimpin ini memiliki tingkat kekuasaan yang berbeda berdasarkan pada charisma,
kepribadian, keahlian persuasi dan ikatan personal dengan para pembuat keputusan. Juga
karena kemungkinan salah komunikasi, salah pengertian dan ketidaksepakatan sejak awal,
sehingga pemimpin yang berbeda mungkin mengambil tindakan di mana kelompok secara
keseluruhan tidak menyetujuinya.

Dalam model birokratik politik ini, kasus diatas dilihat sebagai persaingan dan permainan top
leaders di kedua negara. Di AS, karena kegagalan invasi Teluk Babi, pada anggota. Partai
republic di Kongres menjadikan kebijakan di Kuba isu utama untuk pemilihan anggota
Kongres mendatang. Karena Kennedy langsung memutuskan untuk memberikan reaksi tegas
daripada melakukan upaya diplomatic, walaupun mayoritas anggota ExCom pada mulanya
lebih menyukai serangan udara, mereka yang paling dekat dengan Presiden-seperti
saudaranya dan Ketua Mahkamah Agung, Robert Kennedy, dan utusan khusus Theodore
Sorensen-mendukunh kebijakan blockade. Pada saat yang sama, Kennedy berbeda pandangan
dengan para penganjur serangan udara, seperti Jenderal AU Curtis LeMay. Setelah kegagalan
Teluk Babi, Kennedy juga tidak mempercayai CIA dan nasehat-nasehat mereka. Gabungan
dari situasi tarik ulur menyebabkan pilihan pada blockade.

KRITIK TERHADAP AKTOR RASIONAL DAN MODEL BIROKRATIK POLITIK


SEBAGAI ALTERNATIF

Ketika bukunya pertama dipublikasikan, pesan utama Allison adalah bahwa setiap konsep
saling menghancurkan sebagai halangan bagi perang nuklir tidak terbukti. Dengan melihat
model organisasi politik, keputusan berupa perang nuklir adalah mungkin-bangsa-bangsa,
bisa saja melakukan tindakan bunuh diri (commit suicide) dalam perang nuklir.

Sama halnya, model proses politik menjelaskan masalah yang nampaknya membingungkan.
Allison membrikan contoh keputusan General Douglas MacArthur untuk tidak mematuhi
perintah selama Perang Korea dan justru membawa tentara jauh ke utara. Alasannya adalah
bukan karena perubahan ‘rasional’ dalam tujuan AS, tetapi lebih karena ketidaksepakatan
MacArthur dengan Harry Truman dan para pembuat keputusan lainnya.

Sebagai kesimpulan. Dia mengatakan bahwa pengggunaan model actor rasional adalah
berbahaya.

Terhadap kritik Allison ini, para pengajur pendekatan rasionalis seperti Milton Friedman
mengatakan bahwa jika teori-teori harapan rasional (ratiaonal-expectation theories)tidak
menggambarkan realitas per se, teori-teori ini seharusnya dipertahankan karena mereka
memberikan prediksi yang akurat. Allison menanggapi bahwa Friedman tidak memberikan
cukup bukti yang menunjukan bahwa teori-teorinya sesungguhnya telah meramalkan sesuatu,
dan mengkritik argumennya sebagai tidak alamiah.

Allison juga dikritik keras karena menggunakan teori mengikuti asumsinya sendiri. Satu hal
yang paling sering dicatat adalah menurut model politiknya, dia mengatakan bahwa Kennedy
mestinya telah membuat kesepakatan ‘di bawah meja’ berkaitan dengan misil di Turki,
mungkin dengan menggunakan saudaranya sebagai wakilnya. Tetapi ketika rekaman
prosiding ExCom dirilis pada tahun 1990-an, memang bukti rekaman bahwa Allison
sepenuhnya benar, dan ini telah membungkan para pengkritiknya dan meningkatkan status
bukunya.
BAB V

ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI GENERASI KEDUA

APLN generasi kedua ini merupakan kelanjutan dari teori-teori yang sudah dirintis oleh para
pendahulu mereka digenerasi pertama. Perkembangan analisis pada generasi kedua ini secara
umum masih mengikuti teori-teori dan model-model yang telah dirinstis para analisis di
generasi pertama. Kajian mereka dapat dikelompokan pada dua kelompok, yaitu pertama,
mengembangkan pengaruh lingkungan pada politik luar negeri, yang juga bisa dikaitkan
dengan pengembangan kajian Rosenau dengan penekanan pada variable individu dan
kognitif, dan kedua berbagai pengembangan model organisasi dan birokratik pembuatan
keputusan.

