Anda di halaman 1dari 21

RESUME BUKU KEBIJAKAN PUBLIK

(PROSES, ANALISIS DAN PARTISIPASI)


Prof. Muchlis Hamdi, MPA, Ph.D

OLEH :

NAMA : MOH. ZAINUDDIN AKBAR


KELAS : B3
NO ABSEN : 09
NPP : 30.1091
BAB I BINGKAI PROSES KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan publik merupakan salah satu output atau hasil dari proses penyelenggaraan
pemerintahan, di samping pelayanan publik, barang publik, dan regulasi. Oleh karena itu,
substansi dan proses kebijakan publik akan selalu berkaitan dengan berbagai aspek keberadaan
pemerintahan, terutama dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan.
Bentuk negara memberi pengaruh pada substansi dan proses kebijakan publik, terutama karena
peranan negara sebagai wadah dari proses kebijakan publik. Suatu negara merupakan bangunan
pengelolaan kekuasaan, yang strukturnya akan menjadi saluran bagi mengalirnya proses
kebijakan, demikian juga dengan bentuk dan sistem pemerintahan. Kedua aspek tersebut menjadi
pembingkai bagi dinamika proses pembuatan kebijakan publik.

A. Bentuk dan Fungsi Negara

Negara umumnya dipahami sebagai organisasi politik, yang didefinisikan secara


bervariasi oleh banyak ahli. Negara, menurut Znaniecki (1952: 20), merupakan masyarakat
politik yang mempunyai sistem hukum yang berlaku umum dan suatu pemerintah yang
independen dan terorganisir yang mengontrol semua orang yang bermukim pada suatu wilayah
tertentu. Negara juga dipahami sebagai entitas politik yang mengklaim suatu monopoli mengenai
penggunaan kekerasan (violence) dalam suatu wilayah (Henslin, 1996: 267).

Pendapat lain dikemukakan oleh Max Weber (dalam Fukuyama, 2004: 8) yang
mendefinisikan negara sebagai suatu komunitas manusia yang berhasil mengklaim monopoli
penggunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah tertentu (a human community that
(successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given
territory). Sifat monopolistik dalam tersebut secara mendasar menjadi pembeda antara negara
sebagai suatu penggunaan kekuasaan organisasi dengan pelbagai bentuk organisasi lainnya yang
dibentuk oleh manusia. Sifat monopolistik itu pula yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi perilaku penyelenggara negara.

Dari pendapat Ole Borre & Michael Goldsmith tersebut, paling tidak negara
melaksanakan empat fungsi utama. Pertama, negara sangat berkepentingan dengan persoalan
pertahanan untuk melindungi dan membangun wilayah negara. Dalam konteks Indonesia, fungsi
negara berkaitan dengan pertahanan tersebut dirumuskan dalam kalimat melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia." Pandangan yang disampaikan oleh Ole
Borre & Michael Goldsmith memberikan penekanan yang jelas bahwa fungsi perlindungan atau
proteksi terhadap wilayah negara bukan semata-mata berhenti pada pertimbangan
mempertahankan kedaulatan negara, tetapi juga berisi makna promosi wilayah negara, dalam arti
menciptakan suasana bangsa yang terjaga untuk berkembang secara maksimal.

Kedua, dalam suasana bangsa yang terjaga dan rakyat yang terbangun, maka fungsi
negara berikutnya adalah menjamin terciptanya rasa aman bagi masyarakat. Ole Borre &
Michael Goldsmith menyebut rasa aman tersebut dengan istilah keamanan eksternal (external
security). Dengan fungsi ini, negara melakukan tindakan untuk memastikan bahwa bingkai
perilaku yang telah disepakati bersama dalam bentuk peraturan perundang-undangan diikuti oleh
setiap warga negara dan penduduk negara pada umumnya. Kegiatan ini disebu sebagai kegiatan
penegakan hukum (law enforcement). Selanjutnya, sejalam dengan perkembangan negara dan
pertumbuhan ekonominya, negar mengemban fungsi yang ketiga, yakni fungsi kesejahteraan.
Fungsi ini muncu karena perkembangan negara dan pertumbuhan ekonomi mendoron munculnya
pula tekanan pada negara untuk menerima tanggung jawa bagi kesejahteraan penduduknya, yang
menurut Ole Borre & Micha Goldsmith, terutama berupa penyediaan keamanan masyarakat,
pendidik dan pelatihan, perumahan, atau aktivitas kebudayaan.

Dalam kontitusi Indonesia, fungsi ini dirumuskan dalam kalimat "memajukan kesejahtera
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa." Fungsi negara yang terakhir atau yang kempat
menurut Ole Borre & Michael Goldsmith adalah tung berkaitan dengan legitimasi ideologi dan
simbol. Pelbagai bentuk dari legitimasi tersebut adalah dukungan budaya untuk museum dan
gedung kesenian, atau dukungan bagi tim sepakbola nasional, yang kesemuanya dimaksudkan
untuk mempromosikan identifikasi warga negara dengan masyarakatnya. Dalam praktik
pemerintahan modern, um kesenian atau tim olahraga nasional menjadi simbol eksistensi suatu
negara. Bahkan pada tingkat tertentu, tim sepakbola suatu negara, misalnya, menjadi duta negara
tersebut untuk dikenal dan diterima oleh negara lain dan masyaraka dunia. Dalam konteks ini,
tim sepakbola telah menjadi saluran diplomasi dalam kehidupan internasional yang sangat
signifikan. Dalam konteks Indonesia, fungsi negara yang berkaitan dengan kehidupan
internasional dimaknai dengan nilai yang lebih luas, yang dirumuskan dalam kalimat "ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan Seraya
menyatakan tentang keempat fungsi negara tersebut, Ole Borre & Michael Goldsmith (dalam
Borre & Scarbrough, 1998: 5) menegaskan pandangan mereka tentang faktor penting bagi negara
untuk menciptakan suatu negara kesejahteraan', yakni pertumbuhan ekonomi. Pendapat tersebut
mereka kemukakan dengan mengutip pandangan Wilensky (1975: xin yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi dan dampaknya secara demografis dan birokratis adalah sebab dasar bagi
kemunculan umum negara kesejahteraan.

