Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KE-NU-AN (ASWAJA)

NAHDLATUL ‘ULAMA DAN KEARIFAN LOKAL

(Pola Pikir NU dalam Beragama dan Berbudaya)

Dosen Pengampu : Nur Rois, M.Pd.I.

Disusun oleh : (Kelompok 12)

1. Dina Alfi Nur Aqila : 22106011327


2. Ngainul Fahmi : 22106011337
3. Zahra Riyanawati Putri : 22106011340

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Nahdlatul ‘Ulama dan Kearifan
Lokal (Pola Pikir NU dalam Beragama dan Berbudaya)" dengan tepat waktu. Tak lupa
shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada panutan kita Baginda Nabi Muhammad Saw.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ke-NU-an. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang keterkaitan antara Nahdlatul
‘Ulama dengan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat bagi para pembaca dan juga bagi
penyusun.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nur Rois, M.Pd.I selaku dosen
pengampu Mata Kuliah Ke-NU-an. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Kami menyadari terdapat banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca sangat kami harapkan supaya makalah ini dapat menjadi lebih baik dikemudian
hari.

Grobogan, 12 April 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I (PENDAHULUAN) 1
LATAR BELAKANG 1-2
RUMUSAN MASALAH 2
TUJUAN MASALAH 2
BAB II (PEMBAHASAN) 3
HUBUNGAN ANTARA NAHDLATUL ‘ULAMA DAN KEARIFAN LOKAL 3-4
SIKAP DAN POLA PIKIR MASYARAKAT NAHDLIYYIN DALAM BERAGAMA
DAN BERBUDAYA 4-6
PERANAN NAHDLATUL ‘ULAMA DALAM UPAYA PELESTARIAN BUDAYA
NUSANTARA 6-7
BAB III (PENUTUP) 8
KESIMPULAN 8
SARAN 8
DAFTAR PUSTAKA 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Agama dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dipisahkan satu sama
lain, terlebih manusia sendiri merupakan makhluk yang berbudaya. Dengan kata lain,
adanya budaya karena adanya manusia. Hal ini dikarenakan ketika nilai-nilai agama
membumi maka membutuhkan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat.
Kemudian pengejawantahan dari nilai agama itu menjadi sesuatu yang menyatu
dengan tradisi dan budaya1. Dalam hal ini salah satu bentuknya adalah kearifan lokal
masyarakat Nusantara yang bernapaskan Islam. Contohnya antara lain : Wayang,
Qasidah, Kesenian Debus, Tari Zapin, Suluk, Upacara Sekaten, Grebeg Maulud, dsb.
Berbagai kebudayaan dan tradisi tersebut kerapkali disalahgunakan oleh pihak
tertentu untuk membenturkan kerukunan umat Islam di Indonesia dengan dalih bahwa
budaya-budaya tersebut bid’ah, sesat, dan tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw. Padahal Islam memiliki nilai ajaran yang universal namun dengan
bentuk praktik yang parsial. Nilai ajaran universal Islam merupakan entitas yang bisa
diterima oleh siapa saja, serta dapat diimplementasikan kapan saja dan di mana
saja (shâlih li kulli zamân wa makân). Sifat universalitas inilah yang membuat Islam
mampu berdialektika dengan realita sosial kemanusiaan yang serba berubah
sesuai dengan perkembangan kemaslahatan umat manusia sehingga menghasilkan
kebudayaan yang beragam.
Di tengah-tengah masyarakat Nusantara yang heterogen (beragam) ini,
Nahdlatul ‘Ulama hadir sebagai organisasi yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-
nilai Pancasila dan UUD 1945. Seperti telah ditegaskan dalam butir-butir Khittah
Nahdlatul Ulama (NU) mengenai sikap kemasyarakatan NU, salah satu sikapnya yaitu
Tasamuh (toleransi) yang meliputi sikap toleran di dalam perbedaan pendapat
keagamaan serta toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan2. Artinya
NU selalu mendedikasikan diri untuk perjuangan bangsa dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari keseluruhan Bangsa Indonesia.