KELANJUTAN KONSEP PENGARUH LINGKUNGAN, IDIOSINKRETIK DAN SISTEM


KEPERCAYAAN

Beberapa konsep psikologis berhasil dikembangkan lebih lanjut oleh generasi kedua ini
dalam kaitan dengan sikap personality individu maupub kelompok yang dirintis oleh Rosenau
dengan istilah variable idiosinkretik.

Analisis lain melihat penting nya persepsi dan salah persepsi dalam pembuatan keputusan.
Seperti dikatakan di muka, APLN mengkritik pandangan pembuatan keputusan rasional
dalam PLN. Simon (Simon , 1982) dan Braybrooke dan Lindblom ( Braybrooke & Lindblom,
1963) termasuk mereka yang pertama menjelaskan mengapa pembuatan keputusan rasional
sering gagal. Menurut Simon, ini disebabkan karena manusia memiliki ‘rasionalitas terbatas’
(bounded rationality) dan sekedar memuaskan satisficing.

Bounded menjelaskan keterbatasan psikologis dan intelektual manusia, seperti keinginannya


menyederhanakan masalah dunia, kecenderungannya untuk mencari jalan pintas dalam
menyimpulkan-yang kompleks pada saat yang sama.

Holsti dan Rosenau (O.R. Holsti & Rosenau, 1984) mengkaji perubahan consensus yang
berkembang dalam politik luar negeri AS setelah perang Vietnam. Menurut mereka, terjadi
karena dalam system kepercayaan dari yang melihat komunis sebagai ancaman utama
kepandangan yang beragam.

Tapi para analisi lain tidak setuju dengan pengelompokan ini dan menyimpulkan
pengelompokan system kepercayaan secara berbeda walaupun mereka melihat ada
perpecahan mendasar antara elit dan masyarakat secara umum tentang PLN AS. Wittkopf
(Wittkopf, 1990), (Kegley & Wittkopf, 1987), misalnya menyebut dua dimensi kritis dan
sikap elit ini, yaitu internasionalisme militant dan internasionalisme kooperatif yang bila
digabungkan akan melahirkan empat tipe sikap politik di antara para elit AS dan masyarakat
secara umum. Yaitu pada garis keras, para internasionalisme, para isolasionalis dan para
akomodasionis.
KELANJUTAN MODEL PERANAN ORGANISASI DAN BIROKRASI

Malalui penelitian terhadap beberapa negara, Hermann dan Hermann (M.G. Hermann &
Hermann, 1989) berhasil mengklasifikasi unit-unit keputusan utama untuk memudahkan kita
menganalisis pengaruh berbagai actor ini dalam perumusan kebijakan PLN. Mereka
menyebut ini unit keputusan utama mungkin, dengan asumsi adanya unit-unit keputusan lain
yang tidak utama yang hanya bisa mempengaruhi keputusan.

Pandangan Hermann dan Hermann ini sebenarnya menyimpulkan kajian-kajian awal sebelum
ini dalam melihat unit-unit atau actor-actor yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan
PLN. Perbedaannya adalah analisis sebelum ini lebih menekankan pada satu unit saja
misalnya peranan seorang pemimpin termasuk sifat personal, peranan kelompok kecil
dinamikanya ataupun peranan birokratik politik dimana terjadi pertarungan kepentingan
antara elemen-elemen dalam pemerintahan. Sebaliknya, Hermann dan Hermann ingin
menunjukan kondisi dan situasi seperti apa unit-unit dari tiga unit keputusan utama itu yang
paling berpengaruh.