Dari berbagai pendapat tersebut jelas terlihat bahwa negara pada hakikatnya adalah
organisasi kekuasaan, dan kebijakan publik adal gambaran dari hasil pengelolaan kekuasaan
negara. Dalam pemahama tersebut, jelas juga terlihat bahwa struktur organisasi negara menjad
penentu dari karakter proses kebijakan publik.

Dalam konteks kehidupan bernegara, pedoman bagi pembentukan strukur organisasi


negara tersebut termost dalam konstitusi negara, yang kemudian diikuti pengaturannya lebih
lanjut dalam hierarki peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi . Pada dasarnya,
konstitusi adalah hukum dasar tertulis tertinggi di suatu negara. Dengan makna itu, maka
konstitusi menjadi sumber hukum dari semua tindakan pengaturan negara. Namun demikian,
dalam praktik, pengaturan struktur negara juga dilakukan tanpa rujukan yang spesifik yang
termuat dalam konstitusi.

Pemahaman terhadap dimemi struktur dari negara akan memudahkan pemahaman


terdapatnya perbedaan dalam proses kebijakan publik. Kajan tentang negara umumnya
membedakan bentuk negara atas negara federal dan negara kesatuan.

Negara federal adalah negara dengan dua konstitusi, yakni konstit federal dan konstitusi
negara bagian. Kedua konstitusi tersebut memiliki legitimasi yang sama pada masing-masing
yurisdiksi penerapannya. Dengan demikian, pada negara federal, kebijakan publik akan memiliki
variasi yang tinggi, terutama pada lingkup regional dan lokal.
Kecenderungan tersebut pula yang dapat membangun pemikiran bahwa negara federal
merupakan tempat persemaian dan pengembangan demokrasi yang sesuai. Atas landasan
pemikiran tersebut, terbangun pula pandangan bahwa proses kebijakan publik di negara federal
cenderung aspiratif dan partisipatif,

Pada sisi lain, di negara kesatuan hanya terdapat satu konstitusi, yakni konstitusi
nasional. Dalam konstitusi nasional tersebut diatur tentang keberadaan pemerintahan daerah, di
samping pengaturan mengenai pemerintahan nasional. Dalam negara kesatuan, pemerintahan
daerah adalah ciptaan pemerintahan nasional dan oleh sebab itu, maka hubungan antara
pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah bersifat hierarkis.

2. Bentuk pemerintahan

Secara umum ada dua yakni kerajaan dan republik. Dalam negara yang berbentuk
republik, jelas tergambar kekuasaan rakyat menjadi unsur utama mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dalam suatu republik, rakyat membuat kebijakan publik, baik secara tidak
langsung melalui lembaga perwakilan rakyat maupun secara langsung dengan menggunakan hak
inistiaf dan referendum. Sebaliknya, dalam negara berbentuk kerajaan, derajat dan lingkup
partisipasi rakyat dalam proses kebijakan publik relatif lebih terbatas. Keterbatasan tersebut
bermula dan tak terhindarkannya pengakomodasian kelompok elitis (baca kelompok kerajaan
yang dibedakan dari kelompok masyarakat luas.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan disadari pentingnya legislatif, perananan


kelompok kepentingan, corak hubungan antara pemerintah dan rakyat, cara permunculan
pemimpin negara, keberlakuan konstitusi atau konvensi, nilai dan praktik demokradi atau
otoriter.

C. Sistem pemerintahan

Sistem presidensial adalah sistem pemerintahan dimana funga kep negara dan kepala
pemerintahan dijabat oleh presiden. Dalam si presidensial tidak dikenal jabatan perdana menteri.
Presiden dalam sistem presdiensial umumnya dipilih melalui pemilihan umum (pem Oleh karena
itu, dalam sistem presidensial tersebut, eksekutif tidak da dijatuhkan oleh legislatif atau
sebaliknya, presiden tidak dapat menjatuhka legislatif. Para menteri diangkat oleh presiden dan
bertanggung jawa kepada presiden. Dalam sistem presidensial, pembuatan kebijakan publ
umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingg dapat terjadi keputusan
tidak tegas.

Sistem semi-presidensial adalah sistem pemerintahan yang menggabung kan sistem


presidensial dan sistem parlementer. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga
memiliki kekuasaan yang kuat. Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan perdana
menteri. Menteri menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.

Dari karakteristiknya, dapat dipahami bahwa kedua sistem tersebut, dan gabungannya,
dalam negara modern, berlangsung dalam suatu konfigurasi pembagian kekuasaan pemerintahan,
yakni legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sederhananya, legislatif membuat undang-undang,
eksekutif menjalankan undang-undang, dan judikatif mengajudikasi pembuatan dan pelaksanaan
undang-undang Dengan konfigurasi tersebut, maka dalam sistem parlementer, proses kebijakan
publik didominasi oleh legislatif.

BAB II ESENSI KEBIJAKAN PUBLIK

A. MAKNA KEBIJAKAN PUBLIK


Dari berbagai pandangan tentang kebijakan publik dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan terwujud dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Karakter
utama dari kebijakan publik adalah sebagai berikut.

