Anda di halaman 1dari 19

Nama : Elisabet Lusitania Saragih

Jesica Yusniarti Nainggolan

Narta Marbun

Nenci Riama Adella Sinaga

Wahyu Hutabarat

Yemima Damanik

Tingkat/Jurusan : II-A/Teologi

Mata Kuliah : Filsafat Timur

Dosen Pengampu : Ramli SN Harahap

Penganut Kepercayaan Kejawen di Jawa

Kompetensi: Mendalami Pemikiran dan Filsafat Penganut Kepercayaan Kejawen di Jawa

I. Pendahuluan
Pada sajian sebelumnya telah kita pelajari aliran kepercayaan suku yaitu parmalim yang
lahir di dalam suku batak toba dan pemenah yang berasal dari suku batak karo.Parmalim dan
pemenah adalah kepercayaan yang tidak dapat disatukan dengan Agama. Dan banyak orang-
orang jika sudah memiliki agama tidak menganut kepercayaan ini lagi. Tetapi berbeda pada
kejawen yaitu kepercayaan yang dianut oleh suku Jawa. Kejawen juga bukanlah agama dan
sebelum agama muncul di Indonesia, kejawen telah dulu hadir didalam suku Jawa.
Kejawen merupakan budaya jawa yang sudah ada sejak kabuyutan, zaman dimana Pulau
Jawa masih dihuni oleh segelintir manusia. Bahkan, mistik kejawen sudah ada sejak manusia
pertama menempati Pulau Jawa yakni jaman dewa-dewi. Dalam rentang waktu yang sangat
panjang dari masa awal keberadaan manusia pertama di Pulau Jawa sampai sekarang dengan
ajaran-ajaran yang dianut kejawen.
II. Pembahasan
2.1 Pengertian Filsafat Jawa
Pengertian Jawa menurut biologi ialah bagian dari suatu formasi gielogi tua berupa
deretan pegunungan yang menyambung dengan deretan pegunungan Himalaya dan
pegunungan di Asia Tenggara, darimana arahnya menikung kearah tenggara kemudian
kearah timur melalui tepi-tepi daratan sunda yang merupakan landasan kepulauan Indonesia.1
Perkataan filsafat dari bahasa Yunani Fhilosophia yang berarti: cinta kearifan. Bagi
filsafat jawa, Menurut Zoetmulder, bahwa pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya
merupakan cara untuk mencapai kesempurnaan. Dapatlah dirumuskan bahwa filsafat jawa
berarti cinta kesempurnaan dengan memakai analogi philosophie Yunani. Dengan demikian,
berfilsafat dalam arti luas dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kesempurnaan. Manusia
mencurahkan seluruh ekstensis nya, baik jasmani, maupun rohani, untuk mencapai tujuan
itu.2
2.2 Kebudayaan Jawa
Kebudayaan jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia yang merangkum
“kemauan, cita-cita, idenya maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan,
keselamatan, dan kebahagian hidup lahir dan batin. Kebudayaan jawa telah ada sejak zaman
prehistori. Datangnya bangsa hindu-jawa dan dengan masuknya agama islam dengan
kebudayaannya pula, maka kebudayaan jawa menjadi filsafat sinkretis yang menyatukan
unsur-unsur pra-hindu, hindu-jawa dan islam.
Dalam perkembangannya, menurut berbagai kitab-kitab jawa klasik dan peninggalan
lainnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Orang Jawa percaya dan berlindung kepada Sang Pencipta, Zat Yang Mahatinggi,
penyebab dari segala kehidupan, adanya dunia dan seluruh alam semesta dan hanya satu
Tuhan.
2. Orang Jawa yakin, bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan Kodrat
alam senantiasa saling mempengaruhi, namun sekaligus manusia harus sanggup melawan
kodrat untuk dapat mewujudkan kehendaknya, ataupun fantasinya dalam hidup selamat
sejahtera dan bahagia lahir batin.
3. Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya, sekaligus
membangkitkan sifat luhur dan perikemusiaan. Orang Jawa menunjungjung tinggi

1
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 3.
2
H. Soenarko Setyodarmodjo Menggali Filsafat dan Budaya Jawa (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 13-14.
amanat yang berupa sasanti atau semboyan: ‘Memayu ayuning bawana’ (Memelihara
kesejahteraan dunia).3

2.3 Pokok-Pokok Filsafat Jawa


Jawa adalah salah satu bagian nusantara dan perlu diketahui bahwa filsafat Indonesia
khususnya Jawa belum memiliki filsafat asli.Dalam filsafat Jawa menekankan bagaimana
pentingnya kesempurnaan hidup tersebut. Untuk mencapai kesempurnaan maka manusia akan
melakukan segala usaha. Mengenai eksistensi manusia sebagai kenyataan dirumuskan ke
dalam tiga bidang:
1. Metafisika
Dalam metafisika Jawa mempunyai ciri yaitu: mengakui kemutlakan Allah, Tuhan
yang transenden, dan kesatuan manusia dengan alam. Hal ini dapat dilihat dalam naskah
sastra Jawa.
2. Epistemologi
Dalam epistemologi Jawa lebih menekankan kepada bagaimana mencapai tahap
ekstase sehingga memperoleh widya. Rumusan ini dapat dilihat dalam Serat Wedhatama
yang dimulai dari Sembah Raga (perbuatan), Sembah Cipta (aturan), Sembah Jiwa
(kehidupan rohani), dan Sembah Rasa (berserah diri). Puncak pengetahuan adalah
terbukanya tabir kenyataan ‘ada’ sehingga manusia dapat menghayati hidupnya dengan
ringan, yakni dengan penuh ketentraman dan kebahagiaan.
3. Etika
Dalam filsafat Jawa mengenai baik dan buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi
manusia dalam keinginan dan nafsu. Tingkat kedewasaan dan watak akan membentuk
watak yang akan menentukan laku susilanya yang digambarkan dalam simbolik wayang.
Jadi ada pengakuan tentang innate ideas dalam hal watak dan bakat: yang tampak dalam
ungkapan “kacang ora ninggalno lanjaran”.4
2.4 Penduduk Jawa
Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang Jawa tersebar
di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat, di