Berikut ini akan dibahas satu per satu tiga macam unit-unit utama pembuatan keputusan ini.
Yang pertama adalah unit keputusan berdasarkan pemimpin domina. Unit utama keputusan
yang kedua disebut single group. Jika tidak ada orang yang bisa memutuskan sendiri maka
melakukan peranan seperti dalam jenis pertama, maka satu kelompok pemimpin akan
melakukan tugas itu. Factor-factor yang berlainan mempengaruhi tiap-tiap unit keputusan
utama diatas. Bila ada seorang pemimpin dominan, maka sifat personal individu itu, tingkat
sensitivitasnya terhadap lingkungan domestic dan internasional, dan system kepercayaannya (
belief system ) sangat penting. Walaupun factor-factor ini juga penting untuk tiap-tiap
anggota dari multiple autonomous actors, tetapi veriable lain, seperti keadaan hubungan
dalam kelompok, harus diperhitungkan.
BAB VI

KONSTRUKTIVISME DAN GENERASI KETIGA APLN

Pengertian dasar konstruktivisme

Sebenarnya konstruktivisme adalah reaksi terhadap realism dan terutama neo-realisme. Jadi,
sama seperti APLN yang merupakan reaksi terhadap realism, konstruktivisme lahir karena
ketidakpuasan terhadap pendekatan realism dalam menjelaskan perilaku negara termasuk
PLN.

Setidaknya ada tiga aspek umum konstruktivis ( Copeland, 2006 a : 3-4, 2006 b ) yang perlu
dijelaskan secara lebih sistematis.

Intersubjective understanding

Politik global dikendalikan ole hide-ide, norma-norma, konsepsi-konsepsi, asumsi-asumsi,


dan nilai-nilai yang secara luas dimiliki secara bersama-sama oleh para actor (secara
intersubjectif). Menurut Tannenwald (Tannenwald, 2005: 15), ‘ ide-ide adalah konstruksi
mental yang dimiliki para individu, yang memberikan orientasi luas terhadap perilaku dan
kebijakan’.

Hubungan struktur ide dan perilaku actor : Constitutive dan Regulative

Berbeda dengan neo-realis yang menaganggap struktur internasional mempunyai pengaruh


langsung terhadap perilaku negara, struktur internasional, yang bagi kalangan konstruktivis
disebut struktur ideasional, memiliki pengaruh yang membentuk (constitutive) dan mengatur
(regulative), bukan pengaruh langsung yang bersifat kausalitas terhadap actor-actor.

Lebih khusus lagi, seperti dikatakan oleh Nina Tannenwald, terdapat 4 tipe struktur atau
system ide dalam kaitannya dengan perilaku actor-actor, yaitu system-system ideologis atau
system kepercayaan yang dimiliki bersama, kepercayaan-kepercayaan normative,
kepercayaan sebab-akibat, dan preskripsi-preskripsi kebijakan ( ideologis of shared belief
systems, normative belief, cause-effect beliefs, and policy prescriptions).

Hubungan Agen dan Struktur

Struktur ideadional dan actor-actor atau agen-agen saling membentuk dan menentukan satu
sama lain. Struktur membentuk kepentingan dan identitas actor tetapi struktur juga di
produksi, direproduksi dan diubah melalu praktik terus-menerus dari para agen.

Berangkat dari kritik terhadap realis yang menganggap fenomena atau realitas internasional
tidak berubah dan selalu diwarnai dengan anarki dan konflik perebutan dan pengaruh dan
kekuasaan, konstruktivitas melihat dunia selalu dalam proses perubahan dan bahwa anarki,
seperti dikatakan Wendt, bergantung pada negara-negara atau what states make of it. Praktik
dan perilaku negara-negaralah yang mempengaruhi hasil, dan dunia social ini merupakan
sesuatu yang dikonstruksikan menjadi anarkis ataupun tidak.

Macam-Macam Aliran Konstruktivis

Ada beberapa aliran utama konstruktivis yaitu modernis, modernis linguistic ( kedua nya
sering juga disebut sebagai kontrustivis konvensional) dan kritikal ( termasuk
konstruktivisme radikal ).

Konstruktivis modern/konvensional

Konstruktivis modern mempunyai beberapa varian dan yang paling penting adalah varian
Amerika utara yang didominasi oleh ilmuwan AS. Mereka menekankan peran norma-norma
social ( yaitu pemahaman bersama-shared understanding yang berisi ‘keharusan’ ) dan juga
dalam kasus yang lebih sedikit pada peranan identitas (siapa kata) dalam membentuk tujuan-
tujuan internasional dan PLN.