1. Setiap kebijakan publik selalu memiliki tujuan

Tujuannya yakni untuk menyelesaikan masalah publik. Setiap kebijakan publik akan
selalu mengandung makna sebagai suatu upaya masyarakat untuk mencari pemecahan masalah
yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, kebijakan publik juga
dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan masalah bersama warga negara yang
tidak dapat mereka tanggulangi secara perorangan. Senyatanya, kebijakan publik dikenali secara
sektor per sektor atau menurut urusan pemerintahan. Saat sekarang, misalnya, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dikenali adanya 31 urusan pemerintahan atau 26 urusan
wajib dan 8 urusan pilihan. Kebijakan publik secara lebih konkret dikenali dengan istilah sesuai
dengan penyebutan urusan pemerintahan, misalnya: kebijakan kesehatan, kebijakan pendidikan,
kebijakan pertanian, dan sebagainya. Oleh karena itu, persoalan yang diharapkan dapat
diselesaikan melalui kebijakan publik adalah persoalan yang berkaitan dengan kebijakan secara
spesifik tersebut.

2. Setiap kebijakan publik selalu merupakan pola tindakan yang terjabarkan dalam program dan
kegiatan.

3. Setiap kebijakan pak selalu termat dalam hukum positif.

Keberadaan suatu sistem politik atau suatu pemerintahan akan selalu mencerminkan
dua keistimewaan Pertama, pemerintahan merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk
membuat aturan yang mengikat atau mesti dipatuhi oleh semua warga negara. Aidha, untuk
menegakkan keberlakuan aturan yang telah dibuatnya, pemerintahan juga memiliki kewenangan
untuk memberikan sanksi kepada para pelanggarnya. Sanksi tersebut dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk, mulai dar pengenaan denda sampai pada penghilangan kemerdekaan seseorang
pada batas waktu tertentu (hukuman kurungan). Dengan karakteristi tersebut, maka kebijakan
publik untuk dapat dilakukan dan bermantas bagi semua warga negara harus termuat dalam
bukum positif. Bas negara seperti Indonesia, pernyataan tersebut pada dasarnya jus merupakan
implikasi dari pengakuan bahwa Indonesia adalah nega hukum. Dalam konteks ini, menarik
untuk mengikuti jalan pikiran Fir (1962: 3) yang mengartikan hukum sebagai suatu standar
perilaku yang dibuat sebagai suatu komando untuk mengarahkan masyarakat ke pejabat. Hukum
dapat menegaskan kepatuhan tertentu atau juga da memberikan suatu manfaat.

Sanksi tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, mulai dari pengenaan denda
sampai pada penghilangan kemerdekaan seseorang pada batas waktu tertentu (hukuman
kurungan). Dengan karakteristik tersebut, maka kebijakan publik untuk dapat dilakukan dan
bermanfaat bagi semua warga negara harus termuat dalam hukum positif. Bagi negara seperti
Indonesia, pernyataan tersebut pada dasarnya juga merupakan implikasi dari pengakuan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Dalam konteks ini, menarik untuk mengikuti jalan pikiran Finer
(1962: 3) yang mengartikan hukum sebagai suatu standar perilaku yang dibuat sebagai suatu
komando untuk mengarahkan masyarakat dan pejabat. Hukum dapat menegaskan kepatuhan
tertentu atau juga dapat memberikan suatu manfaat.

B. Politik Kebijakan Publik


Sebagaimana dimaklumi, suatu kebijakan selalu memiliki tujuan. Dalam konteks tujuan
tersebut, setiap substansi kebijakan publik diharapkan selalu bermanfaat untuk pemenuhan
kepentingan rakyat. Hanya saja dalam konteks manfaat, setiap kebijakan publik memberikan
manfaat yang berbeda untuk berbagai kelompok masyarakat. Manfaat terbesar dari suatu
kebijakan publik cenderung akan dinikmati oleh inisiator kebijakan publik. Dengan menginisiasi
terbentuknya kebijakan publik, inisiator merancang "siapa mendapat apa, kapan, dan
bagaimana". Gejala ini dapat disebut sebagai politik kebijakan publik. Istilah lain dari politik
kebijakan publik adalah pendekatan (approach) studi kebijakan. Penggunaan istilah tersebut
lebih menunjukkan bahwa ketika studi mengenai kebijakan publik dilakukan, maka proses "siapa
mendapat apa, kapan, dan bagaimana" dapat dijadikan teropong studi. Politik kebijakan publik
atau pendekatan studi kebijakan publik mencakup pelbagai dimensi, seperti sistem politik, elit,
kelompok, institusi, dan pilihan publik (public choice).

Dalam upaya memahami politik kebijakan publik, Howlet & Rames (1995: 19-39)
menyajikan taksonomi pendekatan umum terhadap gejala politik. Mereka menggunakan dua
variabel utama, yakni metode konstruksi teon, dengan dua dimensi (deduktif dan induktif) dan
unit analisis dasar dengan tiga dimensi (individu, kelompok, dan institusi). Perpaduan dari kedua
varibel tersebut menghasilkan enam model gejala politik, yakni: (1) public choice (individu-
deduktif); (2) welfare economics (individu-induktif); (3) class theory (kelompok-deduktif); (4)
pluralism/corporatism (kelompok-induktif); (5) neo-institutionalism (institusi-deduktif); dan (6)
statism (institusi-induktif).
C. Studi Kebijakan Publik
Kebijakan publik sebagai suatu output penyelenggaraan pemerintahan negara
mengundang perhatian banyak pihak untuk mengkaji da mempelajarinya, baik dari kalangan
birokrasi maupun dari kalanga akademisi. Dua istilah yang lazim digunakan dalam studi
kebijakan publ adalah riset kebijakan (policy reserach) dan analisis kebijakan (policy analysis
Riset kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh prediku mengenai dampak
"variabel" yang dapat diubah oleh pemerintah. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh para
akademisi atau kalangan perguruan tinggi. Tujuan kegiatannya umumnya adalah deskriptif dan
eksplanatif Sedangkan analisis kebijakan bertujuan untuk memperoleh pengkajian dan penyajian
alternatif yang tersedia kepada aktor politik dalam upaya menyelesaikan masalah publik.
Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh para birokrat atau kalangan penyelenggara pemerintahan.
Sifat kegiatan yang dilakukan umumnya adalah preskriptif. Salah satu contoh mengenai esensi
analisis kebijakan tersebut dikemukakan oleh Weimer & Vining (1992: 1-2) yang menyatakan,
"Policy analysis is client-oriented advice relevant to publik decisions and informed by social
values."

