Disusun Oleh :
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai yang kami beri judul
“Membentengi Tradisi Ahlusunnah Waljama’ah”. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam
Nusantara. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam pembuatan karya ilmiah.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana latar belakang tradisi dalam Ahlusunnah Waljama’ah ?
2. Apa saja tradisi yang ada dalam Ahlusunnah Waljama’ah?
3. Bagaimana cara membentengi tradisi yang ada dalam Ahlusunnah
Waljama’ah?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui latar belakang tradisi dalam Ahlusunnah Waljama’ah.
2. Untuk mengetahui tradisi yang ada dalam Ahlusunnah Waljama’ah.
3. Untuk mengetahui cara membentengi tradisi yang ada dalam Ahlusunnah
Waljama’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abu Abdillah, Argumen Ahlussunnah Wal Jamaah, (Tangerang Selatan: Pustaka
Ta’awun, 2011).cet,II. Hal 5
2
Nurhidayat Muhammad, Lebih Dalam Tentang NU, (Surabaya: Bina Aswaja,2012).
Cet.I. Hal. 2
dakwah dengan langsung mengajarkan dan menerapkan syari’at Islam kepada
masyarakat. Budaya dan praktek syirik yang tak sejalan dengan syari’at Islam
langsung dibabat habis. Dan ada pula yang menggunakan pendekatan sosial
budaya dengan cara yang lebih halus yaitu dengan cara mengalir mengikuti
tradisi masyarakat tanpa harus terhanyut. Perbedaan jalan dakwah seperti itu
tidak perlu diperdebatkan karena semuanya muncul dari cita-cita luhur
mengislamkan masyarakat yang masih memeluk agama nenek moyang yang
sarat dengan syirik, kufur, dan penuh nuansa takhayul dan khurafat. Menurut
cerita sejarah, budaya mengadakan kenduri atau selametan kematian yang
juga merupakan budaya mereka tidak serta merta beliau hapus. Budaya
selametan yang semula dipenuhi dengan ajaran kufur, wadahnya dibiarkan,
tetapi isinya yang bernilai kekufuran dan bid’ah diganti dengan ajaran yang
bernuansa Islami, atau minimal jauh dari kemusyrikan.3
3
Ibid. Hal. 3
pengucapan kalimat tauhid “La ilaha illa Allah” secara berulang-ulang
untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang
meninggal. Sedangkan secara terminologis tahlilan yaitu ritual atau
kegiatan keagamaan yang diisi dengan membaca tahlil. Tahlilan
biasanya dilakukan oleh sebagian umat Islam setelah seseorang
meninggal dunia.
3. Tradisi Manaqiban dan Maulid Nabi
Tradisi Manaqiban merupakan salah satu tradisi masyarakat
muslim yang sudah berlangsung lama. Di Jawa, umat Islam
mengadakan manaqiban Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri tarekat
Qadiriyah, sementara di daerah Kalimantan, banyak yang mengadakan
manaqib Syaikh Muhammad ibn Abdul Karim Al-Samman, pendiri
tarekat Sammaniyah. Adapun Maulid Nabi, selain menjadi tradisi
masyarakat Muslim Indonesia juga telah menjadi tradisi muslim Sunni
di seluruh belahan dunia. Seperti halnya Manaqiban dalam Maulid Nabi
biasanya dibacakan kisah dan sejarah hidup Rasulullah mulai kelahiran
hingga wafatnya. Kedua kegiatan tersebut sangat penting, karena
bertujuan untuk mengajarkan keteladanan hidup Rasullullah dan
meningkatkan kecintaan umat kepada sang Rasul.
4. Tradisi Ruwahan atau Nyadran
Tradisi Ruwahan atau Nyadran adalah salah satu tradisi muslim
Indonesia yang dijalankan dalam rangka mengisi bulan Sya’ban. Dalam
ajaran Islam, bulan Sya’ban dianggap sebagai salah satu bulan istimewa
karena berdasarkan hadits Nabi pada bulan Sya’ban perbuatan manusia
dilaporkan kepada Allah swt. Untuk menghadapi bulan tersebut, maka
umat Islam di tanah air mengisinya dengan puasa dan memperbanyak
sedekah. Pada malam nishfu Sya’ban atau malam 15 bulan Sya’ban,
umat Islam juga melaksanakan shalat sunah berjama’ah dan doa
bersama. Tradisi ini biasa disebut dengan istilah Ruwahan. Mengingat
bulan Sya’ban juga disebut sebagai bulan arwah, maka pada bulan ini
umat islam di Indonesia juga melakukan ziarah kubur dan
memperbanyak do’a untuk arwah leluhur.
5. Istighosah
Istighosah maksudnya adalah meminta pertolongan kepada Allah
SWT. Kalangan umat Islam di Nusantara berhubungan sangat erat
dengan tradisi istighosah ini. Istighosah sangat dianjurkan oleh agama,
terutama ketika memiliki hajat dalam skala besar dan memerlukan
energi yang besar pula untuk mencapainya. Dalil Istighatsah bisa
ditemukan di banyak hadits sehingga tradisi ini sudah dijalankan oleh
kaum muslimin mulai para ulama generasi salaf hingga saat ini.