Sebagai contoh adalah penelitian tentang kemampuan organisasi regional untuk


mempromosikan pemahaman-pemahaman tertentu atau norma-norma sebagai rujukan untuk
perilaku. Contoh yang lebih detail, kita lihat tulisan Wendt. Wendt tidak berbicara spesifik
tentang politik luar negeri, tetapi dari pembahasannya kita dapat menarik kesimpulan tentang
bagaimana negara berperilaku dalam hubungan dengan negara lain dan dalam hubungan
internasional.

Konstruktivisme Modern Linguistik: Kractochwill dan Onuf

Konstruktivisme modern linguistic yang sering juga disebut konstruktifis interpreatif


mencoba mengeksplorasi peranan bahasa dalam memerantarai dan membentuk realitas social.
Dengan kata lain, daripada mengkaji factor-factor apa yang menyababkan aspek-aspek
perubahan identitas negara sebagaimana yang dilakukan oleh konstruktifis konvensional,
konstruktifis interpretif akan mengeksplorasi kondisi-kondisi yang melatarbelakangi dan
konstruksi bahasa (wacana social) yang membuat perubahan demikian mungkin pada tempat
pertama. Dalam kajian terhadap identitas suatu negara, misalnya, tujuan utamanya adalah
bukan mencari pengaruh identitas terhadap tindakan negara tetapi untuk menunjukan isi dari
identitas negara dalam suatu kasus khusus.

Menurut Krachtochwill, orang mengikuti rules berdasarkan argumentasi. Krachtochwill


melakukan analisis terhadap legal reasoning karena parallel dengan wacana moral. Keduanya
menggunakan unsure heteronomy, yaitu memandang yang lain. Keduanya juga melibatkan
argumentasi tentang prinsip yang membawa pada penerapan norma-norma berdasarkan
prinsip ini. Adalah perlu untuk meneliti alasan-alasan yang dianggap dapat menerima karena
mengikuti aturan pada keadaan tertentu.

Dunia social dan politik dibuat melalui kepercayaan bersama lebih daripada sekedar entitas
fisik. Bagi para konstruktivis, itu mesti menjadi titik awal analisis walaupun tiap pemahaman
tentang politik dunia memerlukan teorisasi soal domestic dan sistemik, tidak ada teori system
tentang politik dunia karena politik dunia tidak memiliki system pra-dominan ; ia memiliki
sub-kultur, masih-masing dapat dipahami hanya dengan mengkaji bagaimana negara
membentuk dirinya dalam masyarakat.

Perkembangan Konstruktivitas dan APLN

Dalam perkembangan awal konstruktivis, terutama di kalangan konstruktivisme modern


seperti Alex Wendt, seperti diuraikan dimuka, negara masih dilihat sebagai actor utama
dalam politik luar negeri. Wendt menyebut negara seperti black box yng memiliki selain
collective identy juga corporate identy yang diberikan.

Namun dalam perkembangan, beberapa kalangan konstruktivis terutama dari kalangan


modern linguistic, seperti Onuf dan Krachtochwill diatas, menekankan pada pembentukan
aturan dan norma yang lintas batas tanpa memandang batas negara. Factor domestic lain bagi
konstruktivis adalah berupa sumber-sumber kognitif di masyarakat tentang pilihan atau
preferensi negara. Dalam hal bagaimana mengetahui apa yang ada dalam pemahaman para
pembuat keputusan, mereka mengatakan ,

“ The task is to construct at second hand, from what what the decision-maker says and does, a
description of his image, or estimate, of the situation and his orientation to it. The analyst
functions at some distance, often at a great distance, from his subject. He may have to
contend with linguistic, ideological, or other social barriers to communication and
understanding”

( Tugas dari para pengkaji PLN adalah membangun di tangan kedua, dari apa yang dikatakan
dan dikakukan oleh pembuat keputusan, penjelasan gambaran atau estimasinya, tentang
situasi dan orientasi untuk itu. Analisis berfungsi pada jarak tertentu, sering pada jarak yang
besar, dari subyeknya. Dia mungkin harus bersaing dengan hambatan social linguistic,
ideologis, atau lainnya untuk komunikasi dan pemahaman) ( Sprouts & S., :49