3
H. Soenarko Setyodarmodjo, Menggali Filsafat…, 85.
4
Ibid…, 12-35.
banyak kepulauan di Indonesia kini sampai Irian Barat setelah transmigrasi, di Semenanjung
Malaysia, di Muangthai dan beberapa negara lainnya. Yang amat sedikit diketahui adalah
orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka dan Asia Tenggara. Jumlah orang Jawa di
berbagai tempat di penjuru dunia itu tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di
seluruh kepulauan Indonesia ± 60% dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya
sekarang sudah lebih dari 160 juta.5
Selama ini perkejaan makul dan macul menjadi soko guru utama aktivitas perekonomian
di pendesaan.Pagi-pagi benar, sebelum ayam jantan berkokok, orang Jawa sudah bangun
tidur. Menurut keyakinan mereka rejeki akan diambil oleh ayam bila bangun tidur kesiangan.
Para pedagang memulai paginya dengan harapan yang optimis.Para mbok-mbok bakul
mempersiapkan dagangannya di pasar-pasar hasil bumi mereka.Kehidupan perekonomian
desa berporos pada perdagangan tradisonal, berlangsung pada hari pasaran yakni Pon Wage,
Kliwon, Legi, dan Pahing.Tawar-menawar antar pedagang dan pembeli merupakan suatu seni
tersendiri dalam transaksi perdagangan. Para petani adalah pekerja yang ulet, pekerjaannya
dengan alam dan sangat segar membuat hidup menjadi tenang, tentram, seimbang, dan alami.
Orientasi mereka bukan hasil kuantitatif tetapi proses kualitatif. Adapun tugas anak-anak
adalah Mikul Beha Duwur Mendhem Jeronama baik orang tuanya. Maksudnya si anak itu
harus mau menjungjung tinggi harkat dan martabat ayah dan ibu. Orang Jawa mengatakan
anak polah, bapak prada artinya bahwa tingkah laku anak senantiasa membawa nama orang
tuanya. Kehidupan sosial di masyarakat Jawa yaitu, menjujung kebersamaan,suka kemitraan,
mementingkan kesopanan, toleransi tinggi, dan hidup pasrah.6
Pada manusia yang berfaham deistik, sikap hidup untuk menuju ke Tuhan hanya bersifat
formal, batin mereka belum sanggup untuk menyingkap rahasia Illahi.Mereka tidak peduli
kepada ada dan tidaknya Tuhan. Hidup berjalan lurus-lurus saja kecuali pada peristiwa-
peristiwa baru ia ingat akan Tuhan. Orang Jawa pada umumnya berkeyakinan bahwa tidak
lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus yang disebut
lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Orang Jawa masih sering memuja
dan memanggil roh halus yang berkeliaran di sekitarnya atau arwah leluhur yang suka
memberi nasihat mengenai rohaniah dan material.Orang Jawa yakin adanya kesaktian.Ia

5
H. Soenarko Setyodarmodjo, Menggali Filsafat…, 72-73.
6
Purwadi & Joko Dwiyanto, Filsafat Jawa (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2006), 231-236.
berpendapat bahwa orang yang kuat jasmani dna rohani saja dianggap mampu memiliki
kasekten. Orang Jawa melakukan tapa karena anggapan bahwa dengan menjalankannya maka
kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi.Ada juga upacara yang dikenal dengan ngurat
bertujuan untuk melindungi anak dari bahaya.Perziarahan ke tempat keramat dilakukan untuk
mencari ketenangan, rekreasi, nyekar, dan ingin mencari pesugihan.
Pandangan hidup masyarakat Jawa bertumpu pada pendekatan harmoni, bukan pendekatan
konflik.Dalam menggeluti persoalan-persoalan kehidupan, masyarakat Jawa selalu berusaha
untuk menemukan harmonisasi dan menghindari terjadinya perentangan-pertentangan. Hal
ini sangat jelas terlihat dalam Serat Wulangreh yang tertulis
Wong sadulur nadyan sanak dipun rukun Aha nganti pisah
Ing samubarang karsaning Padha rukun dinulu teka prayoga

Artinya: saudara dan keluarga hendaknya rukun, jangan sampai berpisah, dalam segala
kehendaknya, kalau semua rukun dilihat tampak baik. Filsafat Jawa mengajak manusia
memandang sesuatu dengan pikiran jernih, dengan hati nurani yang bersih. Istilah sing ana,
sejatine ora ana, mengandung ajaran yang sangat dalam tentang objektivitas. Manusia
hendaknya juga melihat kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam kehidupan ini
dengan mata hati, atau hati nurani yang bersih.7

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan
karna Tuhanlah yang pertama kali ada.Pandangan orang Jawa yang demikian disebut
Manunggaling Kaula Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral
adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia
menyerahkan dirinya selaku kaula terhadap isterinya.Alam pemikiran orang Jawa berumuskan
kehidupan manusia berada dalam dua kosmos yaitu makro kosmos dan mikro kosmos.Adapun
makro kosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam
semesta, yang mengandung kekuatan supra natural.Dalam makrokosmos pusat alam semesta
adalah Tuhan.8

Secara etimologi kata wanita berasal dari bahasa sansakerta yakni dari akar kata Van.
Oleh karena itu kata wanita merupakan bentuk Passif Partciple, maka wanita dapat diberi arti

7
Adi Ekopriyono, The Spirit of Pluralism (Jakarta: Elex Media Komptindo, 2005), 135-136.
8
Koentjaraningrat,Kebudayaan Jawa, 346-347.
yang di cintai (oleh kaum pria).Dalam bahasa Jawa terdapat krata basa yang menyebutkan
bahwa wanita berarti wanita di tata ‘berani diatur’.Masa sebelum sejarah, kedudukan dan
derajat wanita lebih tinggi dari pria.Dalam adat asli Jawa Kuno peran wanita dijunjung
tinggi.Beberapa tokoh wanita yang pernah menjadi raja pada zaman dahulu adalah ratu Sima,
seorang yang adil dan bijaksana.Pada perkembangan selanjutnya kedudukan laki-laki bergeser
menjadi lebih tinggi dari wanita yang kemudian dapat dilihat dalam Serat Cehntini.Kemudian
muncul sosok yang mendobrak keterbelungguan dari kungkungan zaman yaitu Kartini.

