Anda di halaman 1dari 109

PRANATA SOSIAL

JAWA

DR. PURWADI, M. HUM

ISBN 978-979-16061-1-0

YOGYAKARTA
PENERBIT TANAH AIR
KATA PENGANTAR

Buku ajar ini digunakan untuk memperlancar proses belajar mengajar mata
kuliah Pranata Sosial Jawa. Keberadaan struktur sosial Jawa telah didukung oleh
lembaga-lembaga adat yang telah mengakar di lingkungan masyarakat. Nilai-nilai
etis filosofis yang terkandung dalam kesusastraan dan kesenian semakin
memperkokoh jati diri budaya Jawa. Seiring dengan perkembangan zaman, nilai
luhur budaya Jawa tetap diwariskan secara turun-temurun. Usaha pelestarian
sosial budaya yang dilakukan oleh masing-masing generasi tersebut masih
berlanjut hingga sekarang, dengan mengalami kreasi dan modifikasi baru, nuting
jaman kelakone.
Sistem penyelenggaraan upacara tradisional dilakukan demi memenuhi
kebutuhan rohani yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Jawa.
Siklus hidup manusia yang meliputi masa kelahiran, perkawinan dan kematian
mendapat perhatian dengan melakukan upacara khusus. Tujuannya adalah
memperoleh kebahagiaan lahir batin, setelah mengetahui hakikat sangkan
paraning dumadi atau dari mana dan ke mana arah kehidupan. Dalam hal ini,
puncak pribadi manusia paripurna ditandai oleh kemampuannya dalam
mengendalikan diri sebagaimana tersirat dalam ngelmu kasampurnan yang
menghendaki hubungan selaras antara Tuhan dan alam.
Pranata sosial Jawa bersifat spiritual religius dengan titik orientasi
manunggaling kawula Gusti. Keutamaan hidup dalam bidang keruhanian
tercermin dalam sesanti agama ageming aji, bahwa agama merupakan sarana
pokok untuk memperoleh kemuliaan tertinggi. Sedangkan hubungannya dengan
tertib kosmis berpangkal tolak dari idiom mangasah mingising budi, memasuh
malaning bumi. Penajaman akal budi yang berintegritas dan menghindari polusi
yang destruktif menjadi sarat mutlak dalam pengelolaan alam sekitar. Dengan
demikian pranata sosial Jawa dapat membuat tata laksana hubungan manusia
dengan Tuhan serta alam berlangsung secara harmonis.

Yogyakarta, 10 Oktober 2008

Dr. Purwadi, M.Hum

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I . SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT JAWA

BAB II. PERHITUNGAN PRANATA MANGSA

BAB III. TATA LAKSANA UPACARA PERKAWINAN

BAB IV. PANDANGAN TERHADAP KEHIDUPAN MAKHLUK HALUS

BAB V. PELAKSANAAN UPACARA SELAMATAN

BAB VI. UPACARA TRADISIONAL DAN TERTIB KOSMOS

BAB VII. KIDUNG PENOLAK BALAK

DAFTAR PUSTAKA

BIOGRAFI PENULIS

3
BAB I

SISTEM KEPERCAYAAN

MASYARAKAT JAWA

Orang Jawa pada umumnya cenderung untuk mencari keselarasan dengan

lingkungannya dan hati nurninya, yang sering dilakukan dengan cara-cara

metafisik. (Selo Soemardjan, 1974: 83). Gerakan-gerakan kebatinan, munculnya

gerakan-gerakan yang jumlahnya demikian besar, merupakan suatu kesadaran

akan kebudayan kejawen, dan bahwa ”..... at least part of the Abangan cultural

awakening has been brough about by the vehement pursuit of organized Islam to

push its views and ways of life upon the syncretism mojority of the Javanese

population.” (Niels Mulder, 1975: 3).

Gerakan mistik dianggapnya merupakan tema pokok dalam kebanyakan

gerakan kebatinan di Jawa. Hal itu tentu saja tidak benar. Paling sedikit empat

macam gerakan kebatinan di Jawa, yaitu : 1). Yang berpokok pada mistik 2).

Yang berpokok pada teosofi 3). Gerakan-gerakan moralistik dan etik yang

berpokok pada pemurnian jiwa, dan 4). Gerakan-gerakan yang berpokok pada

praktek-praktek ilmu gaib dan ilmu dukun (Subagya, 1973:39-45). Semua itu,

kecuali jenis gerakan kebatinan yang berpokok pada teosofi akan kita bicarakan

dalam alinea-alinea berikut ini.

Banyak dari gerakan mesianik timbul dalam suatu suasana sosial budaya,

di mana penduduk pedesaan tidak puas dengan eksploitasi ekonomi yang

dilakukan terhadap mereka, serta tekanan-tekanan administratif yang dikenakan

pada mereka oleh pemerintah kolonial setempat, dan di mana rusaknya tradisi

4
sebagai akibat dari perubahan kebudayaan yang berlangsung terlalu cepat itu telah

menyebabkan tidak puasnya mereka. Dalam kebanyakan kasus gerakan mesianik,

seorang pemimpin karismatik yang telah memiliki kekuatan gaib untuk dapat

menyembuhkan dan yang dianggap telah menerima panggilan untuk melakukan

gerakan mesianik, mampu menghimpun suatu jumlah penganut yang lumayan

banyaknya.

Sifat dari hampir semua gerakan mesianik Jawa pada umumnya adalah

untuk berusaha kembali ke kebudayaan dan tradisi nenek moyang, dan

mengagung-agungkan kebudayaan dan tradisi nenek moyang itu. Karena tradisi

seperti itu sering dianggap telah dilanggar oleh orang-orang yang berpikiran

menurut jaman masa kini, yang terpengaruh oleh pendidikan Belanda dan

kebudayaan masing, dan juga oleh para pegawai pemerintah setempat yang

mendapat tekanan dari pemerintah kolonial, maka keinginan utama, atau harapan

yang tetap dikobarkan dengan ritus-ritus dalam gerakan-gerakan mesianik Jawa

itu adalah kebangkitan kembali dari kebudayaan tradisional nenek moyang dan

didirikannya kembali suatu kerajaan yang dipimpin oleh seorang Ratu Adil.

Mereka yakin bahwa akan terjadi suatu bencana yang didahului oleh kelaparan,

epidemi, panen gagal, bencana alam, dan jaman edan.

Sifat gerakan mesianik Jawa ini mirip dengan gerakan cargo yang terjadi

di Irian Jaya, Papua Nuigini dan Melanesia, selama hampir satu setengah abad

yang lalu. Seperti apa yang kita ketahui, banyak dari gerakan cargo ini meledak

menjadi gerakan-garakan yang menentang pemerintah, yang anti kolonialisme,

dan anti orang asing. Di Jawa gerakan-gerakan itu juga mulai melakukan

5
kekerasan ketika para pemimpinnya berperan sebagai Ratu Adil dan

memerintahkan perang jihad untuk menggulingkan pemerintah kolonial atau

pemerintah daerah setempat.

Dalam agama Islam mistik juga diakui, dan telah menjadi pranata keramat

yang resmi, dengan sebutan thasawuf. Para ahli mistik Islam disebut sufi, dan

istilah sufisme yang menjadi terkenal dalam karangan-karangan mengenai studi

Islam, berasal dari istilah itu. Orang-orang yang menganut aliran itu di Indonesia,

khususnya Jawa, biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut

tarekat, di bawah pimpinan seorang guru (mursyid) yang disegani, yang oleh

penduduk di sekitarnya biasanya disebut kyai.

Untuk menjadi seorang guru mistik, orang biasanya sudah menjalani

latihan dalam sebuah pesantren atau dalam tarekat lain, dan telah mendapat suatu

ijazah atau sertifikat. Dengan ijazah itu ia dapat mendirikan pesantren atau tarekat

baru. Namun biasannya ia hanya meneruskan pesantren atau tarekat yang diwarisi

dari ayahnya. Walaupun banyak yang benar-benar telah menjalani latihan untuk

menjadi guru dan ahli mistik, banyak juga yang sebenarnya bukan guru yang

sesungguhnya, melainkan hanya merupakan pemimpin yang memilki kharisma.

Para pemimpin tarekat yang terkenal biasanya mempunyai riwayat hidup

yang panjang mereka biasanya mulai belajar ilmu mistik pada guru-guru terkenal

juga di berbagai pesantren atau tarekat, dan kemudian mengajar di berbagai

pesantren dan sekolah tarekat. Baru setelah mereka merasa cukup pengalaman,

mereka mulai mendirikan tarekat sendiri. Di Pulau Jawa ada beberapa aliran

mistik yang terpusat di beberapa daerah tertentu. Suatu pesantren tarekat

6
menganut aliran mistik yang sesuai dengan latar belakang pendidikan serta

orientasi pemimpinnya. Dengan demikian kita mengenal tarekat Qodariyyah,

tarekat Naqshabandiyyah, tarekat Syaththariyyah, tarekat Siddiqiyyah, tarekat

Wahidiyyah, tarekat Sazaliyyah dan lain-lain. Kedua tarekat tersebut pertama

adalah aliran-aliranya sudah masuk ke Indonesia sejak awal abad ke-17 dan

terutama berkembang di daerah Banten, Priangan, dan Pesisir Barat di Cirebon

(Soebardi, 1978: 76). Aliran yang lain lebih banyak terdapat di Jawa Timur.

Tarekat Syaththariyyah juga sudah tua umurnya, tetapi tarekat Shiddiqiyyah dan

Wahidiyyah masih relatif muda, dan umumnya terdapat di sepanjang aliran sungai

Brantas, yaitu di kota Kediri dan Pare.

Seringkali rasa solidaritas para siswa, para penganut, dan para pengikut

suatu pesantren tarekat dibuat intensif dengan mengadakan ritus-ritus sekeliling

makam tokoh–tokoh pemimpin legendaris dari tarekat itu, yang dibangun di

halaman pesantren. Makam ini oleh para siswa, penganut dan pengikut pesantren

tarekat itu dipuja-puja sebgai sesuatu pepundhen , tetapi juga oleh penduduk desa-

desa sekelilingnya, yang bahkan tidak dapat kita kategorikan sebagai santri.

Para siswa pesantren tarekat mendapat pelajaran dalam berbagai cabang

ilmu pengetahuan agama Islam, yaitu ilmu fiqh (hukum Islam), ilmu kalam

(teologi), dan ilmu tasawuf (ilmu mistik) seperti dalam sekolah-sekolah pesantren

biasa, tetapi mereka didik untuk menjalankan kewajiban agama dengan lebih

ketat, taat sepenuhnya kepada guru, dan diharuskan membaca zikir. Zikir

merupakan kegiatan keagamaan yang terpenting dalam suatu tarekat, dan jenis

7
zikir yang dilakukan, yaitu zikir jahar, atau zikir kapi, atau suatu kombinasi dari

keduanya, dilakukan sesuai dengan aliran mistik tarekat yang bersangkutan.

Menurut para ahli yang telah mengamati berbagai pesantren tarekat

berbeda dengan pesantren biasa, tarekat juga mempunyai siswa serta penganut

yang sudah lebih tua usianya, yang bergabung karena merasakan tekanan ekonomi

yang terlalu berat, tetapi mungkin juga karena mereka merasa tidak cocok untuk

hidup dalam masyarakat yang mereka anggap telah bobrok itu. Banyak juga di

antara mereka yang datang ke pesantren tarekat karena ingin mendapatkan

ketenangan batin, dan bukan untuk mempelajari hukum atau teologi.

Para siswa serta para anggota dari suatu pesantren tarekat tidak selamanya

harus tinggal di komplek pesantren, tetapi mereka diwajibkan untuk menjalankan

kehidupan yang ketat dan berdisplin seperti para sufi yang memilih tinggal di

pesantren, menjauhi kebendaan, melakukan sholat, dan lebih banyak menjalankan

puasa dari pada orang Islam lainnya. Kecuali itu mereka juga harus turut latihan

zikir dengan ketat. Sewaktu melakukannya mereka harus mengunakan jubah sufi

berwarna putih.

Seorang guru tarekat yang termasyhur kadang-kadang juga mempunyai

banyak pengikut orang biasa, yang tak turut menjalankan latihan-latihan zikir.

Mereka sering datang ke masjid untuk mendengarkan khotbah-khotbahnya, atau

mengunjungi makam pendiri tarekat yang bersangkutan. Ahli filologi Soebardi,

yang telah lama meneliti beberapa gerakan tarekat dan sekolah tarekat di Jawa

Barat dan daerah Cirebon di Jawa Tengah, melaporkan bahwa banyak pesantren

tarekat itu bersifat tertutup dan menyendiri. Para anggotanya umumnya sangat

8
mencurigai orang luar, dan menolak untuk menerima segala bentuk perubahan

sosial budaya maupun penemuan baru. Tetapi para pengamat pesantren tarekat

juga melaporkan bahwa banyak pesantren tarekat lain yang bersifat lebih terbuka

terhadap pegaruh-pengaruh jaman baru (Soebardi, 1978: 130).

Gerakan-gerakan agama yang bersifat Islam puritan, menghendaki

kembalinya agama Islam kepada pelajarannya yang asli. Hubungan antara

pemimpin dari suatu gerakan Islam santri dengan para pengikutnya itu dalam

banyak hal mirip dengan hubungan antara pemimpin suatu pesantren tarekat

dengan para pengikutnya. Bedanya, dalam gerakan Islam santri yang puritan itu

upacara zikir tidak ada.

Salah satu gerakan puritan yang ada adalah Sekte Budiah, yang didirikan

pada petengahan abad ke-19 oleh Haji Mohammad Rifangi dari desa Kalisalak.

Ahli sejarah Sartono Kartodirdjo yang meneliti sejarah gerakan ini (1973: 118-

127) melaporkan bahwa para penganut gerakan itu sekarang. Masih ada di

Pekalongan dan daerah Bagelen. Sartono juga menyebutkan bahwa gerakan

puritan Islam tidak melakukan kegiatan pemberontakan yang nyata, walaupun

mereka memang menentng pemerintah dan mengutuk agama-agama asing yang

berkembang di sini. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip gerakan tarekat,

yang seperti apa telah terbukti dalam sejarah, seringkali merupakan sumber

kegitan pemberontakan.

Juga gerakan Imam Mahdi mempunyai potensi yang lebih besar untuk

berkembang menjadi kegiatan pemberontakan, yang mungkin disebabkan karena

sifat dari gerakan mesianik, yang memang bertujuan untuk membangkitkan

9
kesadaran orang akan datangnya seorang Ratu Adil. Lagi pula, gerakan mesianik

dengan mudah sekali dapat membangkitkan apara penganutnya untuk melakukan

perang jihad, atau perang sabil.

Adanya gerakan-gerakan yang juga memberontak terhadap kekuasaan

yang ada dengan dasar melakukan jihad, tetapi dengan menggunakan teror,

perampokan, intimidasi dan cara-cara kriminal lainnya. Ia membuat suatu

pelukisan dari sejarah dari suatu gerkan semacam itu yang ada di daerah Priangan

dan Banten dalam tahun-tahun sekitar 1920, tetapi ia juga menyebutkan berbagai

gerakan yang mirip, yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam usaha

menghidupkan kembali suatu masyarakat tradisional atau mengembalikan agama

kepada bentuknya yang asli, dapat dimengerti bahwa upacara dan tindakan-

tindakan ilmu gaib malahan banyak sekali digunakan. Ilmu gaib memang

merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan petani maupun

kebudayaan priyayi.

Peranan Pemuka Adat sangat berpengaruh pada kehidupan orang Jawa,

misalnya saja kehadiran para dhukun. Kata dhukun mempunyai arti yang sangat

luas. Bukan hanya orang yang ahli dalam ilmu petangan saja yang mendapat

sebutan seperti itu, tetapi juga orang yang menjalankan praktek penyembuhan

tradisional, ilmu gaib dan ilmu sihir. Sebutan dhukun bahkan tidak hanya untuk

orang yang melakukan aktifitas ilmu gaib saja, melainkan juga untuk orang yang

ahli dalam membantu wanita pada waktu melahirkan, yaitu seorang dhukun bayi,

ahli pijat yang disebut dukun pijet, ahli sunat yang dinamakan dhukun calak, atau

ahli merias pengantin yaitu dhukun paes. Sebutan dhukun mungkin mereka

10
peroleh karena mereka dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai

berbagai upacara adat yang berhubungan dengan peritiwa bersangkutan. Seorang

dhukun bayi tahu semua upacara adat yang harus dilakukan pada waktu seorang

bayi dilahirkan, dhukun pijet mempunyai pengetahuan yang luas mengenai jamu-

jamu tradisional yang dipakai untuk memulihkan tenaga, dhukun calak

mengetahui dengan tepat upacara adat apa yang harus dilakukan berhubungan

dengan khitanan, demikian juga seorang dukun paes mengetahui segala seluk

beluk yang berhubungan dengan upacara dan persyaratan upacara adat serta

slametan sekitar pernikahan.

Berbagai macam dhukun yang dikenal oleh orang Jawa dapat kita bagi ke

dalam empat kategori berdasarkan keempat jenis tindakan ilmu gaib yang telah

kita sebutkan di atas. Para dhukun yang melakukan ilmu gaib produktif sering kali

termasuk golongan sosial yang dihormati dan disegani dalam masyarakat mereka,

dan biasanya melaksanakan tugas mereka pada upacara umum. Seperti pada

upacara bersih dhusun, atau mereka kerap kali juga minta untuk melakukan

berbagai upacara yang berkenaan dengan pertanian. Beberapa di antara mereka

dianggap mampu mendatangkan hujan, dan mereka sering kali diminta untuk

mencegah suatu bencana yang diduga akan datang, dan bahkan untuk mencarikan

benda-benda atau orang yang hilang. Dhukun seperti ini tidak merupakan ahli

dalam hal menyembuhkan orang, tetapi pekerjaan mereka sehari-hari biasanya

adalah sebagai tukang, pandai besi, dalang dan sebaginya.

Para dhukun yang melakukan ilmu gaib agresif atau destruktif adalah para

dhukun sihir atau dhukun tenung. Mereka merupakan suatu kategori khusus dalam

11
suatu masyarakat: orang-orang yang mempunyai maksud baik tidak akan pergi

kepada seorang dhukun tenung, dan para dukun yang melakukan ilmu gaib

produktif dan protektif tidak melakukan ilmu hitam. Para dukun ilmu hitam

biasanya melayani orang-orang yang mempunyai maksud yang tidak baik, seperti

misalnya penjahat. Namun adakalanya orang biasa pun ingin agar musuh atau

saingannya disakiti atau dirugikan, dan untuk tujuan itu mereka pergi ke seorang

dukun sihir.

Akhirnya ada segolongan dukun yang ahli dalam hal meramal dan dalam

hal menghitung-hitung tanggal dan hari yang baik, yaitu para dukun petangan

tersebut di atas. Jasa-jasa mereka tidak hanya diperlukan oleh para petani yang

ingin mengetahui saat yang paling baik untuk memulai menanam benih padi, atau

oleh para pedagang yang ingin mengatahui pada hari apa mereka sebaiknya

mengadakan perjalanan untuk melakukan transaksi usaha dagang mereka, atau

oleh orang-orang yang minta dicarikan hari yang cocok untuk melangsungkan

pernikahan anaknya, tetapi juga oleh seorang kepala polisi yang ingin mengetahui

tempat disembunyikannya barang-barang curian warga.

Dalam ilmu gaib Jawa ada dukun yang memiliki kepandaian yang khusus,

yaitu sebagai peramal (dhukun petangan). Kecuali meramal, ahli-ahli peramal

Jawa harus mempelajari berbagai teknik meramal yang bersifat universal, seperti

misalnya meramal dengan menghitung hubungan antar bintang (astromancy),

meramal dengan perhitungan berdasarkan letak tulang belulang yang disebarkan

berserakan (astragolomancy), meramal dengan menghitung jatuhnya usus ayam

yang ditaburkan (haruspication), meramal dengan mengamati arah terbang dan

12
suara burung (ornithomancy) dll. Seperti kita lihat dalam buku-buku pegangan

mengenai ilmu gaib dan ilmu meramal, yaitu dalam buku-buku Primbon, ilmu

meramal penting dan banyak sekali digunakan dalam ilmu gaib dan ilmu meramal

adalah ilmu petangan (Koentjaraningrat, 1986: 214).

Petangan adalah cara menghitung saat-saat serta tanggal-tanggal yang

baik, dengan memperhatikan kelima hari pasaran, tanggal-tanggal penting yang

ditentukan pada sistem-sistem penanggalan yang ada, yang memang dimanfaatkan

oleh orang Jawa untuk berbagai tujuan. Seperti telah kita lihat di atas, kelima hari

pasar mempunyai tempatnya sendiri di dalam kelima kategori yang ditentukan

oleh sitem klasifikasi prelogik orang Jawa, dan karena itu merupakan perantara

antara tanggal-tanggal pada berbagai penanggalan, dan alam semesta manusia.

Kecuali membagi waktunya dalam kesatuan waktu siang dan malam,

orang Jawa juga mengenal paling sedikit tiga jenis pekan, yaitu yang terdiri dari

lima pasar (pancawara), yang konon merupakan kesatuan waktu Austrenesia

Kuno, yang terdiri dari enam hari (sadwara), dan yang terdiri dari tujuh hari

(saptawara). Orang Jawa masih menggunakan penanggalan Hindu–Jawa yang

kuno, yang berselisih 78 tahun dengan penanggalan Nasrani, untuk berbagai

tujuan tertentu. Penanggalan Islam Jawa yang berdasarkan peredaran bulan terdiri

dari 12 bulan, juga digunakan. Bulan-bulan yang ganjil terdiri dari 30 hari, dan

yang genap 29 hari, kecuali dalam tahun yang ke-12, di mana bulan yang ke-12

juga terdiri dari 30 hari. Tahun-tahun kabisat dalam penanggalan Muslim-Jawa ini

terjadi setiap dua, empat dan delapan tahun dalam setiap windu. Kecuali windu,

orang Jawa juga menganggap selapan sebagi kesatuan waktu, yang terdiri dari 35

13
hari, dan wiku yang terdiri dari 30 pekan tujuh hari (jadi 210 hari). Sistem yang

terkhir ini mungkin pengaruh Austronesia.

Untuk menentukan hari-hari dan tanggal-tanggal yang baik untuk

melakukan pekerjaanya penting dalam kehidupan seseorang, seperti misalnya

bepergian jauh, menikah, atau untuk dapat mujur dalam berjudi, seorang ahli ilmu

petangan harus memperhitungkan dan membuat perhitungan berdasarkan berbagai

sistem kalender yang ada, dan berdasarkan angka-angka keramat (neptu) yang ada

dalam tiap penanggalan itu, tetapi ia juga harus berusaha mengetahui posisi dari

dewa-dewa dan mahluk-mahluk gaib lainnya di berbagai penjuru mata angin pada

tanggal tertentu, dan arah gerak dari dewa-dewa serta mahluk-mahluk gaib itu.