Beberapa Contoh Kasus APLN Konstruktivis

Berikut ini akan ditunjukan beberapa contoh penggunaan konstruktivis dewasa ini dalam
APLN. Yang pertama adalah tulisan Roxanne Doty tentang konstruksi social PLN AS
terhadap Filipina (Doty, 1993). Berbeda dengan APLN klasik yang memulai pertanyaan
dengan mengapa , ia memulai dengan pertanyaan bagaimana mungkin (how possible
questions), yang sifatnya konstitutif. Menurutnya, pertanyaan yang bermula dari kata
‘mengapa’ adalah tidak lengkap karena mereka menganggap kemungkinan suatu tindakan
tertentu diambil atau dapat terjadi sebagai bukan suatu persoalan (unproblematic). Pertanyaan
demikian belum apa-apa sudah mengistimewakan subyektivitas tertentu (suatu mode
keberadaan), latar belakang praktik dan makna diskursif/social yang memungkinkan praktik-
praktir dan actor-actor social itu sendiri.

Ted Hopf yang disebut dimuka adalah contoh lain yang digunakan berkaitan dengan APLN,
terutama dalam mengaitkan konstruktivis dengan APLN. Buku Hopf yang paling terkenal,
Social Construction of Internasional Politics, mungkin merupakan buku konstruktivis yang
paling termuka tentang identitas. Tulisannya dipengaruhi oleh psikologi kognitif. Ia
mengatakan, “ masyarakat diasumsikan terdiri atas struktur kognitif social tempat terjadinya
proses pembentukan diskursif. Identitas-identitas membentuk formasi (diskursif) itu. Para
individu memiliki banyak identitas, mereka berpartisipasi dalam berbagai kegiatan discursive
formations, dan praktik kehidupan social mereka membentuk (constitute) diri mereka sendiri
dan orang lain, serta identitas dan formasi diskursif yang membentuk struktur kognitif
dimana mereka hidup’ (Hopf, 2002 : 3-4).

Konstruktivis ketiga yang dijadikan contoh disini adalah Jutta Weldes yang mengangkat
konsep kepentingan nasional. Tetapi bebeda dengan konsep realis yang manganggap
kepentingan nasional hanya sebagai sesuatu yang ditemukan, ia menganggap bahwa
kepentingan nasional adalah konstruksi yang diciptakan sebagai obyek yang bermakna
melalui makna-makna yang secara intersubyektif dan budaya sudah mapan dalam mana
dunia, khususnya system internasional dan tempat negara didalamnya, bisa dipahami. Lebih
khusus lagi, kepentingan nasional muncul dari representasi atau melalui deskripsi situasi dan
definisi masalah dimana pejabat-pejabat memahami dunia di sekitar mereka.

Dalam contoh yang lain lebih sedernaha, dengan pendekatan konstruktivis yang diuraikan di
atas, kira dapat melihat perubahan kebijakan diplomasi Indonesia terhadap Malaysia dalam
menyelesaikan sengketa perbatasan. Dalam pandangan APLN tradisional, pemerintah
Indonesia telah mengubah strategi diplomasi dari menggunakan lembaga internasional seperti
internasional court of justice (ICJ) ke cara bilateral karena salah strategi. Strategi baru ini
dipandang dapat mempertahankan kepentingan nasional Indonesia untuk menjaga pulau-
pulau dan batas wilayah laut dari ancaman Malaysia. Strategi yang lama telah gagal
mewujudkan kepentingan menjaga pulau itu karena oleh ICJ, Indonesia diputuskan kalah.
Walaupun tidak nengubah strategi dialog ke strategi perang, Indonesia sekarang
menginginkan dialog liberal, di mana Indonesia merasa lebih mempunyai kekuatan untuk
mengontrol dan mengendalikan perundingan, atau artinya tidak powerless sewaktu berunding
melalui mediasi ICJ. Analisis demikian tentu saja logis, karena mempertimbangkan power
yang dimilki Indonesia.