Pendidikan bagi kaum wanita dapat dilihat dalam salah satu naskah klasik berjudul
wasita dyah utama. Adapun yang dimaksudkan dengan wanita Jawa adalah wanita yang
berbahasa Jawa yang masih berakar dalam kebudayaan dan cara pikr sebagaimana terdapat di
Jawa. Dalam konsep wanita utama yang dimaksudkan adalah mempunyai keutamaan moral
dalam menjalin hubungan dengan Tuhan dan sesama melalui aspek jasmani dan rohani.
Wanita juga dipandang sebagai manusia yang mempunyai drajat yang sama dengan kaum
pria. Masyarakat menghendaki beberapa sifat khas yang mesti yang ada dalam diri wanita
yakni memiliki keindahan, kelemebutan dan kerendahan hati.9

Kitab-kitab Jawa dahulu, penuh dengan ajaran moral. Misalnya: Centhini, Wulangreg,
Weddhatama, Wetaeadya. Di Yogjakarta misalnya masih dikenal berbagai upacara, baik pada
lapisan atau golongan bangsawan atau rakyat biasa.Upacara itu berhubungan dengan daur
hidup, mulai pada masa kehamilan sampai masa dewasa.Tugas kewajiban manusia terhadap
Tuhan Yang Maha Esa boleh disebut Dharmabhakti Isani terhadap Ilahi yang berwujud
manusia harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan percaya penuh. Di dalam segala
keperluan hidup di dunia sehari-hari seperti:makan, minum, berpakaian, dan tempat tinggal
orang harus bekerja sama dengan orang lain yang banyak sekali. Maka dari itu, orang hidup di
dalam masyarakat harus bergotong-royong, tolong-menolong, dan bekerja sama menunjuk
kepada ketentraman dan kedamaian masyarakat.10

2.5 Kepercayaan Kejawen


Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah
“segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan jawa”. Kejawen dalam opini

9
Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), 295-302.
10
Ibid, 204-210.
umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang jawa.
Kejawen juga memiliki arti spritualistis suku Jawa. Spritualitas kejawen yang utama adalah
Pasa (berpuasa) dan Tapa (bertapa). Yang dimaksud kejawen itu adalah sebuah kepercayaan
yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan bangsa lainnya yang menetap di
Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaannya ada sejak orang jawa
itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat
berdampingan. Dengan agama yang dianut pada zamannya.
Bagi orang Jawa hakikat Kejawen adalah kebatinan, artinya mistisisme atau secara literal
adalah ilmu tentang sesuatu yang berada di batin. Di dalam kejawen, apa yang menjadi titik
pokok adalah beberapa ketegangan antara gaya klasik dunia kebatinan dengan kebudayaan
keratin dan beberapa jenis kebatinan modern. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak
menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik seperti
Kristen atau Islam. Tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai
yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). Ajaran kejawen biasanya tidak
terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep keseimbangan. Sifat kejawen
yang demikian memiliki kemiripan dengan konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannnya).
Penganut kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi
melakukan pembinaan secara rutin.11

2.6 . Asal-usul kejawen


Asal usul kejawen sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu sri dan Sardono. Sri
sejatinya adalah penjelmaan Dewi laksmi, istri Wisnu, sedangkan Sardono adalah penjelmaan
dari Wisnu itu sendiri. Itulah sebabnya, jika ada anggapan bahwa Sri dan Sardono adalah
kakak beradik, kebenarannya tergantung dari mana kita meninjaunya. Namun kaitannnya
dengan hal ini, Sri dan Sardono sesungguhnya adalah suami istri yang menjadi cikal bakal
kejawen. Maka, dalam berbagai ritual mistik kejawen , keduanya selalu mendapat tempat
khusus. Dewi Sri dipercaya sebagai Dewi padi, Dewi kesuburan. Dewi sri dan Wisnu,
menurut tantu panggelaran, memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek
moyang di jawa. Dalam dabad tanah jawa juga dijelaskan bahwa orang pertama yang
membadad (menempati/tinggal) tanah jawa adalah Batara Wisnu. Sumber ini meneguhkan

11
Suwardi Endaswara, Agama Jawa (Yogyakarta: Narasi-lembu, 2015), 160.
sementara bahwa nenek moyang masyarakat jawa memang seorang dewa. Dengan demikian,
kaum kejawen sebenarnya berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan
kulturnya. Selanjutnya, Dewi Sri dianggap menjelma ke dalam diri tokoh Putri Daha bernama
Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi raden panji. Keduannya
pernah berpisah, namun akhirnya bertemu kembali.12
Menurut beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadomo terjadi di gunung Tidar, Magelang,
Jawa tengah. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan sri diberi tetenger (tanda), dengan
menancapkan paku tanah jawa. Hal ini sekaligus untuk mengokohkan tanah jawa yang sedang
berguncang. Dan sejak itu, tanah jawa kembali tenang. Paku tersebut kelak dinamakan
pakubuwana (paku bumi). Pakubuwana inilah yang membuat orang jawa tenang, sehingga
keturan Sri dan Sadono menjadi banyak. Hanya saja, keturunan mereka ada yang baik dan ada
yang buruk. Maka, Batara Guru segerah menyuruh Semar keturunan Sri dan Sadono yang
baik-baik, sedangkan Togog mengikuti keturunan Sri dan Sadono yang angkara murka. Togog
dan semar pun akhirnya menuruti perintah itu, karena merasa Batara Guru sebagai rajanya.13
2.7 Ciri-ciri Ajaran Kejawen
a. Filsafat hubungan manusia dan pembuatannya: kitab tantu panggelaran melukiskan mulai
tanah jawa belum berpenghuni; kemudian Sang Hyang Wenang menitahkan Sanghayang
Wishnu dan Brahmana untuk membuat manusia dan dewa-dewi sebagai modelnya,
selanjutnya diajarkan berbagai masalah dan bekal-bekal kehidupan.
b. Kejawen juga mementingkan ilmu pengetahuan, terbaca pada sekar Gambuh:
Akanti awa ewut
Aja tinggal weweka ing kalbu
Mithua wewarah kang mikolehi
DEN TABERI ANGGEGURU
Aja isin ateteakon- Wedaraga
c. Yang Khas kejawen: pada gulangen ing kalbu Mring sasamita mrih lantip dan
seterusnya.
d. Ngelmu, sebagai suatu bagian dari kegiatan teknologi, juga disebut aji-aji yang berisi
rapal-rapal sebagai alat magis, mungkin peninggalan dinamisme. Kejawen punya

