Pengaruh Budaya dan Institusi dalam Pembentukan Kebijakan Luar Negeri
Pada minggu kali ini bahan bacaan yang saya gunakan adalah buku dari Laura Neack yang berjudul Studying Foreign Policy Comparatively chapter 5. Chapter 5 membahas mengenai national culture, roles, and institutions. Neack memulai bahasan dengan studi kasus Brexit, yaitu keluarnya Inggris dari European Union. Dengan adanya kesepakatan baru tersebut, terdapat beberapa kebijakan yang juga mengikuti antara Inggris dengan anggota negara European Union lainnya, seperti mengenai pajak atau bea, visa, dan lain sebagainya. Pada studi kasus tersebut, terdapat istilah tribal politics yang digunakan untuk mendiskusikan politik di wilayah Eropa dan Amerika. Tribe berarti sesuatu yang antiglobal dan nonmodern. Istilah tersebut digunakan oleh pihhak yang tidak setuju dengan globalisasi. Selanjutnya, Neack menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri yang dianalisis menggunakan level of analysis negara melibatkan banyak fitur berbeda dari negara tersebut yang membentuk kebijakan luar negeri itu sendiri. Dua faktor yang digunakan tersebut adalah pemerintah dan sosialnya. Yang dibahas dalam faktor pemerintah ialah sistem politik, kerja sama, tipe rezim, bagaimana keputusan diambil dalam pemerintahan, pembagian kekuatan dan otoritas dalam institusi pemerintahan, birokrasi, dan ukuran dari institusionalisasi. Sedangakan faktor sosial meliputi sistem ekonomi, sejarah penduduk, etnis, ras, agama, jumlah kelompok kepentingan dan partai politik, serta peran media dalam membentuk agenda publik. Perlu diketahui bahwa kedua faktor tersebut bersifat non-ekslusif. Bahasan selanjutnya ialah state type and foreign policy. State type didefinisikan dengan atribut yang dapat diukur, seperti sistem politik, serta atribut yang tidak dapat diukur, yaitu budaya dan identitas nasional. Rosenau memiliki hipotesa mengenai tiga atribut nasional yang menjadi salah satu patokan dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Yang pertama adalah ukuran. Ukuran negara diukur dari besar kecilnya populasi penduduk di negara tersebut. Lalu terdapat faktor sistem ekonomi yang dibagi menjadi dua, yaitu berkembang dan maju yang diukur melalui GDP. Faktor terakhir adalah sistem politik (demokrasi atau tidak). East dan Hermann memiliki pendapat lain mengenai hipotesis Rosenau. Mereka berpendapat bahwa konsep tersebut sebenarnya tidak diperlukan untuk menganalisa negara karena aktivitas kebijakan luar negeri sangatlah beragam dan berbeda-beda. East dan Hermann memiliki pemikiran lainnya, yaitu bahwa ukuran fisik negara sangat menentukan sikap yang akan diambil negara tersebut. Selain ukuran, faktor penting lainnya adalah akuntanbilitas politik, terutama jika dikombinasikan dengan perkembangan ekonomi. Dalam bahasan ini juga terdapat teori perdamaian demokrasi atau democratic peace theory yang mengusulkan bahwa budaya negara demokratis dan institusi politik yang dihasilkan membuat negara tersebut lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku kebijakan luar negeri yang damai, terutama terhadap negara-negara demokratis lainnya. Sub-bab selanjutnya adalah national self-image dan role conception. National self- image merupakan sebuah teori yang menjelaskan bagaimana masyarakat suatu negara memandang diri mereka sendiri, siapa mereka di mata dunia, dan apa yang negara mereka lakukan di dunia. Teori tersebut dapat tersebar melalui narasi nasional. Teori tersebut mirip dengan teori Holsti yang berjudul role theory yang mendeskribsikan bagaimana individual memegang posisi di sistem sosial yang menentukan sikap mereka. Ketika role theory diterapkan dalam politik internasional dan negara, kedaulatan menjadi salah satu force yang ikut membentuk gagasan. Holsti juga berpendapat bahwa sikap kebijakan luar negeri merupakan hasil dari politik atau sumber domestik, bukan dari ekspektasi dari negara lain dalam lingkup internasional. Ketika menggunakan konsep tersebut, konsep subnational narratives tidak dapat dihindari. Konsep subnational narratives menceritakan cerita yang berbeda mengenai bagaimana grup subnational berjuang melawan grup dominan serta naratif yang mereka bawa. National self-image dapat dipahami sebagai sebuah belief set dari negara tertentu, dan belief set tersebut mengandung infomasi yang tidak cocok dengan self-image nasional yang positif. National self-image mengandung pesan subjektif (implisit atau eksplisit) tentang pandangan bahwa orang-orang di luar negara tidak baik dan orang di negara kita baik. Hal tersebut biasanya didampingi dengan attribution bias (pandangan bahwa negara kita melakukan hal-hal baik karena kita adalah orang baik, tetapi bila kita melakukan hal-hal buruk itu karena kita terpaksa). Sub bab selanjutnya adalah political culture and foreign policy institutions. National self-image yang terpelihara harus menetapkan norma dan harapan yang mendasari institusi politik yang dibangun oleh kelompok dalam untuk mempromosikan kepentingannya. Neack menggunakan beberapa konsep dalam studi kasus pada sub bab ini. Yang pertama adalah konsep conscription dimana negara mewajibkan rakyatnya untuk wajib militer dengan tujuan menyiapkan kebutuhan dan kekuatan militer. Selanjutnya, Neack menggunakan negara Swiss sebagai studi kasus. Swiss memiliki image netral. Image netral itu sendiri merupakan kebijakan bahwa suatu negara tidak akan memihak dalam perselisihan internasional atau membentuk aliansi militer dengan siapapun. Sikap tersebut menunjukkan bahwa Swiss memiliki postur nonprovocative defense. Bahasan yang terakhir adalah the democratic peace. Gagasan tersebut percaya bahwa budaya dan institusi membentuk kebijakan luar negeri. Penjelasannya dibagi menjadi dua. Penjelasan pertama menekankan bahwa budaya dari demokrasi, dan penjelasan kedua menekankan struktur institusi domestik. Penjelasan mengenai budaya demokrasi mengusulkan bahwa demokrasi liberal lebih cinta dama daripada negara lain karena norma mengenai metode penyelesaian konflik yang tepat yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan penjelasan kedua menekankan keterbatasan kelembagaan pada pengambil keputusan kebijakan luar negeri. Pembagian dan pengawasan kekuasaan di dalam pemerintahan demokratis dan pengekangan terakhir dari pemegang jabatan yang harus menghadapi pemilih dalam pemilihan reguler melarang perilaku kebijakan luar negeri yang keras. Pertanyaan: Neack menjelaskan bahwa national self-image mengandung pesan bahwa negara “kita” adalah baik, dan negara lain tidak sebaik negara “kita”. Apakah konsep tersebut dapat menjurus ke etnosentrisme? mengingat terdapat kemiripan di antaranya keduanya.