Contoh lain diuraikan oleh Checkel (2008: 75-76) berikut ini. Para konstruktivis bertanya apa
yang memotivasi NGO untuk bertindak? Jawabannya adalah jelas yaitu prinsip moral atau
nilai-nilai dan norma-norma bersama yang dimiliki. Dalam logika pandangan ini Amnesty
Internasional misalnya bertindak bukan lah berdasarkan pertimbangan materi yaitu
mendapatkan uang melalui kegiatannya, tetapi untuk mempromosikan nilai-nilai HAM ke
seluruh dunia. Sudah banyak studi lain tentang peranan NGO dalam berbagai bidang
dilakukan dari perspektif konstruktivis seperti lingkungan hidup, HAM dan kebijakan
keamanan. Mereka melihat pengaruh pada actor lain kebijakan negara ( Risse-Kappen, et a.,
1999) : (Evangelista, 1999
BAB VII

ETIK DAN POLITIK LUAR NEGERI

Makna Perspektif Etik Dalam HI

Ilmuwan HI telah member perhatian pada teori normative dan etik dimasa lampau (Beitz,
1979), (Brown, 1993), (Frost, 1996). Para pembuat keputusan yang melangkah dalam
realisme cenderung meremehkan teori normative dengan alasan bahwa : (1) kepentingan
nasional seharusnya menjadi landasan PLN dan mendiskusikan etik tidak sesuai, (2) sebagai
akibatnya perdebatan tentang teori normative sering dipisahkan dari perdebatan pejabat
pemerintah tentang kebijakan. Sekarang, ketika pemerintah dan organisasi secara ekplisit,
menyatakan pentingnya landasan etik bagi PLN setiap negara, para pembuat keputusan dapat
dan seharusnya menggunakan pencerahan yang diberikan oleh teori normative.

Prinsip-prinsip etik adalah luas dan prinsip itu tidak selalu menjelaskan apa hal terbaik yang
harus dilakukan dan system etik juga tidak mengatur masalah ini, atau jika system itu
berkenaan dengan nilai, system itu tidak mengurutkan mana yang lebih penting. Dalam HI,
perdamaian sering dilihat sebagai nilai petinggi tinggi, tapi seringkali dilanggar oleh masalah
keadilan dan mereka yang ingin melakukan kebaikan.

Dalam kenyataannya, sedikit pembuat keputusan yang menjawab itu adalah urusan mereka,
pertanyaan selanjutnya kadang-kadang menjadi urusan mereka, pertanyaan selanjutnya
adalah pada koalisi apa itu menjadi urusan mereka dan siapa yang memutuskan seharusnya
kondisi penjualan itu seperti apa ? Pertanyaan tentang siapa yang memutuskan kondisi
membawa ke pertanyaan lain tentang apakah etik HAM dan PLN itu universal atau berbeda
daru suatu budaya ke budaya lain? Pengikut relativisme budaya meyakini bahwa bahwa etik
terikat budaya dan apa yang disebut sebagai HAM universal hanya norma Barat yang telah
dipaksakan pada negara-negara dan kultur yang berbeda.

Perspektif Komunitarian dan Konsekuantalis

Para konsekuantalis menilai tindakan melalui pertimbangan hasilnya. Konsekuantalis adalah


pandangan teleologis dimana suatu tindakan dihitung hanya dari akibatnya.

Ada beberapa pendekatan konsekuantalis dan yang paling umum adalah utilitarianisme yang
menggabungkan prinsip teleological konsekuantalisme dengan prinsip utility yang
memaksimalkan kesejahteraan manusia seperti kebahagian dan kesenangan. Utilatarianisme
menilai tindakan melalui hasil yang diharapkan dalam pengertian kesejahteraan manusia dan
prinsip ‘kebaikan paling baik’ (berasal) dari jumlah yang paling besar (greatest good of
greatest number).

Yang juga termasuk komunitarianisme adalah pandangan para pluralis. Walaupun mengakui
adanya anarki, penyokong pluralism menganggap bahwa negara-negara masih bisa
bersepakat tantang nilai-nilai dasar standar untuk hidup bersama. Nilai-nilai itu misalnya nilai
untuk saling menghormati satu sama lain, tidak intervensi, mengikuti praktik diplomasi dan
penghormatan terhadap hukum internasional

Perspektif Kosmopolitan dan Deontologis

Akar pandangan cosmopolitan adalah pandangan deontologist yang berpendapat bahwa


moralitas adalah universal dan bahwa aturan dan kode moral dapat diberlakukan pada tiap
orang. Deontology berkaitan dengan sifat tugas dan tanggung jawab manusia.