12
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, (Yogyakarta, 2014), 25-26.
13
Ibid,26-28.
ngelmu-ngelmuseperti Jaran-guyang, Semarkining dan Cucak ijo untuk menggaet
perempuan; aji-aji Sepi Angin supaya berjalancepat sebagai angina; aji pangllemuna
untuk menghilang; aji Lembun sekilan supaya tak mempan ditembak atau dibacok.
e. Orang Jawa punya budaya perkutut, kesenangan akan suara perkutut berikut
katurangganya. Kegemaran yang mendalam, hingga dimanfaatkan orang Bangkok
dengan mendesain anatomi perkutut yang kemudian diekspor ke Jawa; ironisnya,
sekarang perkutut pribumi tersisih dipasaran burung, sedang orang-orang Jawa juga ikut-
ikutan menyisihkan burung pribumi tersisih dipasaran burung probuminya ini.
f. Nenek moyang orang Jawa juga meninggalkan senjata yang khas yaitu KERIS dan kudi
di Parahiyangan. Khas bentukanya maupun symbol-simbol falsafah yang dituangkan
kedalam patra-patra keris tersebut seperti pamor, sekarkacang, keluk dan lain-lain,
sampai-sampai pada kemampuan pada normalnya.
g. Nenek moyang kita juga meninggallkan pengetahuan tentang KATURANGGAN
(morphology), baik untuk kucing, kuda, ayam jago, perkutut, burung gemek (puyuh)
sampai pada katurangganing wanita (Padmanegara, Durgasari, Cangkring dan lain-lain).
h. Orang Jawa juga punya fantasi tinggi melebihi Barat, yang terlihat pada wayang-kulit,
gedog, manak, golek, krucil; wayang-orang dengan rias (widi) serta model busananya,
juga pada bentuk-bentuk tari Serimpi, Golek Metaraman, Panji dan lain-lain.
i. Untuk rythme-rythme musical betapa bangganya JAZZ, dengan menyatakan jatidirinya
adalah pada syncope dan improvisasi; padahal iringan kendang yang bagus adalah
syncope, kenong dan gong jatuhnya juga syncope.
j. Lukisan gaya Jawa: Lukisan gaya Jawa bercorak “ekspresionis-dekoratip”, sebagian lagi
surrealistis sebagaimana Nampak pada wayang beber. Sedangkan gaya-gaya itu di
Eropah dianggap gaya modern. Yang ekspresionis-dekoratip terlihat pada lukisan-lukisan
Bali. Surrealisme yang jelas adalah pada pelukisan Bathara Guru dan Bathara Durga pada
wayang-kulit, atau Dewa Amral dan beberapa tokoh lagi.
k. Patra-patra ornament: Orang Eropah atau Jepang atau Cina tidak punya Garuda seperti
ornamen-ornamen Jawa, wayang kulit dan lain-lain. Cina dan Jepang punya burung Hong
dan Eropah dengan Alap-alapnya yang realistis.
l. Arsitektur: Jawa punya atap limas, limasan kanoman, Semar-lungguh, Tinandu.
Sinongsong, tajug, Joglo, Daragepak, suruh-ayu dan lain-lain. Juga pembagian denah
rumah-rumaah Jawa punya nilai-nilai kecuali primer dan fungsional, jiga kejiwaan,
social, filosofis dan pedagogis.
m. Cara berpikir orang Jawa juga lebih efisien, lebih positif dari positivismenya John Lock
seta David Hume, yang tertuang pada pupuh Pucung Ronggowarsito.
n. Untuk memberi atau menambah kenikmatan makan, minum, tidur dan lain-lain
o. Estetika: Jawa punya estetika atau filsafat keindahan, yang dilukiskan pada gamelan pada
penghayatannya.14
2.8 Teori Mistik Kejawen
Mistik kejawen adalah suatu upaya spritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Ada beberapa alasan mendasar mengapa manusia
menjalankan mistik kejawen, diantaranya, sebagai berikut:
1. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, perasan tentang “baik” dan “buruk”, serta
“kebahagian” seling bergantung, inheren, dan tidak bisa dipisahkan. Tak satu pun
manusia bisa berbahagia sepanjang waktu atau tidak bahagia sepanjang waktu, tetapi
secara terus-menerus berada diantara dua keadaan ini dari hari ke hari, jam ke jam, menit
ke menit.
2. “dibalik” perasaan manusiawi kasar, ada suatu perasaan makna dasar yang murni, rasa,
sekaligus merupakan diri manusia individu (aku) itu sendiri dan suatu manifestasi Tuhan
dalam individu tersebut. Kebenaran keagamaan yang dasar dari manusia mistikus priyayi
terletak pada persamaan: rasa=aku=gusti
3. Tujuan manusia adalah untuk “tahu” dan “merasakan” rasa tertinggi ini dalam diri
sendiri. Prestasi demikian membawa kekuatan spritual, suatu kekuatan yang bisa
digunakan untuk maksud baik maupun buruk dalam soal-soal duniawi,
4. Untuk memperoleh “pengetahuan” tentang rasa tertinggi ini, manusia harus memiliki
kemurnian kehendak,memusatkan kehidupan batin sepenuhnya untuk mencapai tujuan
tunggal ini, serta mengidentifikasi dan memusatkan semua sumber spritualnya pada satu
titik yang kecil, seperti kalau manusia memusatkan sinar matahari melalui suryakanta
untuk menghasilkan panas maksimal pada suatu titik. Ada dua alat utama untu
memperoleh kemurnian kehendak dan pemusatan daya upaya ini. Pertama, pengumpulan
kehidupan instiktif manusia, yakni mengangkat diri di atas kebutuhan fisiologis sehari-