Kehadiran dan arah gerak mereka tentu sangat penting dan besar pengaruhnya

terhadapp manusia, karena mereka yakin bahwa periaku masnuia danberhasil-

tidaknya manusia dalam menjalankan sesuatu ditentukan oleh konstelasi para

dewa dan mahluk gaib.

Sampai sekarang pun hampir semua orang Jawa, juga yang hidupnya

sudah sangat terpengaruh oleh gaya hidup masa kini, masih memerlukan seorang

dhukun petangan paling sedikit sekali dalam hidupnya, yaitu apabila ia harus

menentukan tanggal untuk merayakan pernikahannya. Dalam kebudayaan Jawa

orang memang belum dapat mengabaikan kehadiran seorang dhukun petangan.

Para dukun, termasuk mereka yang melakukan praktek ilmu hitam, dalam

kehidupan sehari-hari biasanya adalah orang biasa, yang hidup bergaul dengan

warga desa lainnya. Beberapa di antara mereka bahkan tidak khusus bekerja

sebagai dhukun. Namun jelas bahwa aktifitas sebagai dukun yang berhubungan

14
dengan penyembuhan, peramalan, serta yang dapat berperan sebagai medium dan

sebagainya, menuntut suatu kemampuan yang khusus. Kemampuan khusus ini

mungkin sebagian diperoleh karena mempunyai bakat, tetapi sebagian besar

didapatnya dengan belajar.

Untuk menjadi dukun tentu tidak ada sekolah formal. Para calon dukun

mula-mula bekerja sebagai pembantu dari seorang dukun, yang biasanya adalah

orang tua mereka sendiri. Dengan demikian ada kesan seakan-akan keahlian itu

diwariskan kepada keturunannya. Kecuali mampu meramal masa depan dan

mengobati orang sakit, yaitu keahlianya diangap sudah ada dalam diri seorang

dukun, orang yang ingin menjadi dukun harus belajar berbagai teknik khusus

untuk melakukan ritus-ritus untuk menyembuhkan dan ritus-ritus ilmu gaib, ia

juga harus mengetahui khasiat dari berbagai tumbuh-tumbuhan, menghafal

mantera-mantra, dan tentu saja juga mempelajari buku-buku primbon, terutama

mereka yang ingin memiliki kepandaian ilmu gaib petangan, mereka yang ingin

memiliki kepandaian untuk mengobati orang harus mempelajari buku-buku usada

dan sebagainya.

Orang Jawa sangat yakin bahwa kemampuan serta ketrampilan yang

dimiliki oleh seorang dukun hanya dapat diperoleh dengan melakukan disiplin

yang ketat dan bertapa. Karena itu orang yang menjadi dukun sering menjalankan

puasa, bersamadi dan melakukan latihan-latihan kebatinan lainnya. Cara-cara

inilah yang terutama membuat orang percaya bahwa seorang dukun memiliki

kekuatan yang luar biasa. Berbagai cerita yang kemudian beredar mengenai

kekuatan sakti seorang dukun tertentu, membuatnya terkenal.

15
Geertz agaknya benar bila ia mengatakan bahwa para dukun ilmu gaib

Jawa menggunakan teknik-teknik ilmu gaib, ucapan mantra-mantra dan

memberikan jamu tradisional, tetapi yang terpenting adalah kondisi dari para

pelakunya sendiri. Baik pria maupun wanita dapat menjadi dukun. Walaupun

demikian upacara umum yang bersifat religio magic selalu dilakukan oleh seorang

dukun pria. Demikian khitanan selalu dilakukan seorang dukun pria. Sebaliknya,

seorang dukun bayi dan seorang dukun yang bertindak sebagai medium adalah

selalu wanita. Dukun pijat kadang-kadang pria kadang-kadang wanita. Seorang

yang menjadi dukun pada umumnya adalah orang dewasa yang sudah setengah

tua. Tetapi ada kalanya kita juga melihat dukun yang masih kanak-kanak, yang

konon memiliki kemampuan untuk mengobati dan meramal, dan ada anak-anak

gadis yang menjadi dukun prewangan, yang dapat mengundang roh ke dalam

tubuhnya.

Dalam masyarakat Jawa dukun tidak merupakan suatu kelas sosial

tersendiri. Mereka pada umumnya tinggal di daerah pedesaan, dan karena itu

termasuk golongan sosial petani dan tiyang alit. Mereka pada umumnya tidak

tergolong yang paling miskin, bahkan banyak yang termasuk orang-orang yang

disegani di desa, yang pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai tukang pandai besi,

dalang, guru agama dan pegawai pemerintah daerah. Di kota-kota pun banyak

dukun, yang kendatipun kadang-kadang melakukan praktek perdukunan, sering

kali bekerja sebagai pegawai negeri sehingga dapat dimasukkan ke dalam kategori

orang priyayi. Bekerja sebagai dukun merupakan pekerjaan mereka yang kedua.

Akhirnya ada dukun yang lebih banyak berorientasi kepada agama Islam, dan

16
mereka ini dinamakan dukun santri. Mereka pada umumnya melakukan praktik

sebagai dukun penyembuh penyakit, untuk mana mereka banyak menggunakan

ayat-ayat suci dan mantra-mantra dalam bahasa arab untuk kegiatan mereka.

Tetapi ada kalanya mereka juga menggunakan buku-buku Primbon untuk

menghitung petungan, dan buku-buku usada untuk cara-cara pengobatan.

Seperti pada banyak kebudayaan di dunia, ilmu gaib (ngelmi) dan tenung

pada orang Jawa merupakan sub sistem dari religi, karena mengenai manusia yang

berhubungan dengan kekuatan–kekuatan supranatural, dan karena itu dianggap

keramat. Orang Jawa menganggap ngelmi itu bagian dari religi. Walaupun

demikian, ia dapat dibedakan dari religi, karena dari orang yang melakukannya

diperlukan sikap yang berbeda dalam menghadapi kekuatan-kekuatan gaib. Orang

yang melakukan praktek ilmu gaib berusaha mencapai suatu tujuan dengan cara

aktif, yaitu dengan menganggap bahwa ia dapat memanipulasi dan mengendalikan

berbagai kekuatan gaib. Dalam menjalankan aktifitas itu ia mengucapkan mantra-

mantra di mana ia mengutarakan kehendaknya (gadhah pikajeng). Sebaliknya,

orang yang melakukan suatu upacara religi menyerahkan dirinya sepenuhnya

kepada mahluk-mahluk gaib yang lain, dan berdoa agar permintaannya bisa

terkabul (nyenyuwun).

Berbagai sistem keyakinan orang Jawa mengandung konsep mengenai

hubungan jalin menjalin antara segala unsur serta aspek alam semesta ini dan

antara lingkungan sosial serta spiritual manusia. Untuk berhubungan dengan alam

semesta dan lingkungannya itu seseorang yang melakukan upacara gaib oleh

karena itu berpegangan pada suatu sistem klasifikasi simbolik yang dimilikinya

17
berdasarkan asas-asas “pikiran asosiasi prelogik”. Berdasarkan sistem ini berbagai

hal yang terdapat dalam lingkungan alam serta kehidupan sosial budaya

seseorang, seperti misalnya bagian-bagian tubuh, sifat-sifat kepribadian

seseorang, keadaan perasaan orang, hari-hari pasar, makanan dan minuman,

keselamatan, pekerjaan, planet-planet dan benda-benda ruang angkasa lain, dewa-

dewa, mahluk-mahluk halus dan sebagainya, diklasifikasikan menjadi lima

kategori pokok. Seorang ahli hukum Van Ossenbruggen, adalah orang yang

pertama yang menyinggung mengenai “sistem klasifikasi primitif”, atau sistem

klasifikasi prelogik, orang Jawa. Van Ossenbruggen, mendasarkan diri kepada

suatu hipotesa yang diajukan ole E. Durkheim dan M. Mauss bahwa pikiran

prelogik manusia pada awal perkembangan kebudayaannya membayangkan

bagian-bagian dari masyarakatnya sebagai dasar suatu kerangka berpikir, di dalam

mana harus diklasifikasikan semua konsep yang dikenalnya dan semua gejala

yang ada dalam lingkungannya.

Orang Jawa membagi masyarakatnya ke dalam lima bagian yang

ditentukan oleh keempat arah mata angin dan titik pusatnya. Kelima bagian itu

memang merupakan kelima ketegori pokok tersebut di atas, ke dalam mana alam

semesta orang Jawa diklasifikasikan. Klasifikasi itu sendiri sudah dengan

sendirinya terpahat di dalam jiwanya, yang dipengaruhi oleh asas-asas pikiran

asosiasi prelogik. Hal ini menyebabkan bahwa orang yang menyangka ada suatu

kaitan yang erat antara gejala-gejala yang seringkali berbeda sama sekali dalam

prinsip dan fungsinya, tetapi yang kebetulan mirip dalam hal bentuk atau

warnanya, yang terjadi bersamaan, berurutan, dan saling tumpang tindih, yang

18
terjadi di tempat yang sama, atau yang disebut dengan istilah–istilah yang mirip

bunyinya.

Orang Jawa yang sedang melakukan tindakan ilmu gaib, misalnya, yakin

bahwa sebuah nasi tumpeng dan sebuah gunung mempunyai kaitan yang

mendalam, yang disebabkan karena persamaan bentuknya, bahwa padi sudah

masak kekuning-kuningan, dan emas dua (praos) berkaitan, karena persamaan

warnanya juga saling berkaitan. Orang Jawa yang condong untuk percaya kepada

ilmu gaib juga yakin bahwa dapur adalah bagian rumah yang paling lemah, karena

dapur merupakan tempat para wanita, dan wanita dianggap mahluk paling lemah

(liyu). Ia juga percaya bahwa katak dapat mengakibatkan hujan. Pedagang-

pedagang wanita Jawa acap kali memakai rambut palsu (cemara) untuk menarik

pembeli, kebiasaan yang merupakan bagian dari tindakan ilmu gaib itu didasari

keyakinan bahwa cemaranya akan membuat para pembeli itu datang kepadanya

(mara). Di sini terlihat bahwa dua gejala berbeda, yang istilah sebutnya hampir

sama bunyinya (cemara dan mara), mempunyai kaitan yang terselubung.

Mekanisme pikiran yang berasaskan pikiran asosiasi prelogik juga

menyebabkan bahwa banyak orang Jawa yang buta huruf yakin bahwa tindakan-

tindakan yang hampir serupa mempunyai kaitan sebab-akibat. Oleh karena itu

tindakan meniru sesuatu keadaan konon dapat memaksa agar keadaan itu benar-

benar terjadi. Upacara-upacara ilmu gaib yang menggunakan keyakinan seperti itu

sering kali disebut ilmu gaib imitatif dan orang Jawa memang sering kali

mengunakan ilmu gaib seperti itu.

19
BAB II

PERHITUNGAN PRANATA MANGSA

Kalender Saka merupakan warisan jaman Hindu-Budha yang kemudian

diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai

sekarang. Banyak orang dan banyak kalender yang beredar membuat kesalahan,

dengan keterangannya, bahwa kalender Jawa sama dengan kalender Saka, padahal

amat berbeda. Oleh karena itu perlu diberikan penjelasan sebagai berikut:

Pertama, kalender Saka dimulai pada tahun 78 Masehi. Permulaan

kalender itu konon pada saat mendaratnya Ajisaka di pulau Jawa. Adapula yang

mengabarkan, bahwa permulaan adalah saat Raja Sariwahana Ajisaka naik tahta

di India. Aji saka adalah tokoh mitologi yang konon mencipta abjad huruf Jawa:

ha na ca ra ka. Kalender yang tahunnya disebut Saka, dimulai pada tanggal 15

Maret tahun Masehi 78. Tahun Masehi dan tahun Saka, dua–duanya berdasarkan

perhitungan solair yaitu mengikuti perjalanan bumi mengitari matahari. Dalam

bahasa Arab disebut Syamsiyah.

Kedua, Sebelum bangsa Hindu datang, orang Jawa sudah memiliki

kalender sendiri yang kita kenal sekarang sebagai Petangan Jawi, yaitu

perhitungan Pranata Mangsa dengan rangkaiannya berupa bermacam-macam

petangan seperti wuku, peringkelan, padewan, padangan dan lain-lainnya. Sistem

Pranata Mangsa itu adalah solair (Syamsiyah) seperti halnya kalender Saka dan

Masehi.

20
Ketiga, berikut ini penjelasan tentang kalender Saka dan Pranata Mangsa.

Kalender Saka membagi satu tahun dalam 12 bulan dan Pranata Mangsa

membagi satu tahun dalam 12 mangsa (Kamajaya, 1995). Nama-nama bulan dan

umurnya.

1. Srawana (12 Juli -12 Agustus) 32 hari

2. Bhadra (13 Agustus -10 September) 29 hari

3. Asuji (11 September- 11 Oktober) 31 hari

4. Kartika (12 Oktober -100 November) 30 hari

5. Posya (1 November -12 Desember) 32 hari

6. Margasira (13 Desember -10 Januari) 29 hari

7. Magha (11 Januari -11 Februari) 32 hari

8. Phalguna (12 Februari -11 Maret) 29 hari

9. Cetra (12 Maret -11 April) 31 hari

10. Wasekha (12 April -11 Mei) 30 hari

11. Jyesta (12 Mei -12 Juni) 32 hari

12. Asadha (13 Juni -11 Juli) 29 hari

Nama-nama mangsa dan umurnya:

1. Kasa (Kartika): (22 Juni -1 Agustus) 41 hari

2. Karo (Pusa): (2 Agustus -24 Agustus) 23 hari

3. Katelu: (25 Agustus -17 September) 24 hari

4. Kapat (Sitra): (18 September-12 Oktober) 25 hari

5. Kalima (manggala): (13 Oktober -8 November) 27 hari

6. Kanem (Naya): (9 November- 21 Desember) 43 hari

21
7. Kapitu (Palguna): (22 Desember- 22 Februari) 43 hari

8. Kawolu (Wasika): (3 Februari- 28 Februari) 26/27 hari

9. Kasanga(Jita): (1 Maret- 25 Maret) 25 hari

10. Kasapuluh (Srawana): (26 maret- 18 April) 24 hari

11. Dhesta (Padrawana): (19 April- 11 Mei) 23 hari

12. Sadha (Asuji): (12 Mei- 21 Juni) 41 hari

Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa

Hindu datang di Pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa itu dapat

dikatakan kalendernya kaum tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman

bekerja (Kamajaya, 1995: 43).

Pada mulanya Pranata Mangsa hanya memiliki 10 mangsa sesudah

mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa

yang pertama (Kasa atau Kartika), yaitu pada tanggal 22 Juni. Masa menunggu itu

cukup lama sehingga akhirnya ditetapkan mangsa yang kesebelas (Destha atau

Padrawana) dan mangsa kedua belas (Sadha atau Asuji). Maka genaplah satu

tahun menjadi 12 mangsa dan dimulainya hari pertama mangsa kesatu pada 22

Juni. Kalender Saka berjalan bersama Pranata Mangsa.

Meskipun Pranata Mangsa sudah berlaku sejak dahulu milik orang Jawa,

namun pembakuannya baru diadakan pada waktu yang memerintah kerajaan

Surakarta Sri Paku Buwana VII, yaitu tepatnya tahun 1855 masehi. Kecuali untuk

pedoman kaum tani, Pranata mangsa pun merupakan perhitungan yang

membawakan watak atau pengaruh kepada kehidupan manusia seperti halnya

perhitungan-perhitungan Jawa lain-lainnya.

22
Mangsa Kasa. Kadang mangsa ini disebut pula mangsa Kaso yang berawal

23 Juni sampai 2 Agustus. Mangsa ini dalam pengaruh kuat Batara Antaboga dan

Nagagini. Pancaran pengaruh kuat kedua dewa ini terhadap alam diibaratkan

sebagai Sotya murca ing embanan. Artinya Permata yang terlepas dari cincin

pengikatnya. Musimnya jatuh musim kemarau. Batu mulia yang memiliki efek

baik bagi kelompok masyarakat Kasa adalah Aquamarine, jamrud, mutiara, Mata

Kucing, Kristal dan Biduri Bulan. Semua ini diharapkan bisa mencegah atau

menutupi kelemahan kelompok ini yang lemah pada lever dan pencernaannya.

Warna serasi bagi kelompok ini kuning, biru, hijau, coklat dan merah anggur.

Lambang bunganya Melati, Sedap Malam, dan Gardena. Hari baik: Semua hari

pada bulan Jumadilawal baik, kecuali tanggal Jawa 1, 5, 10, 11, 16, 26, 28 dengan

Tali Wangke atau hari naas Senin Kliwon.

Mangsa Karo. Berlangsung 3 Agustus hingga 25 Agustus. Dalam pengaruh

kuat Batara Sakri. Musimnya musim kemarau. Pengaruh kuat Batara Sakri

mempengaruhi alam dan manusia. Pengaruh ini begitu kuat sehingga diibaratkan

seperti Bantala Rengka atau tanah retak. Batu mulia yang selaras dengan

kelompok Karo adalah Berlian, Ruby, Topas dan Tourmalin. Semua itu

diharapkan untuk menutupi kelemahan kalangan Karo. Berlian untuk penolak

ilmu sihir, menambah kekuatan tubuh. Ruby berdaya menolak impotensi. Topas

diyakini menyembuhkan penyakit dada. Tourmalin berpengaruh kepada si

pemakai sebagai penolak rasa takut. Hari baik: Untuk Rejeb semua hari baik,

kecuali tanggal 2, 11, 12, 13, 14, 18, 22, 27 dengan Tali Wangke Rabu Pahing.

23
Mangsa Katelu dengan candra Suta manut ing bapa. Artinya anak patuh

pada ayahnya. Mangsa Ketiga atau Katelu berorbit selama 24 hari dan berada di

langit belahan Tenggara. Mangsa katelu ini candranya Suta manut ing bapa atau

„anak patuh pada ayah‟. Penjabarannya adalah semua nasehat orang tua diturut

oleh anak-anaknya. Ini berkat pengaruh kedua pasangan serasi batara-batari yang

menjadi simbol asmara itu. Hari baik: Untuk bulan Jumadilakir semua hari baik,

kecuali tanggal 4, 12, 13, 14, 19, 26, 28 dengan hari naas atau tali Wangke Kamis

Pon.

Warna ideal bagi mangsa ini adalah kuning dan hijau. Sementara untuk batu

mulia yang sesuai untuk orang yang lahir mangsa ini adalah Batu Giok, Lapis

Lazuli, Cornelian, Yasper. Batu-batu ini untuk menolak sakit mata, pencernaan,

keracunan, penawar sakit paru-paru, dan sakit perut. Bunga yang menjadi

kegemaran mangsa ini adalah Sedap Malam, Melati dan Anggrek.

Mangsa Kapat memiliki candra Waspa kumembeng jroning kalbu. Artinya

hati sedih. Mangsa Kapat ini banyak terpengaruh oleh Wisnu yang berorbit 25

hari sejak 19 September sampai 13 Oktober, terletak di belahan langit Selatan.

Hari baik: Semua hari pada bulan Rejeb baik, kecuali tanggal 7, 9, 10, 15, 20, 21,

24, 25 dengan hari naas, atau Tali Wangke Jumat Wage. Sementara batu mulia

yang sesuai dengan orang yang lahir mangsa ini adalah Batu Opal, Berlian yang

diharapkan menetramkan pikiran, Merjan atau Coraal yang membebaskan diri dari

flu berat serta Mirah yang menolak infeksi. Warna ideal untuk kelompok ini biru

dan merah anggur. Sementara bunga idamannya adalah Wijaya Kusuma dan

Gradiol.

24
Mangsa Kalima memiliki candra: Pancuran emas sumawur ing jagad. Hari

baik: Semua hari untuk bulan Ruwah adalah baik kecuali tanggal yang ditetapkan

berdasar perhitungan naga yaitu tanggal 2, 10, 17, 27, dengan Tali Wangke atau

hari naas pada Sabtu Kliwon. Batu mulia yang sesuai dengan kelompok mangsa

ini adalah Topas, Kalimaya untuk menghindarkan diri dari gangguan mata dan

sakit dada dan terbakar. Kalimaya untuk menghindarkan diri dari gangguan mata

dan meningkatkan daya pikir. Sementara Aquamarine untuk penyembuhan sakit

lever dan tenaga kurang. Warna ideal bagi kelompok ini adalah merah, sementara

bunga idamannya Melati, Anggrek, Sedap Malam dan Ceplok Piring.

Mangsa Kanem bercandra: Rasa mulia kasucian. Ada pula yang mengatakan

„Genthong Pecah‟. Mangsa Kanem berorbit 43 hari sejak 10 November – 22

Desember. Candra yang tersirat adalah Rasa mulia kasucian, sebagai ibarat bahwa

rasa ini akan muncul jikalau orang berbuat baik. Sebab kemurahan Tuhan

diberikan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Semua tanggal baik kecuali

untuk bulan Pasa tanggal 7, 8, 10, 20, 21, 24, 25, 28 dengan Tali Wangke atau

hari naas Jumat Wage. Warna ideal untuk mangsa ini adalah hijau, merah jingga

dan kuning terang. Batu mulia yang sesuai untuk yang lahir pada mangsa Kanem

adalah Berlian, yang mampu menentramkan pikiran. Batu Nilam (Carbuncle).

Selain indah, berkhasiat untuk menyembuhkan sakit yang menular dan

mengurangi rangsangan seks. Pirus berguna mengatasi bahaya ilmu hitam. Topas

berkhasiat mneyembuhkan penyakit reumatik.

Mangsa Kapitu memiliki candra: Wisa kentas ing maruta. Mangsa kapitu

lamanya 43 hari dari tanggal 23 Desember – 3 Februari. Banyak penyakit

25
menular, oleh karena itu diberi candra: Wisa kentas ing maruta. Bertiupnya angin

mengandung bisa, musim timbulnya banyak penyakit. Semua hari baik pada

Syawal Mangsa Kapitu kecuali: Tanggal 2, 10, 20, 27 dengan Tali Wangke Sabtu

Kliwon. Warna ideal yang sesuai untuk wuku dan mangsa ini adalah biru laut,

hijau tua, hitam, merah darah dan biru langit. Batu mulia yang sesuai untuk orang

weton mangsa Kapitu adalah Black Onyx yang mampu mengusir makhluk jahat.

Ruby, yang berhkasiat menyembuhkan impotensi dan menolak penyakit infeksi.

Batu Giok yang berkhasiat mencegah penyakit pinggang, keletihan, sakit mata

dan gangguan pada pencernaan.

Mangsa Kawolu atau Masa Surya VIII memiliki candra: Anjrah jroning

kayun. Mangsa kawolu lamanya 27 hari, tanggal 4/5 Februari sampai dengan 1

Maret. Padang pertanian menghijau menentramkan hati, maka keluarlah candra

Anjrah jroning kayun, menentramkan. Masa baik untuk mengerjakan atau

mendirikan sesuatu. Mangsa ini adalah akhir bulan Februari hingga 15 Maret.