Kaum deontologist berpendapat bahwa tujuan tidak pernah membenarkan/menghalalkan cara


atau sarana. Ada dua macam teori deontology yaitu act-deontology yang mamandang tiap-
tiap tindakan sebagai kesempatan etik yang unik dan bahwa orang memutuskan apakah
sesuatu itu sesuai moral melalui kesadaran atau dengan memilih aturan-aturan yang ada.
Yang kedua adalah rule-based deontology yang berangkat dari seperangkat prinsip atau
aturan untuk menentukan benar atau salah. Rule-based deontology menerima prinsip
keuniversalan.

Solusi Kosmopolitan dan Komunitarian

Pandangan cosmopolitan dan komunitarian berangkat dari pendekatan deontological dan


consequentialist. Para analis, pengamat dan teoritisi lebih menyukai pendekatan
deontological atau pendekatan sesuai aturan (rules-bases), sementara para pembuat keputusan
dan praktisi lebih menggunakan pendekatan consequentialist atau pendekatan berdasarkan
tujuan atau hasil yang akan dicapai (ends-based)

para ansisis dan teoritisi menginginkan suatu pendekatan yang mematuhi aturan yang
menjamin tanggungjawab moral lebih besar. Mereka menekankan tugas, maksud yang baik
dan perilaku moral. Pendekatan deontology yang digunakan menekankan motif di balik tiap
keputusan. Sebaliknya, para praktisi dan para pembuat keputusan mengatakan bahwa PLN
yang dilandasi dengan tujuan lebih realistic. Para pembuat keputusan harus mengevaluasi
apakah tujuan PLN berhasil atai tidak dihadapan masyarakat domestic.

Tiga dimensi pendekatan etik bisa diperkuat dengan politik yang bijak atau hati-hati. Ada tiga
hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan hal ini. Pertama, karena manusia memiliki
kesempatan untuk berbuat jahat, kebijakan yang politis harus menempatkan moralitas di atas
kesempatan. Kedua, kepemimpinan moral yang bergantung pada integritas moral individu
juga penting termasuk aspek legitimasi moral individu. Ketiga, kebijakan yang prudence
harus mempertimbangkan keadaan, menyeimbangkan untung-rugi serta prinsip dan
kepentingan.

PLN ETIK SEBAGAI TUJUAN DAN SARANA

Setalah melihat apa yang dimaksud etik dalam kaitan dengan HI dan perbincangan posisi dan
perkembangan etik di dunia internasional, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana etik
mempengaruhi PLN. Ada tiga pandangan utama disini, yang pertama adalah bahwa etik
mempengaruhi PLN secara otomatis di mana negara-negara, karena kesadarannya,
mengambil pilihan PLN yang etik, seperti mempromosikan demokrasi dan hak-hak asasi
manusia. Motivasi diri dalam ini yang secara sekarela dan tidak mementingkan diri sendiri
sering disebut dengan sikap altruistic.

Motivasi kedua adalah karena paksaan, yaitu negara melakukan PLN yang bermoral karena
ada paksaan dari negara besar atau organisasi internasional. Tekanan juga bisa dating dari
kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri. Ada pandangan yang ketiga, yaitu gabungan dari
sifat egois mementingkan diri sendiri dan motif sukarela. Andrew Linklater mengatakan
bahwa negara-negara yang menerapkan PLN etik menempatkan kesejahteraan masyarakat
internasional diatas kepentingan nasional mereka sendiri. Dunne and Wheeler juga
mengatakan bahwa negara dikatakan sebagai warga internasional yang baik tidak hanya
menjaga keteraturan dengan mengikuti aturan masyarakat internasional diatas kepentingan
politik dan kepentingan sempit, tetapi juga meninggalkan kepentingan-kepentingan ini kalau
bertabrakan dengan hak-hak asasi manusia.

Politik luar negeri yang etis juga memerlukan dukungan atau control dalam negeri. Mesti ada
individu dan kelompok-kelompok yang selalu siap mengontrol dan menyuplai pandangan
kepada pemerintah. Kekuasaan pemerintah untuk bertindak secara mendasar bergantung pada
kemampuan untuk memberikan justifikasi efek terhadap kebijakan-kebijakannya.
Pengungkapan masalah atau kritik terhadap kesenjangan antara justifikasi dan pelaksanaan
PLN oleh pemerintah dapat memaksa pemerintah sebagaimana Brown, Picken, Dunne, dan
Wheeler mengatakan pemerintah Buruh di Inggris mengalami tekanan yang demi kian.