14
H. Soenarko Setyodarmodjo, Menggali Filsafat… , 190-196
hari. Kedua, siplin dalam penarikan siri dari minat duniawi untuk jangka waktu lama atau
sebentar dan pemusatan terhadap hal-hal yang dalam.
5. Kecuali displin spritual dan meditasi, studi empiris terhadap kehidupan emosional-suatu
psikologi metafisika juga menimbulkan suatu pengertian dan pengalaman mengenai rasa.
Studi semacam ini merupakan analisis pengalaman fenomenologis dan dianggap sebagai
“teori” yang menyangkut prakti berpuasa dan kewajiban lainnya.
6. Karena manusa berbeda-beda dalam kesanggupannya, melaksanakan dispilin spritual
dalam kesanggupan lamanya mereka berpuasa, tidak tidur, dan bermeditasi. Dan berbeda
pula dalam kemampuannya melakukan analisis yang sudah dilakukan oleh manusia guru
terkenal, maka memungkinkan untuk meletakkan manusia pada tingkatan yang berbeda-
beda menurut kesanggupan dan prestasi spritualnya.
7. Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua manusia adalah satu dan sama
serta tidaka ada invidualitas, karena rasa aku-gusti adalah “objek abadi” yang sama pada
semua manusia.
8. Karena tujuan semua manusia untuk mengalami rasa, maka sistem religi kepercayaan dan
praktik-praktinya seharusnya hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal ini menimbulkan pandangan yang realistis terhadap sistem-sistem serupa itu, dimana
beberapa sistem dianggap memang baik untuk beberapa manusia dan yang lain baik
untuk beberapa manusia lagi, dan semua memiliki beberapa kebaikan budi manusia.15
2.9 Dasar-dasar kejawen
Adapun dasr-dasar filsafat jawa adalah sebagai berikut:
1. Kesadaran Religius
Keimanan dan kepercayaan kepada sesmbahan (Tuhan) mendasari munculnya
sistem religi dan ritual penyembahan, yaitu sembah raga, jiwa, dan sukma, yang
mencakup semua daya hidup berupa cipta, rasa, karsa, dan dayaspritual. Ritual itu bisa
berbentuk tapa brata (durung wenanga memuja lamun durung tapa brata), yang terdiri
dari lima laku, yakni mengurang makan dan minum (anerima), mengurangi keinginan
hati (eling), mengurangi nafsu berahi (tata susila), mengurangi nafsu amarah (sabar), dan
mengurangi berkata-kata (sumarah). Akan tetapi tapa brata bukanlah tata cara
penyembahan seperti pada agama impor, tetapi hanya sebagai sarana untuk menata

15
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, 36-41.
kekuatan hidup (dayaning urip). Tapa brata merupakan sifat totalitas menjalani hidup
yang benar dan baik menuju kesempurnaan. Hidup yang sempurna (sukma) akan bersatu
dengan sang sempurna (guruning Ngadadi), dengan ilmu kesempurnaan (kawruh
kasampurnan).
2. Kesadarn Kosmis
Kesadaran kosmis ini menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta dan
isinya.Kesadarn kosmis ini mencitrakan ritual sesaji dengan falsafah sakabehing kang
anamanunggal kang kapurbalan kawasesa dening kang murbeng dumadi. Semua yang
ada disemesta adalah satu (manunggal) yang ada berasal dari sang pencipta (sukma
kawekas, Sah hyang wisesaning tunggal, sanghyang wenang). Adapun bentuk-bentuk
ajarannya adalah sebagai berikut:
a. Bersatunya alam kecil (mikrokosmos) dengan alam besar (makrokosmos). Alam dan
seisinya, termasuk manusia adalah satu kesatuan
b. Bapak angkasa dan ibu bumi. Manusia dibangun dari unsur cahaya (cahya lan teja)
dan unsur bumi (bumi. Banyu, geni, lan angin, utowo hawa)
c. Kakang kawah dan adi ari-ari. Yaitu, kelahiran berupa makhluk yang tampak maupun
tidak tampak. Kesadaran kesatuan akan semesta menjadikan manusia jawa memiliki
ritual slametan dan sesaji (caos dhahar) pengetahuan mengenai kesatuan yang disebut
dengan persatuan indonesia dan Tuhan (manunggaling kawula lan Gusti).
3. Kesadaran peradaban
Kesadaran peradaban adalah pemahaman mengenai hubungan manusia dengan
manusia. Kesadaran ini berwujud ajaran memayu hayuning pribadi, memayu ayuning
kaluwarga, memayu hayuning bebyaran, memayu hayuning negara,dan memamyu
hayuning bawana. Manusia sebagai makhluk utama harus berhubungan dengan sesama
manusia dalam keutamaan (beradab). Kesadaran peradaban ini mewujudkan kesadaran
berinterigrasi, terlebih dalam bernegara. Konsep tata tentremkerta raharja menjadi
tujuan utama sebaga konsep bermasyarakat dan bernegara.16
2.10 Sinkritisme jawa/ Kejawen
Sinkretisme berasal dari perkataan Syin dan Kretiozen atau Krerannynai, yang berarti
mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu

16
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, 56-58.
gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghandirkan sifat kompromi pada hal-hal yang
agak berbeda dan bertentangan.17 Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa
paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan.18 Sinkretisme kejawen merupakan watak
dasar dalam kepercayaan yang ada dalam masyarakat jawa. Kemampuan orang jawa
membuka diri, memberi dan menerima paham, memberikan aroma spiritual. Dari sisi historis,
orang Jawa selalu membuka diri terhadap pengaruh lain. Interpretasi dan olahan baru dari
sebuah paham selalu disikapi secara arif oleh orang jawa, sinkretisme berusaha menyatukan
perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham
yang berlainan. Paham disini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Pada
sinkretisme terjadi pencampur adukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang
didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian dan keseimbangan.
Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas
beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan demikian
menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku
inklusif pada agama lain.19
2.11 Tradisi Dalam Kepercayaan Kejawean
Salah satu tradisi upacara dalam kepercayaan kejawen yang masih sering dilakukan adalah
Slametan, adalah suatu acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga.
Slametan biasa dilakukan untuk memperingati suatu peristiwa seperti kelahiran, mendapat
sesuatu yang diinginkan, sunatan, kematian dan sebagainya. Sebab diadaknnya untuk mencari
keselamatan, ketenangan, dan terjaganya hubungan antara manusia dengan Tuhan, makhluk
halus atau dayang (roh nenek moyang) selain itu ada tumpeng (puncak nasi), sebagai
perwujudan rasa syukur kepada Tuhan. Pada ajaran kejawen juga, tumoeng berasal dari
bahasa jawa. Dari hal itu dapat dilihat bahwa tumpeng adalah representasi yang
menggambarkan tekat seseorang ketika akan melakukan sesuatu agar tidak ragu-ragu.
Kepercayaan diri dalam mengambil keputusan adalah sesuatu yang sangat penting oleh karena
itu harus dipikirkan dengan sebaik mungkin. Kemudian grebek yang biasanya hanya kusus di

17
Amin Daruri, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 87.
18
Gatut Saksono & Joko Wicoyo, Sinkretisme Jawa (Yogyakarta: Elmetera, 2019), 42-60.
19
Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Graha, 2013), 17-18.
kraton saja. Grebek dapat diartikan sebagai upacara berkala yang diadakan masyarakat jawa
untuk memperingati suatu peristiwa penting.20
2.12 Konsep Ajaran Kejawen
Konsep-konsep ajaran kejawen adalah sebagai berikut.21
A. Konsep Kejawen tentang Kehidupan Dunia
Pandangan kejawen tentang makna hidup manusia di dunia ditampilkan secara rinci,
realistis, logis dan mengenal hati nurani-bahwa hidup ini di umpamakan hanya sekedar
mampir ngombe, mampir minum, hidup dalam waktu sekejap, dibandingkan kelak hidup di
alam keabadian setelah raga ini mati. Namun, tugas manusia harus mempertanggung
jawabkan jasad, raga kepada ruh yang dipinjamkan Tuhan. Hidup di dunia ini hanya
sementara. Dan, apa yang dimiliki manusia didunia hanyalah merupakan bentuk pinjaman
yang di berikan Tuhan, baik itu jasad, harta benda, maupun yang lainnya.
B. konsep kejawen tentang Pahala, Dosa, Kebaikan, dan Keburukan
Pahala, dosa, kebaikan dan keburukan merupakan empat hal yang saling bersinergi.
Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran dari kebaikan, sedangkan dosa adalah buah
ganjaran dari keburukan. Ajaran Kejawen tidak oernah menghancurkan seseorang
menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadah (kebaikan) bagi Kejawen motivasi
beribadah atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karna tergiur surga. Kejawen
memiliki tingkat kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang bukan atas
alasan ketakutan dan intimidasi dosa penghubung neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa
setiap perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri.
Demikian pula sebaliknya setiap kejahatan akan berbuah kejahatan pula. Ajaran Kejawan
memandang bahwa seseorang yang menjembah Tuhan dengan tanpa pengharapan akan
pahala atau surga dan bukan atas alasan takut dosa atau neraka, adalah sebuah bentuk
kemuliaan hidup yang sajati.
C. Konsep Kejawen tentang Tuhan
Didalam pandangan Kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaannya sendiri, ajaran
kejawen juga meyakini bahwa Tuhan bisa membuat apa saja, dan sempurna. Konsep tentang
Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah dan siapa yang menyembah serta