Pada saat itu Batara Brama sedang memancarkan berkahnya ke mayapada. Semua

hari baik dengan kekecualian Dulkangidah tanggal 2, 6, 11, 12, 13, 21, 24, 28

dengan Tali Wangsa (Naas) Senin Kliwon. Batu mulia yang sesuai untuk orang

weton mangsa ini adalah Safir Biru yang diharapkan bisa menolak berbagai

penyakit kulit, keracunan, sakit panas, penyakit menular.

Mangsa Kasanga, Bulan Besar masuk dalam Pranata mangsa Kasanga:

Wedharing wacana mulia. Mangsa kasanga memiliki lama orbit 25 hari antara

tanggal 2 Maret sampai 26 Maret. Musim ini tercandra dengan Wedharing

wacana mulia, tersiarnya kabar gembira. Mangsa ini berpengaruh besar terhadap

26
kehidupan terutama putaran cakra panggilingan. Begitu pula nasib manusia silih

berganti, ada senang, ada susah kembali ke bahagia lagi. Semua hari Besar dalam

catatan horoskop Jawa baik, kecuali tanggal 1, 6, 10, 13, 20, 23, 25, dengan Tali

Wangke Selasa Wage. Batu mulia yang sesuai untuk mangsa kasanga adalah Safir

Biru yang dipercaya melindungi mata, Amethyst, yang mendatangkan rasa kasih.

Kemudian Jamrud yang dipercaya bisa mencegah sakit kepala.

Mangsa Kasedasa dengan Candra, Gedhong minep jroning kayun, artinya

Pintu gerbang tertutup dalam hati, lama berjalan 24 hari di dalam pengaruh kuat

Resi Bisma. Disebut pula mangsa Mareng, wataknya teguh, pemberani. Tidak

mau mengalah, lantaran memiliki jiwa militer yang disiplin dan tegas. Semua hari

baik untuk bulan Sura ini kecuali tanggal 6, 11, 13, 14, 17, 18, dan 27 dengan Tali

Wangke Rabu Pahing. Batu mulia yang sesuai untuk weton mangsa kasadasa

adalah Amethyst, atau Kecubung. Dengan sinar ungunya, batu mulia ini

diharapkan mampu memberi semangat kepemimpinan kepada yang memakainya.

Di samping batu mulia ini baik untuk mencegah racun dan sakit jantung. Bila tak

ada Amethyst bisa pula Aquamarine atau sinar laut hijau yang mengesankan rasa

damai dan agung, yang dipercaya mencegah penyakit liver, dan pencernaan. Baik

pula mengenakan intan yang menjauhkan diri dari ilmu hitam.

Mangsa Dhesta, Mangsa dhesta atau ke sebelas ini berlangsung dari 20

April sampai 12 Mei. Mangsa ini memiliki candra Sotya Sinarawadi yang berarti

permata hati dengan pengaruh kuat Batara Yamadipati. Penjabaran candra

menggambarkan mangsa Dhesta adalah Sotya sinarawadi yang artinya permata

hati. Penuh kasih sayang dan kegembiraan. Hari baik: Untuk bulan Sapar semua

27
hari baik kecuali 1, 10, 12, 20, 22 dengan Tali Wangke Kamis Pon. Untuk Bulan

Mulud semua hari baik kecuali tanggal 1, 3, 8, 13, 15, 20, 23, dengan Tali

Wangke Jumat Wage. Batu mulia yang sesuai untuk kelompok masyarakat Dhesta

Jamrud atau Emerald yang diyakini bisa melindungi kepala dari penyakit.

Kemudian Safir Biru atau Blue Safir yang sangat dipercaya menolak racun dan

melindungi mata. Selain itu juga Pirus Biru yang dianggap berkhasiat mencegah

pengaruh rejeki besar dan mendapat kemuliaan dari tenaga ghaib.

Mangsa Saddha. Mangsa ini berlangsung antara 13 Mei sampai 22 Juni,

yang berorbit 41 hari. Peristiwa mangsa ini candranya Tirta sot saka sasana yang

artinya adalah Air lenyap dari tempatnya. Mangsa ini terpengaruh kuat oleh Batari

Sri dan Batara Sadana. Batu mulia yang selaras dengan kelompok masyarakat

Saddha adalah Aquamarine atau Batu Sinar Laut Hijau. Kadang berwarna hijau

kadang biru yang dipercaya mencegah sakit lever, pencernaan dan lemah badan.

Hari baik: Untuk bulan Bakda Mulud semua hari baik kecuali tanggal Jawa 10,

15, 16, 25, 28 dengan hari naas atau Tali wangke Sabtu Kliwon.

Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari

tanggal dan hari hari keagamaan seperti terdapat pada kalender Masehi. Kalender

Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari

libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan apa

yang disebut Petangan Jawi, yaitu perhitungan baik-buruk yang dilukiskan dalam

lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, Pranata Mangsa, wuku dan

lain-lainnya. Semua itu warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam

kebijaksanaan Sultan Agung dalam kalendernya.

28
Petangan Jawi sudah ada sejak dahulu, merupakan catatan dari leluhur

berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam Primbon.

Kata Primbon berasal dari kata: rimbu, berarti simpan atau simpanan, maka

Primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan

kepada generasi penerusnya. Pada hakikatnya Primbon tidak merupakan hal yang

mutlak kebenarannya, namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan

mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir–batin. Primbon hendaklah

tidak diremehkan, meskipun diketahui tidak mengandung kebenaran mutlak.

Primbon sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalaman leluhur, jangan

menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan

Yanag Maha Esa Maha Pengatur segenap makhluk dengan kodrat dan iradat-Nya

(Kamajaya, 1995: 67). Petangan Jawi memberikan pedoman atau petunjuk akan

lambang dan watak berbagai jenis hitungan sebagai petunjuk sebagi berikut:

Pawukon berasal dari perkatan Wuku, jumlah wuku ada 30 buah dengan

nama masing-masing, dari yang ke-1 Wuku Sinta hingga yang terakhir ke-30,

wuku Watugunung. Tiap-tiap wuku berumur 7 hari sehingga siklus berumur 30 x

7 hari = 210 hari. Wuku ke-1 (Sinta) mulai hari Minggu Pahing sampai dengan

Sabtu Pon. Waktu ke-30 atau terakhir (Watugunung) mulai hari Minggu Kliwon

sampai dengan Sabtu Legi (Kamajaya, 1995).

Perhitungan Pawukon dilengkapi dengan lain-lain perhitungan antara lain:

1. Hari 2. Pasaran 3. Paringkelan 4. Padangon dan lain-lainnya. Pawukon dengan

kelengkapannya itu dipercaya sebagai melukiskan watak bawaan atau

29
pengaruhnya kepada kehidupan manusia dan kesesuaiannya dengan alam. Adapun

nama wuku 30 tersebut adalah:

1. Sinta 16. Pahang

2. Landep 17. Kuruwelut

3. Wukir 18. Marakeh

4. Kurantil 19. Tambir

5. Tolu 20. Madhangkungan

6. Gumbreg 21. Maktal

7. Warigalit 22. Wuye

8. Warigagung 23. Manail

9. Julungwangi 24. Prangbakat

10. Sungsang 25. Bala

11. Galungan 26. Wugu

12. Kuningan 27. wayang

13. Langkir 28. Kulawu

14. Mandhasiya 29. Dhukut

15. Julungpujut 30. Watugunung

Watak bawaan atau pengaruh wuku dilukiskan dalam lambang–lambang

dewa, air, daun, kayu dan burung, seperti terdapat dalam kutipan dua wuku (ke-1

dan ke-30).

a. Wuku Sinta

Dewanya Batara Yamadipati laksana Pendeta, wataknya bagaikan raja,

cemburu, besar nafsunya, tidak sabar, sering kecelakaan, lembut budinya, enak

30
bicaranya, tidak percaya, tetapi banyak rejekinya, kaya harta benda. Memanggul

panji-panji: memiliki kesenangan. Kakinya di dalam air: perintahnya keras pada

awal, lunak pada akhirnya. Gedongnya di muka: Menjadi memperlihatkan

kekayaannya, rela pada lahirnya, tetapi dalam hatinya tak setuju. Kayunya

Kendayakan: menjadi tempat bernaung orang sakit, orang sengsara dan melarikan

diri. Burungnya Gagak: tahu akan gelagat, cepat dalam segala pakaryan.

Bencananya: mati setengah umur.

Candranya: Indra janma nestapa, wataknya: besar perhatiannya, sangat

tinggi dan suka ulah kependetaan. Selamatan penolakan: Nasi pulen masakan

beras sapitrah (satu takaran: dua tangan digabung dan dikerungkan kurang lebih ¼

kg), daging kerbau seharga 21 ketheng (mata uang Jawa jaman lampau nilainya

kurang lebih ½ sen) tanpa menawar, di masak pindang. Slawatnya 4 ketheng.

Doanya Tolak bencana, jabungkala jaya bumi (ancaman bahayanya) di timur laut:

7 hari jangan pergi ke timur laut (Kamajaya, 1995: 68).

b. Wuku Watugunung

Dewanya Batara Antaboga dan Bathari Naga gini: Antaboga: banyak

kemauannya, selalu prihatin, menantang adu kepandaian, tak mau diatasi. Naga

gini: Mendua kasih, mengharapkan kesalahan orang lain, percaya kepada tahayul,

menurut. Mengahadap candi: gemar sepi, bila ia pendeta ada derajatnya, senang

bersemadi, selalu prihatin. Kayunya Wijayakusuma: bagus rupanya, tak suka

keramaian, bermutu bicaranya. Burungnya Gogik: dengki, tak suka keramaian.

Bencananya: dianiaya. Selamatan penolaknya: tumpeng masakan beras sapitrah

31
ikan kali, binatang darat, binatang terbang dan binatang hidup di liang, semuanya

halal, di masak pedas, asin,asam dan pahit, buah-buahan, bermacam-macam

juadah dengan jenang, sayur 7 macam. Slawatnya: 19 ketheng. Doanya: mubarak.

Candranya: bintang dan bulan kesiangan, wataknya terang cahaya hatinya.

Jabungkala jaya bumi (ancaman bahayanya) di timur; 7 hari jangan pergi ke arah

timur.

Paringkelan, dari asal kata ringkel, artinya lemah, kelemahan. Ada 6 jenis

Paringkelan, yaitu: 1. Tungle, 2. Aryang, 3. Warukung, 4. Paningron, 5. Uwas, 6.

Mawulu. Watak dari tiga macam Paringkel sebagai berikut:

a. Tungle, ringkel Daun artinya kelemahan daun. Wataknya sanggup, tetapi

mungkir. Manfaatnya membikin malu. Pantangannya: jangan menanam

yang diharapkan daunnya.

b. Aryang ringkel: ringkel janam (manusia) artinya: kelemahan manusia.

Manfaatnya: membikin upas dan racun. Pantangannya: jangan bersesuai

tanam, jangan melakukan pernikahan dan jangan mendirikan rumah.

c. Mawulu, ringkel biji. Wataknya: berpenyakitan. Manfaatnya: mengerjakan

sawah. Pantangannya: jangan menabur biji (benih).

Tahun dalam kalender Jawa atau Kalender Sultan Agungan ada 8, nama-

namanya: 1. Alip, 2. Ehe, 3. Jimawal, 4. Je, 5. Dal, 6. Be, 7. Wawu, 8. Jimakir,

nama-nama itu diambil dari huruf Arab.

Satu tahun Jawa berumur 354 hari. Tahunini disebut tahun wastu (pendek).

Tahun yang panjang berumur 355 hari disebut tahun wuntu (panjang). Dalam

32
tahun panjang ini umur bulan besar ditambah 1 menjadi 30 hari. Watak bawaan

atau pengaruh tahun Jawa jatuhnya tanggal 1 Sura seperti berikut:

1. Bilamana tanggal 1 Sura jatuh pada hari Minggu, tahun ini disebut tahun

Dite-kalaba, yaitu tahun kelabang. Wataknya: jarang hujan.

2. tanggal 1 Sura jatuh pada hari Senin, tahun Soma Wrejita, tahun cacing.

Wataknya: banyak hujan.

3. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari selasa, tahun Anggara Wrestija, tahun

katak. Wataknya: banyak hujan

4. tanggal 1 Sura jatuh pada hari Rabu, tahun Buda Wisaba, tahun kerbau,

wataknya: banyak hujan

5. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari Kemis, tahun Respati Mintuna, tahun

mimi. Wataknya banyak hujan

6. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari Jumaat, tahun Sukra Minangkara, tahun

Udang. Wataknya: jarang hujan

7. Tanggal 1 Sura jatuh pada hari Sabtu, tahun Tumpak Menda, tahun

Kambing. Wataknya: jarang hujan (Kamajaya, 1995).

Satu windu berumur 8 tahun, satu siklus ada 4 windu. Nama-nama dan watak

bawaannya:

a. Kuthara, artinya ulah atau tingkah laku. Wataknya Banya tingkahlaku

orang yang aneh-aneh seperti belum pernah terjadi

b. Sangara, artinya banjir. Wataknya: banyak air besar

c. Sancaya, artinya banjir. Wataknya: banyak orang bersetuju hati (rukun)

33
d. Adi, artinya unggul. Wataknya: banyak bangunan baru yang indah

menyenangkan (Kamajaya, 1995).

Menurut Kamajaya (1995), perhitungan Padewan ada 8 yaitu: 1. Sri, 2.

Endra, 3. Guru, 4. Yama, 5. Rudra, 6. Brama, 7. Kala, 8. Uma. Masing-masing

dari perhitungan ini memiliki watak bawaannya, antara lain sebagai berikut:

a. Sri, yaitu Batari Sri. Wataknya: Asih, cinta, belas kasihan. Manfaatnya:

menanamn padi dan tanaman sampingan (tirisan Jawa)

b. Endra, yaitu batara Endra. Wataknya: teliti dan sombong. Manfatanya:

belajar segala pengetahuan.

c. Kala, yaitu batara kala. Wataknya: jahat, serakah, bohong dan berpura-

pura. Manfaatnya: membikin sara-sarana.

d. Uma, yaitu Batari Uma. Wataknya: Belas kasihan pada penderita, jahil,.

manfaatnya: membikin pagar dan tanda batas.

Menurut Kamajaya (1995), perhitungan ini ada 9, yaitu: 1. Dangu (batu),

2. Jagur (harimau), 3. Gigis (bumi) 4, Karangan (matahari), 5. Nohan (bulan), 6.

Wogan (ulat), 7. Tulus (air) 8. Wurung (api), Dadi (kayu). Watak masing-masing

antara lain: Dangu, wataknya: diam saja. Manfaatnya: membuat tugu, tutup atau

wadah. Dadi, wataknya: tak mau kalah. Manfaatnya: menanam tanaman di kebun.

34
BAB III

TATA LAKSANA UPACARA PERKAWINAN

Slametan among tuwuh diselenggarakan oleh keluarga mempelai wanita.

Sesuai dengan namanya, slametan adalah ritual Jawa yang bertujuan untuk

memperoleh keselamatan. Terlebih-lebih hajatan besar seperti upacara pernikahan

yang telah menguras tenaga dan pikiran, maka slametan mendapat perhatian

utama. Sedangkan makna among tuwuh adalah sarana untuk mengemban sejarah

keluarga. Among berarti mengemban dan tuwuh berarti tumbuh atau berkembang.

Dengan adanya upacara pernikahan itu diharapkan akan lahir generasi atau

keturunan yang dapat menurunkan perkembangan sebuah dinasti keluarga. Anak

yang lahir adalah karunia Tuhan yang selalu diharap-harap oleh semua pihak.

Orang Jawa menyebut bathi atau untung.

Ritual tradisional diadakan untuk menjaga atau mendapatkan keselamatan

dan kehidupan yang baik untuk pribadi seseorang atau sekelompok orang seperti

keluarga, penduduk desa, penduduk negeri, keselamatan dan berkah untuk suatu

tempat, misalnya rumah atau rumah peribadatan, desa, negeri dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Suryo S. Negoro (2001: 43), ritual bisa dibagi menjadi tiga

kelompok :

Meliputi selamatan sederhana dengan nasi tumpeng, lauk pauk dan


sesaji, yang diselenggarakan oleh seseorang sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan yang Maha Kuasa, misalnya karena telah mendapatkan
kenaikan pangkat, diangkat menjadi lurah, direktur perusahaan, bupati,
menteri dan sebagainya. Acara seperti ini biasanya dihadiri oleh tetangga,
saudara-saudara, teman-teman dekat dan teman-teman sejawat.
Ritual sederhana yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur
bahwa misalnya seseorang telah sembuh dari sakit gawat atau terlepas dari

35
beban penderitaan yang berat. Upacara seperti ini disebut sukuran
mengungkapkan rasa syukur atau slametan, permohonan supaya hidup
selamat dan mapan.
Ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang
seperti upacara-upacara: Perkawinan tradisional, Mitoni - kehamilan tujuh
bulan pertama dan Ruwatan Murwakala, ritual untuk keselamatan dan
hidup yang baik, supaya terbebas dari ancaman Batara Kala yang jahat,
salah satu putra Batata Guru. Ruwatan ini bisa dilakukan untuk seseorang
atau sekelompok orang sekaligus.

Peringatan 1 Suro, bisa merupakan ritual negeri atau umum atau gabungan

dari keduanya. Upacara slametan among tuwuh bahannya lebih didominasi oleh

hasil bumi dari daerah setempat. Dari segi finansial tentu biayanya sangat murah

dan bisa dijangkau oleh segala lapisan masyarakat. Bahan-bahannya yaitu nasi

tumpeng, yang disertai dengan lauk-pauk ala kadarnya. Biasanya panggang ayam

dan sayur mayur yang dirajang-rajang. Dengan mengundang tetangga dan

kerabat dekat, biasanya suasananya sudah berlangsung secara khitmat. Mereka

turut serta berbagi kebahagiaan atas akan datangnya hari yang dinanti-nanti.

Dengan dipimpin oleh para sesepuh desa, mereka akan serempak memberi doa

yang tulus ikhlas. Mereka kemudian makan nasi tumpeng yang dibagikan dengan

suka cita.

Malam midodareni biasanya dilakukan dengan cara tirakatan dan lek-

lekan. Para sesepuh, pinisepuh dan orang tua sering semalam suntuk tidak tidur.

Hampir di tiap-tiap desa ritual lek-lekan yang tidak tidur semalam ini selalu

dilakukan. Tujuannya adalah untuk menolak balak. Keluarga yang sedang

mempunyai gawe besar itu biasanya jauh dari mara bahaya, sehingga pelaksanaan

upacara pernikahan menjadi lancar. Tradisi lek-lekan ini sebenarnya sudah

berlangsung lama sekali dalam perkembangan peradaban budaya Jawa. Sinuhun

36
Paku Buwana IV telah menyusun petuah luhur, agar manusia sering mencegah

dhahar lawan guling.

Upacara tirakatan malam midodareni ini berlangsung di malam hari

sebelum pelaksanaan Ijab dan Panggih di keesokan harinya. Midodareni berasal

dari kata widodari artinya Dewi (Suryo S. Negoro, 2001: 41). Calon pengantin

putri malam ini menjadi sangat cantik bak seorang dewi dan dia akan dikunjungi

oleh beberapa dewi kahyangan sesuai dengan kepercayaan kuno. Dia harus tinggal

di kamar malam itu dari jam enam sore hingga tengah malam ditemani oleh

beberapa ibu yang memberikan kepadanya nasihat-nasihat yang berguna.

Keluarga dari calon mempelai pria dan teman-teman dekatnya yang semuanya

adalah wanita boleh menengok calon pengantin wanita untuk sejenak.

Orang tua calon pengantin putri memberikan suapan makan kepadanya

untuk yang terakhir kalinya, karena mulai besok dia sudah berada di bawah

tanggung jawab suaminya. Sesaji untuk midodareni, meliputi : nasi gurih, ingkung

ayam, beberapa sayuran masak, kembang telon, teh dan kopi pahit, minuman dari

air kelapa dengan gula kelapa, lampu minyak yang dinyalakan, pisang raja,

kembang setaman, jadah ketan, serutu dan pipa yang dibuat dari daun pepaya.

Barang-barang yang diletakkan di kamar pelaminan terdiri dari sepasang

kembar mayang, dua pot tanah diisi dengan bumbu-bumbu, jamu, beras, kacang

dan lain-lain ditutupi dengan kain bermotif banguntulak, dua kendi diisi air suci

dihit' :p dengan daun dadap srep, ukub yaitu nampan yang di atasnya ditaruh

beberapa dedaunan dan bunga wangi dan ditaruh dibawah tempat tidur, suruh ayu,

daun sirih dengan seperangkatnya, buah pinang, dan tujuh macam kain dengan

37
pola lorek. Sesaji ini bisa dikeluarkan dari kamar pada waktu tengah malam,

anggota keluarga ataupun tamu boleh memakannya.

Bersamaan dengan malam tirakatan midodareni, dilakukan pula upacara

siraman untuk calon pengantin putri. Siraman ini menggunakan air khusus yang

dinamakan tirta perwita sari. Siraman artinya mandi. Siraman dalam upacara

perkawinan dimaksudkan untuk membersihkan sepasang calon pengantin itu lahir

dan batin. Upacara siraman diselenggarakan satu hari sebelum ritual ijab dan

panggih. Siraman untuk calon pengantin putri dilakukan di rumah orang tuanya

demikian juga calon pengantin pria dimandikan di rumah orang tuanya. Upacara

ini membutuhkan beberapa persiapan antara lain:

Di antara segala rangkaian upacara pernikahan, sebenarnya upacara ijab

qabul itu menduduki derajat yang paling utama. Dikatakan utama karena

menyangkut hukum agama dan hukum negara. Upacara ijab qabul pasti

melibatkan aparat negara yang khusus bertugas dalam urusan pernikahan.

Biasanya petugas berasal dari KUA yang menjadi urusan Departemen Agama RI.

Petugas dari KUA di samping ahli dalam tata administrasi juga pasti menguasai

dalam bidang keagamaan.

Dengan upacara ijab qabul berarti telah terjadi pemindahan kekuasaan

seorang wanita dari tangan wali ke pihak pengantin pria. Setelah syah dinikahkan

dalam upacara ijab qabul, berarti wanita itu telah menjadi wewenang suaminya.

Adapun suaminya juga dituntut untuk bertanggung jawab penuh terhadap istrinya.

Upacara ijab adalah hal yang paling penting untuk melegalisir sebuah perkawinan,

ijab dilaksanakan sesuai dengan agama dari pengantin tersebut yaitu : Islam,

38
Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Apapun agama yang mereka peluk, pada

waktu pelaksanaan ijab mereka memakai pakaian tradisional. Di tempat di mana

ijab itu dilaksanakan sebuah sesaji yang berupa sanggan ditempatkan. Sesudah

ijab upacara tradisional panggih dan lain-lain serta resepsi dilaksanakan untuk

melengkapi seluruh proses upacara perkawinan.