1
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (11/2018)
2
Rumusan Khittah Nahdliyyah

1
Oleh karena itu, makalah tentang “Nahdlatul ‘Ulama dan Kearifan Lokal” ini
disusun sebagai salah satu bentuk upaya ilmiah dalam mengakaji dan menguraikan
bagaimana sikap dan pola pikir masyarakat nahdliyyin dalam beragama dan
berbudaya, khususnya di wilayah Nusantara yang memiliki beraneka ragam
karakteristik kearifan lokal yang khas dan unik. Harapannya supaya kedepannya
pemikiran masyarakat secara umum dapat lebih terbuka mengenai implementasi dari
ajaran Islam yang rahmatal lil ‘alamin melalui bentuk-bentuk pengaplikasian budaya
yang telah diajarkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah terdahulu dalam
menyebarkan Islam di Nusantara.
B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana hubungan antara Nahdlatul ‘Ulama dan kearifan lokal?
2) Bagaimana sikap dan pola pikir masyarakat nahdliyyin dalam beragama dan
berbudaya?
3) Bagaimana peranan Nahdlatul ‘Ulama dalam upaya pelestarian budaya
Nusantara?
C. TUJUAN MASALAH
1) Untuk mengetahui hubungan antara Nahdlatul ‘Ulama dan kearifan lokal.
2) Untuk mengetahui sikap dan pola pikir masyarakat nahdliyyin dalam
beragama dan berbudaya.
3) Untuk mengetahui peranan Nahdlatul ‘Ulama dalam upaya pelestarian budaya
Nusantara.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hubungan Antara Nahdlatul ‘Ulama dan Kearifan Lokal


Kearifan lokal adalah suatu bentuk pengetahuan asli dalam  masyarakat yang berasal
dari nilai luhur budaya masyarakat setempat untuk mengatur tatanan kehidupan
masyarakat atau dikatakan bahwa kearifan lokal adalah bentuk budaya warisan yang ada
di dalam kehidupan masyarakat3. Kearifan lokal sendiri meliputi nilai, norma, etika,
kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.
Nahdlatul ‘Ulama sebagai organisasi Islam yang lahir di Indonesia tentunya sangat
erat hubungannya dengan kearifan lokal nusantara. Terlebih NU merupakan organisasi
yang memegang teguh akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan
sebagai paham moderat. Oleh karenanya, Nahdlatul’ Ulama tidak bisa lepas dari tradisi
dan budaya masyarakat Indonesia yang telah dilestarikan secara turun-temurun.
Kalangan Nahdliyyin sangat mengakomodasi budaya lokal sebagaimana amanat
Kementerian Agama bahwasannya salah satu indikator moderasi beragama adalah
akomodasi budaya setempat4. Hal itu cukup logis, keterbukaan NU terhadap
kearifankearifan lokal, tradisi dan kebudayaan, dikarenakan basis eksistensi Nahdliyin
yang mayoritas menempati pedesaan pedesaan. Pada masa perkembangannya, NU
mempunyai satu slogan almuhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidi al-
ashlah yang artinya hendaklah mempertahankan tradisi lama yang baik lalu kemudian
mengambil tradisi baru yang lebih baik jadi ini yang menjadi landasan NU5.
Menjaga tradisi menjadi bagian penting untuk mempertahankan identitas dan asal usul
bangsa. Karakter dakwah moderat tumbuh dan diperankan Walisongo dengan sukses
mengakomodasi budaya sebagai media dakwah dengan tembang-tembang dan tradisi
kesenian yang dimoderasi dan dimodifikasi menjadi ajaran Islam dan menghargai
kebudayaan. Misalnya Sunan Kudus yang tidak menyembelih Sapi dan menghormati
umat Hindu diganti dengan kambing atau kerbau yang hal ini mencerminan kearifan lokal
yang sangat luar biasa6.
Orientasi (titik berat dan fokus perhatian) pengembangan Islam yang dilakukan NU
adalah pengembangan masyarakat Islam berbasis kultural, sehingga NU memberikan