20
Suwardi Endaswara, Agama Jawa (Yogyakarta: Narasi-lembu, 2015), 222-223.
21
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, 59-87.
bagai mana cara penyembahnya. Jauh sebelum agama masuk kedalam tanah Jawa dan sampai
ke tradisi yang saat ini dikenal dengan Kejawen, yang merupakan tatanan paugeraning urip
(tatanan berdasarkan budi pekerti luhur), masyarakat Jawa sudah mengenal suatu kekuatan
yang maha dengan nama Gusti Kang Murbeng Dumadi.
D. Konsep Kejawen tentang Alam
Kejawen meyakini bahwa alam ini terdiri dari 3 jenis yaitu alam fana (dunia nyata), alam
gaib dan alam tunggu (alam barzakh). Alam fana dihuni oleh manusia, binatang, tumbuhan,
dan makhluk hidup Tuhan yang lainnya. adapun alam gaib dihuni oleh jin dan roh. Jin terdiri
dari jin yang baik dan jin yang jahat yang kemudian disebut dengan setan ayau demit. Roh
adalah arwah manusia yang telah meninggal dunia, yang semasa hidupnya sanggat dekat
dengan Tuhan sehingga dianugrahi ilmu dan ngilmu dari-Nya serta diberi kesempatan untuk
terus bisa mengamalkan ilmunya sampai hari kiamat. Adapun alam tunggu (alam barzakh)
yang dihuni oleh oleh arwah manusia yang sudah tentram untuk menunggu datangnya hari
kiamat.
E. Konsep Sedulur Papat Limo Pancer
Istilah Sedulur PapatLimo Pancer sampai sekarang diketahui bersumber dari seluk
Kidung Kawedar atau disebut pula Kidung Sarira Ayu. Suluk ini diyakini masyarakat sebagai
karya Sunan Kalijaga yang berupa tembang-tembang tamsil. Dalam penjelasan Sarira Ayu
disebutkan bahwa Sedulur Papat (saudara empat) itu adalah marmati, kawah, ari-ari dan
darah yang umumnya disebut rahsa. Keempat saudara ini di pusar yaitu pada bayi atau, lebih
tegas mereka berpusat disetiap diri manusia. Dalam konsep Sedulur Papat, masyarakat Jawa
juga menggunakan hari pasaran Legi, Pahing, pon, wage, dan Kliwo yang dihubungkan
dengan arah mata angin. Legi dengan posisi di timur, Pahing dengan posisi diselatan, Pon
dengan posisi di barat, Wage dengan posisi di utara dan Kliwon posisi di tengah. Dalam
keyakinan Kejawen, setiap orag orang (bayi) dapat menemui keempat saudaranya dan saling
berkomunikasi. Konsep Kejawen Sedulur Papat dihubungkan dengna pewayangan.
F. Konsep Martabat Tujuh
Konsep martabat tujuh in merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh
martabat yaitu Ahadiah, Wahdah, Wahidiah, Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam, dan
Alam Insan. Konsep martabat tujuh di Jawa dimulia sesudah keruntuhan Majapahit dan
digantikan dengan Demak Bintara dan menguasai pulau Jawa. Pada awal perkembangannya,
ajaran martabat tujuh berasal dari konsep martabat tujuh di Aceh. Menurut ajaran martabat
tujuh, Tuhan menampakkan dalam tujuh tingkatan atau martabat-martabat sebagai mana telah
disebutkan diatas.
2.13 Relasi Tuhan dan Manusia dalam Kepercayaan Kejawen
Sejak dulu orang jawa mengakui keesahan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen,
yaitu:22
1. Konsep Sangkan-paraning dumadi
Adalah pandangan kejawen yang membicarakan asal usul dan tujuan segala
sesuatu yang ada di dunia. Menurut pandangan kejawen, manusia dan segala yang ada di
alam semesta berasal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Dalam pandangan Jawa,
semua yang ada di alam raya ini adalah ciptaan Tuhan. Tetapi pemikiran Jawa pada
dasarnya terbuka mengartikan penciptaan itu haruslah tidak bertentangan dengan hukum-
hukum ilmu pengetahuan yang berlaky terutama hukum sebab-akibat. Tuhan dalam
konsep ini diartikan sebagai Sang Pencipta, Sang Pengatur hidup manusia dan menjadi
tujuan kembali manusia itu sendiri.23
2. Konsep Manunggaling Kawula-Gusti
Manunggaling Kawula-Gusti bukanlah suatu ajaran tetapi suatu pengalaman.
Suatu pengalaman yang benar-benar nyata bagi siapa saja yang pernah mengalaminya.
Pengalaman ini berupa penyatuan diri (peleburan) dengan Yang Maha Agung. Eksistensi
Tuhan selalu memunculkan spekulasi dan pandangan yang berbeda, disatu sisi ada
penganut kejawen yang selalu menyatakan bahwa keberadaan Tuhan itu ada tetapi sulit
terlukiskan keberadaannya. Disisi lain, ada sebagian orang jawa yang berpendapat bahwa
Tuhan sebenarnya berada dalam diri manusia, tetapi manusia itu sendir tidak dapat
melukiskan. Hakikat keberadaan Tuhan bersifat halus, lembut dan luhur. Namun
demikian bagi orang-orang tertentu memang ada yang mampu menghayati ketidak
jelasan keberadaan Tuhan.
2.14. Tokoh-tokoh Kejawen besertaAjarannya
Tokoh-tokoh kejawen diantaranya:24
1. Jayabaya

22
Suwardi Endaswara, Agama Jawa, 221.
23
Suwardi Endaswara, Agama Jawa, 199.
24
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, 137-242.
Tokoh mistik kejawen pertama dan yang termasyhur adalah Prabu Jayabaya.Ada ramalan
kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang isinya seputar kemerdekaan Indonesia tahun 1945,
adalah benar.Prabu Jayabaya meramalkan siapa ratu (pemimpin)/Presiden pertama RI dan
bagaimana perjalanannya.Sehingga banyak orang yang percaya bahwa ramalan Prabu
Jayabaya tersebut mengandung kebenaran.Ia adalah raja Kerajaan Dha dengan singgasananya
di Kediri yang saat itu dikenal sebagai Kedi. Ramalan Jayabaya disebut Jangka Jayabaya yang
bukan hanya pada zamannya saja tetapi dipercayai sebagai ramalan masa depan masyarakat
di Tanah Jawa.
2. Ki Ageng Sela
Menurut silsilah Ki Ageng Sela cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir. Nama asli Ki
Ageng Sela adalah Bagus Sogong. Ki Agrng Sela gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung
sambil bertani menggarap sawah. Ia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-
bagikan kepada tetangganya ynag membutuhkan. Karya- karya Jawa yang ditulis oleh Ki
Ageng Sela yaitu serat pe pali, secara garis besar, serat pe pali Ki Ageng Sela memuat tiga
bagian terkait nasehat untuk nak-anak muda, nasihat untuk keluarga (pasangan suami istri),
dan nasehat untuk menjadi manusia utama.
3. Raden Nghabehi Ranggawarsita
Raden Nghabehi dikenal sebagi bujangga besar yang telah meninggalkan “warisan tak
ternilai”, berupa puluhan serat yang mempunyai nilia dan capaian estetika menabjubkan
sebagai seorang intelektual Raden Nghabehi banyak hal tentang sisi kehidupan. Salah satu
ajaaran Raden Nghabehi yang cukup terkenal adalah tentang zaman edan. Menurutnya, ada
tiga macam pembagian yang pertama zaman edan atau kalatidha ditandai dengan adanya pola
pikir yang salah. Kedua zaman kalabendu, yang ditandai dengan semakin semakin
merosotmya moralitas manusia disebabkan oleh pola pikir yang salah. Ketiga zaman kalasuba
atau zaman keemasan, merupakan datangnya masa keemasan akhir zaman kalabendu.
2.15. Aliran-aliran Kejawen
Aliran-aliran Kejawen diantaranya:25
1. Sapto Darmo
Merupakan salah satu ajaran Kejawen yang cukup besar. Sapto Darmo adalah yang
termuda dari kelima gerakan kebatinan di Jawa, yang didirikan pada tahun 1955. Oleh