Persiapan ijab qabul di rumah calon pengantin wanita. Para petugas among

tamu telah siap di tempat masing-masing dengan mempersiapkan segalanya.

Petugas menjemput penghulu beserta pejabat pencatat nikah dari KUA. Para saksi

diharapkan sudah hadir di tempat upacara setengah jam sebelum acara ijab qabul

dimulai. Penghulu dan 2 (dua) orang saksi dari kalangan keluarga maupun teman

terdekat. Mempelai pria dengan pengiring datang langsung di tempat upacara.

Setelah upacara ijab selesai, diteruskan pembacaan do'a.

Dari prosesi temu pengantin kemudian dilanjutkan dengan acara

sungkeman. Sungkeman ini ditujukan kepada dua pasang orang tua pengantin.

Maksudnya adalah untuk menunjukkan darma bakti si anak kepada dua pasang

orang tuanya. Kedua pasang orang tua itu harus diperlakukan secara sama tanpa

ada perbedaan. Acara sungkeman ini akan membuat hati orang tua menjadi

mongkog, bombong, bahagia, gembira. Namun juga bercampur haru. Karena

terlalu haru, maka tak jarang ada orang tua yang mbrebes mili air matanya. Itulah

puncak dari kegembiraan. Malah yang tak kuat membendung air mata biasanya

seorang bapak dan ayah mempelai wanita. Sang bapak merasa berhasil

mengantarkan putrinya memasuki dunia rumah tangga yang sangat berbahagia.

39
Sepasang pengantin tersebut siap untuk melaksanakan sungkeman, mereka

dengan sikap hormat berjongkok dan menghaturkan sembah kepada kedua orang

tuanya untuk memohon restu. Pertama kepada kedua orang tua pengantin wanita,

kemudian kepada kedua orang tua pengantin pria. Menurut Suryo S. Negoro

(2001: 89), masih ada ritual tambahan yakni sebagai berikut : Sindur Binayang.

Sesudah ritual Wiji Dadi, ayah dari pengantin putri berjalan di depan pengantin

menuju ke kursi pengantin di depan Krobongan, sedangkan ibu dari pengantin

wanita berjalan di belakang pengantin sambil menutupi pundak pasangan

pengantin tersebut dengan kain sindur. Ini melambangkan ayah menunjukkan

jalan ke kebahagiaan, sedangkan ibu memberikan dukungan.

40
BAB IV

PANDANGAN TERHADAP

KEHIDUPAN MAKHLUK HALUS

Alkisah, bertahtalah seorang ratu di laut selatan. Ia cantik rupawan,

parasnya elok menawan. Tiada yang menyamai kecantikannya di seluruh dunia. Ia

bernama Nyai Roro Kidul. Dialah ratu para lelembut di tanah Jawa. Kala itu, Nyai

Roro Kidul sedang bercengkerama di tilam emas, dalam istananya yang megah

berhiaskan intan mutiara. Di sampingnya jin setan peri prayangan siap melayani

segala kebutuhannya. Dalam suasana yang tenang itu, tiba-tiba terdengar huru-

hara. Ikan-ikan di lautan pingsan karena air laut mendidih dan bergejolak. Ombak

berdebur keras membuat suara menjadi gaduh.

Nyai Roro Kidul terkejut, “Ada apa ini? Mengapa air laut tiba-tiba panas

mendidih? Apakah matahari runtuh dan akan terjadi kiamat?”

Sang Ratu kemudian keluar istana diikuti dayang-dayang. Di air atas

lautan yang luas, ia melihat alam terang benderang. Tidak ada hal apapun yang

mencurigakan. Ia hanya melihat seorang pemuda yang sedang berdiri tegak di

pantai. Pemuda itu tampaknya sedang bersemedi memohon sesuatu kepada Tuhan.

“Mungkin itulah yang membuat laut kidul menjadi geger”, batin Nyai Rara. Nyai

Roro Kidul lalu mendekati pemuda itu.

Nyai Roro Kidul kemudian berkata pelan, “Hilangkanlah gundah hati tuan.

Hamba mohon hentikan perbuatan tuan ini, karena gara-gara perbuatan tuan, laut

kidul menjadi gerah. Hamba menginginkan laut menjadi tenang kembali seperti

41
sedia kala. Kasihanilah hamba, karena laut kidul itu hamba yang menjaga.

Adapun permohonan tuan kepada Tuhan, sudah terkabul. Tuan dan anak cucu

tuan akan menjadi raja diraja tanah Jawa. Jin peri prayangan dan seluruh makhluk

halus akan tunduk di bawah duli tuan. Pabila kelak tuan berperang, maka mereka

pun akan membantu pasukan tuan. Mereka akan menuruti apa kehendak tuan,

karena tuan adalah pimpinan para raja di tanah Jawa ini”.

Mendengar perkataan Nyai Roro Kidul, Senopati Ingalaga sangat gembira.

Maka ia menghentikan semedinya dan lautan tenang kembali. Ikan-ikan yang

pingsan telah sadar dan kembali berenang-renang.

Nyai Roro Kidul menghaturkan sembah sambil menyungging senyum.

Tak lama kemudian ia lantas membalikkan tubuh dan kembali menuju lautan.

Senapati Ingalaga sangat terkesima dengan ratu yang cantik itu. Sekonyong-

konyong ia ikuti langkah wanita itu hingga masuk ke arah lautan. Namun

Senopati merasakan seperti berjalan di atas jalan yang mulus menuju sebuah

istana yang megah. Setibanya wanita itu di dalam istana, ia duduk di sebuah

ruangan bernuansakan kuning keemasan. Dayang-dayang sibuk melayani Sang

Ratu. Senopati takjub dan terheran-heran melihat sekeliling. Semua hiasan rumah

dan pagar-pagar berlapis emas berlian. Buah-buahan dan bunga-bunga menarik

perhatian.

Senopati dipersilahkan duduk di dekat Nyai Roro Kidul. Ia mencoba selalu

waspada karena ratu cantik rupawan ini bukan jenis manusia. Senopati selalu

melempar lirikan kepada Sang Ratu. Demikian pula Sang Ratu menangkap

pasemon yang dari Senopati dan senyumnya semakin menawan. Sang Ratu

42
mengajak Senopati berjalan-jalan melihat-lihat isi istana. Senopati Ingalaga

tersenyum dan berkata, “Nimas, bolehkah aku melihat kamar tidurmu?”

“Boleh saja tuan, jangan malu-malu. Semua adalah milik tuan, hamba

hanya menunggu”. Nyai Roro Kidul segera menggamit tangan Senopati masuk ke

dalam kamar tidurnya.

Keduanya duduk di tepi pembaringan. “Nimas, rasanya seperti di dalam

surga saja. Aku belum pernah melihat ruangan seindah ini. Bagaikan mimpi, aku

dapat melihat kamar yang demikian elok. Sangat cocok dengan pemiliknya, yang

cantik dan pandai merawat. Aku menjadi malas untuk pulang ke Mataram. Betah

rasanya di sini. Tapi sayangnya, kamar seindah ini tidak ada lelakinya. Kalau ada

lelakinya yang tampan, akan lebih sempurna”.

“Ah Tuan ini. Enak juga kok menjadi ratu sendirian. Tidak ada yang

memerintah”, tukas Nyai Roro Kidul sambil menyelipkan senyum di bibirnya

yang tipis.

Senopati tersenyum sambil berkata, “Nimas, berilah aku obat, aku

sungguh tergila-gila kepadamu”.

Roro Kidul berbisik sambil melempar senyum, “Hamba tidak bisa

memberi obat, sebab hamba bukan dukun. Tuan raja besar, tidak akan kekurangan

wanita yang lebih cantik daripada hamba”.

Senapati merasa berbunga-bunga. Nyai Roro Kidul kemudian dipondong

untuk menuntaskan kehendaknya. Diceritakan, Senapati berada di laut kidul

selama tiga hari tiga malam. Ia selalu berkasih-kasihan dengan Roro Kidul. Setiap

43
hari, Senapati diwejang tata cara menjadi raja, yang memimpin semua manungsa

dan makhluk halus.

Senapati berkata, “Besar terima kasihku padamu, Nimas, atas segala

petunjukmu. Aku percaya. Sebaliknya jika kelak, aku mendapati musuh, siapa

yang aku suruh memanggil kamu? Orang Mataram pasti tidak ada yang tahu akan

kamu?”

Roro Kidul berkata, “Hal itu mudah saja. Apabila tuan hendak memanggil

hamba, bersedekaplah dengan satu kaki, kemudian mendongaklah ke angkasa.

Hamba pasti segera datang membawa pasukan jin, peri prayangan dan

persenjataan perang”.

Senopati lalu berpamitan, “Nimas, aku pamit kembali ke Mataram.

Pesanmu akan kulaksanakan semua”.

Senopati lalu berangkat, berjalan di atas air seperti di daratan saja. Setelah

tiba di Parangtritis, ia kaget melihat Sang Pandhita, Sunan Kalijaga. Ia sedang

duduk tafakur di pantai. Senapati lalu menghaturkan sembah dan memohon maaf,

karena telah menunjukkan kesaktian berjalan di lautan tanpa basah.

Sunan Kalijaga menasehati, “Senapati, hentikanlah mengandalkan

kesaktianmu itu. Yang demikian namanya orang congkak. Para wali tidak mau

berbuat demikian. Mesti akan terkena murka Allah. Jika kamu ingin tetap menjadi

raja, bersyukurlah kepada Allah. Ayo sekarang ke Mataram, aku ingin tahu

rumahmu”.

Dari Babad Tanah Jawi disebutkan demikian: Kacariyos, ing seganten

kidul ngriku wonten ingkang jumeneng ratu wanudya, nglangkungi ayunipun. Ing

44
sajagad mboten wonten ingkang nyameni. Anama Roro Kidul. Angreh sawernine

lelembut tanah Jawi sedaya. Kala semanten Roro Kidul pinuju wonten ing dalem.

Pinarak ing Katil Mas, tinaretes ing sesotya, ingadhep para jim, setan, peri,

prayangan. Ratu Kidul kaget ningali gegeripun ulam ing seganten. Toyanipun

panas kados digodhog. Swaraning seganten nggegirisi. Ratu Kidul wicanten

salebeting galih. “Salawasku urip aku urip durung ndeleng segara kaya iki. Kiye

geneya? Apa kena ing gara-gara, apa srengenge runtuh bakal kiamat?”

Nyai Kidul lajeng medal ing Jawi, jumeneng ing sanginggiling toya.

Ningali jagad padhang, mboten wonten punapa-punapa. Amung tiyang linuwih

satunggil, jumeneng sapinggiring seganten, ngeningaken paningal, nenedha ing

Allah. Nyai Kidul wicanten piyambak, “Iku layake kang gawe gara-gara ing

segara‟. Sarta lajeng sumerep ing saciptanipun Senopati. Roro Kidul enggal

murugi, lajeng nyembah, nyungkemi sukunipun Senopati sarta matur ngrerepa.

“Mugi sampeyan icalaken susah ing galih sampeyan, supados sirna gara-gara

punika. Tumunten mulyaa saisining seganten kang sami risak, kenging ing gara-

gara. Sampeyan mugi welasa dhateng ing kula, sebab seganten punika kula kang

ngreksa. Dene anggen sampeyan nyenyuwun ing Gusti Allah, samangke sampun

angsal. Sampeyan lan satedhak-tedhak sampeyan sedaya mesthi jumeneng ratu,

angreh ing tanah Jawi tanpa timbang. Utawi jim, setan, peri, prayangan ing

tanah Jawi sedaya inggih kareh ing sampeyan. Upami ing benjing sampeyan

manggih mengsah, sedaya inggih sampi mitulungi. Ing sakarsa-karsa sampeyan

sedaya anut, sebab sampeyan kang minangka bapa babuning ratu para ratu ing

tanah Jawi”.

45
Senapati Ingalaga, sareng mireng ature Nyai Kidul, sakelangkung suka

ing galihipun. Sarta gara-gara wau inggih sampun sirna. Utawi ulam ingkang

sami pejah inggih sampun gesang malih.

Nyai Kidul nyembah sarwi ngujiwati, lumampah kondur satengahing

seganten. Senapati Ingalaga sanget kasmaranipun, lajeng anut wngking dhateng

Nyai Kidul. Senopati lumampah sanginggiling toya kados ngambah dharatan.

Sadhatengipun ing kedhaton seganten, lajeng sami pinarak ing katil mas sekalian,

ingadhep para jim setan peri prayangan. Senapati Ingalaga eram ningali

kedhatonipun Nyai Roro Kidul, nglangkungi sae. Woh-wohan saha sesekaranipun

adi-adi sedaya, ing dharatan mboten wonten sesaminipun.

Senopati wau anggenipun pinarak dhedhepelan kemawon lan Nyai Kidul,

sarta tansah nyantosakaken ing galih, emot, yen dede jinis. Wondene Nyai Kidul

inggih nempeni semonipun Senopati, sarta tansah ngujiwati. Senapati Ingalaga

mesem. Sarwi ngandika dhumateng Nyai Roro Kidul, “Nimas, ingsun arep weruh

ing pasareyanira, kaya apa rakite?”

Nyai Kidul matur, “Sumangga, mboten wonten pekewedipun, kula darmi

tengga, sampeyan ingkang kagungan”. Senapati astane lajeng dipunkanthi,

kabekta lumebet dhateng ing pasareyan. Sami pinarak. Senapati ngandika,

Nimas, ingsun banget eram ningali paturonira. Layake caritaning kaswargan iya

kaya iki. Sajegku durung weruh pepajangan kaya iki. Sembada lan kang duwe.

Dhasar ayu bisa ngrerakit. Ingsun aras-arasen mulih menyang Mataram. Bakal

katrem ana kene. Nanging cacade mung siji, dene ora nana wonge lanang. Yen

ana wonge lanang kang kagus, iba becike”.

46
Aturipun Nyai Kidul, “Sae lamban, jumeneng ratu estri kemawon. Ing

sakajeng-kajeng mboten wonten ingkang marentah”. Senopati mesem sarwi

ngandika, “Nimas, ingsun muga paringana tamba, nggoningsun kedanan marang

sira”. Roro Kidul matur sarwi mlerok, “Kula mboten saged ngaturi jejampi,

sebab kula dede dhukun. Sampeyan ratu ageng, mangsa kiranga wanudya

ingkang ngungkuli kula”.

Senapati manahipun kados dipununggar. Roro Kidul lajeng pinondhong

ndumugekaken karsanipun. Kacariyos Senapati anggenipun wonten seganten

kidul tigang dinten tigang dalu. Tansah sih-sinisihan kaliyan Roro Kidul.

Senapati wau ing saben dinten dipunwejang ngelmunipun tiyang umadeg ratu,

ingkang ngedhepaken sakathahing manungsa lan jim peri. Senapati ngandika,

“Banget panrimaningsun, Nimas, ing sakehe wurukira. Lan ingsun iya pracaya.

Balikan ing besuk, yen ingsun nemu mungsuh, kang sun kongkon ngaturi ing sira

sapa? Wong ing Mataram mesthi ora ana kang weruh marang sira?”

Roro Kidul matur, “Mekaten punika gampil kemawon. Bilih sampeyan

karsa nimbali dhateng kula, sedhakep suku setunggal, nunten tumengaa ing

awang-awang. Amesthi kula enggal dhateng, sarta kula mbekta bala jim, peri

prayangan lan sededameling prang”.

Senopati ngandika malih, “Nimas, ingsun pamit mulih marang Mataram.

Wewekasira kabeh ya bakal ingsun estokaken”.

Senopati sampun mangkat, ngambah toya seganten kados ngembah

dharatan. Sareng dumugi ing Prangtritis, kaget ningali dhateng Sang Pandhita,

Sunan Kalijaga, lenggah pitekur wonten sangandhaping Parangtritis. Senapati

47
enggal ngujungi, sarta ngrerepa, nyuwun pangapunten, amargi nggenipun

ngatingalaken kasektenipun ngambah seganten mboten teles. Sunan Kalijaga

ngandika, “Senapati, marenana nggonmu ngendelaken sekti digjayanira iku.

Dadi iku jenenge wong kibir. Para wali ora gelem nganggo kaya mengkono.

Mesthi bakal kesiku marang ing Allah. Yen sira bakal sumedya tulus jumeneng

ratu, nganggoa syukur ing satitahe bae. Ayo marang Mataram, ingsun arsa weruh

ing omahira”.

Keindahan Kraton Nyai Roro Kidul dapat diibaratkan seperti asrinya

Taman Keputren Kadilengeng, seperti panyandra ki dalang: Anenggih kang

kacarita, ing kenya puri Ngastina, gegununganipun para putri, Sri Narendra

garini kusumanig ayu Dewi Banowati. Putri Nata saking Mandaraka, ginarwa

Narendra dahat dahing warnikarengga ing busana widagda ngadi sarira. Galak

ulat tur raga karana. Gonas ganes merak ati, mbesengut saya patut, ambombrong

saya mencorong. Yen cinandra citrane sang putri, pranyata kurang candra luwih

warna saking endahing sarira. Rema anyekar bakung ameles wilis tur panjang.

Athi-athi ngudup turi, larapan nila cendhani imba nanggal sapisan, netra lindri

anjait, idep tumengeng tawang, grana ngrungih, lathi manggis karengat, uwang

anyangkal putung, jangga nglungid nglunging gadhung. Widhangan nrajumas,

racikan amucuk ri, pamulu ambengle keris. Prembayun anyengkir gadhing.

Mencepe kang pranaja, wong-wonga gumebyar apindha thathit. Lambung nawo

kemit, suku amukang gangsir. Lamun tindak, kicating pada gumebyaring wentis

kang kengis pindha thathit sasanderan, karya kumesare kang mulat. Sinten

ingkang marek ing ngarsa, apan punika putrine sang Nata dwita, akekasih

48
kusumaning ayu Dewi Lesmanawati. Dhasar wanodya sulistya ing warna, kaduk

ruruh tur ta ambeg ngumala rum, marma anggung dadi kondhanging kidung

(Siswoharsoyo, 1979: 38).

Sejak jaman dahulu gunung api telah menarik perhatian nenek moyang

kita, teristimewa yang berkait erat dengan kepercayaan mereka sehari-hari. Pada

jaman prasejarah mereka mempunyai kepercayaan bahwa roh orang mati

dianggap masih tinggal di sekeliling mereka di pohon, di batu, di sungai, di laut,

di gunung dan dianggap sebagai pelindung kuat yang dapat dimintai pertolongan.

Dalam pertunjukan wayang kulit media komunikasi dengan roh nenek moyang

yang timbul pertama kali pada jaman Neolithicum atau lebih kurang 1.500 SM

(Mulyono, 1983: 24), replika gunung, yaitu gunungan, dipergunakan sebagai

simbol kehidupan. Sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai, gunungan

ditancapkan di tengah-tengah kelir, untuk melambangkan awal mula dunia

sebelum ada manusia kecuali tetumbuhan dan binatang seperti yang tergambar

dalam gunungan. Kemudian gunungan ditarik ke bawah dan berhenti tiga kali;

melambangkan adanya cipta, rasa dan karsa, yang mempunyai arti akan ada

kelahiran. Kelahiran terjadi setelah dalang memisahkan dua gunungan di

simpingan kiri dan kanan untuk melambangkan pecahnya lapisan plasenta.

Gunungan beserta isinya merupakan lukisan kehidupan duniawi dan

batiniah di mana Tuhan Yang Maha Esa menentukan segala kegiatan di alam

semesta. Di dalam gunungan terdapat lukisan makhluk raksasa menjulurkan

lidahnya yang merah panjang, kera memanjat pohon bertarung dengan hewan

lainnya, burung-burung beterbangan dan segala jenis hewan lainnya, pohon-pohon

49
dan bunga-bungaan. Kesemuanya itu melambangkan pohon kehidupan duniawi

yang diciptakan Tuhan. Di tengah-tengah gunungan terdapat lukisan sebuah

rumah Jawa dengan dua pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga

oleh seorang raksasa bersenjata gada. Ini melambangkan hukuman bagi orang

yang berbuat salah satu jahat. Dua pintu yang terkunci rapat dalam lukisan itu

melambangkan kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu itu

(Triyoga, 1991: 122).

Dimulai jaman prasejarah itu pulalah, mulai terdapat kepercayaan bahwa

roh orang mati bertempat tinggal di atas dunia atau di gunung. Kepercayaan

seperti ini diungkapkan dalam bentuk-bentuk bangunan pemujaan nenek moyang

yang menjulang tinggi, berundak-undak menyerupai gunung ; melambangkan

tingkatan-tingkatan yang harus dilalui untuk mencapai tempat tertinggi, sempurna.

Acapkali pula, roh nenek moyang dinyatakan dalam bentuk patung-patung yang

diletakkan di atas bangunan pemujaan yang terdapat di bukit atau di gunung

(Soekmono, 1973: 32).

Realitas mitos diyakini sebagai sesuatu Yang Sakral. Dan Yang Sakral

adalah Yang Maha lain. Pengkudusan terhadap sesuatu terjadi pertama kali karena

suatu peristiwa dianggap sebagai hierofani atau peristiwa suci. Menurut Mircea

Eliade manusia agama menjadi semakin yakin akan adanya Yang Suci, karena

Yang Suci sudi menampakkan diri kepada manusia lewat peristiwa hierofani.

Hierofani secara etimologis berasal dari hieros berasal dari kata phainomai, yang

berarti menampakkan diri. Penampakan yang suci ini dapat terjadi kapan saja,

siang, sore, malam atau pagi hari. Dan lewat apa saja, manusia, binatang, tumbuh-

50
tumbuhan, tempat di bumi seperti gua, sungai, gunung, hutan. Dalam peristiwa

hierofani ini sesuatu yang bukan bagian dunia, bukan berasal dari dunia, tampak

pada benda-benda dan makhluk-makhluk yang menjadi bagian dari dunia. Dalam

peristiwa ini manusia bertemu dengan Yang sama sekali lain. Dengan

menampakkan diri itu Yang Suci menjadi tidak absolut lagi, melainkan terbatas

pada benda atau makhluk yang menjadi alat hierofani itu. Peristiwa-peristiwa

hierofani diperingati setiap kali, agar supaya penampakan suci itu bisa dialami

lagi dan manusia dapat ikut mengambil bagian dalam Yang Suci yang sudi

menampakkan diri itu.