6. Ngapati dan Mitoni atau Tungkepan
Tradisi ngapati dan Mitoni atau Tingkepan adalah upacara
selametan saat kehamilan menginjak usia 4 bulan. Sementara mitoni
atau tingkepan adalah selametan ketika umur kehamilan menginjak usia
7 bulan. Upacara ini dimaksudkan untuk mendo’akan janin yang
dikandung beserta ibu yang mengandung diberikan keselamatan dan
kesehatan, dan kelak janin yang dilahirkan menjadi anak yang shaleh.
Upacara ini biasanya diisi dengan membaca Al-Qur’an, khususnya
surah Yusuf dan Maryam, doa bersama, dan bersedekah. Terkait dengan
adanya tradisi ini, dalam ajaran para ulama klasik dikenal istilah
walimat al-haml, yaitu upacara menyambut kehamilan seseorang. Sama
seperti tradisi Ngapati atau Mitoni, dalam upacara walimat al-haml ini
juga dianjurkan untuk mendoakan ibu dan janin serta mengeluarkan
sedekah.
7. Tradisi Bulan Shafar
Dalam mengisi bulan Shafar, para ulama Nusantara menganjurkan
agar kaum muslimin memperbanyak bersedekah. Oleh karena itu, kaum
muslimin di Indonesia memiliki tradisi bersedekah dengan bubur shafar
(tajin shafar). Bubur tersebut dibuat dari beras ketan kemudian
dibagikan kepada saudara dan tetangga dengan maksud untuk menolak
bahaya dan musibah. Selain sedekah, sebagian umat Islam juga
melakukan doa bersama di hari rabu terakhir di bulan Shafar dan
membuat minuman yang dibacakan doa agar terhindar dari malapetaka.
Hal ini karena, ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa hari rabu
terakhir bulan shafar adalah hari turunnya berbagai malapetaka ke
dunia.
8. Tradisi Bulan Suro
Dalam ajaran Islam, bulan Muharram atau orang Jawa
menyebutnya dengan bulan Sura merupakan salah satu bulan yang
dimuliakan (ayshur al-hurum). Karena itu, umat islam dianjurkan untuk
berpuasa pada sepuluh hari pertama di bulan, terlebih pada tanggal 9
dan 10 Muharram (hari tasu’a’ dan ‘Asyura). Pada bulan ini ada
beberapa amalan yang disunnahkan antara lain berpuasa, bersedekah,
menyantuni anak yatim, dan memperbanyak ibadah dan dzikir. Dalam
rangka menerapkan anjuran itu, masyarakat muslim Nusantara di
berbagai daerah menggelar perayaan atau upacara yang diisi dengan
berbagai kegiatan seperti dzikir dan doa bersama, sedekah, pawai
hingga penampilan berbagai macam kesenian tradisional.
Selain tradisi-tradisi di atas, banyak amaliah khas Aswaja An-
Nahdliyah yang sudah berlaku di kalangan muslim Sunni di Nusantara
seperti khatmil Qur’an berjama’ah, talqin mayit, pujian sebelum shalat
fardlu berjama’ah, shalawatan, salaman setelah shalat fardlu, dan lain
sebagainya.
4
https://nu.or.id/risalah-redaksi/akar-tradisi-ahlussunnah-Wbaf0 (27/12/2023, 10:00 WIB)
meninggal malah diselenggarakan tahlilan untuk mendoakan arwahnya.
Hal itu menunjukkan bahwa ketika agama telah diletakkan dalam ranah
tradisi maka akan menjadi sangat kokoh, karena itu Islam mengajarkan
bahwa al-‘aadah (tradisi) merupakan bagian dari hukum. Tradisi itulah
yang akan menjaga dan mengembangkannya. Oleh karena itu, para wali
dan ulama dahulu ketika menyiarkan Islam dilakukan melalui sarana
tradisi dan budaya setempat, sehingga agama yang diajarkan benar-
benar diresapi sebagi sarana hidup dan akan hidup sejauh ada
kehidupan itu sendiri. Hal itu yang tidak disadari oleh kelompok
modernis Wahabi, sehingga serangannya yang menghabiskan tenaga
selama ratusan tahun sejak zaman kaum Paderi di Sumatera Barat, tidak
berhenti hingga saat ini. Sebaliknya tidak sedikit akhirnya mereka yang
mengikuti amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah ini.
Adat dan tradisi akan selalu diikuti oleh orang tanpa dapat
dibendung, mereka akan mengikuti tradisi dan adat sesuai
perkembangan konteks zamannya sendiri. Memang banyak jalan yang
bisa ditempuh dalam taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Pelaksanaan berbagai macam amalan tersebut merupakan bagian dari
ubudiyah dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Setiap menjelang puasa, orang berduyun-duyun menjalankan ritual
Nishfu Sya’ban secara khusyuk. Ubudiyah tersebut juga tidak semata
memiliki nilai ukhrawi, tetapi juga memiliki dimensi duniawi, untuk
menjalin keakraban dan pergaulan sesama manusia sebagai sudara dan
sebagai tetangga. Dengan keakraban tersebut relasi sosial yang erat
terjadi sehingga terjadilah integrasi sosial yang mengikat mereka dalam
satu tata nilai, saling menjaga, saling memberi dan saling melindungi.
Inilah dimensi sosial dari amaliyah ubudiyah tadi, sehingga secara
secara sosiologis amaliyah tersebut juga memiliki nilai. Karena telah
menjadi sebuah tata-nilai sosial, maka ajaran tersebut sulit dihancurkan,
karena akarnya telah masuk dalam tradisi dan budaya setempat, ajaran
agama menjadi kokoh ketika beradaptasi dan menyatu dengan tradisi.