Satu masalah disini yang diangkat oleh Dunne dan Wheeler adalah kurang nya dukungan
PBB terhadap sanksi NATO. Menurut mereka, Inggris seharusnya terlibat lebih jauh dalam
mengatakan alasan bagi legitimasi intervensi kemanusiaan unilateral ini yang dilakukakan
tanpa otorisasi PBB.

Inggris semasa pemerintahan Partai Buruh pernah menyatakan akan mengimplementasikan


PLN dengan dimensi etik, yaitu mempromosikan HAM dan bahwa penjualan senjata harus di
review untuk memastikan bahwa senjata itu tidak digunakan untuk melanggar HAM.

DUNIA YANG LEBIH DAMAI : KE ARAH PLN YANG ETIK

Keyakinan liberalism tentang kemanusia manusia untuk memperbaiki kondisi moral dan
material hidupnya agaknya tumbuh kembali, seperti juga dulu kebiasaan koboi Amerika
berduel dan perbudakan pelan-pelan secara moral tidak dapat diterima. Sementara perang
juga dipandang makin menjijikan, immoral, dan tidak beradab. Bahwa kekerasan secara
umum dipandang sebagai bentuk anakronis dari hubungan social, itu bukan karena adanya
perubahan dalam nature manusia atau struktur system internasional. Menurut Mueller, itu
adalah produk dari pelajaran moral, suatu perubahan dalam kesadaran etik menjauh dari
bentuk-bentuk kekerasan pemaksaan dalam perilaku social.
Dalam perkembangannya, salah satu dimensi etis dalam PLN yang paling kental adalah
dalam hal aturan, hak dan kewajiban sebelum dan saat perang. Banyak pengamat barat yang
menulis permulaan aturan ini dari Kongres Vienna 1815, tetapi aturan itu sebenarnya telah
dibuat semasa perang orang-orang Islam dibawan Nabi Muhammad dengan orang-orang
Quraisy pada tahun ketika orang-orang Muslim dating untuk menaklukan kota Mekkah di
Arab Saudi.

Akhir perang antara negara-negara besar mungkin memiliki pengaruh terhadap melemahnya
kekauan batas-batas politik dan menginspirasikan suatu gelombang revolusi subnasional
walaupun gelombang baru terror anti-Barat bisa merumitkan persoalan karena mendorong
negara untuk memperkuat perbatasan mereka dan membuat tuntutan loyalitas lebih besar dari
warga. Jika perang merupakan kekuatan yang mengikat dan menghancurkan dalam HI,
masalah menjaga masyarakat yang kohesif akan menjadi tantangan utama bagi pusat-pusat
metropolitan.
BAB VIII

PENUTUP

Kesimpulan

BAB II adalah tentang PLN dalam perspektif realisme. Walaupun APLN sebenarnya kritik
terhadap realisme, bagaimanapun kita harus membahas bagaimana PLN dalam perspektif
realisme, karena sampai sekarang realisme masih merupakan pendekatan pandominan dalam
menjelaskan perilaku PLN suatu negara.

BAB III adalah tentang liberalisme dan PLN. Seperti realism, liberalisme juga cukup
dominan dalam APLN. Apalagi perkembangan dewasa ini dimana perdagangan bebas dan
demokrasi menjadi dasar utama liberalisme semakin dominan dalam politik internasional.
Liberalisme mengasumsikan bahwa PLN dipengaruhi oleh tipe system ekonomi dan politik
yang digunakan suatu negara.

BAB IV membahas munculnya genera si pertama dalam APLN. Seperti diuraikan secara
ringkas, kemunculan APLN adalah kritik terhadap realism yang memfokuskan pada state
sebagai actor utama.

BAB V berkaitan dengan analisis PLN dalam pandangan generasi kedua. Ini merupakan
kelanjutan dari paradigm APLN yang dikembangkan pada generasi pertama.

BAB VI membahas PLN dalam perspektif konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme


dapat dimasukan sebagai bagian dari generasi ketiga APLN.

Bab VII adalah tentang etik dan politik luar negeri. Pembicaraan etik sering dilupakan dalam
APLN karena dianggap tidak relavan dalam dunia yang realis dan anarkis.

Anda mungkin juga menyukai