Berbicara masalah kenyataan, pengalaman profan melampaui suatu ritual

tak pernah ada dalam keadaan yang murni. Manusia tidak pernah berhasil secara

penuh untuk memisahkan dirinya sama sekali dari sikap religius. Bahkan

eksistensi yang sudah sangat di desakralisasikan sekalipun masih mengandung

unsur-unsur religius. Pengalaman manusia modern mengenai ruang profan tetap

memiliki nilai kekhususan yang homogen begitu saja seperti halnya religius

mengenai ruang kudus. Ada tempat-tempat istimewa yang secara kualitatif

berbeda dengan yang lain, misalnya saja tempat-tempat tertentu di daerah asing

yang dia kunjungi untuk pertama kalinya, dan sebagainya. Bahkan bagi manusia

yang dianggap sangat tidak religius sekalipun, semua tempat tersebut tetap

merupakan suatu hal yang istimewa, yang mempunyai makna tersendiri,

merupakan tempat suci kehidupan pribadinya. Di situ ia mengalami suatu realitas

yang lain dari kenyataan yang biasanya dijumpai dalam hidupnya sehari-hari.

51
Lawan Yang Sakral adalah yang profan. Antara Yang Sakral dan yang

profan secara kongkrit tidak mempunyai perbedaan yang mendasar. Keduanya

adalah sama, karena yang membedakan antara Yang Sakral dari yang profan,

bukan terletak pada wujud kongkrit benda, tetapi pada sikap dan perasaan

manusia yang meyakini keprofanan suatu benda karena dari satu benda dapat

terbentuk dua sikap dan perasaan yang berbeda. Sebagai contoh salib di atas altar,

itu mempunyai nilai sakral bagi umat Kristiani, tetapi tidak bagi umat yang lain.

Dengan demikian kesakralan terwujud dari sikap dan perasaan manusia dari sikap

mental yang dilandasi oleh perasaan.

Mitos tentang letusan Gunung Merapi diyakini berasal dari dua sumber

kekuatan manusia yaitu Nyai Roro Kidul (sebagai wanita) penguasa dan penjaga

Laut Selatan dan Kyai Sapu Jagad sebagai penguasa Gunung Merapi (sebagai

laki-laki). Kemudian peristiwa letusan yang ditandai dengan keluarnya lava

diasosiasikan sebagai keluarnya benih laki-laki pada saat persetubuhan, tanda

persatuan laki-laki dan perempuan. Mitos ini benar karna keberadaan alam

semesta membuktikan keberadaannya. Mitos tentang dewa-dewa dan makhluk-

makhluk-makhluk Ilahi itu benar, karena kepercayaan kepada hal-hal itu

membuktikan kebenaran dan keberadaannya. Mitos tentang dunia ini benar,

karena moralitas di alam membuktikannya (Minsarwati, 2002: 70).

Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu

hari-hari baik. Contohnya orang Jawa mengenal adanya perputaran musim yaitu

waktu selama lima hari yang disebut pasaran yaitu: Legi, Pahing, Pon, Wage,

Kliwon, kemudian perputaran waktu selama tujuh hari yang disebut Saptawaca

52
yaitu : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu dan Minggu. Sistem yang

dipergunakan dalam pasaran atau disebut pula Pancakara, berhubungan dengan

Mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu memerintah dunia

untuk pertama kalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian yaitu: Timur,

Barat, Utara, Selatan dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasan Kliwon dan

Jum'at Kliwon dianggap sebagai hari sakral, karena pada hari-hari itu banyak

makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia.

Orang Jawa yang tinggal di lereng Gunung Merapi agaknya tidak bisa

mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan bahasa teknis yang

lugas seperti istilah fertilitas tanah kaitannya dengan abu vulkanik letusan Gunung

Merapi. Akan tetapi secara masuk akal mereka memiliki pengalaman dan

pengetahuan fertilitas itu, yang disediakan dari mitos dan ritua adat, seperti mitos

tentang terjadinya letusan Gunung Merapi yang menurut anggapan mereka selalu

dihubungkan dengan keberadaan keraton Mataram dan Laut Selatan. Keberadaan

itu terlihat dengan jelas pada kedudukan letak mitis geografi kerajaan Mataram,

yang membagi dunia menjadi lima bagian yaitu bagian Utara ditempati oleh

Gunung Merapi yang dihuni oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedaton (Kyai Sapu

Jagad), bagian Selatan yang dihuni oleh Kanjeng Ratu Kidul, bagian Barat adalah

Khayangan Dlepih yang dihuni oleh Sang Hyang Pramoni, bagian Timur Gunung

Lawu yang dihuni oleh Kanjeng Sunan Lawu, dan letak Keraton Mataram yang

berada di tengah-tengah. Letak mitis geografi inilah yang akan digunakan

penduduk sekitar lereng Merapi ataupun kalangan orang Jawa terutama yang

tinggal di Yogyakarta untuk memahami terjadinya mitos-mitos yang berhubungan

dengan letusan Gunung Merapi.

53
Letak Mitis Geografis Keraton Mataram

Gunung Merapi
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton
Kyai Sapu Jagad
Khayangan, Dlepih KERATON Gunung Lawu
Sang Hyang Pramoni MATARAM Kanjeng Sunan Lawu

Laut Selatan
Kanjeng Ratu Kidul

Dalam usahanya untuk menegakkan kekuasaan Pajang, Sultan Hadiwijaya

harus berhadapan dengan Adipati Jipang, Arya Penangsang, putra Sinuwun Sekar

Seda Lepen yang tidak rela tahta Demak diambil oleh Sultan Hadiwijaya, karena

ia hanya menantu Sultan Trenggana. Sultan Hadiwijaya membuat strategi yang

jitu untuk menghadapinya. Ia percaya bahwa dirinya akan mampu mengalahkan,

walaupun pasti tidak mudah. Arya Penangsang, terkenal memiliki senjata ampuh,

yakni Keris Kyai Setan Kober, yang selalu menggetarkan dan mempecundangi

musuh. Kemudian atas nasihat dari para pinisepuh, Sultan Hadiwijaya

mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat mengalahkan Penangsang akan

mendapatkan hadiah, tanah Pati dan Mataram.

Akhirnya Penangsang dapat dikalahkan oleh Danang Sutawijaya, putra

Pemanahan. Karena kesuksesan ini merupakan strategi Pemanahan dan Penjawi,

maka Sultan Hadiwijaya menganggap kemenangan Danang Sutawijaya tersebut

adalah juga kemenangan Pemanahan dan Penjawi. Maka Sultan memberikan

tanah tersebut kepada mereka berdua. Penjawi mendapatkan tanah Pati, sebuah

kadipaten di pesisir utara yang telah maju. Sedangkan Pemanahan mendapatkan

54
tanah Mataram yang masih berupa hutan Mentaok. Menurut silsilah, Pemanahan

adalah putra dari Ki Ageng Enis, cucu Ki Ageng Sela. Alas Mentaok tersebut

berada saat ini tepatnya di sekitar Kota Gede, Yogyakarta. Pemanahan kemudian

lebih dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram.

Namun awalnya Sultan Hadiwijaya nampak ragu untuk menyerahkan

tanah Mentaok atau Mataram kepada Pemanahan. Berdasarkan ramalan Sunan

Giri, diprediksikan Mataram kelak akan menjadi sebuah kekuatan yang besar yang

menjadi pusat politik di tanah Jawa. Hal ini jika terjadi kelak akan mengancam

keutuhan eksistensi Pajang. Karena itu, Sultan Pajang mengulur-ulur waktu untuk

menyerahkan tanah Mataram (Moedjanto, 1994: 146).

Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelas sekali bahwa kedudukan

sebagai raja dapat diperoleh oleh orang yang berjuang dengan penuh ketekunan.

Jaka Tingkir telah melakukan daya dan upaya, penuh rintangan dan tantangan,

tidak kenal menyerah, tekun dan ulet, tidak mengenal waktu sehingga ia dapat

menduduki tahta kerajaan Pajang. Apalagi dengan dilegitimasi oleh berbagai

ceritera tentang dirinya, wajarlah bahwa ia merupakan salah satu unsur asal

kekuasaan negara (Sunoto, 1983: 52).

Kerajaan Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan dengan membuka

Alas Mentaok sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya, raja Pajang. Setelah Pajang

surut dari gelanggang kekuasaan, maka Mataram menjadi penggantinya,

berhubung Sutawijaya itu juga anak angkat Sultan Pajang yang telah berhasil

mengalahkan Arya Penangsang. Kemudian Sutawijaya menjadi raja Mataram

pertama dengan gelar Panembahan Senopati.

55
Dari ceritera tentang Ken Arok ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu:

Ken Arok sebenarnya bukan anak orang biasa tetapi anak Dewa Brahma. Ken

Arok sudah hampir tertangkap oleh para pendeta dan rakyat di desa Kabalon,

terdengarlah suara Dewa Brahma di langut yang mencegah mereka, karena Ken

Arok adalah anaknya. Danyang Loghawe pergi ke Tumapel karena mendapat

wangsit atau suara gaib untuk memelihara anak bernama Ken Arok yang nantinya

akan menurunkan raja-raja di Jawa. Dewa-dewa bermusyawarah untuk

menetapkan siapa yang akan menjadi raja dan menurunkan raja-raja di Jawa, Ken

Arok mendengarkan dengan cara bersembunyi di tempat sampah. Ken Arok telah

terkepung oleh tentara Kediri dan tidak ada alternatif lain kecuali haru memanjat

pohon enau dan bersembunyi di atasnya. Namun ia diketahui oleh para prajurit

yang kemudian memotong pohon tersebut. Dalam keadaan yang sangat berbahaya

itu ia menerima wangsit atau suara gaib agar segera memotong dahan enau,

kemudian meluncur ke seberang sungai dan bertemu dengan Danyang Lohgawe.

Contoh tersebut menunjukkan bahwa Ken Arok adalah seorang yang

mempunyai kemauan keras, dan dengan segala upaya serta kegigihannya ia dapat

mencapai cita-citanya. Perjuangan yang hebat ini disyahkan lebih lanjut dengan

berbagai ceritera tentang dirinya. Dengan legitimasi ini berarti tidak mustahillah

bila Ken Arok merupakan salah satu asal kekuasaan negara.

Bagi masyarakat Jawa, yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi dan

masyarakat lainnya, dikenal ada tiga simbol kekuasaan Jawa yaitu : Gunung

Merapi (api), Keraton Mataram (udara) dan Laut Selatan (air). Gunung Merapi

melambangkan kekuasaan, Laut Selatan melambangkan kerakyatan, dan keraton

56
Mataram melambangkan keseimbangan. Ketiga simbol kekuasaan Jawa ini

dihubungkan dengan adanya Kali Opak yang diyakini juru kunci Merapi Mbah

Marijan. Kali Opak ini penting bagi kehidupan keraton Mataram dan Kasultanan

Yogyakarta sekarang, karena keraton Yogyakarta keberadaannya tidak bisa

dipisahkan dengan Segara Kidul (Laut Selatan), kemudian antara Gunung Merapi

dan Laut Selatan disambungkan oleh aliran Kali Opak (Minsarwati, 2002: 14).

Sudah menjadi mitos umum, bahwa raja-raja Mataram sejak Senopati

mempunyai hubungan khusus dengan Kanjeng Ratu Kidul penguasa Laut Selatan.

Kanjeng Ratu Kidul sendiri adalah "Permaisuri Halus" dari Senopati. Penguasa

Laut Selatan itu berjanji akan selalu melindungi Senopati turun-temurun. Dan

pertemuan antara mereka berdua terjadi di desa Wonokromo, di tepi Kali Opak.

Menurut versi mitos lain, Kali Opak juga berperan dalam pertemuan antara

Senopati dan Ratu Kidul. Menjelang pengambilalihan kekuasaan Pajang, Senopati

mendapat wahyu keraton, disaksikan oleh pamannya Ki Juru Martani. Mereka

berdua berpisah. Ki Juru Martani ke Gunung Merapi untuk bersemedi, dan

Senopati menyelam di Kali Opak. Di Kali Opak ia melihat ikan "Olor". Indah

bentuknya. Ia mengikuti terus ke mana perginya ikan itu. Alkisah ia sampai ke

Laut Selatan. Di sanalah ia berjumpa dengan seorang wanita cantik jelita. Wanita

itu jatuh cinta pada Senopati. Dialah penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul

yang akhirnya menjadi permaisuri Senopati. Pada waktu bulan purnama Ki Juru

Martani keluar rumahnya untuk menjenguk puteranya. Sesampainya di rumah

Sutawijaya pintu sudah tertutup sedang penjaga rumah tidak tahu mana tuannya.

57
Ki Juru mengingatkan agar Sutawijaya selalu berprihatin dan bersamaan dengan

itu turunlah wahyu di atas puteranya yang sedang tidur.

Kemudian atas anjuran Ki Juru ia meneruskan bertapa di laut selatan. Ia

melakukan tapa ngeli artinya masuk di dalam sungai Opak dan terus berenang

mengikuti arus air sungai itu. Dengan bantuan seekor ikan olor, ia sampai di tepi

laut selatan dan bersemadi di situ, mengakibatkan angin laut dan gelombang

menjadi besar. Kanjeng Nyai Roro Kidul tidak ragu-ragu lagi apa yang terjadi dan

keluarlah ia dari kratonnya menemui yang sedang bersemadi. Keduanya bertemu

dan bersama-sama memasuki kraton laut selatan yang indah. Setelah segala

sesuatunya berjalan baik, dan mendapat kesanggupan dari Nyai Roro Kidul untuk

membantu sepenuhnya, Sutawijaya lalu pulang ke Mataram. Pada pagi hari ia

sudah sampai di Parangtritis dan bertemu dengan Sunan Kalijaga yang

memberikan berbagai petunjuk kepadanya tentang cara mengendalikan negara

serta bagaimana sikap seorang raja. Keduanya bersama-sama pergi ke Mataram

dan sesampainya di sana karena Sunan Kalijaga melihat bahwa rumah Sutawijaya

belum mempunyai pagar, lalu dinasehati agar dilengkapi dengan pagar tersebut,

agar tidak meninggalkan kewaspadaan.

Tentang mitos terjadinya letusan Gunung Merapi itu menurut kisahnya

juga diceritakan bahwa saat letusan berlangsung, hal itu adalah pertanda terjadi

perkawinan antara dewa laki-laki yaitu Kyai Sapu Jagad dengan perempuan Nyai

Roro Kidul. Dalam kepercayaan Jawa, gunung sering dianggap melambangkan

kekuatan laki-laki, sedang lautan yang dikuasai Nyai Roro Kidul (dewi)

melambangkan perempuan (Laksono, 1985: 46). Peristiwa letusan yang ditandai

58
dengan keluarnya lava diasosiasikan dengan keluarnya benih laki-laki pada saat

persetubuhan, tanda persetubuhan laki-laki dan perempuan. Perpaduan muntahan

gunungapi menuju laut melalui Kali Opak melambangkan wiji (sperma) calon raja

Senopati. Konsepsi perbedaan ini juga bermakna kesuburan yang dalam bahasa

awam menjadi berkah. Interpretasi ini didasarkan atas pemahaman kejawen,

bahwa gunung yang diasosiasikan dengan lingga yaitu simbol dari Siwa atau

Batara Guru, sedang laut diasosiasikan dengan Yoni simbol dari isteri Siwa yaitu

Umo.

Seperti halnya perkawinan yang seolah-olah tidak bisa dicegah, tetapi bisa

ditata, maka "perkawinan dua kekuatan alam" atau letusan Gunung Merapi juga

tidak bisa dicegah dan perlu ditata. Oleh karena itu untuk mendapatkan selamat,

penduduk tidak menolak Nyai Roro Kidul berhubungan dengan Merapi, tetapi

mereka meminta agar jika Nyai Roro Kidul mengutus atau menginginkan sesuatu

dari Gunung Merapi (yaitu benih laki-laki) jangan melalui desa mereka, tetapi

cukup di kiri kanan desa saja. Untuk itu mereka memberikan sesaji kepada

kekuatan-kekuatan gaib tersebut agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan

itu terjalin, sehingga mereka bisa dijauhkan dari bencana Merapi.

Riwayat letusan Gunung Merapi juga ada hubungan dengan mitos

terjadinya Kali Opak dan gempa bumi. Berdasarkan dari cerita mitos itu maka

Mbah Marijan juga menuturkan bahwa terjadinya Kali Opak sampai sekarang

masih ada hubungannya dengan jalan untuk menuju ke Laut Selatan dan Gunung

Merapi. Di Kali Opak inilah berjalan Kyai Antoboga, seekor naga, tokoh ini

bertugas memimpin segenap makhluk halus yang berada di dasar Merapi untuk

59
menjaga keseimbangan berat Gunung Merapi, berniat mencari ayahnya. Dia

merayapi Kali Opak, dan sepanjang jalan merayap sambil berteriak "O Pak, O

Pak, O Pak", karena itulah jalan yang dilalui tadi diberi nama Kali Opak.

Sesampainya di atas, ternyata Ki Wanabaya, ayahnya, baru mau mengakui

Antoboga sebagai anak, jika ia dapat melingkari Gunung Merapi dalam semalam.

Matahari hampir terbit, ketika kurang sejari saja jarak antara kepala dan ekornya

Antoboga lalu menjulurkan lidahnya. Tapi tiba-tiba lidah itu dipotong oleh

ayahnya. Dan jadilah dari lidah itu pusaka Kyai Baru Klinting. Antoboga lalu

diberi tugas menjaga keseimbangan Gunung Merapi. Merapi bisa sewaktu-waktu

goyah (terjadi gempa bumi). Dalam mitos tentang terjadinya gempa bumi yang

ditimbulkan oleh Gunung Merapi, penduduk mempunyai kepercayaan, bahwa hal

ini ditimbulkan oleh ulah Kyai Antoboga yang menggerakkan ekor atau kepalanya

untuk menghilangkan rasa pegal (Minsarwati, 2002: 17).

Ceritera di atas menunjukkan bahwa kedudukan sebagai pendiri kerajaan

Mataram dicapai olehnya dengan segala liku-liku perjuangan yang cukup berat.

Keberhasilan itu tidak lain adalah akibat jerih payahnya sendiri. Apa yang dicapai

bukanlah sekedar pemberian yang datang sendiri tanpa usaha. Meskipun ia sudah

diberi tahu bahwa kelak akan menjadi raja, namun ia mematuhi nasehat ayahnya

agar tidak langsung memusuhi Sultan Pajang.

Karena itu setelah menjadi raja dan memegang seluruh kekuasaan negara,

harus diartikan bahwa kekuasaan tersebut antara lain berasal dari dirinya yang

berpribadi luhur. Seseorang yang telah mendapat wahyu kraton atau pulung

dengan sendirinya dapat mengatasi segala rintangan yang dihadapi. Sebaliknya

60
seorang raja yang kehilangan wahyu kraton berarti akan turun dari tahta. Karena

itu barang siapa telah mendapat wahyu kraton atau pulung tidak dapat diganggu

gugat, sebab pasti akan gagal. Wahyu kraton atau pulung dilukiskan dengan

berbagai bentuk antara lain berupa sinar atau cahaya yang terang benderang dan

kebiru-biruan, kadang-kadang berupa satriya dan puteri. Wahyu kraton atau

pulung datang kepada manusia dalam situasi yang berbeda-beda.

Misalnya ada yang baru lahir sudah mendapat pulung, ada pula pulung

baru datang setelah yang bersangkutan melakukan tapa brata dan perjuangan

hebat. Berikut ini akan disajikan beberapa contohnya. Peristiwa tentang bayi lahir

dan mengandung cahaya. Bayi ini kelak kalau sudah dewasa akan mempunyai

kekuasaan atau setidak-tidaknya mempunyai keturunan yang mempunyai

kekuasaan kenegaraan. Peristiwa ini dialami oleh Ken Arok.

Setelah Ken Endok melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Ken Arok,

ia lalu membuangnya ke tempat pemakaman anak-anak. Pada waktu itu ada

seorang pencuri bernama Lembong tersesat memasuki makam tersebut dan

melihat ada benda menyala. Setelah didekati ternyata yang menyala itu ialah

seorang anak bayi laki-laki, yang olehnya diambil dan dibawa pulang dan

dipelihara sebagai anak sendiri. Di dalam Serat Pararaton tulisan Padmapuspita

(1966: 12) antara lain disebutkan:

"Selanjutnya ada seorang pencuri bernama Lembong, tersesat di kuburan


anak-anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong,
mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu nyatalah
yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil dan dibawa pulang,
diaku anak oleh Lembong. Ken Endok mendengar bahwa Lembong
memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu
dengan menyebut-nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak-kanak,

61
tampak bernyala pada waktu malam hari. Lalu Ken Endok datang
kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri".

Mengingat latar belakang terjadinya raja-raja sebagaimana telah kita

uraikan, kemungkinan terjadinya sifat totaliteristik masih dapat dicegah, terutama

bagi raja-raja yang bercikal bakal membangun negara. Hal ini disebabkan oleh

kenyataan bahwa mereka dapat menjadi raja di samping sebagai hasil jerih

payahnya sendiri, tetapi juga karena dukungan rakyat dan karunia Tuhan. Jelaslah

bahwa Raja bukanlah manusia yang lepas dari masyarakat, tetapi justru

berhubungan secara luas dengan masyarakat. Raja mempunyai peranan dalam

kehidupan masyarakat, tempat di mana ia berkiprah. Di samping itu karena raja

telah dipilih dan ditetapkan oleh Tuhan, maka unsur ketuhanan ini lalu ikut

berperanan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu unsur asal kekuasaan

dari Raja bukanlah satu-satunya. Kecuali itu ada unsur-unsur lain yang akan

dibicarakan lebih lanjut. Unsur inilah yang mencegah atau membatasi raja untuk

tidak berlaku totaliter, sebaliknya yang membimbing agar raja berlaku bijaksana.

Unsur lain itulah yang mendorong agar perbuatan raja juga memperhatikan

kepentingan rakyat banyak, tetapi sekaligus juga mengerem agar tidak berbuat

sekehendaknya sendiri (Sunoto, 1983: 37).

Bila hubungan antara Gunung Merapi – Keraton Yogyakarta – Laut

Selatan dihubungkan dengan persoalan kosmologis yang meliputi tertib dunia,

asal mula alam semesta, dan tujuan alam semesta, maka akan diperoleh makna

kosmologis tentang bagaimana hubungan dari sudut keseluruhan dan dari sudut

unsur-unsurnya. Kesemuanya ini bisa dijawab melalui suatu bentuk fisik dari

62
Gunung merapi (api) - Keraton Yogyakarta (udara) – Laut Selatan (air). Hal ini

menyangkut pada ajaran "Manunggaling Kawula Gusti" yang merupakan tindak

lanjut pemahaman Sangkan Paraning Dumadi. Ajaran Manunggaling Kawula

Gusti mengandung pengertian hubungan horizontal antara sesama makhluk

ciptaan Sang Pencipta. Oleh karena itu lebih condong pada wujud masyarakat

(makrokosmos) yang digambarkan dengan hubungan simbolik antara Gunung

Merapi – Keraton Yogyakarta – Laut Selatan.