3
Sibarani (2012)
4
Fuadi et al (2021)
5
Alaik (2020)
6
Sunyoto (2012)

3
apresiasi yang tinggi kepada keberlangsungan budaya lokal dan memberikan sentuhan
nilai-nilai Islam terhadap kebudayaan dan tardisi yang dipandang belum islami. Di sini
warga NU bisa mengintegrasi dalam kebudayaan masyarakat setempat. Oleh sebab itu
kearifan lokal (local wisdom) sangat dikedepankan oleh ulama NU dalam
mengembangkan (nilai-nilai) Islam. Dalam hal ini, dakwah bi al-hikmah wa al-mauidhat
ahhasanah menjadi strategi yang ampuh dalam usaha pengembangan kebudayaan Islam
di tanah air tanpa harus mengorbankan esensi Islam atau menghilangkan budaya lokal.
Patut disimak sebuah kaidah (qaul al-hikmah) dari ulama: “al Hikmat dlallat al-
mukmin fa Anna Wajadaha Fahuwa Haqqun Biha” (Hikmah atau local wisdom adalah
sesuatu yang dicari oleh orang mukmin di mana pun ia berada, maka siapa yang
mendapatinya, dialah yang berhak atasnya). Kaidah ini merupakan landasan operasional
bagi strategi pengem bangan kebudayaan ala NU. Dengan memahami kearifan lokal,
maka pengembangan kebudayaan (Islam) akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Kearifan lokal dimaksud adalah sikap bijak untuk menggali dan menghargai tradisi-
tradisi yang berkembang dan masih berlangsung di masyarakat. Dalam hal ini, ulama NU
lebih melihat kepada sisi positifnya dari tradisi lokal dan tetap mempertahankannya
selama itu tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang fundamental, daripada serta
merta menolak dan melarangnya. Pada dataran local wisdom inilah prinsip-prinsip dan
spirit pengem bangan kebudayaan model NU dapat diimplementasikan, yakni keislaman,
keindonesiaan, dan kemaslahatan.
2. Sikap dan Pola Pikir Masyarakat Nahdliyyin dalam Beragama dan Berbudaya
Mengikuti teladan Nabi dan Walisongo, Nahdlatul Ulama selalu memandang
kebudayaan secara positif dalam praktik dan dakwah agama. Berdakwah selalu harus
dilaksanakan dengan cara yang bijaksana termasuk memandang kebudayaan dalam
berdakwah. Kebudayaan tidak bertentangan dengan agama secara inhern. Sebaliknya, justru
kebudayaan selalu bisa menjadi instrumen melaksanakan keyakinan agama agar menjadi
lebih kafah7.
Modal sosial yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah sebuah karakter masyarakat
yang memiliki kohesivitas sosial yang kuat. K.H. Ahmad Siddiq merumuskan tiga kata
kunci penting yang menggambarkan cara moderasi beragama kaum Nahdliyin, yakni
sikap tawasuth (moderat), tasāmuh (toleran), dan tawāzun (berimbang)8. Tawasuth
intinya adalah bagaimana karakter masyarakat tidak ekstrem di dalam melihat berbagai