Dengan rumusan singkat tersebut, Weimer dan Vining menegaskan tentang tiga hal.
Pertama, analisis kebijakan merupakan suatu nasihat atau pandangan yang memberi arah bagi
pelaksanaan kegiatan. Kedua, analisis kebijakan harus relevan dengan keputusan yang akan
diambil oleh pemerintah. Artinya, analisis kebijakan harus berujung pada rekomendasi tentang
keputusan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Ketiga, analisis kebijakan perlu mencerminkan proses yang disebut James C. Scott (dalam
Fukuyama, 2004: 112) sebagai metis atau kemampuan untuk menggunakan pengetahuan lokal
dalam membuat solusi lokal (the ability to use local knowledge croate local solution). Dalam
versi pepatah Indonesia, analisis kebijakan perlu mengakomodasi dua kondisi, yakni: (a) lain
lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya dan (b) dimana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung.

D. Komparasi kebijakan publik


| Parsons (1995: 40) mencatat lima pendekatan perbandingan kebijakan, yaitu sebagai
berikut.
1. Pendekatan sosial-ekonomi, yakni pendekatan yang mencermati bagaimana kebijakan publik
sebagai dampak (outcome) dari faktor-faktor sosial ekonomi.
2. Pendekatan pemerintahan partai, yakni pendekatan yang mengkaj bagaimana kompetisi partai
dan kontrol partisan dari pemerintah benar benar bermakna bagi kebijakan (matters to policy).
3. Pendekatan perjuangan kelas, yakni pendekatan yang menjelasakan kebijakan publik dalam
pengertian sebagai satu bentuk politik (the political forms) dari perjuangan kelas dalam negara-
negara kapitalis yang berbeda.
4. Pendekatan korporatis-baru, yakni pendekatan yang berfokus pada pengaruh dari kepentingan
terorganisir dalam penentuan kebijakan publik
5. Pendekatan kelembagaan, yakni pendekatan yang mengkaji peranan yang dimiliki oleh negara
dan institusi sosial dalam perumusan dan pembentukan kebijakan publik.

BAB III SISTEM KEBIJAKAN PUBLIK

A. Substansi Kebijakan
Berdasarkan substansinya, Anderson (1994: 10-22) membedakan antara kebijakan
substantif dan kebijakan prosedural. Kebijakan substantif menyangkut hal-hal yang sedang
dilakukan pemerintah, seperti pembuatan jalan atau larangan penjualan minuman keras.
Kebijakan ini secara langsung mendistribusikan manfaat atau ketidakmanfaatan, keuntungan atau
biaya, kepada masyarakat secara keseluruhan, sekelompok masyarakat, dan perorangan. Pada
dimensi yang lain, kebijakan prosedural berkaitan dengan penentuan cara-cara sesuatu hal akan
dilakukan atau siapa yang akan melakukannya. Dengan demikian, kebijakan prosedural
mencakup hal-hal yang bertalian dengan organisasi, seperti lembaga yang bertanggungjawab
untuk melaksanakan sesuatu peraturan, dan memerinci proses atau persyaratan dan tatacara yang
berkaitan dengan tindakan-tindakan untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut.

B. Pemeran Kebijakan
Secara umum, semua pihak yang terlibat tersebut disebut sebagai pemeran kebijakan
(policy stakeholders). Secara lebih konkret, pemeran kebijakan adalah semua individu atau
kelompok yang terlibat, baik dengan peran mempengaruhi ataupun dengan peran dipengaruhi
dalam suatu proses kebijakan. Anderson (1994: 54 dan 63) membedakan pemeran kebijakan
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama disebutnya sebagai pembuat kebijakan formal, yang
terdiri atas: legislatif, eksekutif dan pengadilan. Kelompok kedua disebutnya sebagai partisipan
informal, yang mencakup: kelompok kepentingan, partai politik, organisasi penelitian, media
massa, perguruan tinggi, dan warga negara. Howlet & Rames (1995: 59-78) menjelaskan
pemeran kebijakan secara institusional, dan dibedakan atas tiga institusi, yakni negara,
masyarakat, dan organisasi internasional.

C. Lingkungan Kebijakan
Secara umum, lingkungan kebijakan dalam praktik pemerintahan Indonesia dikenal
dengan sebutan "asta gatra". Kedelapan dimensi tersebu dibedakan dalam dua kelompok, yakni
yang bersifat fisik dan nonfisk. Kelompok fisik mencakup tiga unsur, yakni letak geografis,
kekayaan alam, dan jumlah penduduk, sedangkan kelompok nonfisik dikenal dengan akronim
poleksoshudhankamnas' yang mencakup lima aspek, yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial-
budaya, dan pertahanan-keamanan nasional.

Lingkungan kebijakan publik, yang umumnya paling banyak dibahas alch para ahli
adalah budaya politik, di samping kondisi sosial ekonomi Anderson, 1985). Mengenai politik,
Elssworth dan Stahnke (1976: 4 menyatakan bahwa di satu sisi, politik dianggap sebagai bisnis
kotor dalam mana orang-orang ambisius salah menggunakan kepercayaan publik pudic Pust
untuk tujuan-tujuan pribadi mereka. Pada sisi lain, politik dan politisi juga diyakini paling tidak
secara potensial mempunyai kemampuan utuk berkontribusi pada kehidupan yang baik. Makna
baik dari politik tersebut terlihat dari nilai-nilai politik yang dikembangkan, seperti keadilan,
hukum, dan kebebasan.