Gunung Merapi, sebagaimana gunung berapi lainnya, mempunyai bentuk

kerucut menyatu ke atas, berkesan kokoh, kuat, sejuk bila berada di sekitarnya,

namun dapat menimbulkan malapetaka tak terhingga bila tidak terkendali.

Gunung Merapi adalah simbolisasi dari keteguhan masyarakat dalam iman dan

takwa kepada Allah yang satu, merupakan kekuasaan besar masyarakat melawan

kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan serta pengendalian nafsu duniawi.

Demi terwujudnya kesejahteraan rakyat lahir dan batin.

Keraton Yogyakarta, sebagai simbolisasi dari Sang Pemimpin yang

bergelar Ngarso-Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamangku Buwono Ing

Ngalogo Ngabdulrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng

Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, mengandung arti Pemimpin yang senantiasa di

depan sebagai teladan, mempersatukan dengan kekuasaan ngrengkuh, sengguh

ora mingguh mempersatukan, mengutamakan dan melindungi rakyatnya (makna

Hamengku, Hamangku, Hamengkoni), karena sebagai Panglima Perang harus

mampu menghalau musuh manusia yang berwujud kebodohan, keterbelakangan

dan kemiskinan akibat ulah nafsu duniawi, dalam kapasitas dirinya sebagai hamba

63
Allah yang senantiasa tunduk akan perintah Allah, dan menjauhkan larangan-Nya.

Pemimpin di tengah rakyatnya, mendorong menuju tujuan serta mewujudkan

kesejahteraan dengan keteguhan keyakinan hanya karena Allah semata.

Laut Selatan, yang dalamnya tidak teratur, mengandung kekayaan alam

tak terhingga, deburan ombak yang kadang deras, keras dan besar, diiringi angin

yang kencang, namun kadang pelan, lembut dan nyaman diiringi angin yang sepoi

basah, ibarat kehidupan masyarakat yang keras, brutal namun juga lembut, sejuk,

tenteram, damai, penuh dengan kreasi, apresiasi, dinamika, dan aspirasi yang

harus diserap, dipahami, diolah, diyakini, diutamakan, diperjuangkan, dan

dilindungi oleh Sang Pemimpin. Oleh karena itu Sang Pemimpin harus manjing

ajur ajer dengan yang dipimpin, menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri

pertama dan utama, itulah makna Kanjeng Ratu Kidul sebagai personifikasi Sultan

Ngayogyakarta Hadiningrat.

Berdasarkan pada uraian tentang tiga makna simbol dari Gunung Merapi,

Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan di atas, dapat disimpulkan tentang makna

kosmologi yang ada pada mitos letusan Gunung Merapi, yaitu terjadinya "dua

kekuatan alam", yaitu antara Gunung Merapi sebagai kekuatan api dan Laut

Selatan sebagai kekuatan air. Hasil perpaduan dua kekuatan alam ini berupa calon

raja Senopati yang berada di Keraton Yogyakarta, yaitu berupa Keraton sebagai

unsur udara.

Perlu kita sadari bahwa contoh-contoh yang telah kita uraikan sebenarnya

merupakan sejarah, hanya bentuk penyampaiannya yang perlu kita pelajari secara

saksama. Jika kita baca sepintas lalu saja seolah-olah hanya merupakan ceritera

64
atau dongeng belaka tidak ada bedanya dengan ceritera atau dongeng yang lain.

Lebih-lebih jika kita perhatikan isinya, seolah-olah banyak yang tidak masuk akal.

Misalnya raja Dhandhang Gendhis yang dikalahkan Ken Arok lalu naik ke langit

dengan istananya; Ken Arok mendengarkan Dewa yang sedang berapat; R. Paku

yang waktu lahir dimasukkan di dalam kendhaga; Jaka Tingkir yang berperang

melawan buaya; Sutawijaya dengan Nyai Roro Kidul; Sutawijaya bertemu dengan

Sunan Kalijaga dan lain-lain.

Timbul pertanyaan di dalam diri kita bagaimana hal-hal semacam itu

terjadi, bagaimana mengartikan simbol itu dengan sebaik-baiknya. Kita harus

dapat melakukan analisa secara kualitatif, terhadap simbol-simbol itu, kemudian

secara kuantitatif kita melakukan abstraksi. Ceritera-ceritera itu merupakan

legitimasi terhadap diri orang yang bersangkutan, agar syah dalam melakukan

tugasnya dan berwibawa serta berkharisma.

Nagari Pajang lajeng pindhah dateng Mataram. Ingkang jumeneng

narpati, Risang Sutawijaya ajejuluk Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

Panembahan Senopati Ngalaga ing Nagari Mataram. Prameswari dalem angka

setunggal Kanjeng Ratu Mas, putrinipun Ki Ageng Penjawi ing Pathi. Peputra :

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati ing Mataram.

Putra Dalem nomer 3 Adipati Puger ing Demak, peputra Adipati Pragola

ing Jambean, peputra Tumenggung Aria Mataun, Patih ing Jipang. Adipati

Pragola ing Pathi, kaleres naksederek kaliyan Ingkang Sinuwun Sultan Agung,

mengsah perang kaliyan Mataram, dipun lawan Ingkang Sinuwun Sultan Agung

piyambak, awit mangertos manawi Adipati Pragola pancen sekti. Namung gugur

kenging Kyai Tumbak Kyai Pleret. Sumare wonten Makam Pragola ing kota Solo.

65
Saben dinten malem Jumah pasareanipun Adipati Pragola wonten rah teles

ateges inggal. Namung bibar perang Jepang sapriki sampun boten wonten.

Pancen pasareanipun ngajrih-ajrihi. Ingkang nurunaken nata, putra nomer 12.

Panembahan Juminah, putra K.R. Retno Dumilah peputra Pangeran Hario

Balitar, peputra Tumenggung Balitar, peputra Kanjeng Ratu Paku Buwana I,

Prameswari Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun P.B.I, peputra Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Prabu Amangkurat Jawa ing Kartasura (Bratadiningrat,

1990: 58).

Setelah berhasil menggeser kekuasaan Pajang, Sutawijaya tahun 1584

memindah pusat kerajaan menuju Mataram. Dalam bidang budaya Panembahan

Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatahan gempuran (Haryanto,

1988: 204). Panembahan Senopati merupakan tokoh yang berhasil membuat

anyaman mistik dan politik yang keteladanannya memandu alam pikiran Jawa.

Pribadinya sebagai personifikasi tahapan pemahaman tertinggi, yaitu manggalih

artinya mengenai soal-soal esensial, pasca manah, artinya membidikkan anak-

panah, mengenai soal-soal problematis di jantung kehidupan, pusat-lingkaran,

yang dikenal sebagai jangka. Itulah makna jangka jangkah jangkaning jaman

(Damardjati, 1993: 27).

66
BAB V

PELAKSANAAN UPACARA SELAMATAN

Jika diteliti dengan seksama kehidupan keluarga Jawa mempunyai tujuan

kebahagiaan dan dalam hal ini ujudnya antara lain adalah selamat tidak ada

gangguan apapun. Itulah sebabnya keluarga Jawa disibukkan oleh berbagai

selamatan yang harus diselenggarakan olehnya. Maksud mengadakan selamatan

tidak lain agar seluruh keluarganya memperoleh selamat. Selamat dalam

melakukan pekerjaan, selamat.dalam perjalanan,- selamat dalam segala tingkah

laku dan perbuatannya.

Keluarga Jawa mengerlal berbagai jenis upacara selamatan antara lain

upacara tingkeban, babaran, sepasaran, selapanan, pitonan, atau tedhak siten,

sunat, perkawinan, kematian. Di dalam peristiwa-peristiwa tersebut selalu

diadakan selamatan menurut pola atau kebiasaan yang berlaku. Kecuali sarana

yang berbentuk fisik dalam upacara selamatan itu disampaikan pula doa-doa

tertentu. Maksud doa tersebut adalah agar yang bersangkutan terlepasdari

berbagai rintangan dan halangan, sebaliknya akan mendapat keselamatan.

Clifford Geertz (1969: 126) antara lain menulis tentang selamatan

sebagai upacara kecil di dalam sistem religius Jawa. Bagi sebagian penduduk

Jawa, slametan masih tetap menarik. Berbagai upacara dalam keluarga yang

bertujuan untuk memperoleh keselamatan antara lain adalah sebagai berikut :

67
Di dalam upacara ini antara lain digunakan cengkir (kelapa muda)

gadhing. Cengkir gadhing adalah lambang kecantikan, mungil, indah.

Menggunakan cengkir mengandung maksud bahwa orang tua mengharapkan

memperoleh anak yang cantik, suci, bersih lahir batinnya. Di samping itu

disediakan pula rujak yang terdiri atas bermacam - macam buah-buahan. Rujak

juga mengandung arti harapan. Kecuali rujak, dalam selamatan tersebut

disajikan tiga macam nasi yaitu nasi putih, nasi merah dan bubur. Nasi putih

melambangkan air dari ibu, nasi merah melambangkan air dari bapak dan bubur

untuk menjaga terhadap gangguan makhluk jahat. Dalam hal nasi, Clifford Geertz

menulis bahwa ada tiga macam yaitu putih mulus, merah dan gabungan keduanya,

putih di sekeliling yang di luar dan merah di tengah-tengah meja. Putih

melukiskan pemuas ibu, merah air bagi ayah, dan campuran keduanya dipandang

mujarab untuk mencegar masuknya roh yang merugikan.

Dalam hal rujak ia menulis : bahwa rujak legi merupakan ramuan berbagai

buah-buahan yang sangat pedas, cabai penyedap dan gula. Dikatakan bahwa

apabila rujak rasanya pedas atau sedap bagi calon ibu, maka ia akan mempunyai

seorang anak perempuan, tetapi jika rujak rasanya hambar baginya, ia akan

mempunyai anak lelaki.

Meskipun tidak disebutkan secara terinci,terutama mengenai kelengkapan

upacara sebagaimana telah diuraikan, Koentjaraningrat (1967: 42) antara lain

menulis bahwa sebelum melahiran seorang anak, calon ibu memperoleh berbagai.

tabu berupa larangan untuk melakukan sesuatu. Selama bulan ketujuh

mengandung, diselenggarakanlah sebuah upacara yang disebut tingkeban atau

68
mitoni. Upacara itu dipandang menjamin persalinan yang berhasil dan membawa

slamet (selamat) kepada anak yang belum dilahirkan dan kepada keluarganya.

Di samping upacara yang telah diuraikan di atas, keluarga Jawa mengenal

pula berbagai upacara lain yang disebabkan oleh kasus tertentu. Tujuannya tidak

lain untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang bersangkutan khu susnya

dan bagi keluarga pada umumnya. Kasus-kasus tersebut antara lain ialah:

Anak ontang-anting yaitu anak yang tidak mempunyai saudara.

Anak julung yaitu yang lahirnya bersamaan dengan terbit atau

terbenamnya matahari.

Anak pendhawa yaitu lima laki-laki semua.

Anak sendhang kapit pancuran yaitu tiga orang anak yang nomor dua

perempuan.

Anak pancuran kapit sen .dhang ya.itu tiga orang anak yang nomor dua

laki-laki.

Keluarga Jawa mempunyai kepercayaan bahwa anak-anak tersebut di

atas selalu dibayangi oleh bahaya yang datang dari seorang raksasa yaitu

Bethara Kala. Dewa Kala akan memangsa anak-anak tersebut karena mereka

ini memang dilahirkan untuk menjadi mangsa. Untuk menghindari bahaya

tersebut, keluarganya lalu mengadakan upacara dengan menanggap wayang kulit

yang lakonnya murwa kala. Dengan menyelenggarakan upacara ini, keluarga

akan terhindar dari mara bahaya dan anak yang bersangkutan akan selamat.

Tujuan pokok dari upacara ini tidak lain adalah untuk mencari selamat.

69
Di samping kasus di atas ada pula jenis yang lain misalnya upacara

penggantian nama. Jika ada seseorang yang sering menderita sakit, dianggap

bahwa nama orang tersebut tidak cocok. Sakit dihubungkan dengan nama

seseorang. Karena itu lalu diadakan upacara selamatan mengganti namanya,

misalnya semula bernama Supardi lalu diganti dengan nama Slamet atau Basuki

atau Beja atau Untung. Nama pengganti tersebut dipilih yang mempunyai arti

baik.

Slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang

bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang

menyelenggarakan. Biasanya untuk hajatan keberangkatan naik haji ke tanah suci,

keberangkatan anak yang mau sekolah ke luar daerah, pendirian sebuah rumah

baru, dan sebagainya. Harapan pada masa depan yang lebih cemerlang, di

samping harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah rasional dan yang serba

kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan adikodrati atau supranatural yang

bersifat spiritual. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan

untuk mendapat ridha dari Tuhan.

Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di

pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakini bahwa slametan adalah syarat

spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau

kecelakaan.

Bancakan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur,

yaitu yang berkaitan dengan problem dum-duman 'pembagian' terhadap

kenikmatan, kekuasaan, dan kekayaan. Maksudnya supaya terhindar dari konflik

70
yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil. Upacara bancakan sering

digunakan dalam acara bagi waris, sisa hasil usaha dan keuntungan perusahaan.

Harapannya agar masing-masing pihak merasa dihargai hak dan jerih payahnya

sehingga solidaritas anggota terjaga. Di mana-mana solidaritas mudah dibangun

dalam suasana terjepit. Akan tetapi sulit dicapai dalam masa pembagian

keuntungan karena orang cepat lupa diri, ingin saling jegal dan cenderung menang

sendiri. Upacara bancakan dimaksudkan untuk menghindari hal tersebut.

Yang dimaksud dengan kenduren adalah upacara sedekah makanan

karena seseorang telah memperoleh anugrah atau kesuksesan sesuai dengan apa

yang dicita-citakan. Dalam hal ini kenduren mirip dengan cara tasyakuran.Acara

kenduren bersifat personal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan

sejawat, dan tetangga. Mereka berkumpul untuk berbagi suka. Suasananya santai,

sambil membicarakan tauladan yang bisa ditiru misalnya kenaikan pangkat, lulus

ujian, terpilih untuk mengemban amanat jabatan dan sukses-sukses lain yang

perlu dan pantas ditiru. Hidangan sedekah kenduren menunya lebih bebas. Hampir

tidak ada kewajiban menu tertentu sehingga terbangun suasana suka dan meriah.

Kata slamet di tengah-tengah pergaulan orang Jawa sangat populer.

Pengertian slamet adalah selamat dan terbebas dari segala aral rintangan. Begitu

populernya sehingga banyak orang Jawa memberi nama anaknya dengan kata

slamet. Misalnya Slamet Sutrisno, Slamet Raharja, Slamet Riyadi, dan

sebagainya. Maksud utama pemberian nama demikian adalah agar anaknya

mendapat keselamatan dan kedamaian hidup. Dalam pergaulan sehari-hari sering

terdengar, "Piye kabare? Rak pada slamet ta?"

71
Secara umum kata slamet digunakan untuk melukiskan keadaan,

pemberian nama anak, menanyakan kabar seseorang dan menyebut suatu jenis

upacara. Karena keselamatan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi

manusia baik di dunia apalagi di akhirat. Apabila ada sebuah resepsi pada

keluarga Jawa, dengan mudah di sana ditemukan jajaran kata "Sugeng Rawuh",

yang berarti selamat datang yang ditujukan kepada para tamu. Kata sugeng itu

merupakan bentuk krama dari akad slamet sehingga terkesan lebih halus.

Untuk sapaan hangat dan hormat, kata sugeng digunakan demikian,

"Sugeng rawuhipun, Pak." Dan pihak yang disapa akan menjawab singkat, "Injih,

pengestunipun." Kata sugeng memang dapat menciptakan suasana hangat, hormat

dan hikmat. Kata sugeng untuk memberi nama orang misalnya Sugeng Santosa,

Sugeng Hartono, Sugeng Pamungkas, dan lain-lain.

Widada juga mengandung makna selamat. Hanya saja kata widada

digunakan dalam suasana yang formal keistanaan serta lebih estetis dan puitis

(bahasa Kawi). Kata widada yang bernilai estetis dan puitis lantas digunakan

untuk memberi nama anak laki-laki, misalnya Jatmika Widada, Budi Widada,

Jaka Widada, Endar Widada, dan sebagainya. Semuanya bermaksud agar

anaknya mendapatkan keselamatan dan kewibawaan. Selain untuk nama orang,

percakapan resmi dalam istana serta upacara, kata widada tidak digunakan dalam

kehidupan sehari-hari. Untuk kata keseharian orang lebih biasa dengan istilah

slamet yang merupakan tataran bahasa ngoko.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur

menggunakan semboyan "Jer Basuki Mawa Beya". Artinya adalah cita-cita

72
untuk memperoleh kesejahteraan pasti memerlukan biaya. Biaya di sini bisa

berarti tenaga, semangat dan kemauan. Di samping menunjuk pada soal

kesejahteraan, kata basuki juga mengandung makna keselamatan. Misalnya puji

memuji: manggiha basuki, mugi kalis ing sambikala. Artinya saling mendoakan

agar mendapat keselamatan terbebas dari segala gangguan. Basuki, lestari,

widada, slamet, sugeng, yuwana, raharja, rahayu, semuanya mengandung

makna harapan akan keselamatan. Nama anak yang menggunakan istilah

basuki di Jawa juga sangat banyak.

Setiap kali MC bahasa Jawa mau mengakhiri pembicaraan, senantiasa

terdengar ungkapan: mugi rahayu ingkang sami pinanggih. Artinya semoga

selalu bertemu dalam keselamatan. Rahayu di sini juga mengandung makna doa

selamat. Ayu-hayu-rahayu adalah kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya

keselamatan. Wanita ayu adalah wanita yang bisa menghadirkan suasana

keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Demikian juga kata hayu-dirgahayu

adalah ungkapan yang menghendaki datangnya keselamatan. Untuk anak putri

sering diberi nama rahayu. Misalnya Nanik Rahayu, Sulastri Rahayu, Prapti

Rahayu dan Sulistya Rahayu. Harapannya agar si anak mendapat kecantikan fisik

dan kecantikan batin, sehingga kehadirannya membawa keindahan dan

kedamaian.

Salah satu gendhing yang terkenal dalam kerawitan yaitu gendhing

ladrang wilujeng. Lagu ini memberi suasana damai, ayem, tentrem, dan tenang.

Ladrang wilujeng ini cocok untuk mengisi suasana santai namun agung dan

hikmat. Kata wilujeng juga dapat digunakan untuk sapaan hangat bernada halus,

73
"Kepripun Mas kabaripun?" Maka akan dijawab, "Pangestunipun, dhawah

wilujeng."

Secara umum kata wilujeng bermakna selamat juga. Hanya saja kata ini

jarang digunakan untuk memberi nama anak. Wilujengan berarti selamatan, yang

sejajar maknanya dengan slametan. Dengan wilujengan atau selamatan itu,

mereka berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dalam kehidupannya diberikan

keselamatan dan kesejahteraan, terbebas dari malapetaka, terhindar dari hal-hal

yang menjebak mereka sehingga gagal meraih kebahagiaan hidup dunia dan

akherat.

74
BAB VI

UPACARA TRADISIONAL DAN TERTIB KOSMOS

Bagi masyarakat Jawa yang biasa meyaksikan keramaian yang

mengandung nilai religius khuusnya nilai yang terkandung di dalam agama Islam

setiap setahun sekali yaitu pada bulan Maulud. Oleh karena itu paca.ra ini

dinamakan garebeg Maulud. Yaitu upacara selmatan atau hajad Dalem berupa

tumpeng yang besar atau inungan yang dibawa dari kraton ke mesjid besar pada

aktu dan hari-yang telah ditetapkan. Pada hari tersebut digarebeg atau diikuti oleh

pengiringnya menuju mesjid besar untuk melakukan upacara selamatan bersama-

sama dengan para penghulu kraton, ulama, pembesar lain dan rakyat pada

umumnya. Oleh karena diadakan pada bulan Maulud lalu dinamakan garebeq

mulud. Di samping garebeg Mulud masih ada garebeg lain yang diadakan pada

bulan Sawal dan Besar. Karena itu upacara tersebut juga dinaman Garebeg Besar.

Ketiga macam upacara itu hampir sama bentuknya dan nilai yang terkandung di

dalamnya juga sama yaitu nilai agama khususnya agama Islam.

Istilah sekaten mempunyai arti bermacam-macam. Ada yang mengatakan

nama tersebut diambil dari kata sekati yaitu nama gamelan yang ditabuh di muka

masjid besar selama perayaan sekaten itu berlangsung. Ada pula yang

mengartikan lain yaitu diambil dari kata sahadatain atau dua kalimah sahadat

atau pengakuan setiap orang Islam bahwa tidak ada Tuhan lain kecuali Allah

dan Nabi Muhammad saw, adalah pesuruh-Nya. Dengan demikian kata

Syahadatain lalu menjadi sekaten artinya perayaan atau upacara sebagai

75
pengejawantahan pelaksanaan nilai yang terkandung di dalam agama Islam.

(Sunoto, 1989: 36).

Pada waktu para wali menyebarkan agama Islam di Jawa mereka secara

bijaksana menggunakan cara yang sangat baik yaitu bagaimana agar agama

Islam dapat diterima oleh rakyat dengan baik, dengan penuh kesadaran. Salah

satu cara yang mereka gunakan adalah dengan memakai alat berupa gamelan.

Mereka memahami benar-benar bahwa rakyat pada umumnya gemar akan

pertunjukan; gemar akan kesenian. Dengan demikian agar rakyat dapat

dikumpulkan dengan mudah maka cara yang paling baik adalah melalui

pertunjukan berupa nyanyian yang diiringi oleh gamelan yang dipukul di muka

atau di halaman masjid. Setelah rakyat ber kumpul mendengarkan bunyi

gamelan yang indah itu, terbukalah kesempatan untuk meberi penerangan

tentang agama Islam kepada mereka. Dengan cara demikian maka rakyat secara

sadar mengetahui tentang agama Islam dan kemudian memeluk agama tersebut

dengan senang dan penuh tanggung jawab. Sesuai dengan ajaran agama Islam

bahwa tidak ada paksaan dalam agama maka penyebaran dan perkembangan

agama Islam di Jawa berjalan secara tertib dan damai. Demikianlah tradisi ini

terus berjalan sampai sekarang dengan penyempurnaan pelaksanaannya sesuai

dengan tuntutan waktu dan jaman. Berikut ini adalah sekelumit contoh tentang

Sekaten di Yogyakarta.

Beberapa hari sebelum gunungan dibawa dari kraton ke mesjid besar

telah diadakan berbagai keramaian yang diadakan di alun-alun Utara

Yogyakarta. Pada hari dan jam yang telah ditentukan gamelan nyahi dan kyahi

76
Sekati dibawa dari kraton ke mesjid besar untuk ditabuh selama perayaan

tersebut berlangsung. Kemudian puncak acara adalah membawa gunungan dari

kraton ke mesjid besar. Upacara ini dilakukan dengan penuh kebesaran dan

khidmat.