7
KH Masduki Baidlowi, Wakil Sekjen Tanfidziyah PBNU
8
Fuadi (2021)

4
macam persoalan dan selalu mengambil jalan tengah dari berbagai macam titik ekstrim
baik dalam pemikiran maupun titik ekstrim dalam pergerakan. Adapun tasāmuh
bermakna toleran, masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat yang toleran
yang selalu bisa mengambil sikap berdamai dan tidak memaksakan kehendak. Sedangkan
tawazun artinya berimbang, dia berupaya untuk mencari keseimbangan di dalam berbagai
macam persoalan yang dihadapi.
K.H. Ahmad Siddiq mengatakan dari sekian banyak karakter masyarakat di Indonesia
yang tidak pernah dirumuskan, tetapi hanya dijalankan dan dipraktekkan. Kemudian
terangkum menjadi karakter masyarakat yang memiliki sikap tawasuth, tasāmuh dan
tawāzun tersebut mampu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa
Indonesia terutama dalam kemampuannya untuk menjaga sekian banyak karakter yang
tumbuh9. Ketiga karakter inilah yang sebenarnya menjadi nilai penting dari bangsa
Indonesia yang bisa dipromosikan ke dunia internasional untuk mengatasi berbagai
macam pertentangan dan konflik.
Kemudian dalam perjalanannya, sikap dan pola pikir moderat NU juga tertuang dalam
trilogi ukhuwah NU yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seagama), ukhuwah
basyariyah/insaniyah (persaudaraan sesama manusia), ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan sebangsa)10. Ketiga ukhuwah (persaudaraan) itu memadukan komponen
penting dalam dalam rangka mempersatukan elemen bangsa Indonesia. Dengan adanya
trilogi tersebut, NU memiliki modal sosial budaya yang bisa diterima oleh berbagai
kalangan, kecuali kelompok teroris, dalam upaya menjaga kerukunan beragama dan
kerukunan berbangsa.
Dalam perjalanan sejarah, NU menghindari sikap radikal, karena sikap ini hanya
menimbulkan resiko jangka panjang dan lebih banyak nilai negatif dibandingkan nilai
positifnya. NU tidak bersikap reaktif dan keras, karena keduanya hanya akan membuat
NU mudah “dijebak” dan terpancing. NU juga tidak bersikap sebagaimana avonturir yang
pragmatis, melainkan menjalankan prinsip-prinsip yang factual dan realistis.
Selain tiga sikap moderasi beragama serta konsep trilogi ukhuwah yang dijunjung
tinggi oleh kaum Nahdliyyin dalam bermasyarakat, NU juga memiliki sebuah prinsip
dalam beragama dan berbudaya yaitu menempatkan Islam terlebih dahulu sebagai sistem
dari kultur Indonesia. Hal ini dilakukan untuk meleburkan aspirasi Islam ke dalam
aspirasi ke-Indonesia-an. Dengan demikian kemunduran atau kemajuan Islam akan

9
Yenuri et al (2021)
10
Ritaudin (2017)

5
tercermin dari maju atau mundurnya moralitas dan intelektualitas bangsa. Dalam hal ini,
terjadi proses asimilasi, misalnya Islamisasi Jawa maupun Jawanisasi Islam, yang saling
menyatu dan memperkaya. Ini karena Islam sejak awal tidak datang untuk menaklukkan
Jawa, melainkan mengembangkan masyarakat Jawa yang sudah beradab dengan
mengakui hak-hak kultural masyarakat setempat yang selama ini dilaksanakan dan
dikembangkan11.
3. Peranan Nahdlatul ‘Ulama dalam Upaya Pelestarian Budaya Nusantara
Satu abad sudah organisasi Nahdlatul ‘Ulama berdiri. Pada umur tersebut secara
umum NU telah banyak berjasa bagi Indonesia. Terutama dalam bidang agama dan
budaya. Jika menapak tilas pada sejarah, NU sejak dulu hingga sekarang masih konsisten
menjadi salah satu benteng terakhir penjaga kearifan lokal Indonesia. Berbagai upaya
yang dilakukan oleh kaum Nahdliyyin untuk tetap mempertahankan tradisi Islam
Nusantara yang telah susah payah diajarkan oleh para punggawa ulama terdahulu untuk
menyebarkan agama Islam di Indonesia. Kegigihan kaum Nahdliyyin untuk tetap
melestarikan kearifan lokal yang bernapaskan Islam merupakan wujud pelaksanaan salah
satu butir mabadi khairu ummah yang dimiliki NU yaitu al istiqamah (keajegan,
kesinambungan, berkelanjutan). Beberapa upaya tersebut diantaranya adalah:
1) Sosialisasi (Penanaman Nilai-Nilai Budaya) Melalui Pendidikan
a. Pendidikan Non-formal
Nahdlatul’Ulama pada zaman dahulu hingga sekarang memiliki
lembaga pendidikan non-formal andalan yang digunakan untuk
mensosialisasikan tradisi Islam Nusantara dari generasi ke generasi,
yaitu pondok pesantren. Tidak mudah memang untuk tetap eksis di
tengah modernitas yang menggila ini. NU tetap menjaga
ketradisionalannya dengan tidak mengesampingkan perkembangan
zaman.
Banyak pondok pesantren kuno yang masih eksis sampai
sekarang tetapi tidak kehilangan identitas tradisionalnya. Pesantren-
pesantren tersebut dalam pendidikannya mulai berorientasi pada
modernitas dengan tetap berpijak pada tradisi. Jika di Barat,
modernitas dinilai tidak banyak memiliki keterkaitan dengan periode