BAB 4 PROSES KEBIJAKAN PUBLIK

A. Penetapan Agenda
Istilah agenda dalam kebijakan publik, antara lain diartikan shoye daftar perihal atau
masalah untuk mana pejabat pemerintah, dan orang orang di luar pemerintah yang terkait erat
dengan para pejabat. Dengan memberikan perhatian serius pada saat tertentu (Kingdon, 1999)
makna agenda tersebut, penentuan agenda merupakan proses so menjadikan suatu masalah agar
mendapat perhatian dari pemerintah Kraft & Furlong (2007: 71) mendefinisikan penentuan
agenda sebagai hi problems are perceived and defined, command attention, and get onto the
political agends (bagaimana masalah-masalah dipandang dan dirumuskan, mengarahkan
perhatian, dan masuk menjadi agenda politik). Proses tersebut dimula dari kegiatan pendefinisian
masalah, yakni kegiatan yang berkaitan dengan pengenalan dan perumusan isu-isu yang perlu
untuk diperhatikan oleh pemerintah, Isu-isu tersebut senyatanya merupakan keadaan yang
berkembang di dalam masyarakat. Keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat atau sebagian
besar masyarakat sebagai suatu ketidaknyamanan, yang kemudian memunculkan kesadaran dan
kebutuhan masyarakat untu mengubah keadaan tersebut melalui tindakan-tindakan pemerintah.

B. Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan menunjuk pada proses perumusan pilihan pilihan atau alternatif
kebijakan yang dilakukan dalam pemerintahan. Schattschneider (dalam Rochefort & Cobb,
1993:57) sangat menggarishawahi signifikansi tahap ini dengan menyatakan bahwa definisi
alternatif kebijakan adalah instrumen kekuasaan yang sangat hebat (the supreme instrument of
power). Pandangan Schattschneider tersebut sangat mudah dipahami, terutama karena proses
selanjutnya dalam pembuatan kebijakan akan bertolak dari definisi alternatif tersebut. Kraft &
Furlong (2007: 71) menyatakan pengertian formulasi kebijakan sebagai desain dan penyusunan
rancangan tujuan kebijakan serta strategi untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Dari
pengertian itu terlihat bahwa paling tidak terdapat dua aktivitas utama dari formulasi kebijakan,
yakni, pertama, perancangan tujuan kebijakan. Aktivitas tersebut tentu saja sangat berkaitan
dengan rumusan masalah kebijakan, namun perancangan tujuan kebijakan akan dapat berbeda
dari rumusan masalah kebijakan, sejalan dengan dinamika yang berlangsung di dalam dan di luar
komunitas kebijakan, yang umumnya terdiri atas pejabat-pejabat pemerintah, kelompok
kepentingan, akademisi, profesional, badan-badan penelitian, kelompok pemikir (think tank), dan
wirausaha kebijakan. Kedua, formulasi kebijakan sekaligus juga menyangkut strategi pencapaian
tujuan kebijakan. Dengan aktivitas tersebut, termuat penegasan bahwa dalam setiap alternatif
kebijakan, sejak awal perlu dirumuskan langkah-langkah yang semestinya dilakukan apabila
alternatif tersebut dipilih menjadi kebijakan.

C. Penetapan kebijakan
Penetapan kebijakan pada dasarnya adalah pengambilan keputusan terhadap alternatif
kebijakan yang tersedia. Penetapan kebijakan (policy legitimation) menurut Kraft & Furlong
(2007: 71) merupakan mobil dari dukungan politik dan penegasan (enactment) kebijakan secara
forma termasuk justifikasi untuk tindakan kebijakan. Paling tidak, terdapat du makna dari
penetapan kebijakan. Pertama, penetapan kebijakan merupaka proses yang dilakukan pemerintah
untuk melaksanakan suatu pola tindak tertentu atau sebaliknya, untuk tidak melakukan tindakan
tertentu. K penetapan kebijakan berkaitan dengan pencapaian konsensus dala pemilihan
alternatif-alternatif yang tersedia. Tahap ini juga berkenaan dengan legitimasi dan alternatif yang
dipilih, yakni berupa suatu rancangan tindakan-tindakan yang ditetapkan menjadi peraturan
perundang undangan.

D.. Pelaksanaan Kebijakan

Pelaksanaan atau implementasi kebijakan bersangkut paut dengan ikhtiar-ikhtiar untuk


mencapai tujuan dari ditetapkannya suatu kebijakan tertentu. Tahap ini pada dasarnya berkaitan
dengan bagaimana pemerintah bekerja atau proses yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menjadikan kebijakan menghasilkan keadaan yang direncanakan. Mengingat makna dan sifat
implementasi yang dapat dipahami dari berbagai dimensi, maka tahap ini dengan sendirinya
menunjukkan signifikansinya. Dalam hal ini, pelaksanaan kebijakan dapat hanya berupa suatu
proses sederhana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun demikian.
dalam kenyataannya, proses yang terlihat sederhana itu sesungguhnya justru tidak sederhana.
Pelaksanaan kebijakan dapat melibatkan penjabaran lebih lanjut tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana. Keadaan ini terjadi sebagai akibat,
misalnya, dari kenyataan bahwa dalam upaya untuk menghindarkan konflik, badan legislatif
menggariskan kebijakan dalam rumusan-rumusan yang umum. Bahkan, andai kata kebijakan
telah mempunyai rumusan yang jelas, ia mungkin masih memerlukan berbagai penyesuaian dan
diskresi dalam pelaksanaannya.

E. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi atau penilaian kebijakan menyangkut pembahasan kembali terhadap


implementasi kebijakan. Tahap ini berfokus pada identifikasi hasil-hasil dan akibat-akibat dari
implementasi kebijakan. Dengan fokus tersebut, evaluasi kebijakan akan menyediakan umpan-
balik bagi penentuan keputusan mengenai apakah kebijakan yang ada perlu diteruskan atau
dihentikan. Namun, terdapat juga pandangan bahwa evaluasi kebijakan udak sekedar
menentukan berhasil tidaknya suatu implementasi kebijakan. Evaluasi kebijakan dapat
menyangkut perspektif yang lebih luas, antara lain sebagaimana dinyatakan oleh Thomas R. Dye
(dalam Parsons, 1995: 545) bahwa evaluasi kebijakan merupakan pembelajaran mengenai
konsekuensi dari kebijakan publik (learning about the consequences of public policy).