Sebagaimana disebutkan di atas maka pada puncak acara ini Sri Sultan

yang mempunyai hajad dengan diiringkan oleh pembesar kraton dan kerabat

pergi dari kraton ke mesjid besar untuk melakukan selamatan bersama para

ulama, penghulu dan rakyaL pada umumnya. Beberapa waktu kemudian

gamelan yang selama perayaan itu dibunyikan lalu dibawa kembali ke kraton.

Upacara sekaten secara resmi telah selesai. Gunungan sebenarnya adalah sebuah

tumpeng yang besar dimaksudkan untuk selamatan atau kendhuri. Yang

mempunyai hajad adalah raja. Ada dua jenis gunungan yaitu laki-laki dan

perempuan.

Dari seluruh kegiatan dalam rangka sekatenseperti diuraikan di atas

nampak dengan jelas bagaimana bentuk filsafat hidup masyarakat Jawa. Sekaten

penuh diliputi oleh nilai religius khususnya nilai agama yang terkandung di

dalam Islam. Lagu-lagu telah dipilih sedemikian rupa agar mempunyai nilai

sakral. Upacara-upacara harus dipenuhi dan dijalankan secara runtut; misalnya

waktu membawa gunungan telah ditetapkan harinya, jamnya dan siapa yang

mengangkat. Nilai moral dan keindahan jelas nampak dalam upacara sekaten.

Terlihat dalam hal hubungannya dengan tujuan upacara, kepada siapa tumpeng

harus dibagikan, pakaian yang bagaimana harus dipakai pada waktu melakukan

upacara itu agar semuanya tampak susila dan indah. Upacara sekaten

77
menunjukkan bagaimana hubungan antara raja dengan para ulama dan rakyat

pada umumnya. Raja'.dengan para Pangeran dan Pembesar kraton tedhak ke

mesjid besar bersama-sama dengan ulama ddn rakyatmengadakan selamatan.

Raja bergaul akrab dengan rakyat dalam melaksanakan kepentingan bersama

yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat rahmat dan

keselamatan dari-Nya.

Gunungan terdiri atas makanan dan berbagai buah-buahan. Ini berarti

bahwa dalam upacara ini hasil-hasil pertanian digunakan sebagai perlengkapan

upacara.Karena itu nilai pertanian ikut pula berperanan di dalam upacara ini.

Dalem adalah bagian rumah yang ditempati untuk tidur terdiri atas tiga

ruangan atau senthong, yaitu senthong kiri, senthong kanan dan senthong

tengah. Senthong kiri dan kanan ditempati untuk tidur sedangkan senthong tengah

dianggap sebagai ruangan yang suci digunakan jika ada upacara-upacara yang

suci misalnya perkawinan. Di dalam ruangan ini terdapat berbagai benda misalnya

kendhi, tempat sirih, pengidon dan lain-lain. Ruangan ini dihubungkan dengan

suatu anggapan sebagai tempat Dewi Sri. Dari uraian tersebut di atas dapat

dibuktikan betapa peranan unsur pertanian. Sebagai peran utama dalam hal ini

adalah Dewi Sri, bahkan sering disebut bersama dengan adik yang kemudian

menjadi suaminya yaitu Sadana.Ceritera Dewi Sri di dalam wayang:

Sebenarnya apa yang diceriterakan mengenai lakon Dewi Sri adalah

lambang mengenai pertanian. Di dalam ceritera tersebut Dewi Sri dilukiskan seba-

gai puteri seorang raja yang diusir dari kerajaan karena menolak pinangan seorang

raja raksasa. Kemudian ia dikejar-kejar oleh utusan raja dan dilindungi oleh siapa

78
saja yang didatangi olehnya. Akhirnya ia selamat, para pengejarnya dihancurkan

dan Dewi Sri menjadi isteri adiknya sendiri. Karena Dewi Sri adalah lambang

pertanian maka perjalanannya adalah lambang bagaimana pertanian mendapat se-

rangan dari hama dan bagaimana dapat terhindar dari hama tersebut.

Bagaimanapun juga ceritera tersebut sangat terkenal dan digemari oleh

masyarakat Jawa.

Di tepi-tepi pantai masyarakat menghadapi tantangan yang berbeda

dengan mereka yang hidup di tengah-tengah atau di daerah pedalaman. Mereka

harus menjawab.tantangan dengan sebaik-baiknya. Timbullah berbagai bentuk ja-

waban yang diberikan oleh mereka yang intinya adalah halhal yang bersangkut

paut dengan laut misalnya nyai Roro Kidul sebagai Dewi lautan.

Di daerah Surakarta dan Yogyakarta ada upacara laut yang disebut

labuhan. Upacara ini ti.dak dapat dipisahkan dengan rangkaian mengenang

peristiwa berdirinya kerajaan Mataram terutama ceritera pada waktu Panembahan

Senapati berhubungan dengan Nyai Rara Kidul. Upacara labuhan diadakan pada

waktu tertentu yang intinya adalah melabuh atau membuang pakaian-pakaian

bekas dari raja ke laut. Untuk kraton Surakarta pakaian tersebut dilabuh di pantai

Brosot, sedangkan untuk kraton Yogyakarta dilabuh di pantai Parangtritis.

Upacara labuhan disertai dengan sarana-sarana dan prosedur yang bersifat sakral

antara lain mengenai alat-alat sajian, pakaian, pembawa pakaian yang akan

dilabuh.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam menyelenggarakan upacara

labuhan sebagai berikut: Pada saat persiapan upacara labuhan bersifat tertutup

79
artinya hanya dilakukan di dalam Kraton Yogyakarta. Adapun yang terlibat dalam

menyelenggarakan persiapan upacara ini adalah para puteri kerabat kraton yang

sudah tua usianya, abdi dalem Keparak, abdi dalem Kawedanan Ageng

Punakawan Widyabudaya dan Kyai Penghulu. Pada saat persiapan ini yang boleh

menyaksikan adalah Sri Sultan Hamengku Buwana IX dan keluarganya serta para

abdi dalem Kraton Yogyakarta. Pada saat persiapan ini kecuali menyiapkan

perlengkapan upacara labuhan juga menyiapkan perlengkapan ulang tahun

(tingalan dalem) Sri Sultan Hamengku Buwana IX.

Demikian juga pada saat upacara ulang tahun (tingalan dalem) ini masih

bersifat tertutup sebab masih dilakukan di dalam kraton. Adapun pihak-pihak

yang terlibat dalam upacara ini yaitu abdi dalem Kawedanan Ageng Punakawan

Widyabudaya, abdi dalem Keparak,.kerabat kraton dan abdi dalem Pengulon.

Patih Kasunanan Surakarta (bagi labuhan di Gunung Lawu dan Dlepih

Kahyangan), Residen Yogyakarta, Residen Surakarta (bagi labuhan di Gunung

Lawu dan Dlepih Kahyangan) sebagai administrator yang mewakili pemerintah

Hindia Belanda. Para pejabat itu semua menjadi saksi resmi bahwa upacara

labuhan dilaksanakan. Kesaksian para pejabat tersebut baik dari lingkungan

pemerintah Kraton Yogyakarta maupun dari lingkungan pemerintah Hindia

Belanda, menjadi bukti bahwa upacara labuhan merupakan suatu upacara resmi

dari Kraton Yogyakarta.

Pada pelaksanaan upacara labuhan yang dilaksanakan di tempat-tempat

tertentu, masyarakat setempat juga ikut bertindak sebagai saksi. Sejak di

kecamatan masing-masing, masyarakat setempat menyambut dan memberikan

80
penghormatan kepada benda-benda labuhan yang dibawa oleh para petugas.

Kemudian masyarakat setempat, bersama-sama mengantar sampai di tempat-

tempat di mana upacara labuhan dilaksanakan oleh juru kunci. Juru kunci boleh

dikatakan mewakili masyarakat setempat di mana upacara labuhan dilakukan dan

bertindak atas nama raja pada waktu melaksanakan labuhan di tempat-tempat

tersebut. Kecuali itu juru kunci juga mempunyai hak untuk memiliki benda-benda

yang telah selesai dilabuh (Sularto, 1981 : 34).

Untuk menambah kepercayaan diri dan menghindari bahaya yang

mengancam, mereka mengadakan upacara yang pokoknya berisi harapan

mendapat ijin dari Nyai Rara Kidul. Mereka harus mematuhi larangan-larangan

dan melakukan berbagai ketentuan antara lain : pemberian sesaji-sesaji. Larangan

memakai baju, kain dan selendang yang berwarna seperti pakaian Nyai Rara

Kidul. Selamatan dan berbagai pertunjukan misalnya wayang, tarub, kuda kepang,

topeng.

Upacara laut di Pantai Popoh. Upacara tersebut dahulu belum pernah ada.

Upacara diadakan pada hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Maulud Nabi.

Upacara pada waktu Maulud Nabi isinya menyerupai upacara gunungan. Ada pula

Upacara Rebo Wekasan. Keramaian itu dinamakan Rebo Wekasan, karena

diadakan pada hari malam Rebo terakhir yang ada di bulan Sapar. Keramaian atau

adat-istiadat berupa Rebo Wekasan mengandung nilai alam, khususnya laut. Nilai

alam nampak pada hubungan antara keramaian dan idat istiadat berupa

penyeberangan sungai, berjalan ke beberapa tempat dan dilakukan pada malam

hari. Di samping itu orang-orang masih mempunyai anggapan bahwa tempat

81
tersebut dahulu juga merupakan pertemuan antara Nyai Rara Kidul dengan Sultan

Agung.

Sebenarnya upacara laut tidak hanya terdapat di pantai Selatan, akan tetapi

juga dilakukan oleh Masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di pesisir Utara dan

Timur. Upacara ini biasanya dikerjakan oleh masyarakat nelayan misalnya yang

bertempat tinggal di Tegal, Tuban dan Banyuwangi. Sudah barang tentu mereka

tidak berhubungan dengan Nyai Rara Kidul, akan tetapi makhluk halus yang

menghuni lautan pada umumnya.

Di samping pertanian dan laut, masyarakat Jawa juga menempatkan

gunung sebagai sesuatu yang memegang peranan penting di dalam tata kehidupan

mereka. Pada waktu sekarang inipun masih ada anggapan bahwa gunung-gunung

tertentu dihuni oleh para makhluk halus, masih angker atau gawat. Misalnya

gunung Semeru, gunung Brama, gunung KElut, gunung Liman, gunung Lawu,

gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung Sumbing, gunung Sindara, gunung

Slamet. Pada waktu-waktu tertentu masih diadakan upacara-upacara untuk

mengenang keangkeran gunung-gunung tersebut. Upacara-upacara berikut ini

menunjukkan bahwa masyarakat Jawa di dalam kehidupannya harmonik dengan

alam lingkungannya termasuk pegunungan.

Upacara Gunungan, adalah salah satu sarana dalam upacara gerebeg

adalah gunungan. Meskipun pada hakekatnya upacara ini bernilai religius,

namun disamping mengandung filsafat tani sebagaimana telah dikemukakan,

mengandung pula filsafat gunung. Hal ini nampak dalam bentuk gunungan, yang

melambangkan hirarki hubungan antara Tuhan dengan yang diciptakannya dan

82
hirarki hubungan antara raja dengan rakyatnya. Hubungan-hubungan tersebut

bila berjalan baik akan membawa kemakmuran dan kebahagiaan hidup. Istilah

gunungan juga dipakai untuk sebutan dalam wayang yaitu lukisan gunung yang

mempunyai multi fungsi antara lain untuk memulai dan menutup pertunjukan.

Upacara tumpengan. Masyarakat Jawa mempunyai kebiasaan

mengadakan selamatan pada waktu-waktu tertentu untuk memperingati

kejadian-kejadian penting, misalnya peringatan kelahiran anak, puputan,

khitanan, perkawinan, hari ulang tahun, membuat rumah atau gedung baru,

menempati rumah baru, ulang tahun kantor atau lembaga, ulang tahun

organisasi, hari-hari besar atau hari bersejarah.

Salah satu alat yang digunakan dalam upacara ini adalah tumpeng.

Karena itu selamatan semacam ini juga dinamakan tumpengan. Tumpeng terbuat

dari nasi dan berbentuk kerucut atau gunung. Selamatan dengan tumpeng

mengingatkan kepada kita bagaimana masyarakat menempatkan gunung sebagai

salah satu yang mempunyai nilai tinggi. Mengingatkan bahwa ada kekuasaan

tertinggi yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa yang wajib dimintai keselamatan oleh

manusia.

Upacara kesada, Masyarakat Tengger mengadakan Upacara kesada di

puncak gunung Brama, Upacara ini jatuh pada bulan purnama sidi di bulan

kesada atau bulan kedua belas. Upacara dilakukan di laut pasir gunung Brama,

semalam suntuk dan diakhiri pagi hari setelah mereka menyaksikari terbitnya

matahari dan sudah tidak ada lagi orang yang melemparkan korban ke bawah,

sebagai upacara korban kepada Sang Hyang Brama.

83
Bangunan di pesarean Imagiri juga berbentuk gunung yaitu bertingkat-

tingkat. Tingkat-tingkat tersebut juga melambangkan perjalanan hidup manusia.

Demikian pula bangunan candi Borobudur bertingkat-tingkat yang berarti pula

sebagai lambang perjalanan hidup manusia.

Yogyakarta memang kaya akan berbagai adat kebiasaan yang secara

turun temurun masih dijalankan oleh masyarakat seperti halnya upacara saparan

di gunung Gamping yang juga terkenal dengan bekakak. Upacaranya sendiri

dilakukan pada hari Jum'at Wage pada bulan Sapar setiap tahun sekali dengan

mengarak bekakak yang akan disembelih di tempat yang telah ditetapkan.

Karena itu adat kebiasaan tersebut dinamakan upacara saparan.

84
BAB VII

KIDUNG PENOLAK BALAK

Ada nyanyian yang menjaga di malam hari. Kukuh selamat terbebas dari

penyakit. Terbebas dari semua malapetaka. Jin setan jahat pun tidak berkenan.

Guna-guna pun tidak ada yang berani. Juga perbuatan jahat. Ilmu orang yang

bersalah. Api dan juga air. Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku. Guna-

guna sakti pun lenyap. Semua penyakit pun bersama-sama kembali. Berbagai

hama sama-sama habis. Dipandang dengan kasih sayang. Semua senjata lenyap.

Seperti kapuk jatuhnya besi. Semua racun menjadi hambar. Binatang buas jinak.

Kayu ajaib dan tanah angker. Lubang landak rumah manusia tanah miring. Dan

tempat merak berkipu.

Tempat tinggal semua badak. Walaupun arca dan lautan kering. Pada

akhirnya, semua selamat. Semuanya sejahtera. Dikelilingi bidadari. Dijaga oleh

malaikat. Semua rasul. Menyatu menjadi berbadan tunggal. Hati Adam, otaku

Baginda Sis. Bibirku Musa. Napasku Nabi Isa as. Nabi Yakub mataku. Yusuf

wajahku. Nabi Dawud suaraku. Nabi Sulaiman kesaktianku. Nabi Ibrahim

nyawaku. Idris di rambutku. Baginda Ali kulitku. Darah daging Abu Bakar Umar.

Tulang Baginda Usman. Sumsumku Fatimah yang mulia. Siti Aminah kekuatan

badanku. Ayub kin dalam ususku. Nabi Nuh di jantung. Nabi Yunus di ototku.

Mataku Nabi Muhammad. Wajahku rasul. Dipayungi oleh syariat Adam. Sudah

meliputi seluruh para nabi. Menjadi satu dalam tubuhku.

85
Kejadian berasal dari biji yang satu. Kemudian berpencar ke seluruh dunia.

Terimbas oleh zat-Nya. Yang membaca dan mendengarkan. Yang menyalin dan

menyimpannya. Menjadi keselamatan badan. Sebagai sarana pengusir. Jika

dibacakan alam air. Dipakai mandi perawan tua cepat bersuami. Orang dila cepat

sembuh. Jika ada orang didenda cucuku. Atau orang yang terbelenggu keberatan

hutang. Maka bacalah dengan segera. Di malam hari. Bacalah dengan sungguh-

sungguh sebelas kali. Maka tidak akan jadi didenda. Segera terbayarkan oleh

Tuhan. Karena Tuhanlah yang menjadikannya berhutang. Yang sakit segera

sembuh. Jika ingin bagus menanam padi. Berpuasalah sehari semalam.

Kelilingilah pematangnya. Bacalah nyanyian itu. Semua hama kembali. Jika

engkau pergi berperang. Bacakan ke dalam nasi. Makanlah tiga suapan. Musuhmu

tersihir tidak ada yang berani. Selamat di medan perang.

Siapa saja yang dapat melaksanakan. Puasa mutih dan minum air putih.

Selama 40 hari. Dan bangun waktu subuh. Bersabar dan bersyukur di hati. Insya

Allah tercapai. Semua cita-citamu. Dan semua sanak keluargamu. Dari daya

kekuatan seperti yang mengikatku. Ketika di Kalijaga.

Dhandhanggula

Ana kidung rumeksa ing wengi


Teguh ayu luputa ing lelara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna

86
Sakabehing lara pan samnya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak lulut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pokiponing merak

Pagupakaning warak sakalir


Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaikat
Sakathahing rasul
Pan dadi sarira tunggal
Ati Adam uteku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa.

Napasku Nabi Musa linuwih


Nabi Yakub pamyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
Nabi Dawud swaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing rambutku
Bagendha Li kulitingwang
Getih daging Abu Bakar singgih
Balung Bagenda Usman

Sungsumingsun Patimah linuwih


Siti Aminah bayuning angga
Ayub ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku rasul
Pinayungan Adam sarak
Sampun pepak sakathahing para nabi
Dadya sarira tunggal

Wiji sawiji mulune dadi


Apan pencar saisining jagat

87
Kasamadan dening date
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen winacakna ing toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan nuli waras

Lamun ana wong kadhendha kaki


Wong kabanda wong kabotan utang
Yogya wacanen den age
Nalika tengah dalu
Ping sawelas macanen singgih
Luwar saking kabanda
Kang kadhendha wurung
Aglis nuli sinauran mring hyang
Suksma kang utang puniku singgih
Kang agring nuli waras

Lamun arsa tulus nandur pari


Puwasaa sawengi sadina
Iderana galengane
Wacanen kidung iku
Sakeh ngama sami abali
Yen sira lunga perang
Wateken ing sekul
Antuka tigang pulukan
Musuhira rep sirep tan ana wani
Rahayu ing payudan.

Sing sapa reke bisa nglakoni


Amutiya lawan anawaa
Patang puluh dina wae
Lan tangi wektu subuh
Lan den sabar sukuring ati
Insya Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap sanak rakyatira
Saking sawabing ngelmu pangiket mami
Duk aneng Kalijaga.

88
Durma

Wringin Sungsang wajahira tumaruna


ngaubi awak-mami turti nut ing bala
pinacak suji kembar
pepitu jajar maripit asri
yen siyang angker kalaning wengi.

Duk samana pakumpul-kumpul ing rasa


netra kang dadi dhihin
netraningsun emas
peputihe mutyara
ireng-ireng wesi manik
ceploking mata hawa nrang adarati.

Idepingsun kencana ure ruwetan


alisku sarpa mandi kiwa tengen pisan
curengku surya kembar
kedhepku pan kilat thathit
kang munggeng sirah wesi Kekenten adi.

Rambut kawat sinomku pamor anglayang


bathuk sela Cendhani kupingku salaka
pipiku arit gobang irungku pasado
aji pasungku loyang pilingan wesi kuning.

Watu item lungguhe ing janggut


ing wang untuku rajeg wesi
lidhah wesi abang rawis wesi
Mangangkang: iduku tawa sakalir
lambeku iya, sela matangkep kalih.

Guluningsun wesi palon galigiran


dhadha wesi sadacin
pundak wesi Angkab walikat
wesi Ambal; salangku wesi Walulin
bahuku Dhendha, sikutku pukul wesi.

Astaningsun Curiga pek-epek Cakra


Jangkar jempol kekalih
panuduh Trisula
panunggulku Malela
memanisku supit wesi
jenthikku iya
kang aran Pasopati

89
Bebokongku sela ageng kumalasa
akawet wesi gilig
eboling sun karah
taiku pulut bendha
balubukan entut-mami
uyuhku wedang
dakarku Pulasani.

Jembut kawat ganthanganku wesi Mentah


walakang wesi Tasik
pupu Kalataka
wentisku Kalanadhah
dhengkulku garendha kalih
garesku pedhang
kempolku wesi Lengis.

Pagelangan ingaran wesi Lelidhah


tungkak waja karipik
pepolokku waja kadya mamas Malela
otot bayu rante wesi
ing dalamakan ingaran Kantonwesi.

Sampun pepak sariraningsun sadaya


samya pangawak wesi pan ratuning braja
manjing aneng sarira
tan ana braja nedhasi
teguh leksana
ayu sarira-mami.

Durma

Ana kidung sun angidung Bale Anyar


tanpa galar asepi
ninis samun-samar
patining Wuluh Kembang
Siwur Burut tanpa kancing
kayu trisula
gegarannya Calimprit.

Sumur Bandhung sesirah talaga muncar


tibeng jaja ajail
dhindhing endhas parah
ulur-ulur liweran
tetambang jaringing maling dhadhal dhadhanya
gegulung ing gegapit.

90
Naga Raja pangawasan manik kembang
kembang gubel abaji
tajem neng kadhutan
udhune sarwi nungsang
karangsangan angutihpil
angajak-ajak
jujul jujul anjungkir.

Prapteng ngandhap cinandak inguluk salam


ingaweran tumuli ana kenya prapta
sajodho ngaku kondhang
endi jambe
roro janji
roro binuwang
aja na wani-wani.

Rara Wudhu apepayung Kalacakra


titihane nagaji
sabet ala lanang
sinabetaken ngetan larut lara pan kabalik
katulak ngetan : sinabetaken malih

Lara saking nginggil sinabet katulak


bali manginggil malih : lara saking ngandhap
sinabet bali mandhap
pancabaya wus kapipit sanak kang prapta
saking wetan aputih.

Kuthanipun salaka Ki Tarulata


nggawa bala sakethi
ayu pan reksanya
teguh luput ing lara
sanakingsun kidul prapti
Ki Manguntara
abang kuthanira brit.

Gawa bala pitung ewu pangreksanya


nulak sagung panyakit
sirna sunya baya
sanak-sun kulon prapta
Ki Mangit warnanya kuning
kuthanya emas
balane pitung kethi.

91
Pangresanya ayu luput ing rencana
teluh tuju lan telik
pan sirna sadaya
sanak sun elor prapta
ireng ran Ki Balesupi
kuthanya tosan
nggawa bala sakethi.