11
Abdul Mun’im DZ, “Mempertahankan Keragaman Budaya,“ dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14, Tahun
2003, 7.

6
sebelumnya, maka di pesantren modernitas dipandang sebagai mata
rantai dari gugusan peradaban Islam sebelumnya12.
b. Pendidikan Formal
Meskipun gigih mempertahankan tradisi, tetapi NU juga tetap
bersikap menyesuaikan zaman. Maka pada tanggal 19 September 1929
didirikanlah lembaga pendidikan formal di bawah naungan Nahdlatul
‘Ulama yaitu L.P. Ma’arif NU yang meliputi TK, SD, SLTP,
SMU/SMK, MI, MTs, MA, dan beberapa perguruan tinggi.
Salah satu mata pelajaran wajib yang ada dalam setiap lembaga
pendidikan ma’arif adalah pelajaran Ke-NU-an (Ke-Aswaja-an)
sebagai upaya sosialisasi untuk mengenalkan paham Ahlussunnah Wal
Jama’ah Annahdliyyah yang selalu memegang teguh tradisi Islam
Nusantara.
2) Melalui Badan Otonom LESBUMI
Dalam bidang kesenian, NU memiliki sebuah badan otonom yang
disebut LESBUMI, merupakan singkatan dari Lembaga Seniman dan
Budayawan Muslimin Indonesia. Lembaga ini didirikan pada 28 Juni 1962.
Dalam sejarah, berdirinya lembaga ini dipimpin oleh tokoh perfilman
Indonesia, yaitu: Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani dan lainnya.
LESBUMI memiliki peranan penting dalam menghadang seniman
komunis yang bergabung didalam lembaga kesenian rakyat (LEKRA).
Organisasi LESBUMI memilki peran penting dalam menyaingi LEKRA, dan
menguasai jalur perfilman nasional. Selain itu, lembaga ini dijadikan sebagai
salah satu jembatan dakwah menggunakan media seni. Hal ini sesuai dengan
salah satu pinsip dari NU yang menjadikan wali sanga sebagai lambang NU.
Di dalam konteks budaya NU, memiliki kaitan erat dengan budaya
pesantren. Kehadiran LESBUMI di NU dianggap sebagai salah satu bentuk
modernisasi dalam organisasi dan budaya. LESBUMI tidak hanya
mengembangkan kesenian Islam saja akan tetapi LESBUMI juga
mengembangkan kesenian tradisional13.