BAB 5 ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

A. Proses analisis kebijakan

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah proses untuk menghasilkan rekomendasi bagi
pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai suatu proses, analisis kebijakan
dipahami terdiri atas serangkaian kegiatan atau tahap, yang oleh para penulis kebijakan publik
dikelompokkan secara berbeda. Sebagai contoh adalah pendapat Bardach, Patton & Sawicki, dan
Kraft & Furlong. Bardach (2000: xiii-xiv) menyatakan 8 (delapan) langkah analisis yang terdiri
atas: merumuskan masalah, mengumpulkan bukti, menyusun alternatif, memilih kriteria,
memproyeksikan hasil , mengkaji kondisi sebaliknya, memutuskan, dan menarasikan
rekomendasi.

Patton & Sawicki (1986: 26) menyatakan langkah analisis kebijakan hanya berupa 6
(enam) tahap, yakni: memverifikasi, mendefinisikan dan mendetailkan masalah; membuat
kriteria evaluasi; mengidentifikasi alternatif kebijakan mengevaluasi alternatif kebijakan;
memilih satu di antara alternatif, dan memonitor hasil kebijakan. Kraft & Furlong (2007: 98)
menyatakan 5 (lima langkah analisis kebijakan yang terdiri atas: mendefinisikan dan
menganalisis masalah, merumuskan alternatif kebijakan, membangun kriteria evaluasi, menilai
alternatif, dan menarik kesimpulan.

Dari beberapa contoh pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa proses analisis
kebijakan pada dasarnya terdiri atas 3 (tiga) langkah utama, yakni perumusan masalah kebijakan,
perumusan alternatif kebijakan, dan pemilihan alternatif kebijakan. Hasil dari ketiga langkah
utama tersebut kemudian didokumentasikan dalam wujud makalah kebijakan.

1.Perumusan Masalah Kebijakan


Permumusan masalah kebijakan merupakan suatu proses untuk mendefinisikan suatu
kondisi sebagai suatu ketidaknyaman yang harus dan dapat dicarikan jalan keluarnya. Perumusan
masalah kebijakan adalah esensi dari tahap penetapan agenda. Salah satu catatan penting untuk
perumusan masalah kebijakan adalah kecermatan dan ketepatan untuk menghindari terjadinya
kesalahan tipe ketiga, yakni memecahkan secara benar masalah yang salah. Oleh karena itu,
apabila kebijakan publik seharusnya memberikan kebahagiaan terbesar untuk sebanyak mungkin
orang, maka diperlukan keseriusan untuk sejak awal menentukan siapa atau kelompok mana
yang akan yang merupakan jumlah terbesar untuk memetik manfaat kebijakan.

Analisis stakeholder akan berfokus pada dua hal utama. Pertama berupa
pengidentifikasian stakeholder utama. Pertanyaan dalam identifikasi tersebut adalah: siapa yang
akan menjadi penerima manfaat atau yang mungkin menjadi korban dari kebijakan yang akan
ditetapkan? Hubungan apa yang dapat dibangun antara kedua kelompok tersebut? Apa partisipasi
mereka dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan? Fokus kedua berkaitan dengan
kepentingan dari kelompok penerima manfaat dan kelompok yang menjadi korban.

Pertanyaan berkaitan dengan kepentingan tersebut adalah: apa harapan akeholders


terhadap kebijakan yang akan ditetapkan dan apa kepentingan shakeholders yang bertentangan
dengan kebijakan yang akan ditetapkan? Secara ringkas, Brinkerhoff & Crosby (2002: 142)
menyatakan bahwa fokus analisis stakeholder adalah pada dua unsur kunci, yakni kepentingan
yang dimiliki oleh stakeholder pada isu tertentu, jumlah dan jenis sumber daya yang dapat
dimobilisasi oleh stakeholder dalam upaya mempengaruhi hasil berkaitan dengan isu tertentu
tersebut.

2. Perumusan Alternatif Kebijakan

Faktor yang dicermati dalam penyusunan alternatif, menurut Dunn (1981) mencakup
tujuan, biaya, kendala, efek samping, waktu, risiko/ ketidakpastian. Pencermatan mengenai
tujuan berkaitan dengan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan, seperti: apa yang diinginkan?
Apa kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang hendak dicapai? Dapatkah dampak atau tindakan
masa depan dirumuskan secara operasional? Bagaimana tujuan tersebut akan diukur?

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan

Menurut Patton dan Sawicki (1986: 156-166), faktor pertimbangan pembandingan


alternatif terdiri atas kelayakan teknis (technical feasibility, kemungkinan ekonomi dan keuangan
(economic & financial possibility kelayakan politik (political viability), dan keterlaksanaan
administratif (administrative operability).

Kelayakan teknis berkaitan dengan aspek efektivitas (effectiveness), yakni apakah


pelaksanaan alternatif dapat mencapai tujuan atau akibat yang diinginkan dan kecukupan
(adequacy), yakni apakah pelaksanaan alternatif didukung oleh sumber daya yang tersedia?
Kemungkinan ekonomi dan keuangan berkaitan dengan aspek efisiensi (efficiency) apakah
menghasilkan manfaat yang lebih besar dari biaya pelaksanaan alternatif yang dikeluarkan?
Kelayakan politik berkaitan dengan aspek penerimaan yang terkait (acceptability): apakah
alternatif akan diterima oleh pihak-pihak dan aspek legal (legal aspect); apakah alternatif sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

Keterlaksanaan administratif berkaitan dengan aspek-aspek berikut ini :

a. Apakah organisasi pelaksana memiliki kewenangan yang jelas untuk melakukan perubahan
yang diperlukan, meminta kerja sama dari pihak terkait dan menentukan prioritas?

b. Adakah komitmen kelembagaan dari atas dan bawah?

c. Bagaimana kapasitas pelaksana, dalam hal personil, keuangan,

perlengkapan, dan informasi?