25
Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, 243-272.
seorang guru ahama bernama Hardjosaputro. Nama Sapto Darmo yang berarti tujuh
kewajiban suci. Sekarang aliran ini banyak berkembang didaerah Yogyakarta dan Jawa
Tengah, bahkan sampai keluar jawa.
2. Hardapusara
Aliran ini adalah yang tertua di Jawa, yangdidirikan pada tahun 1895 oleh Kyai
Kusumawicitra. Ia mendapatkan ilmu dengan menerima wangsit dan ajaran-ajarannya semula
di sebut kawuruh kasunyatan gaib. Mula-mula para pengikutnya adalah para Periayi dan
Purworejo dan beberapa kota lain di Bagelan. Para penganut aliran kebatinan Hardapusara
kala itu melakukan kegiatan spritual secara sembuyi-sembuyi dan menutupi aktifitas spritual
mereka dengan dalih acara slamatan. Ajaran Hardapusara dipenuhi dengan paradoks, dijejali
dengan simbol-simbol, namun nampu mengatasi segala macam tataran akal .
3. Susila Budhi Dharma
Aliran ini didirikan pada tahun 1925 di Semarang dan pusatnya berada di Jakarta. Aliran
Susila Budhi Dharma tidak mau disebut budaya kebatinan. Mereka menamakan diri “pusat
latihan kejiwaan”. Susila Budhi Dharma ini mulai menyebar ke luar negeri sejak tahun 1954
dibawa oleh berkebangsaan Inggris Husen Rofe.
4. Paguyuban Ngesti Tunggal
Aliran ini didirikan oleh Soenarto sekirat tahun 1932-1933. Asal usul ajaran Paguyuban
Ngesti Tunggal tidak terlepas dari riwayat hudup Soenarto yang menerima wahyu ketika
melakukan shalat daim. Wahyu yang diterimanya terjadi dalam tiga tahap. Pertama, berupa
penegasan bahwa ilmu sejati merupakan perunjuk nyata tenyang jalan benar menuju asal dan
tujuan hidup. Kedua, berupa pernyataan Sang Sukkma sejati tentang siapakah dirinya dan apa
tugasnya. Ketiga, berupa sabda yang meneguhkan hari Soenarta dalam menjalankan tugas
menaburkan terang serta janji akan diberikannya dua orang pembantu.
5. Pagayuban Sumarah
Aliran ini menjadi sebuah organisasi resmi pada tahun 1950. Pagayuban Sumarah
merupakan organisasi besar yang dimulai sebagai gerakan kecil dengan pemimpinnya
bernama R. Ng. Sukirno Hartono dari Yogyakarta yang menerima wahyu pada tahun 1935.
Seperti halnya aliran kebatinan yang lainnya, Pagayuban Sumarah juga mempunyai ajaran
yang harus dianut dan di praktikkan oleh para pengikutnya untuk mencapai kesempurnaan
jiwa atau martabat sumarah.
III. Kesimpulan
Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di Pulau Jawa oleh suku Jawa
dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa dan Kejawen murupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan adat dan kepercayaan jawa. Bagi orang Jawa hakikat Kejawen adalah
kebatinan, artinya mistisisme atau secara literal adalah ilmu tentang sesuatu yang berada di
batin. Sehingga banyak opini umum tentang Kejawen yang mengatakan bahwa Kejawen
berisikan seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang jawa. Kejawen bermula
dari dua tokoh misteri, yaitu sri dan Sardono. Ajaran kejawen mengakui keesahan Tuhan yang
menjadi inti ajaran Kejawen. Sinkretisme kejawen merupakan watak dasar dalam kepercayaan
yang ada dalam masyarakat jawa. Kemampuan orang jawa membuka diri, memberi dan
menerima paham, memberikan aroma spiritual. Dari sisi historis, orang Jawa selalu membuka
diri terhadap pengaruh lain. Sehingga Kejawen tidak menutup diri kepada agama-agama lain.
Salah satu tradisi upacara dalam kepercayaan kejawen yang masih sering dilakukan adalah
Slametan, adalah suatu acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga.
Kejawen sampai sekarang ini masih tetap dijalankan karena kejawen merupakan suatu upaya
spritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
Jawa.
IV. Daftar Pustaka
Abimanyu, Petir, Mistik Kejawen, Yogyakarta, 2014.
Astiyanto, Heniy, Filsafat JawaYogyakarta,Warta Pustaka, 2006.
Daruri,Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Ekopriyono, Adi, The Spirit of Pluralism Jakarta,Elex Media Komptindo, 2005.
Endaswara,Suwardi Agama Jawa,Yogyakarta: Narasi-lembu, 2015.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Purwadi & Dwiyanto, Joko, Filsafat Jawa Yogyakarta, Panji Pustaka, 2006.
Saksono, Gatut & Wicoyo,Joko,Sinkretisme Jawa, Yogyakarta: Elmetera, 2019.
Setyodarmodjo, H. Soenarko ,Menggali Filsafat dan Budaya Jawa Jakarta, Prestasi Pustaka,
2007.
Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Graha, 2013.

Anda mungkin juga menyukai