Pangreksanya ayu luput ing rencana


Allahumma seksi bumi
ingkang neksenane
ing langit keblat papat
malaekat angideri
nabi seleksa
rumeksa siyang ratri.

Araketa malaekat kawan nambang


sadaya rupa peksi
anucuki lara
utawa impen ala
upamane sadayeki
cinucuk sirna
rampas papas wus titi.

Sinom

Wus tamat kidung sadaya


pepalining janma luwih
kinarya jimat tetulak
anulak sakeh bilahi
mungguh lakunireki
wong anom dipun sumurub maring wahyuning Patrap
duga prayoganing urip
urip iku neng praja kudu rumeksa.

Rumeksa inguripira
ing tindak kudu ngawruhi
aja dhemen lelemeran
bisaa nuhon janji
ujar kang wur kawijil
awasna aywa tumpang suh
mulane nora gampang lakune wong ulah ilmu
ilmu iku ngawruhi sajatinira.

Nyatane wus aneng Kita

92
Kita Pribadi puniki
dudu angen-angen nafas
utek lan jejantung kaki
rokh rasa lawan ati
kabeh sajatine dudu
iku mung titipan
mangka busananing dhiri
kabeh iku anglindung Zat ing Manusa.

Dene kang aran Manusa


unusaning Suksma jati
ya iku Pangeran Kita
ingkang boya ika iki
padha dipun mangerti
jatine kang aran Ingsun
kang esa ingkang tunggal
kang mengku ing sahir kabir
yen tan wruha durung tetep aran Gesang.

Nadyan amung limang pada


kaya iki wus mumpuni
maring dumununging Zat kita
kang langgeng tan owah gingsir
mungguh Kita kang Urip
kang mengku ing rasul-rasul
lan mengku wewayangan
neng sajroning netra kalih
kabeh iku aneg sajroning Manusa.

Dhandhanggula

Sifat Iman : wa man tu bi‟llahi


tegesipun pracaya ing Allah ing Pangeran
sajatine ya pangeran kang Agung
kang akarya bumi dan langit
angganjar lawan niksa
mring manusa sagung langgeng tur murba misesa
maha suci angganjar paring rejeki
aniksa angapura.

Kaping kalih : wa malekati


tegesipun pracaya malaekat
anapunika tegese
ingulus ing Hyang Agung
pakaryane anenulisi

93
marang kawulanira
kang dosa Jin agung
kang karya purbawisesa neka-neka
karyane sawiji-wiji
sakehing malaekat.

Kaping tigane : wa kitabihi


tegesipun pracaya ing kitab
kang tinurunaken kabeh
kitab Adam sapuluh.
Nabi Esis seket wanilis anenggih ponang kitab
Idris telung puluh
Ibrahim sepuluh kitab Toret Musa
Dawud Jabur
Isa Injil
Kitab Kur‟an Muhammad.

Yogya sira kawruhana sami


muga-muga antuka sapangat
iya iku andikane Gusti Jeng Nabi Rasul
sinung rahmat dening Hyang Widdhi
sing sapa ngapalena
iya janjinipun
den padhakken asidhekah
saben warsa sami lan wong munggah kaji
sapisan marang Mekah.

Lan den dohken sakehing bilahi


sinung rahmat ing dunya akhirat
sarta linebur dosane
lan malih sawabipun
lamun janma kang sakit
lah sira wacakena
ulon-ulonipun
ngalamat ingkang alara
oleh tamba saking sabdaning Hyang Widdhi
lan berkahing Panutan.

Kawruhano kehing para nabi


Nabi Adam kang mangke kawitan Nabiu‟llah wekasane
kathahe yen pinitang
kawan dasa langkung kekalih
lah sira estokena
sadaya den emut
luwih agung kang supangat
lemah sangar kayu neng lebur sami

94
tan ana kara-kara.

Dhandhanggula

Ana kidung atembang Artati


sapa wruha reke aran ingwang
duk ingsun ana ing ngare
miwah duk aneng gunung Ki Artati lan
Wisamarti ngalih aran ping tiga
Artadaya tengsun,
aran ingsun duk jejaka
mangkya aran Isma‟il Jatimalangis
aneng tengahing jagat.

Sapa weruh kembang tepus kaki


sasat weruh reke Artadaya tunggal pancer ing uripe
sapa wruh ing panuju sasat sugih pagere wesi
sinihan wong sajagat kang angidung iku bratanana aywa nendra
ing sadina sawengi sawabireki sarwa cinipta dadya.

Kang sinedya tinekan ing Widdhi


kang kinarsan dumadakan ana tur rinekseng Pangerane
nadyan tan weruh iku lamun sedya mudya semadi
sesandi ing nagara angumbara wiku
dumadi sarira tunggal
tunggal jati-swara amor ing Artati
aran Sekar Jempina.

Somahira ingaran Panjari milu urip lawan milu pejah


datan pisah saparane
paripurna satuhu
yen nirmala waluya jati
kena ing kene kana ing wasananipun
ajejuluk Aniksuksma cahya ening
jumeneng aneng Artati anom tan keneng tuwa.

Tigalana kamulanireki
Nila ening arane duk gesang duk mati
Layangsuksma-ne lan Suksma ngumbareku
ing asmara mor
raga yekti durung darbe peparab
duk anome iku
awayah bisa dedolan
aran Sang Tyasjati iya Sang Artati
iya Sang Artadaya.

95
Dadi wisa mangkya amartani
lamun marta temah amisaya
marma artajaya rane
duk lagi aneng gunung
ngalih aran Asmarajati
wayah tumekeng tuwa
emut ibunipun
tinari lunga mangelan
Ki Artati nurut gigiring Merapi
angancik ing Sundara.

Ana pandhita akarya wangsit


pinda kombang angajab ing tawang
susuh angin ngendi nggone
lawan galihing kangkung
wekasaning langit jaladri
isining wuluh wungwang
myang giring punglu
tapaking kontul anglayang
paksi miber uluke ngungkuli langit
kusumanjrah ing tawang.

Wong angangsu pikulane warih


lawan amot geni adedamar
miwah kang srengenge pine
tuwin kang banyu kinum
myang dahana murub binasmi bumi kapetak ingkang
pawanatiniyup
tanggal pisan kapurnaman
yen anenun sentek pisan anigasi
kuda agrap ing pandengan.

Ana kayu apurwa sawiji


wit buwana epang kabiat papat
agodhong mega rumemba apradapa kekuwung
kembang lintang salaga langit
sari andaru kilat
woh surya lan tengsu
asirat bun lawan udan
apepacuk akasa brungkah pratiwi soyod bayu bajra.

Wiwitane duk anemu candhi


gegodhongan miwah wewerangkan
sih ing Hyang kabasmi kabeh
tan ana janma kang wruh yen weruha purwaning dadi

96
candhi sagara wetan
ingbar karuhun
kahyanganing Sang Hyang Tunggal
sapa reke kang jumeneng mung Artati katon
tengahing tawang.

Gunung Agung sagara Serandil


langit iku amengku buwana
kawruhana ing atine
gunung sagara umung guntur sirna
kang mengku bumi langit bawana rugsa
dadya kawruh iku
mudya madyaning awiyat
mangasrama ing gunung agung
sabumi cecandhi ing sagara.

Jin prayangan padha wedi asih


samya asih sakehing drubiksa
angreksa siyang dalune ingkang anempuh/lumpuh
tan tumama ing awak-mami
kang sedya tan raharja
sadaya linebur sakehe kang nedya ala
larut sirna kang nedya becik basuki
kang sinedya waluya.

Siyang dalu rinekseng Hyang Widdhi sasedyane


tinekan ing Suksma
kaidepan janma akeh aran wikuning
wiku wikan lir ing pudya semadi
dadi sasedyanira
mangunah linuhung
peparab Hyang Tigalana
kang asimpen yen tuwajuh jroning ati
kalis sagung durjana.

Yen kinarya atunggu wong sakit


ejin syaitan tan wani angambah
rinekseng malaikat
nabi wali angepung
sakeh lara pada sumingkir
ingkang nedya fitnah
marang awak ingsun
rinusak dening Pangeran
iblis laknat sato mara pada mati
tumpes tapis daya.

97
Dhandhanggula

Ana kidung sun angidung wengi


bebaratan duk amrem winaca
Batara Guru pangadege
lumaku Sang Hyang Bayu
alembeyan Asmara-ening
ngadeg pangawak teja
kang angidung iku
yen kinarya angawula
myang lelungan gusti getting dadi asih
syaitan sato sumimpang.

Sakatahing upas tawa sami


lara roga waluya nirmala
tulak tanggul kang panggawe
duduk pada kawangsul
katawuran saguning sikir
ngadam makdum sadaya
datanpa pangrungu
pangucap lawan pangrasa
myang paningal kang sedya tumeka nafi
pangreksaning malaikat.

Jabaril ingkang angemongi


milanipun katetapan iman
dadi angandel atine
Ijrail puniku
kang rumeksa ing pati urip
Israpil dadi damar
padang jroning kalbu
Mikail kang angsung sandang
lawan pangan enggale katekan kapti
sabar lan anarima.

Ja Hu Zat njeng pamujining wengi


bale „arasy sesakane mulya Kirun (Munkar) saka tengen nggone
wa Nakirun (Nakir) atunggu
saka kiwa gadane wesi
nulak panggawe ala
satru lawan mungsuh
pangeret taraju‟rrijal
ander-ander kulhu balik kang linuwih
ambalik lara roga.

98
Dudur majenge ajatu‟lkursi
ungguhe atine surah an‟am
pangleburan lara kabeh
usuk-usuk ing luhur
ingaranan telenging langit
nenggih Nabi Muhammad
kawekasan iku atunggu latri lan siyang
kinedepan ing tumuwuh wedi asih
tunduk nembah maring wang.

Satru mungsuh mundur pada wedi


pamidangane baitu‟lmukaddas
tulak balik pangreksane
pan nabi patang puluh
aweh wahyu ing awak-mami
pana Nabi Wekasan
sabda Nabi Daud
apetak Baginda Hamzah
kineweden sato mara padha mati luput
ing wisa guna.

Pepayone godhong dhukut langit tali barat kumandhang ing tawang


tinundha tan katon mangke
arajeg gunung sewu
jala sutra ing luhur-mami
kabeh padha rumeksa
angandhangi mungsuh
anulak panggawe ala
lara roga sumingkir langkung anebih kang
agring dadi waras.

Gunung sewu dadya pager mami


katon murub sakehing tumingal sirna
salwir lara kabeh
luput ing tuju teluh
tarag nyana tenung alenggi
mondhong gambar suminggah
Sri Sadana lulut
puniku sih rahmatullah
rahmat jati jumeneng rahmat jasmani
iya Sang Jatimulya.

Ingaranan Rara Sumbaningsih kang tumingal


padha sih sadaya kedhep saparipolahe
lelara sirna larut
tan tumama ing awak mami kang sangar dadi tawa

99
kang agething lulut memolone sifat rahman
iya rahmat rahayu pangreksaneki
sarana nganggo pethak.

Yen lumampah ingkang mulat wingwrin


singa barong kang padha rumeksa
gajah meta ing wurine
macan galak ing ngayun
naga raja ing kanan kering
singa mulat jrih tresna
marang awak ingsun
lelembut ing nusa Jawa
samya kedhep antu lawan teluh bumi
ajrih lumayu nginthar.

Yen sinimpen atawa sakalir


upas bruwang racun miwah banjar sakeh bedhil buntu kabeh
jemparing towok putung
pan kumleyang tibanireki
miwah salwiring braja tan tumama
mring sun tuju teluh tarugnyana
padha bali sagung sambang padha wedi
madhep kedhep saya.

Dhandhanggula

Ana kidung ing kadang Mar Mati


among tuwuh ing kawasani ra nganakaken saciptane
kakang Kawah puniku
kang rumeksa sarira-mami
anakakaken sedya ing kawasanipun
aji ari-ari ika
amayungi laku ing kawasaneki
nganakaken pangarah.

Punang Getih ing rahina wengi


ngrerewangi ulah kang kawasa andadekaken karsane
Puser kawasanipun
nguyu-uyu sabawa mami
anuruti panedha kawasanireku
sangkep kadang ingsun papat
kalimane pancer wus dadi sawiji
tunggal sawujud ingwang.

Mangkya kadang ingsun kang umijil

100
saking marga hina pareng samya
sadina amor anggone
kalawan kadang-ingsun
ing kang ora umijil saking
marga hina punika
kumpule lan ingsun
dadi Makdum-sarpin sira
wewayanganing Zat reke dadya kanthi
saparan datan pisah.

Yen angidung sarwi den pepetri


amemuleya golong lelima
takir ponthang wewadhahe
iwak-iwakanipun
ulam tasik rawa myang kali
lawan ulam bengawan mawa gantalipun
rong supit winungkusana
dadya limang wungkus artanya nyaduwit
sawungkuse punika.

Tumpangena ponthang anyawiji


dadya limang wungkus
ponthang lima sinung sekar cepakane
roro sapothanganipun
kembang boreh dupa ywa kari
memetri ujubira
dongane Majemu‟ poma dipun lakonana
saben nuju dina kalahiraneki agung sawabe uga.

Balik lamun ora den lakoni


kadangireku samya rencana
temah uga saciptane
sasedyanira wurung lawan luput
pangarahneki sakarsanira wigar
anggagar tanpantuk
barang ing sakayunira
marma kaki eling-elingen sayekti
supaya waluyaa.

101
Upacara Di Makam Ki Ageng Tarub

Letak makam leluhur Mataram ini bertempat di desa Tarub Kecamatan

Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Pelaksanaan upacara dipimpin oleh KRT

Hastono Adipuro, seorang tokoh spiritual yang sangat peduli pada upacara

tradisional warisan nenek moyang.

Kompleks makam terdiri dari cungkup makam Ki Ageng Tarub dan RM

Bondan Kejawan. Bangunannya mirip Masjid Demak. Unsur Islam dan budaya

Jawa terpadu indah. Di sebelahnya terdapat kantor juru kunci. Di situ ketuanya

KRT Hastono Adipuro dengan pelindung Pangageng Sasono Wilopo Kraton

Surakarta Hadiningrat. Dengan demikian makam ini tetap di bawah kekuasaan

kraton Surakarta yang merupakan kelanjutan dari dinasti Mataram, Pajang,

Demak dan Majapahit.

Tempat wudhu berbentuk istimewa. Padasan ini berupa genthong. Airnya

berasal dari sendang Widodari. Gapura masuk dengan pagar yang mengelilingi

makam tidak terlalu tinggi, tetapi cukup indah dan asri. Dari luar bisa dilihat

suasana makam. Karena pagar ini setinggi orang dewasa. Dalam kompleks

makam ini tertata rapi dan bersih.

Pintu cungkup pertama adalah makam Raden Mas Bondan Kejawan.

Beliau adalah cucu Prabu Brawijaya, raja Majapahit. Cungkup kedua adalah

makam Ki Ageng Tarub. Kedua-duanya seperti bangunan kembar. Sekilas seperti

dua bangunan masjid. Di antara kedua makam itu dipisahkan sungai, airnya

gemericik mengalir. Di tengah-tengahnya adalah pohon Sambi. Tingginya pohon

Sambi yang rindang dan rimbun ini menambah wibawa makam.

102
Bagi kalangan kejawen Ki Ageng Tarub merupakan tokoh spiritual

legendaris. Beliau adalah suami Dewi Nawangwulan. Seorang bidadari cantik

yang amat dihormati oleh para petani. Konon Dewi Nawangwulan mampu

mencegah masa paceklik, sehingga petani tetap kecukupan sandang dan pangan.

Perkawinan antara Joko Tarub dengan Dewi Nawangwulan ini menurunkan Dewi

Nawangsih. Sedangkan Joko Tarub sendiri adalah putra RM Bondan Kejawan.

Kelak Nawangsih diambil istri oleh Ki Ageng Sela. Beliau adalah tokoh

sakti mandraguna yang mampu menangkap petir. Bila ada kilat dan petir yang

menggelegar, maka diampirkan untuk bilang bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng

Sela. Ditanggung pasti selamat. Hanya saja, makam Ki Ageng Sela terpisah

dengan jarak 5 km, sama-sama di wilayah Kabupaten Grobogan.

Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Ki Ageng Sela termasuk figur

yang turut mengasuh Joko Tingkir. Atas petunjuk Ki Ageng Sela pula, Joko

Tingkir atau Mas Karebet bersedia mengabdi ke Kasultanan Demak Bintoro. Joko

Tingkir akhirnya diambil menantu raja Demak Sultan Trenggono. Surutnya kraton

Demak, panggung kekuasaan di Tanah Jawa digantikan oleh Kasultanan Pajang.

Rajanya adalah Joko Tingkir atau Mas Karebet dengan gelar Sultan Hadiwijaya.

Menurut Babad Tanah Jawi ayah Joko Tingkir bernama Ki Kebo Kenongo

atau Ki Ageng Pengging. Kawan-kawannya yaitu Ki Ageng Selo, Ki Ageng

Butuh, Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Pringapus. Mereka adalah guru

kebatinan yang handal dan mumpuni. Keberadaan mereka amat berpengaruh di

lingkungan masyarakat Jawa. Ki Kebo Kenanga adalah putra Bupati Pengging

yaitu Adipati Handayaningrat, istrinya bernama Ratu Pembayun, putra Prabu

103
Brawijaya yang sulung. Dengan demikian Joko Tingkir dan istrinya, Ratu

Kambang merupakan pertemuan dua dinasti besar. Putra Adipati Handayaningrat

yang lain adalah Ki Kebo Kanigoro dan Lembu Amiluhur.

Jalannya upacara diawali dengan kirap ampilan dari kraton Surakarta yang

dipimpin GKR Wandansari. Kali ini beliau bertindak selaku Pengageng Sasana

Wilapa Kraton Surakarta Hadiningrat. Sehari-hari putri Sinuwun Paku Buwono

XII ini akrab dipanggil dengan nama GKR Koes Moertiyah atau Gusti Mung.

Kebetulan menjabat sebagai anggota DPR Pusat. Tak ketinggalan pula adalah

GKR Ayu Koes Indriyah yang menjabat sebagai anggota DPD RI. Diikuti pula

GKR Galuh Kencono, yang dulu pernah mendampingi sebagai istri Gubernur

Kalimantan Tengah.

Kira-kira pukul 14.00 upacara dimulai. Masyarakat sekitar jejel riyel

mengikuti upacara wilujengan dengan tertib dan khusuk. Rintik-rintik hujan tak

dihiraukan. Tekad kuat untuk ngalap berkah lebih tinggi bila dibanding dengan

kucuran curah hujan. Ngeman-emani, sungguh sayang bila ditinggalkan begitu

saja. Karena upacara ini yang hanya diselenggarakan setahun sekali, maka jelas

tak akan dilewatkan.

Pranata adicara yang berbusana Kraton Surakarta segera membacakan

urut-urutan acara. Terlebih dulu dibacakan buat keselamatan segenap keturunan

Ki Ageng Tarub. Tahlil, Tahmid dan Takbir dibacakan dengan dipimpin oleh

ulama kraton. Doa-doa yang dikumandangkan benar-benar khas. Islam dan irama

Jawa dikemas dengan amat menarik. Itulah wujud Islam kejawen.

104
Pengageng Sasana Wilapa segera memberi kata sambutan. Rupa-rupanya

masyarakat terlalu mengenal tokoh-tokoh Kraton Surakarta. Terbukti saat Gusti

Mung berpidato, orang-orang sama ndomblong dan bengong. Berebut untuk

melihat kayak apa wajah para pengageng kraton tersebut. Meskipun harus berdiri

dan berhujan-hujan, namun tetap saja mereka bersemangat. Ternyata yang hadir

juga dari wilayah lain : Pati, Demak, Kudus dan Jepara.

Pemerintah Kabupaten Grobogan betul-betul ikut menjaga keagungan

makam. Tiap ada upacara di makam, pihak kabupaten turut serta. Bila perlu

Bupati sendiri yang memberi kata sambutan. Masyarakat Grobogan bangga bahwa

di daerahnya terdapat makam leluhur para raja. Rakyat, pemerintah dan kraton

bersatu pada nguri-uri keagungan makam leluhur para raja di tanah Jawa.

Beragam tumpeng disajikan untuk memenuhi syarat dan jalannya upacara.

Ingkung, jajan pasar, godhogan kacang, tela, segala pala pendhem ada. Hasil

bumi dibuat sesaji sebagai tanda syukur pada Tuhan. Masyarakat berebut brekat

untuk ngalap berkah. Doa penutup menandai acara berakhir. Masyarakat pun

dengan tertib bubar untuk pulang ke rumah masing-masing.

Di luar kompleks makam ada tanaman jati. Komoditas dengan kualitas

prima dari Grobogan. Pada masa depan semoga berjumpa dengan jaman

keemasan. Doa-doa yang mulia ini akan dikabulkan oleh Tuhan, yakni masyarakat

adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja.

105
DAFTAR PUSTAKA

Adjied Swastedi dan Tessa Theofile Prihatini, 2002, Tata Upacara Pengantin
Adat Jawa, Pustaka Raja, Yogyakarta.
Clifford Geertz, 1969, The Religion of Java, The Free Press, Glencoe
Damardjati, 1993, Nawangsari, Wangsa Manggala, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1986, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka
Laksono, P.M., 1985, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan
Pedesaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Lucas Sasongko Triyoga, 1991, Manusia Jawa dan Gunung Merapi Persepsi dan
Sistem Kepercayaannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Moedjanto, G. 1994, Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja
Mataram, Yogyakarta: Kanisius.
Niels Mulder, 1973, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta
Padmapuspita. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
Sartono Kartodirdjo, A Sudewa, Suhardjo Hatmosuprobo, 1988, Beberapa Segi
Etika dan Etiket Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Selo Soemardjan, 1974, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Yogyakarta,
Jakarta, Balai Pustaka
Siswoharsoyo, 1979, Serat Gunacara lan Agama, Yogyakarya, Gondolayu
Soebardi, 1978, Serat Cabolek, Bandung, Angkasa
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Kanisius.
Sri Mulyono, 1983, Wayang dan Filsafat Nusantara, Jakarta, Masagung
Sularto, 1981. Upacara Labuhan Kasultanan Yogyakarta, Jakarta: Media
Sunoto, 1987, Menuju Filsafat Indonesia, PT. Hanindita, Yogyakarta
______, 1989. Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Ajaran Masyarakat
Jawa. Yogyakarta : Fakultas Filsafat UGM.
Suryo S. Negoro, 2001, Upacara Tradisional Dan Ritual Jawa, CV. Buana Raya,
Surakarta.
Wisnu Minsarwati, 2002, Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi, Menguak Bahasa
Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan, Kreasi Wacana,
Yogyakarta.

106
BIOGRAFI PENULIS

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk,


Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA
diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra
UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada
Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh
pada tahun 2001.
Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36
Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020.

107

Anda mungkin juga menyukai