4. Penyusunan Masalah Kebijakan

Pada dasarnya, makalah kebijakan adalah naskah yang ditulis untuk meyakinkan para
pembuat kebijakan tentang urgensi masalah kebijakan yang sedang dihadapi, dan kemudian
diikuti dengan pilihan opsi untuk pemecahannya, dan sajian preferensi terhadap opsi yang dinilai
tepat untuk memecahkan masalah kebijakan yang diungkapkan sebelumnya.
Dunn (1981: 363)25 menyarankan sistematika dari makalah kebijakan tersebut terdiri
atas unsur-unsur sebagai berikut :

a. Surat pengantar.
b. Ringkasan eksekutif,
c. Sumber dan latar belakang masalah.
d. Masalah kebijakan.
e. Alternatif kebijakan.
f. Rekomendasi kebijakan.
g. Referensi.
h. Lampiran

B. Level analisis Kebijakan

Analisis kebijakan dapat dilakukan pada setiap tahap proses kebijakan publik. Parsons
(1995) mengelompokkan level analisis kebijakan publik menjadi empat, yakni analisis meta
(meta analysis), analisis meso (me analysis), analisis keputusan (decision analysis), dan analisis
pelaksanaan (delivery analysis). Analisis meta adalah analisis terhadap analisis (Parsons, 1995:
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa analisis meta berkenaan dengan aktivitas analisis dan
dengan pemahaman ide bahwa kebijakan publik berproses dengan menggunakan metafor.

Analisis ini mempertimbangkan metode dan pendekatan yang digunakan dalam studi
kebijakan publik serta diskursus dan bahasa yang digunakannya. Analisis meso adalah analisis
terhadap definisi masalah, penetapan agenda dan pembentukan kebijakan (Parsons, 1995: 85).
Dalam analisis ini, perhatian berkaitan dengan bagaimana masalah dibentuk dan dibingkai, dan
bagaimana mereka menjadi---atau tidak menjadi---butir atau isu dalam agenda kebijakan,
Analisis meso merupakan level analisis penghubung yang berfokus pada kaitan antara definisi
masalah dan penetapan agenda dengan pengambilan keputusan dan proses implementasi.
Selanjutnya, analisis keputusan adalah analisis terhadap proses pembuatan keputusan dan
analisis kebijakan untuk pengambilan keputusan (Parsons, 1995; 245) Analis ini berm dengan
penjelasan atau penggambaran bagaimana suatu keputusan atas serangkaian keputusan dibuat.
Perhatian terutama berkenaan dengan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana yang
berlangsung pada arena dan jenjang yang berbeda.
Sedangkan analisis pelaksanaan adalah analisis terhadap implementasi, evaluasi, dan
dampak perubahan Parsons, 1995: 457). Analisis ini berkenaan dengan tujuan pelaksanaan
(demery) dari proses kebijakan yang dibingkai oleh upaya memodelkan seperangkar sekuensi
rasional yang terlibat dalam implementasi yang sukses. Analis pelaksanaan menggunakan teknik
(atau landasan) dari kontrol manajemen yang dikembangkan dalam sektor privat/profit yang
diterapkan dengan semangat misionaris dalam sektor publik/non-profit.

C. Bingkai analisis kebijakan

Analisis kebijakan tidak berlangsung secara acak dan juga tidak berlangsung dalam ruang
yang hampa nilai. Senyatanya, analisis kebijakan berlangsung mengikuti nilai dan paham
tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam waktu tertentu dan di tempat tertentu. Dengan kata
lain, analisis kebijakan mengikuti bingkai analisis tertentu. Menurut Parsons (1995: 32), bingkai
analisis kebijakan terdiri atas: welfare economics, public choice, social structure, information
processing, dan political process.

D. Teknik analisis kebijakan

Analisis SWOT (strengths weaknesses, opportunities threats) berkaitan dan perumusan


alternatif kebijakan dengan mengidentifikasi kekuatan dan peluang di satu sisi, dan kelemahan
dan ancaman di sisi yang lain. Denga analisis berpasangan antara keempat faktor tersebut, akan
diperoleh sejum alternatif kebijakan. Melalui penyaringan berdasarkan instrumen terte tes
litmus) akan diperoleh satu atau lebih alternatif kebijakan yang memi derajat prioritas tinggi.
Satu di antara kelompok alternatif ini kemudian da dipertimbangkan untuk direkomendasi
menjadi usulan kebijakan.

AHP (analytical hierarchy process) merupakan teknik untuk menentukan alternatif


kebijakan yang akan direkomendasikan. Teknik ini bermula dari identifikasi faktor-faktor yang
dinilai signifikan dalam penyelesaian masalah kebijakan tertentu. Secara berjenjang, faktor-
faktor tersebut disaring, sehingga akhirnya muncul satu alternatif kebijakan yang akan
direkomendasikan. Keunggulan dari AHP adalah penggunaan parameter yang berbeda untuk
berbagai alternatif dan menghasilkan pilihan alternatif yang paling sesuai dengan berbagai
parameter tersebut.
AHP (analytical hierarchy process) merupakan teknik untuk menentukan alternatif
kebijakan yang akan direkomendasikan. Teknik ini bermula dari identifikasi faktor-faktor yang
dinilai signifikan dalam penyelesaian masalah kebijakan tertentu. Secara berjenjang, faktor-
faktor tersebut disaring, sehingga akhirnya muncul satu alternatif kebijakan yang akan
direkomendasikan. Keunggulan dari AHP adalah penggunaan parameter yang berbeda untuk
berbagai alternatif dan menghasilkan pilihan alternatif yang paling sesuai dengan berbagai
parameter tersebut.