12
Said Aqil Siraj (2006: 199)
13
Choirotun Chissan, Lesbumi Sebagai Strategi Politik Kebudayaan, (Yogyakarta: Lkis, 2008)

7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nahdlatul ‘Ulama sangat erat hubungannya dengan kearifan lokal di
Nusantara karena organisasi tersebut mampu mengintegrasi antara nilai Islam dan
kearifan lokal setempat. NU memberikan apresiasi yang tinggi kepada
keberlangsungan budaya lokal dan memberikan sentuhan nilai-nilai Islam terhadap
kebudayaan dan tardisi yang dipandang belum islami.
Dalam beragama dan berbudaya, NU mengambil sikap bijaksana dengan
mengambil sisi positifnya. Bagi NU, kebudayaan selalu bisa menjadi instrumen
melaksanakan keyakinan agama agar menjadi lebih kafah. NU menjunjung tinggi sikap
moderasi beragama tasamuh, tawasuth, dan tawazun. NU memegang konsep ukhuwah
Islamiyah, basyariyah, dan wathaniyyah. NU juga mengedepankan Islam terlebih
dahulu sebagai sistem dari kultur Indonesia.
NU berperan besar dalam upaya pelestarian budaya dan kearifan lokal di
Nusantara sejak berdirinya hingga saat ini dan bahkan bertekad untuk terus
melestarikannya di kemudian hari. Ada banyak cara/upaya NU dalam melestarikan
budaya di Indonesia, namun 2 diantaranya adalah melalui lembaga pendidikan dan
badan otonom LESBUMI.

B. SARAN
Sebagai generasi nahdliyyin, kami mengajak kepada seluruh elemen Nahdlatul
‘Ulama baik dari jajaran kepengurusan tertinggi hingga paling rendah maupun warga
nahdliyyin supaya tidak pernah lelah dan kalah dalam menghidupkan tradisi Islam
Nusantara yang berlandaskan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah Annahdliyyah.
Setidaknya ingatlah dua hal :
1. Petuah bijak dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, “Barangsiapa yang
mau mengurus NU akan aku anggap sebagai santriku. Siapa yang menjadi
santriku akan kudoakan khusnul khatimah beserta anak-cucunya.”
2. Perjuangan NU dalam membersamai dan menjaga keutuhan NKRI dari
zaman sebelum merdeka hingga sekarang ini.

Dengan minimal mengingat dua hal tersebut, kita sebagai generasi penerus akankah
berdiam diri dan tidak tergerak hatinya untuk turut berkontribusi dalam rangka
berbakti pada agama dan negeri?
8
DAFTAR PUSTAKA

AM, Munawwar. Artikel “5 Butir Mabadi Khairu Ummah, Pengertian dan Penjabarannya”.
2015. NU Cilacap Online. https://pcnucilacap.com/5-butir-mabadi-khaira-ummah/
diakses pada 17 April 2023 pukul 20.35 WIB.

Chissan, Choirotun. Lesbumi Sebagai Strategi Politik Kebudayaan. 2008. Yogyakarta: Lkis.

Coadmin. Artikel “Pengertian dan Latar Belakang Khittah Nahdliyyah” . 2019.


Laduni.id. https://www.laduni.id/post/read/61602/pengertian-dan-latar-belakang-khittah-
nahdliyyah diakses pada 17 April 2023 pukul 21.30 WIB.

Fuadi, Moh. Ashif. 2022. Al-Fikra : Jurnal ilmiah Keislaman. Tradisi Pemikiran Moderasi
Beragama Nahdlatul Ulama (Nu). Vol. 21, No. 1. UIN Raden Mas Said Surakarta,
Indonesia.

Mun’im DZ, Abdul. 2003. Jurnal Tashwirul Afkar. Mempertahankan Keragaman Budaya.

Syafi’I, Ahmad. Artikel “Menunggu Peran NU dalam Melestarikan Lingkungan”. 2021.


Times.id. https://ibtimes.id/menunggu-peran-nu-dalam-melestarikan-lingkungan/ diakses
pada : 17 April 2023 pukul 21.00 WIB.

Zuhri, Achmad Muhibbin. 2010. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah
wa al-Jama’ah. Surabaya: Khalista.

Anda mungkin juga menyukai