BAB VI KE ARAH KEBIJAKAN PARTISIPATIF

A. Birokrasi dan Demokrasi

Di tengah-tengah keunikan karakter masing-masing birokrasi dan demokrasi mempunyai


kesamaan kepentingan. Keduanya terkait dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan dan
pencapaian tujuannya, "rational legal bureaucracy and democracy are at once inextricably linked
and antagonistic (Richardson, 1997: 10). Demokrasi memberi lingkungan nilai bagi berprosesnya
birokrasi, dan birokrasi dapat diperankan sebagai institusi pendorong berkembangnya demokrasi.
Untuk itu, interaksi antara birokrasi dan demokrasi bukan merupakan "zero-sum game."
Sebaliknya, antara keduanya harus dibangun konfigurasi "simbiosis mutualistis," dengan unsur
kunci "terciptanya pemerintahan demokratis" dan "pelayanan kepentingan umum yang
maksimal." Kondisi ini tentu saja perlu diwujudkan melalui ikhtiar yang sungguh-sungguh, yang
secara bersamaan mensyaratkan adanya sistem yang jelas dan perilaku yang proporsional.

B. Birokrasi dan Manajemen Publik

Apa pun perumusannya, manajemen publik akan selalu berkaitan dengan birokrasi.
Bahkan dapat dikatakan bahwa manajemen publik adalah proses bekerjanya birokrasi dalam
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan. Birokrasi merupakan suatu fenomena pemerintahan
modern. Tidak ada satu negara modern tanpa birokrasi. Oleh karena itu, perbincangan atau
pembahasan mengenai birokrasi, dalam semua aspeknya, akan terasa selalu menarik, dan juga
tak habis-habisnya makna dan manfaat penyelenggaraan pemerintahan. Banyaknya jenis
peranan, yang disertai pula dengan ruang lingkup yang luas pada sisi lain, merupakan peluang
untuk pengembangan kualitas bagi para birokrat atau aparat pemerintah. Setiap aparat
pemerintah dituntut untuk secara terus-menerus menemukan cara-cara baru pelaksanaan tugas
agar semakin mampu dan semakin mudah melaksanakan tugas. Tuntutan yang seperti ini bahkan
semakin dipersyaratkan dalam era globalisasi dewasa ini. Perkembangan masyarakat yang
dinamis, kondisi lingkungan pelaksanaan tugas yang berubah cepat misalnya, merupakan
tantangan bagi aparat pemerintah untuk terus mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang
sepadan. Di tengah kehidupan yang semakin demokratis, aparat pemerintah dituntut untuk,
antara lain, semakin responsif, akuntabel, profesional, transparan, dan entrepreneunal (bersifat
wirasusaha).

C. Birokrasi dan Pembangunan

Sejalan dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berdaulat,


pemerintahan suatu negara secara terus-menerus akan melakukan kegiatan-kegiatan perubahan
ke arah yang lebih baik atau yang umum disebut sebagai "pembangunan, yakni suatu proses
dengan mana kerentanan dikurangi dan kapasitas ditingkatkan”.

Peranan-peranan penting yang dimainkan oleh birokrasi, baik terhadap pengembangan


dan perkembangan demokrasi maupun dalam penyelenggaraan pembangunan, dapat berkembang
menjadi determinan bagi terbentuknya kebijakan publik yang partisipatif. Dalam konteks itu,
pembentukan kebijakan publik yang partisipatif akan mencakup berbagai dimensi, seperti
makna, kesepakatan dan substansi kebijakan publik partisipatif.

D. Penegasan makna kebijakan publik partisipatif

Kebijakan publik partisipatif adalah kebijakan yang substansi dan prosesnya melibatkan
semua stakeholders secara berkesinambungan das proporsional. Esensi dari kebijakan publik
partisipatif adalah kesepakatas tentang pola tindakan yang akan dilakukan dalam mewujudkan
kemanfaatan terbesar bagi sebanyak mungkin orang, Artinya, tenirat dalam sifat partisipatif
adalah kemanfaatan yang besar bagi masyarakat Asumsinya, semakin tinggi derajat partisipasi,
maka semakin tinggi pula derajat dan ruang lingkup kemanfaatannya bagi masyarakat. Selain it
kebijakan publik partisipatif juga dapat dipahami sebagai pencerminan integritas dan komitmen
terhadap kesepakatan mengenai kemanfaatan tersebut.

Oleh karena itu, kebijakan publik partisipatif dapat terbangun secara efektif manakala
antara yang memerintah dan yang diperintah sama-sama memiliki kemampuan dan kemauan
untuk mengusahakan terbangunnya 'sistem yang tidak hanya jelas dalam perumusannya, tetapi
juga pasti dalam perwujudannya. Dengan kata lain, kebijakan publik yang partisipatif
mensyaratkan terbangunnya strong state dan strong society secara beriringan.

E. Substansi pembangunan kebijakan publik yang partisipatif.

Pembangunan kebijakan publik partisipatif akan memiliki substan paling tidak dalam dua
tingkatan, yakni pemerintah dan masyarakat. Berkaitan dengan substansi pembangunan
kebijakan publik partip pada tingkatan masyarakat, satu hal mendasar yang perla terus diga
adalah bahwa masyarakat hanya mungkin berpartisipan secara maksimal dan konstruktif
manakala mereka memiliki kualitas tinggi sebagai warga negara untuk membangun civil society.

Pada tingkatan pemerintah, substansi pembangunan kebijakan p partisipatif akan


berkaitan dengan menjaga eksistensi pemerintahs schne sarana bagi rakyat untuk menuju hidup
yang lebih baik. Beberapa program yang layak untuk diprioritaskan yakni: penyuluhan
pemerintahan, pembangunan birokrasi, pembangunan ketahanan nilai- nilai nasional, dan
penggunaan partisipasi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai